-->

INDONESIA TERIMA BANTUAN VAKSIN LSD TAHAP KEDUA

Nuryani Zainuddin (kiri) saat penyerahan bantuan vaksin LSD tahap dua melalui Dane Roberts. (Foto: Istimewa)

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menerima bantuan vaksin lumpy skin disease (LSD) tahap kedua sebanyak 500.000 dosis dari Australia.

Vaksin tersebut diberikan secara resmi kepada Kementan dalam kegiatan serah terima pada Senin (8/1/2024), di Gudang cold chain  PT Kiat Ananda, untuk disimpan sebelum didistribusikan. Simbolis penyerahan bantuan vaksin dilakukan oleh Dane Roberts (Konselor Pertanian Australia), kepada Nuryani Zainuddin (Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan).

Pada kesempatan tersebut Nuryani mengatakan, kemitraan antara Indonesia dan Australia sangatlah penting untuk terus berkolaborasi dalam melawan penyakit LSD yang telah terkonfirmasi di 17 provinsi di Indonesia.

Penyerahan vaksin ini merupakan bagian keseluruhan donasi 1 juta dosis vaksin LSD yang telah disepakati di 2023, yang diberikan oleh Departemen Pertanian, Perikanan, dan Perhutanan Australia untuk membantu Indonesia dalam menangani LSD.

Sebelumnya, tahap pertama vaksin LSD sebanyak 500.000 dosis telah didonasikan pada Mei 2023 dan telah terdistribusi ke beberapa provinsi tertular.

“Dengan tambahan donasi 500 ribu dosis vaksin LSD, tahun ini vaksinasi akan dilakukan lebih intensif utamanya di provinsi-provinsi sentra ternak seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung," ujar Nuryani, melalui siaran resminya, Rabu (10/1/2024).

Ia menambahkan bahwa harus dilakukan percepatan vaksinasi LSD dengan menyasar populasi rentan di provinsi baru tertular, ternak yang belum mendapatkan vaksin, dan untuk vaksinasi ulang tahunan di daerah tertular.

Menurutnya, dukungan dari Australia akan sangat membantu memperkuat kemampuan untuk mengendalikan dan mencegah perluasan penyebaran LSD di Indonesia.

“Pemerintah Indonesia mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Australia atas pendekatan proaktif dan dukungan akan pentingnya kesehatan hewan dalam mempromosikan pertanian berkelanjutan, serta ketahanan pangan bagi masyarakat di Indonesia," ucapnya.

Sementara, Dane Roberts turut menyampaikan komitmen kerja sama antara Indonesia dan Australia dalam penanganan LSD sudah ada sejak awal wabah.

“Kami memiliki hubungan kerja yang sangat erat dengan Indonesia dalam menyediakan dukungan upaya pengendalian penyakit hewan darurat, dan kami akan terus melanjutkan keterlibatan kami dalam memberikan dukungan teknis dan berbagai program lainnya," kata Dane. (INF)

FKH IPB GELAR SEMINAR OBAT HEWAN INDONESIA

Foto bersama kegiatan seminar nasional obat hewan Indonesia oleh Divisi Farmakologi dan Toksikologi FKH IPB. (Foto: Infovet/Sadarman)

Divisi Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB), menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Obat Hewan Indonesia” untuk lebih dalam menggali informasi dan prospek industri obat hewan di Indonesia.

“Kita semua adalah calon dokter hewan yang kelak akan bersinggungan dengan obat hewan. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya kita mengkaji bagaimana prospek bisnis obat hewan Indonesia ke depannya,” kata Ketua Pelaksana, Ilham Maulidandi Rahmandika, dalam sambutannya.

Menyambung sambutan ketua pelaksana, Ketua Divisi Farmakologi dan Toksikologi FKH IPB, Drh Huda S. Darusman, menyambut baik pelaksanaan kegiatan tersebut. “Seminar ini adalah akhir dari kegiatan atau aktivitas mahasiswa di Divisi Farmakologi dan Toksikologi, sehingga dapat saya katakan bahwa seminar nasional ini adalah cinderamata dari Divisi Farmakologi dan Toksikologi, yang dikerjakan langsung oleh mahasiswa,” kata Huda.

Sementara Dekan FKH IPB, Prof Drh Srihadi Agungpriyono, yang didaulat menyambut dan membuka kegiatan ini menyebut bahwa menjadi mahasiswa FKH harus aktif, tidak hanya dalam perkuliahan namun juga dalam kegiatan internal dan eksternal kampus.

Menurutnya, pelaksanaan seminar ini penting diketahui para calon dokter hewan ke depannya. Mengingat peluang kerja dokter hewan sangat beragam dan semua itu didasarkan atas kecakapan intelektual dan kemampuan dari masing-masing individu.

“Dokter hewan itu harus mengerti obat, karena obat dapat menyembuhkan dan bahkan dapat menjadi penyebab kematian jika tidak digunakan sesuai dengan dosis dan aplikasinya,” ucap Srihadi.

Acara yang diselenggarakan di Auditorium Andi Hakim Nasution Sabtu (30/11/2019), menghadirkan pembicara utama Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, dan pembicara lain diantaranya Drh Ni Made Ria Isriyanthi, Drh Lusianingsih Winoto (PT SHS), Drh Ayu Berlianti, Drh Mukhlas Yasi Alamsyah, Drh Beni Halaludin dan Ir Suaedi Sunanto.

Dalam paparannya, Fadjar Sumping menyampaikan mengenai perkembangan obat hewan Indonesia. Menurutnya dalam bisnis obat hewan, Indonesia memiliki aturan sebagai landasan dalam membuat, mengedarkan dan menggunakan obat hewan untuk kepentingan penyembuhan penyakit hewan dan ternak. Diantara aturan tersebut, obat hewan yang dibuat dan disediakan untuk diedarkan harus memiliki nomor pendaftaran, diuji dan disertifikasi agar dapat digunakan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang, terutama untuk obat keras. (Sadarman)

ASOHI DAN DIRKESWAN KEMBALI SOSIALISASIKAN PERMENTAN NO. 40/2019

Foto bareng pada kegiatan sosialisasi Permentan No. 40/2019 yang diselenggarakan oleh ASOHI di Serpong. (Foto: Infovet/CR)

Setelah sosialisasi perdana di Kementerian Pertanian (Kementan) pada 19 Agustus 2019, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) bersama Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kembali mengadakan sosialisasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 40/2019 tentang Tatacara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian di Swiss-bell hotel Serpong, Selasa (10/9/2019).


Sekitar 150 orang peserta dari beberapa perusahaan importir dan produsen obat hewan hadir dalam acara tersebut. Ketua Panitia, Drh Forlin Tinora, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini seperti halnya pendalaman mengenai Permentan baru tersebut, utamanya di bidang perizinan usaha obat hewan.

“Mudah-mudahan dengan diadakannya acara ini peserta jadi lebih mendalami aturan baru ini dan dapat memberi masukkan kepada pemerintah apabila kiranya ada hal yang mungkin kurang berkenan,” kata Forlin yang juga menjabat Sekretaris Jenderal ASOHI.

Sementara, Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, turut menyampaikan apresiasinya. “Pemerintah dan ASOHI sangat peduli akan hal ini, kalau dilihat dari antusiasme peserta saya yakin semua anggota ASOHI pastinya akan mematuhi aturan main yang berlaku di Indonesia, semoga ini menjadi kabar baik bagi dunia obat hewan kita,” tutur Ira.

Pada kesempatan yang sama, Kasubdit POH, Drh Ni Made Ria Isriyanthi, mewakili Dirkeswan mengatakan, bahwasanya Permentan ini intinya adalah mempercepat perizinan di bidang pertanian. “Obat hewan ini kan komoditas unggulan ekspor, dengan adanya Permentan baru ini diharapkan proses registrasi obat hewan dapat dilakukan lebih cepat dari yang sebelumnya. Perizinan usaha juga akan dibuat sesederhana mungkin untuk meningkatkan gairah investasi,” ujar Ria.

Sebagai pemateri utama dalam kesempatan tersebut, Ria kembali menjabarkan beberapa poin penting dalam Permentan No. 40/2019. Ia juga menyinggung bahwa sektor obat hewan merupakan yang pertama kali mengadakan kegiatan sosialisasi Permentan ini dibanding sektor lainnya. “Ini bukti bahwa kami serius dan peduli dengan industri ini. Oleh karenanya mari kita bersama-sama menjaga komitmen ini,” ungkap dia.

Pada saat sesi tanya-jawab, suasana diskusi sedikit tegang karena terjadi perdebatan sengit antara pihak pemerintah dan pelaku usaha. Namun begitu, ketegangan mampu direda dan win-win solution dapat dicapai.

Pada sesi kedua, peserta yang rata-rata berasal dari kalangan registration officer (RO) diajak berpetualang di dunia digital mengenai tatacara aplikasi pendaftaran obat hewan melalui sistem daring. Sistem ini merupakan inovasi baru yang dinilai dapat memudahkan dan mempercepat pelaku usaha obat hewan dalam melakukan registrasi produknya. (CR)

WORKSHOP BIOSEKURITI UNTUK TINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN

Foto bersama workshop biosekuriti di Jakarta, Rabu (28/8/2019). (Foto: Infovet/Ridwan)

Dalam rangka Hari Lahir dan Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang ditetapkan setiap 26 Agustus sampai 26 September tiap tahunnya, PT Gallus Indonesia Utama (GITA), berkontribusi dengan menyelenggarakan
workshop biosekuriti bertajuk “Meningkatkan Daya Saing Perunggasan dengan Menerapkan Biosekuriti Tiga Zona”, Rabu (28/8/2019).

“Kami berniat untuk ikut berkontribusi dalam rangka Hari lahir dan Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia,” ujar Direktur Utama PT Gallus, Bambang Suharno, dalam sambutannya.

Workshop dihadiri oleh Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa. Dalam pidatonya Fadjar mengatakan, saat ini tren global sudah mengarah pada upaya pencegahan penyakit ternak, khususnya unggas. 

“Bukan lagi untuk pengobatan, tapi bagaimana upaya dalam mencegah penyakit. Biosekuriti ini satu hal yang sangat penting dan utama dalam menjaga terjadinya penyakit atau menyebarnya penyakit, jadi mengupayakan agar agen penyakit ini tidak masuk ke unggas,” katanya.

Menurutnya, ada banyak cara yang bisa dilakukan peternak dalam menghalau penyakit, diantaranya dengan membuat pembatas di peternakan atau mengontrol barang yang bisa menjadi media pembawa penyakit.

“Saat ini biosekuriti bisa diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan agar tidak menjadi mahal. Contoh, mencuci tangan itu merupakan tindakan biosekuriti. Sederhana saja, seperti biosekuriti tiga zona ini, bagaimana peternak bisa memilah antara zona kotor dan bersih untuk menghindari terjadinya penyakit,” ucap Fadjar.

Pada kesempatan tersebut, turut mengundang pembicara dari National Technical Advisor FAO ECTAD Indonesia, Alfred Kompudu, yang memberikan materi mengenai meningkatkan daya saing perunggasan dengan penerapan biosekuriti tiga zona, serta Sekretaris Umum ADHPI (Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia), Muhammad Azhar, yang memaparkan mengenai penerapan biosekuriti tiga zona guna menambah keuntungan peternak. Sesi presentasi dimoderatori oleh Direktur HRD PT Gallus, Rakhmat Nuriyanto.

Penyerahan buku panduan biosekuriti secara simbolis kepada Dirkeswan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa (ketiga kanan). (Foto: Infovet/Ridwan)

Dalam
workshop tersebut, seluruh peserta juga mendapat buku “Panduan Biosekuriti Peternakan Unggas Pasca Pelarangan AGP” yang ditulis oleh Alfred Kompudu. Selain itu, juga dilakukan penyerahan buku secara simbolis kepada Dirkeswan. (RBS)

DSM Seminar: Era Pasca AGP, Hadapi Bersama-sama

Foto bersama seluruh panitia dan peserta seminar DSM, di Tangerang, Kamis (18/10). (Foto: Infovet/Ridwan)

Seiring dengan berjalannya era tanpa Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang diresmikan pemerintah awal Januari kemarin, membuat banyak pihak terus memberikan edukasi dan informasi penting akan budidaya ternak tanpa AGP yang tadinya menjadi andalan banyak peternak dalam menunjang pertumbuhan unggas.

Melihat hal itu, PT DSM Indonesia turut menghadirkan seminar Review of Post-AGP Era Implementation bertajuk “Optimizing Gastrointestinal Functionality: A Collaboration of the Public and Private Sectors” yang diselenggarakan pada Kamis (18/10), di Serpong, Tangerang.

General Manager DSM Indonesia, Jason Park, dalam sambutannya menyatakan, untuk menghadapi era pasca AGP saat ini harus diupayakan bersama oleh seluruh stakeholder dan pelaku usaha. “Di era implementasi pasca AGP di industri peternakan saat ini harus dihadapi bersama-sama, seperti halnya film superhero Avengers,” ujar Jason, Kamis (18/10).

Berbagai negara di dunia pun sudah meninggalkan penggunaan AGP dalam meningkatkan produktivitas ternak, walau perubahan pasca AGP memerlukan waktu yang cukup lama. Direktur Kesehatan Hewan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengungkapkan, kegiatan seperti ini sangat penting dilakukan dalam rangka meng-update perbaikan dalam budidaya ternak unggas.

“Penggunaan AGP di dunia sudah dihentikan, banyak alternatif yang bisa digunakan sebagai pengganti AGP. Namun, antibiotik masih boleh digunakan di peternakan hanya untuk tujuan terapi (medicated feed) melalui resep dokter hewan,” kata Fadjar. Peraturan penggunaan medicated feed pun sudah diterbitkan pemerintah melalui Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 09111/KPTS/PK.350/F/09/2018 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Obat Hewan dalam Pakan untuk Tujuan Terapi.

Ia pun berharap, lewat seminar ini masyarakat di industri perunggasan bisa lebih menambah wawasan mengenai pelarangan dan alternatif AGP, seperti probiotik, prebiotik, enzim, acidifer bahkan herbal. “Dengan pemakaian AGP itu justru keuntungannya jauh lebih sedikit dibanding risikonya, jadi banyak ruginya lah,” tegas Fadjar.

Tim DSM Indonesia bersama narasumber seminar. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pada kegiatan tersebut, Fadjar juga turut menjadi narasumber menampilkan pemaparan mengenai peraturan terkait pelarangan AGP, selain menghadirkan narasumber lain, diantaranya Philippe Becquet, Global Regulatory Affairs Director ANH Representative DSM in European Food Safety Authority (EFSA), Dr Farshad Goodarzi Boroojeni, Freie Universitat Berlin, Departement of Veterinary Medicine, Institute of Animal Nutrition, Tony Unandar, Private Poultry Farm Consultant dan Antoine Meuter, DSM Nutritional Products. (RBS)

ASOHI Kembali Latih 95 Orang Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan

Pemukulan gong oleh Dirkeswan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD, sebagai tanda pembukaan resmi PPJTOH ASOHI 2018, Selasa (28/8). (Foto: Infovet/Bams)

Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali menyelenggarakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PPJTOH) yang bertempat di Hotel Santika TMII, Jakarta. Kegiatan dilakukan mulai Selasa-Kamis (28-30 Agustus 2018).

Acara ini merupakan kegiatan tahunan ASOHI yang bertujuan untuk mensertikasi para dokter hewan dan apoteker yang bekerja sebagai penanggung jawab obat hewan di tempat mereka bekerja.

Kegiatan yang dibuka langsung oleh Direktur Kesehatan Hewan, Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa PhD, diikuti oleh sekitar 95 peserta yang merupakan dokter hewan dan apoteker dari berbagai perusahaan obat hewan dan industri pakan ternak di Indonesia.

Ketua Panitia Pelaksana, Drh Forlin Tinora, menyampaikan, goal yang akan dicapai dalam kegiatan pelatihan tahun ini adalah melahirkan penanggung jawab teknis obat hewan yang dapat menjaga mutu, khasiat dan keamanan obat hewan sebelum digunakan peternak untuk ternaknya.

“Kita ingin memastikan bahwa obat hewan yang digunakan dan diberikan pada ternak benar-benar obat hewan yang aman, baik bagi ternaknya maupun untuk konsumen yang akan mengonsumsi produk ternaknya,” kata Forlin dalam sambutannya, Selasa (28/8).


Antusias peserta PPJTOH. (Foto: Infovet/Sadarman)

Untuk menjawab itu semua, para peserta akan dibekali dengan berbagai materi terkait dengan obat hewan, peraturan-peraturan pemerintah dan materi lainnya yang menunjang pelaksanaan tugas mereka masing-masing.

Selanjutnya, diakhir acara tepatnya pada 30 Agustus 2018, para peserta akan diajak berkunjung ke Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang berlokasi di Jalan Raya Pembangunan Gunung Sindur, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Hal ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman peserta, sekaligus melihat langsung proses pengujian keamanan dan khasiat obat hewan yang akan diedarkan dan digunakan. 

Sementara itu Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari mengatakan, pelatihan PJTOH biasanya setahun sekali, namun karena peminatnya terus bertambah maka tahun ini sudah diadakan 2 kali dan kemungkinan bulan Oktober atau November mendatang diadakan lagi. Selain dari perusahaan obat hewan  saat ini peserta dari perusahaan pakan makin bertambah. "Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dari PJTOH ataupun calon PJTOH di perusahaan obat hewan dan pakan untuk terus mengupdate pengetahuan teknis maupun perundang-undangan," ujar Irawati.

(Sadarman)

Terapkan Ini, Indonesia dinilai Berhasil Kurangi Kasus AI

Penerapan 3 zona biosekuriti untuk memudahkan isolasi dan pengaturan lalu-lintas di kandang (Foto: Istimewa)


Tahun 2018, sebanyak 77 unit di 9 provinsi telah memperoleh sertifikasi kompartemen bebas AI (Avian Influenza) untuk breeding farm aktif. Kementerian Pertanian merilis data diantaranya perusahaan 6 GPS (Grand Parent Stock), 51 Perusahaan PS (Parent Stock), 15 pperusahaan FS (Final Stock), 5 perusahaan Hatchery di 9 provinsi, diantaranya Jawa Barat (43), Lampung (13), Jawa Timur (9), Banten (3), Jawa Tengah (3), Bali (2), NTT (2), Yogyakarta (1) dan Kalimantan Barat (1).

Keberadaan sistem kompartemen bebas AI tersebut menjadikan Indonesia semakin dipercaya banyak negara, termasuk telah menerapkan Pedoman Kompartementalisasi OIE (Badan Kesehatan Dunia).

Indonesia juga dinilai berhasil dalam mengurangi kasus HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) secara signifikan setiap tahunnya, baik pada unggas maupun manusia. Selain itu, Indonesia surplus dalam memproduksi unggas dan telah mengekspor produk unggas dan unggas hidup ke beberapa negara.

Produk unggas tersebut yaitu daging ayam olahan ke Papua New Guiniea, lemak ayam ke Korea Selatan, serta mengekspor telur ayam tetas (hatching eggs) ke Myanmar.

Seluruh komoditas unggas Tanah Air berasal dari unit peternakan unggas yang telah mendapatkan Sertifikat Kompartemen Bebas AI dari Kementerian Pertanian, dan untuk komoditas daging ayam beku berasal dari Rumah Potong Hewan Ayam yang memiliki Sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV).

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), I Ketut Diarmita ketika menerima delegasi Myanmar Februari lalu menyatakan beberapa negara telah mengakui Indonesia sebagai negara yang memiliki kompartemen bebas penyakit AI (Avian Influenza) dan menerapkan kompartementalisasi sesuai Pedoman TAHC OIE chapter 4.4 tentang Application of Compartmentalization.

“Aspek status kesehatan hewan menjadi persyaratan utama dan menjadi salah satu daya saing dalam perdagangan internasional,” tambah Ketut seperti dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (8/8/2018).

Pemerintah Republik Indonesia menjamin setiap produk unggas dan unggas dari peternakan unggas yang memiliki Sertifikat Kompartemen Bebas AI adalah komoditas sehat yang terjamin bebas dari virus AI dan aman untuk perdagangan dalam negeri atau ekspor ke negara lain.

Sementara itu Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, pemerintah Indonesia bersama pihak-pihak terkait terus memperbaiki strategi pengendalian dan memberantas penyakit HPAI melalui zona dan kompartemen bebas AI  secara bertahap dan terus-menerus.

Menurutnya, situasi penyakit HPAI pada unggas Indonesia saat ini sangat terkendali. Kejadian HPAI menurun secara signifikan setiap tahun dan hanya bersifat sporadis di daerah tertentu dan dapat dikendalikan dengan cepat. (NDV)

Komunikasi Tingkat ASEAN Bahas Ancaman AMR

Pertemuan ACGL di Yogyakarta. (Foto: Istimewa)
Resistensi Antimikrobia (AMR) menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan. Hal itu menjadi bahasan dalam pertemuan ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) di Yogyakarta, 7-10 Agustus 2018. 

Pertemuan yang keenam kali ini bertujuan merumuskan langkah-langkah komunikasi tepat dalam menyampaikan bahaya AMR dan peran masyarakat dalam pencegahannya. Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan, AMR menjadi masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan multi-sektoral. Menurutnya, saat ini sudah terlihat ada peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan kapasitas teknis di kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengandalian AMR.

“Risiko AMR tercatat lebih tinggi di negara-negara dimana peraturan perundang-undangan, pengawasan regulasi dan sistem pemantauan mengenai penggunaan antimikroba hampir tidak ada. Pencegahan dan pengendalian AMR yang tidak memadai dan lemah di beberapa negara akan meningkatkan risiko penyebarannya,” ujar Fadjar.

Dalam pertemuan ini dirumuskan kegiatan komunikasi dan pesan kunci AMR kepada seluruh pemangku kepentingan khususnya masyarakat. “Strategi komunikasi dan advokasi resistensi antimikroba tingkat regional yang telah sepakati oleh para Menteri Pertanian se-Asia Tenggara merupakan pedoman bagi negara anggota ASEAN dalam pelaksanaan kerangka kerja, serta menyempurnakan dan mengembangkan kesadaran AMR” tambah Delegasi Indonesia, Pebi Purwo Suseno.

Pada kesempatan itu, Indonesia juga berbagi pengalaman dalam mengimplementasi pencegahan dan pengendalian AMR, serta implementasi One Health dalam mencegah dan mengendalikan penyakit infeksi baru dan zoonosis. “Bentuk kegiatan edukasi yang sudah dilakukan seperti kuliah umum di perguruan tinggi, kampanye di CFD, perlombaan essay, pembuatan video pendek terkait AMR,  penyabaran informasi melalui media,” sambung Delegasi Indonesia lainnya, Imron Suandi.

Kendati begitu, masih ada tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pemahaman AMR, yakni koordinasi lintas sektor, keterbatasan anggaran dan prioritas kegiatan AMR, pengembangan pesan kunci, Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi peternak dan motivasi sektor swasta untuk ikut berperan terhadap pengendalian AMR. “Diharapkan ke depan ada peningkatan pemahaman masyarakat dalam penggunaan antimikroba yang cerdas dan bijak,” pungkasnya. (INF)

Satpol PP Seret Sapi, Gubernur : Bertentangan dengan Prinsip Kesejahteraan Hewan

Foto : Ist 
Beredar di media sosial, video seekor sapi yang diseret mobil petugas Satpol PP Bulukumba, Sulawesi Selatan hingga tertatih-tatih kemudian terkapar. Aksi tidak terpuji yang terjadi pada 7 Maret 2018 itu dikecam ribuan warganet.

Bukannya diangkut di dalam mobil bak atau truk, dalam video tersebut seekor sapi justru diseret di belakang mobil Satpol PP. Sapi tersebut diikat di bagian belakang mobil, sementara mobil terus melaju. Sapi berwarna cokelat itu tampak kesakitan karena lehernya tertarik, sementara kakinya harus berjalan mengimbangi kecepatan mobil Satpol PP.

Tampak seorang petugas mengawasi sapi tersebut dari dalam mobil bagian belakang. Sapi itu kemudian terjatuh dan ambruk sedangkan mobil tetap melaju pelan sehingga sapi tersebut terseret. Para warga dan pengendara motor yang menyaksikan peristiwa itu berteriak meminta mobil Satpol PP berhenti.


Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pun bereaksi. Syahrul telah menerbitkan surat perintah yang ditujukan kepada Bupati Bulukumba agar memberikan teguran keras kepada anggota Satpol PP yang menyeret sapi dengan cara tak layak tersebut.

Dalam surat teguran yang tertanggal 13 Maret 2018, Syahrul menyebut apa yang dilakukan Satpol PP tersebut bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) sesuai UU Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 66-67 tentang kesejahteraan hewan yang telah diubah menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Berikut petikan surat perintah Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo :
"Sehubungan postingan media sosial di grup info kejadian Bulukumba Rabu tanggal 7 Maret 2018. Dimana seekor sapi warga tampak diseret mobil petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan cara diikat pada bagian belakang mobil sambil mobil tersebut berjalan maju. Terkait dengan hal tersebut, kiranya saudara (Bupati Bulukumba) memberikan teguran keras kepada yang bersangkutan (anggota Satpol PP) dan tidak mengulangi lagi hal yang sama terhadap hewan ternak yang lainnya, karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan sesuai dengan peraturan UU No 41 tahun 2014 tentang Perternakan dan Kesehatan Hewan.”

Surat perintah teguran keras ini ditembuskan kepada Menteri Pertanian serta Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Pembelajaran

Sementara itu, Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto meminta masyarakat tidak berlebihan menanggapi peristiwa penyeretan sapi ternak dengan menggunakan truk oleh petugas Satpol PP Bulukumba.

Menurut Tomy, kejadian ini dijadikan pembelajaran. Pemkab Bulukumba akan mengingatkan staf beserta jajarannya supaya lebih berhati-hati dalam bertindak.

“Kami tidak ada niat kita menyiksa. Kejadian ini murni operasi penertiban saja. Jadi, sebaiknya kita maknai tidak berlebihan,” kata Tomy.

Dia menjelaskan, Satpol PP semula menggelar razia terhadap hewan ternak yang berkeliaran di jalan. Ketika menemukan ada sapi yang terlepas, petugas mencoba menangkap. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar tidak membahayakan pengendara.

Saat hendak ditertibkan, sapi ini justru mengamuk dengan melompat pagar. Bahkan, ada anggota yang terluka. Karena sulit ditangani, Satpol pun mengambil langkah lain meski melanggar. “Banyak saksi mata, bahwa sebelumnya (sapi) tidak bisa diamankan,” katanya.

Tomy menerangkan, memang idealnya setiap penangkapan harus menggunakan bius agar sapi mudah diamankan. Namun Satpol PP tidak punya peralatan lengkap, sementara di sisi lain mereka harus menegakkan peraturan daerah (perda).

Dalam kasus hewan ternak berkeliaran ini, lanjut Tomy, sudah banyak mengakibtkan kecelakaan lalu lintas. “Selain itu, sapi-sapi yang lepas meresahkan warga karena merusak tanaman mereka,” pungkasnya. (ndv/berbagai sumber)







Tentang AGP (Antibiotic Growth Promoter) dan Antikoksidia


Tanggal 6 Mei 2017 lalu Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menandatangani Permentan no 14/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Dalam peraturan ini tercantum pelarangan antibiotika imbuhan pakan yang juga dikenal dengan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Sebelum ditandatangani, Permentan ini sudah melalui proses panjang, termasuk di dalamnya public hearing yang dihadiri antara lain oleh dinas, pelaku usaha, asosisiasi terkait, dan lembaga terkait lainnya.

Untuk mengimplementasikan Permentan tersebut, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Drh Ketut Diarmita, MP membuat surat edaran mengenai tahapan pemberlakuan Permentan. Intinya, pelarangan AGP berlaku efektif sejak 1 januari 2018

Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD
Ketegasan pemerintah ini disambut positif  karena pelaku usaha memiliki kejelasan dan kepastian hukum perihal AGP, setelah sebelumnya cukup lama menunggu kejelasan arah kebijakan pemerintah Indonesia.  Direktur Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, PhD dan Kasubdit Pengawasan Obat Hewan (POH) Drh Ni Made Ria Isriyanthi, PhD menjelaskan, reaksi positif atas keputusan ini, terlihat dari produk substitusi pengganti AGP yang telah banyak diregistrasi di Indonesia seperti, probiotik, prebiotik, bahan alam (herbal), jamu, enzim, dan lain-lain. 

Namun sebagaimana  biasa, setiap keputusan baru selalu ada yang puas dan yang tidak puas. Contoh dalam kasus ini adalah tentang aturan obat hewan golongan antikoksidia, yang hingga akhir 2017 lalu masih menjadi bahan diskusi yang hangat. 

Dalam bahasa sederhana bisa digambarkan sebagai berikut. Permentan no 14/2017 Bab I Pasal 1 ayat 14 menyebutkan,  antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme secara alami, semi sintetik maupun sintetik yang dalam jumlah kecil dapat menghambat atau membunuh bakteri.  Definisi ini mengandung makna  bahwa yang dimaksud antibiotika dalam Permentan ini adalah antibakteri.  Dengan kata lain kata kuncinya ialah senyawa yang menghambat atau membunuh bakteri.

Hal ini diperkuat dalam Lampiran III Permentan tersebut yang menyebutkan, kelompok obat hewan yang dilarang untuk dicampur dalam pakan sebagai imbuhan pakan untuk ternak produksi adalah antibiotika. Juga diperkuat di lampiran I tentang  Daftar Obat Keras, yang menyebutkan antiprotozoa (termasuk antikoksidia)  masuk dalam kategori sendiri yang terpisah dengan kategori antibiotika.

Drh Andi Wijanarko
“Karena di Permentan 14/2017 salah satu contoh antikoksidia golongan ionophore digolongkan antiprotozoa maka  logikanya  tidak diperlakukan sebagai antibiotika imbuhan pakan yang dilarang dan  hanya dipakai dosis terapi,” demikian Drh. Andi Wijanarko, salah satu pengurus ASOHI.

Menanggapi hal ini, Direktur Kesehatan Hewan menyatakan, jika dilihat lebih mendalam antikoksidia sendiri terdiri atas antikoksidia yang hanya membunuh protozoa (diclazuril, nicarbasin, amprolium, dan lain-lain) dan antikoksidia yang selain membunuh protozoa juga menghambat atau membunuh bakteri, seperti antikoksidia ionophore (contoh: maduromisin, salinomisin, narasin, dan lain-lain).

Efektivitas antikoksidia golongan ionophore selain membunuh protozoa juga menghambat atau membunuh bakteri sudah jelas termuat pada berbagai sumber rujukan farmakologi veteriner baik pada buku (Antimicrobial and Therapy in Veterinary Medicine Edisi ke-4 halaman 285-291) dan jurnal  ilmiah internasional.  Jadi jika dikembalikan pada pengertian antibiotika pada permentan, menurut Dirkeswan, antikoksidia golongan ionophore secara hukum memiliki irisan dengan AGP. Tentunya, jika antikoksidia golongan ionophore diberlakukan seperti antikoksidia kimia akan ada aspek hukum yang dilanggar. 

Perlu diketahui bahwa meskipun AGP dilarang,  antibiotika untuk terapi (pengobatan) tetap diperbolehkan.  Sehingga AGP jenis tertentu yang bisa dipakai sebagai terapi, bisa diregistrasi ulang ke Ditjen PKH sebagai obat hewan kategori farmasetik untuk terapi. Dirkeswan mengatakan, ini berlaku untuk antibiotika bukan antiprotozoa kimia (diclazuril, nicarbasin, amprolium, dan lain-lain).

Surat pemberitahuan Dirjen PKH no 03117/08/2017 menyebutkan , obat hewan yang mengandung antibiotika sebagai imbuhan pakan, diizinkan untuk melakukan perubahan indikasi dan didaftarkan kembali dengan indikasi  untuk tujuan terapi. Perubahan ini dikenal dengan perubahan dari F ke P , yaitu kode dalam nomor registrasi obat hewan, yang maksudnya dari  Feed Additive (F) menjadi Pharmaceutic (P).

Namun, pada surat pemberitahuan Dirjen ini disebutkan, obat hewan dengan indikasi  awal sebagai antikoksidia jika akan tetap diperdagangkan “diwajibkan” untuk mengajukan registrasi ulang dengan mengubah indikasi dari F ke P dengan sejumlah syarat.

Beberapa pelaku usaha peternakan  mengaku keberatan karena secara perundang-undangan maupun secara keilmuan hal itu kurang tepat. Di lain pihak proses perubahan juga akan memakan waktu, yang artinya selama proses perubahan ini berjalan, bisa terjadi kelangkaan produk antioksidia.

Terhadap kekhawatiran ini, Dirkeswan mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya program percepatan registrasi. Bahkan produk-produk yang mengikuti program percepatan ini  (AGP dan antikoksidia) SK perubahan indikasi dari F menjadi P akan dikeluarkan pada petengahan Januari 2018. Produk AGP dan antikoksidia yang mengikuti program percepatan perubahan indikasi dari F menjadi P telah diputuskan melalui rapat yang dihadiri oleh Dirkeswan,  Kasubdit POH, PPOH (Panitia Penilai Obat Hewan), KOH (Komisi Obat Hewan), dan peneliti-peneliti dari IPB.

Pertemuan dipimpin oleh Ketua PPOH Prof Dr Harmita, Apt dan Ketua KOH Prof Dr Drh Widya Asmara, MS), dihadiri oleh Dr Iskandarsyah, Apt MS (PPOH), Dr Drh Andriyanto, MSi (PPOH), Dr Drh Aulia Andi Mustika, MSi (PPOH), Dr Drh Surachmi Setyaningsih, MS (PPOH), Drh Novida, MSc (PPOH), Drh Khusni, MSi (PPOH), Drh Unang Patriatna, MSc (KOH), Dr Drh Min Rahminiwati, MS (KOH), dan Dr Drh Huda S Darrusman, MSi (KOH). Sementara itu, tim peneliti IPB yang turut hadir pada pertemuan tersebut diwakili oleh Prof Dr Drh Agus Setiyono, MS APVet, Dr Lina N Sutardi, SSi, Apt, MSi, dan Dedi Nuraripin, SKH.

  Pertemuan menyepakati bahwa semua AGP dan antikoksidia disetujui perubahan indikasinya dari F ke P, kecuali basitrasin dan virginiamisin sambil harus melengkapi uji toksisitas akut dan keamanan (safety) paling lambat Agustus 2018.

Sementara itu, sebuah ulasan di poultrysite.com menyebutkan, meskipun bisa diklasifikasikan sebagai antibiotika, ionophore tidak digunakan untuk mengobati infeksi bakteri pada unggas, melainkan sebagai antikoksidia. Oleh karena itu awal tahun 2017, ketika McDonald's  meminta pemasok ayam untuk menghapus antibiotika dalam pakan, raksasa makanan cepat saji itu membuat satu pengecualian, yaitu  kelompok  ionophore.

Di AS penggunaan ionophore dalam pakan tidak dilarang karena disebut sebagai not considered medically important to human medicine (tidak dianggap penting secara medis bagi pengobatan manusia ) oleh WHO. Maknanya adalah ionohpore tidak berkaitan dengan kasus resistensi antibiotika pada manusia, sebagaimana isu yang berkembang terhadap AGP.

Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan)  Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa, PhD mengatakan, pihaknya selalu terbuka terhadap saran dan masukan dari berbagai pihak.  “Silakan sampaikan secara lengkap landasan ilmiah maupun dasar hukumnya,” ujarnya kepada Infovet.

Drh Irawati Fari
Beberapa pihak mengakui, saat ini pemerintah cukup komunikatif dan terbuka  terhadap masukan dari stakeholder. Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari juga menegaskan Dirkeswan  maupun Kasubdit POH bekerja bagus dan selalu menyerap aspirasi dari stakeholder termasuk dari ASOHI. 

Melihat tanggapan Dirkeswan yang positif, tampaknya  pelaku usaha perlu meneruskan dialog dengan pemerintah agar masalah apapun ditemukan solusi yang produktif bagi peternakan nasional. *** (Bams)

Artikel ini diambil dari Editorial Majalah Infovet edisi Januari 2018


Dirkeswan Pastikan Pelarangan AGP

Dirkeswan (no 2) bersama Tim Infovet
Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoters) adalah amanat UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jadi harus kita patuhi. Tentang bagaimana implementasinya harus melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Demikian dikemukakan oleh Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Drh. Fajar Sumping Tjaturasa, PhD saat diwawancarai Infovet hari ini 28 Desember 2016 di ruang kerjanya.

Fajar mengatakan, UU tersebut disahkan tahun 2009, sekarang sudah berusia 7 tahun sehingga amanatnya (tentang pelarangan penggunaan AGP dalam pakan ) harus segera dilaksanakan. Draft Permentan sudah disusun, tinggal public hearing dan segera dilakukan pengesahan. "Kemungkinan Januari 2017 sudah efektif dilaksanakan pelarangan AGP tersebut," ujarnya.

Mumpung masih ada waktu untuk penyempurnaan, pihak pelaku usaha obat hewan, produsen pakan maupun peternak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan terhadap draft Permentan tersebut.

Seiring dengan rencana pelarangan AGP Fajar menyarankan perlunya perhatian lebih serius terhadap pelaksanaan biosekuriti di peternakan. Dengan begitu maka penggunaan antibitika untuk pengobatan menjadi berkurang. "Jangan sampai berpikir penggunaan antibitika sebagai pengganti lemahnya biosekuriti," tambahnya.

Harapan Terhadap ASOHI & Infovet

Kepada Infovet, Fajar menyampaikan apresiasinya terhadap ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) yang telah banyak bekerjasama dengan pemerintah. Ia mengharapkan kerjasama ini dapat terus ditingkatkan. "Saya bukan orang baru di dunia obat hewan. Cukup lama di BBPMSOH (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan), ikut dalam berbagai tim, ikut nulis buku yang diterbitkan ASOHI, ikut tim PPOH, juga ikut Komisi Obat Ikan, bahkan juga aktif di Badan Standarisasi Nasional untuk Codex Pangan," urai Fajar.

"Selama bergaul dengan dunia obat hewan, saya banyak melihat kerjasama pemerintah dengan ASOHI dalam menyusun sistem peraturan obat hewan sangat produktif. Bahkan kemudian menjadi referensi bagi pengaturan obat ikan. Saya percaya kerjasama yang baik ini dapat terus ditingkatkan," tambahnya.

Terhadap majalah Infovet, ia mengharapkan untuk terus berperan menjembatani informasi antara pemerintah dengan masyarakat di bidang peternakan dan kesehatan hewan. "Infovet sebagai media, bisa berperan sebagai ruang diskusi antara kami di pemerintah dengan masyarakat," ujarnya

Sekilas Karir

Fajar Sumping Tjaturasa adalah alumni FKH IPB angkatan 17 (1981-1986). Mengawali karirnya di BBPMSOH semenjak meraih gelar dokter hewan hingga tahun 2007. Selanjutnya diangkat sebagai kepala Balai Pengujan Mutu Produk Peternakan (BPMPP) tahun 2007-2009, pindah ke Direktorat Kesmavet tahun 2009-2011, kemudian dipercaya sebagai Kepala Balai Besar Veteriner (BBV) Wates, Jogjakarta tahun 2011-2016. Sejak Desember 2016 ia diangkat sebagai Direktur Kesehatan Hewan.

Doktor lulusan Jepang ini dikenal pekerja keras dan aktif di berbagai kegiatan lingkup peternakan dan kesehatan hewan termasuk kegiatan kerjasama dengan ASOHI.***



ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer