Tanggal 6 Mei 2017 lalu Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menandatangani
Permentan no 14/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Dalam peraturan ini
tercantum pelarangan antibiotika imbuhan pakan yang juga dikenal dengan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Sebelum ditandatangani, Permentan ini sudah melalui proses
panjang, termasuk di dalamnya public
hearing yang dihadiri antara lain oleh dinas, pelaku usaha, asosisiasi
terkait, dan lembaga terkait lainnya.
Untuk mengimplementasikan Permentan tersebut, Dirjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Drh
Ketut Diarmita, MP membuat surat edaran mengenai tahapan pemberlakuan
Permentan. Intinya, pelarangan AGP berlaku
efektif sejak 1 januari 2018
|
Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD |
Ketegasan pemerintah ini
disambut positif karena pelaku usaha
memiliki kejelasan dan kepastian hukum perihal AGP, setelah sebelumnya cukup lama menunggu kejelasan arah kebijakan
pemerintah Indonesia. Direktur
Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping
Tjatur Rasa, PhD dan Kasubdit Pengawasan Obat
Hewan (POH) Drh Ni Made Ria
Isriyanthi, PhD menjelaskan, reaksi
positif atas keputusan ini, terlihat dari produk substitusi pengganti AGP yang
telah banyak diregistrasi
di Indonesia seperti, probiotik, prebiotik, bahan alam (herbal), jamu, enzim,
dan lain-lain.
Namun sebagaimana
biasa, setiap keputusan baru selalu ada yang puas dan yang tidak puas.
Contoh dalam kasus ini adalah tentang aturan obat hewan golongan antikoksidia,
yang hingga akhir 2017 lalu masih menjadi bahan diskusi yang hangat.
Dalam bahasa sederhana
bisa digambarkan sebagai berikut. Permentan no 14/2017 Bab I Pasal 1 ayat 14
menyebutkan, antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme secara
alami, semi sintetik maupun sintetik yang dalam jumlah kecil dapat menghambat
atau membunuh bakteri. Definisi ini mengandung
makna bahwa yang dimaksud antibiotika
dalam Permentan ini adalah antibakteri. Dengan kata lain kata kuncinya ialah senyawa yang menghambat atau membunuh bakteri.
Hal ini diperkuat dalam
Lampiran III Permentan tersebut yang menyebutkan, kelompok obat hewan yang
dilarang untuk dicampur dalam pakan sebagai imbuhan pakan untuk ternak produksi
adalah antibiotika. Juga diperkuat di lampiran I tentang Daftar Obat Keras, yang menyebutkan
antiprotozoa (termasuk antikoksidia)
masuk dalam kategori sendiri yang terpisah dengan kategori antibiotika.
|
Drh Andi Wijanarko |
“Karena di Permentan 14/2017 salah satu contoh
antikoksidia golongan ionophore digolongkan antiprotozoa maka logikanya tidak diperlakukan
sebagai antibiotika imbuhan pakan
yang dilarang dan hanya dipakai dosis
terapi,”
demikian Drh. Andi Wijanarko, salah
satu pengurus ASOHI.
Menanggapi hal ini, Direktur Kesehatan Hewan
menyatakan, jika dilihat lebih mendalam
antikoksidia sendiri terdiri atas
antikoksidia yang hanya membunuh protozoa (diclazuril, nicarbasin, amprolium,
dan lain-lain) dan antikoksidia yang selain membunuh protozoa juga menghambat
atau membunuh bakteri, seperti antikoksidia ionophore (contoh: maduromisin,
salinomisin, narasin, dan lain-lain).
Efektivitas antikoksidia
golongan ionophore selain membunuh protozoa juga menghambat atau membunuh
bakteri sudah jelas termuat pada berbagai sumber rujukan farmakologi veteriner
baik pada buku (Antimicrobial and Therapy
in Veterinary Medicine Edisi ke-4 halaman 285-291) dan jurnal ilmiah
internasional. Jadi jika dikembalikan pada pengertian antibiotika pada permentan, menurut
Dirkeswan, antikoksidia golongan ionophore secara hukum memiliki irisan dengan AGP.
Tentunya, jika antikoksidia golongan ionophore diberlakukan seperti
antikoksidia kimia akan ada aspek hukum yang dilanggar.
Perlu diketahui bahwa meskipun AGP dilarang, antibiotika untuk terapi (pengobatan) tetap
diperbolehkan. Sehingga AGP jenis
tertentu yang bisa dipakai sebagai terapi, bisa diregistrasi ulang ke Ditjen
PKH sebagai obat hewan kategori farmasetik untuk terapi. Dirkeswan mengatakan, ini berlaku untuk
antibiotika bukan antiprotozoa kimia (diclazuril, nicarbasin, amprolium, dan
lain-lain).
Surat pemberitahuan
Dirjen PKH no 03117/08/2017 menyebutkan , obat hewan yang mengandung
antibiotika sebagai imbuhan pakan, diizinkan untuk melakukan perubahan indikasi
dan didaftarkan kembali dengan indikasi
untuk tujuan terapi. Perubahan ini dikenal dengan perubahan dari F ke P
, yaitu kode dalam nomor registrasi obat hewan, yang maksudnya dari Feed
Additive (F) menjadi Pharmaceutic (P).
Namun, pada surat
pemberitahuan Dirjen ini disebutkan, obat hewan dengan indikasi awal sebagai antikoksidia jika akan tetap
diperdagangkan “diwajibkan” untuk mengajukan registrasi ulang dengan mengubah
indikasi dari F ke P dengan sejumlah syarat.
Beberapa pelaku usaha peternakan mengaku keberatan karena secara
perundang-undangan maupun secara keilmuan hal itu kurang tepat. Di lain pihak
proses perubahan juga akan memakan waktu, yang artinya selama proses perubahan
ini berjalan, bisa terjadi kelangkaan produk antioksidia.
Terhadap kekhawatiran ini, Dirkeswan mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya program percepatan registrasi. Bahkan produk-produk yang mengikuti program percepatan ini (AGP dan antikoksidia) SK perubahan indikasi dari F menjadi P akan
dikeluarkan pada petengahan Januari 2018. Produk AGP dan antikoksidia yang mengikuti
program percepatan perubahan indikasi dari F menjadi P telah diputuskan melalui
rapat yang dihadiri oleh Dirkeswan, Kasubdit POH, PPOH (Panitia Penilai Obat Hewan), KOH (Komisi Obat Hewan), dan
peneliti-peneliti dari IPB.
Pertemuan dipimpin oleh Ketua PPOH Prof Dr Harmita, Apt dan Ketua KOH Prof Dr Drh Widya Asmara, MS), dihadiri oleh Dr Iskandarsyah, Apt MS (PPOH), Dr Drh Andriyanto, MSi (PPOH), Dr
Drh Aulia Andi Mustika, MSi (PPOH), Dr Drh Surachmi Setyaningsih, MS (PPOH),
Drh Novida, MSc (PPOH), Drh Khusni, MSi (PPOH), Drh Unang Patriatna, MSc (KOH),
Dr Drh Min Rahminiwati, MS (KOH), dan Dr Drh Huda S Darrusman, MSi (KOH).
Sementara itu, tim peneliti IPB yang turut hadir pada pertemuan tersebut
diwakili oleh Prof Dr Drh Agus Setiyono, MS APVet, Dr Lina N Sutardi, SSi, Apt,
MSi, dan Dedi Nuraripin, SKH.
Pertemuan menyepakati bahwa semua AGP
dan antikoksidia disetujui perubahan
indikasinya dari F ke P, kecuali basitrasin dan virginiamisin sambil harus
melengkapi uji toksisitas akut dan keamanan (safety) paling lambat Agustus 2018.
Sementara itu, sebuah
ulasan di poultrysite.com
menyebutkan, meskipun bisa diklasifikasikan sebagai antibiotika, ionophore
tidak digunakan untuk mengobati infeksi bakteri pada unggas, melainkan sebagai antikoksidia. Oleh karena itu awal tahun 2017, ketika McDonald's meminta pemasok ayam untuk menghapus
antibiotika dalam pakan, raksasa makanan cepat saji itu membuat satu
pengecualian, yaitu kelompok ionophore.
Di AS penggunaan ionophore
dalam pakan tidak dilarang karena disebut sebagai not considered medically important to
human medicine (tidak dianggap penting
secara medis bagi pengobatan manusia ) oleh WHO. Maknanya adalah ionohpore tidak berkaitan dengan kasus resistensi antibiotika pada
manusia, sebagaimana isu yang berkembang terhadap AGP.
Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Drh Fajar
Sumping Tjatur Rasa, PhD mengatakan, pihaknya selalu terbuka terhadap saran
dan masukan dari berbagai pihak.
“Silakan sampaikan secara lengkap landasan ilmiah maupun dasar
hukumnya,” ujarnya kepada
Infovet.
|
Drh Irawati Fari |
Beberapa pihak mengakui,
saat ini pemerintah cukup komunikatif dan terbuka terhadap masukan dari stakeholder. Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari juga menegaskan
Dirkeswan maupun Kasubdit POH bekerja bagus dan selalu menyerap aspirasi dari stakeholder termasuk dari ASOHI.
Melihat tanggapan Dirkeswan
yang positif, tampaknya pelaku usaha
perlu meneruskan dialog dengan pemerintah agar masalah apapun ditemukan solusi yang produktif bagi peternakan nasional. *** (Bams)
Artikel ini diambil dari Editorial Majalah Infovet edisi Januari 2018