Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini AI | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

VIRUS AI DAN RISIKO INFEKSI PADA MANUSIA

Ancaman virus AI sangat nyata. (Foto: Shutterstock)

Ancaman infeksi Avian Influenza (AI) atau flu burung pada peternakan ayam adalah nyata. Risiko infeksi pada manusia pun tetap terbuka meskipun belum ada infeksi penularan antar manusia. Pengendalian AI harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di Indonesia dengan mengedepankan keselamatan, kesehatan dan jiwa manusia.

Klasifikasi Virus AI
“Kita tahu bahwa AI termasuk virus influenza. Mempunyai empat tipe, termasuk orthomyxoviridae artinya mengeluarkan ingus dari saluran pernapasan. Jadi kalau itu dihitung kira-kira ada sekitar 150 subtipe influenza yang beredar di dunia,” kata Guru Besar FKH Universitas Airlangga dan pendiri Profesor Nidom Foundation, Prof Chairul Anwar Nidom.

Dari perkembangan-perkembangan yang ada, virus AI mempunyai clade (varian). Clade 2.1 adalah yang pertama kali menginfeksi di Indonesia sekitar 2003-2004. Setelah itu muncul clade 2.3 yang menginfeksi bebek, subclade-nya adalah 2.3.2.1.

“Jadi penamaan-penamaan ini disebabkan karena kesepakatan, clade kalau di COVID itu varian. Kemudian varian-varian itu ada turunannya lagi tatkala dia mengalami perubahan struktur di dalam tubuhnya,” jelasnya.

Pada kesempatan lain, Nidom juga menjelaskan bahwa virus AI adalah virus RNA. Namun berbeda dengan virus RNA yang lain, virus AI terdiri dari delapan fragmen. Karena struktur seperti itulah maka secara alamiah AI bisa mengalami perubahan atau mutasi.

Mutasinya ada dua macam, yaitu mutasi titik (drift) yang terjadi di dalam fragmen itu sendiri yang disebut dengan antigenik. Lalu mutasi fragmen (shift) dimana terjadi pertukaran fragmen dengan virus lain yang kebetulan ada di dalam lingkungan yang sama sehingga membentuk subtipe baru.

Tipe Virus Influenza
Ada empat tipe virus influenza, yaitu tipe A, B, C, D, dimana tipe… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (NDV)

FAKTOR INFEKSI AI BERULANG PADA UNGGAS

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab berulangnya infeksi AI pada unggas. (Foto: Shutterstock)

Setidaknya ada empat yang menjadi faktor berulangnya infeksi Avian Influenza (AI) pada unggas. Yaitu dinamika virus AI itu sendiri, genetik ayam, lingkungan dan manajemen.

Dinamika Virus AI
“Kita mulai dari faktor dinamika virus, bahwa virus ini tadi mudah mutasi. Tetapi masalahnya adalah di lapangan itu ada high pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza (LPAI),” jelas Guru Besar FKH Universitas Airlangga dan pendiri Profesor Nidom Foundation, Prof Chairul Anwar Nidom, pada webinar mengenai AI beberapa waktu lalu.

HPAI memiliki gejala dan tingkat kematian yang jelas, sedangkan LPAI tidak terlihat gejala klinisnya sehingga bisa terkecoh antara LPAI dengan HPAI. Reseptor LPAI pada ayam hanya pada daerah trakea bawah, saluran pencernaan dan indung telur. Sementara reseptor HPAI sampai pada otak dan semua organ akan diserang.

Ketika ada unggas bersamaan terinfeksi LPAI dan HPAI bisa saja gejala klinisnya tidak terlihat. LPAI bisa meningkatkan infeksi H5N1, terkadang di laboratorium H5N1 tidak terdeteksi. Infeksi campuran antara LPAI, HPAI dan infeksi lain memungkinkan gejala klinis dan laboratoriumnya bisa keliru.

“Kemudian kalau LPAI bersama-sama dengan IB, virus IB meningkatkan gejala klinis H9. IB tidak terlihat tetapi H9 yang akan terlihat ayamnya mengalami depresi, bulu kusut, konjungtivitis dan lain-lain,” jelas Nidom.

Jika ayam terinfeksi LPAI dan ND, maka... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (NDV)

AI KEMBALI MELANDA, SEMUA PIHAK DIIMBAU WASPADA

(Sumber: iSIKHNAS)

Avian Influenza (AI) kembali mewabah, hampir di seluruh belahan dunia. Bahkan di Amerika Serikat, wabah AI mengganggu keseimbangan supply dan demand produk perunggasan mereka.

Merebak di Seluruh Dunia
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mencatat bahwa AI mulai mengalami kenaikan kasus sejak pertengahan 2021. Kemudian kasus AI semakin menjamur di berbagai negara di seluruh dunia, mulai dari Eropa dan Asia.

Di Perfektur Ibaraki Jepang, sebanyak 930.000 ekor unggas harus dimusnahkan akibat wabah AI. Bahkan di Jepang pada 2022, tercatat bahwa ada 9,8 juta unggas dimusnahkan, Ini merupakan rekor tertinggi suatu pemusnahan unggas di negara tersebut.

Tidak hanya menyerang unggas, AI juga menyerang manusia. di Tiongkok dan Hongkong kejadia AI H5N6 banyak terjadi pada manusia. Kurang lebih 83 kasus di China terjadi sejak 2022. Yang terbaru di Kamboja, seorang anak berusia 11 tahun meninggal dunia akibat AI.

Dari serangkaian hasil uji anak tersebut terinfeksi AI H5N1 clade 2.3.2 1c (Nidom, 2023). Dalam sebuah webinar yang digelar melalui daring, Guru Besar FKH Unair, Prof CA Nidom, mengatakan bahwa clade virus tersebut sudah lama beredar di Kamboja, yakni sejak 2014-2016.

“Kejadian ini tentunya semakin mengancam Indonesia yang masih satu region dengan Kamboja. Dimana Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi unggas terbesar di Asia Tenggara bersama Thailand,” tutur Nidom.

Sementara menurut Konsultan Perunggasan, Tony Unandar, mewabahnya AI beberapa tahun belakangan ini terutama di negara maju tak lepas dari adanya peternakan dengan konsep… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2023. (CR)

PAKAR : AVIAN INFLUENZA BERPELUANG JADI PANDEMI SELANJUTNYA

Tiongkok, Salah Satu Negara Yang Terkena Wabah Flu Burung 
(Sumber : Istimewa)

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, flu burung H5N1 berpotensi menjadi salah satu penyebab pandemi di masa depan. 

"Saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih berpendapat, risiko penularan flu burung ke manusia masihlah rendah, tetapi tentu kita harus tetap waspada," kata Tjandra Yoga Aditama dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (15/2/2023).

Tjandra memperkirakan, saat ini terdapat tiga jenis penyakit yang berpotensi memicu pandemi lanjutan di dunia, di antaranya zoonosis yang bersumber dari binatang, berbagai jenis influenza, dan penyakit X. Ia mengatakan, flu burung memang berasal dari hewan yakni unggas, serta berjenis infuenza.

Walaupun belum menyerang manusia, kata Tjandra, tetapi sekarang flu burung sudah mulai menyerang bukan saja unggas, tetapi juga binatang menyusui.

"Jadi kini, sudah terjadi mutasi, dan kalau mutasi terus berkelanjutan maka tentu mungkin saja menular ke manusia, yang tentu sangat tidak kami harapkan," ujarnya.

Pada Rabu lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan peringatan atas insiden penularan virus flu burung ke satwa mamalia. Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, flu burung telah menginfeksi hewan cerpelai, berang-berang, hingga singa laut. (INF)

MARI CEGAH AI SEBELUM MERUGI

Vaksinasi akan berhasil apabila aplikasi dan waktu pemberiannya tepat. (Foto: Dok. Infovet)

Seperti layaknya penyakit infeksius lainnya yang disebabkan oleh virus, Avian Influenza (AI) tidak ada obatnya. Oleh karena itu upaya maksimal perlu diaplikasikan agar AI tidak beranjangsana di kandang, menyebar dan menghancurkan.

Ketika AI bersarang, pastinya akan sukar untuk dihadang. Oleh karena itu, peternak harus selalu siap menabuh genderang perang terhadap penyakit yang satu ini. Karena merupakan penyakit berbahaya, maka sistem keamanan kandang harus berjalan dengan baik.

Jangan Kompromi Biosekuriti
Pasti yang terlintas di benak peternak ketika mendengar kalimat aplikasi biosekuriti yang baik adalah mahal. Sebenarnya aspek biosekuriti tidak harus dan identik dengan hal tersebut. Catur Kuncara peternak layer di daerah Karanganyar, mengalami bagaimana wabah penyakit termasuk AI menggerogoti kandangnya. Kemudian ia mendapat pencerahan ketika tim FAO ECTAD Indonesia mengampanyekan biosekuriti tiga zona kepada peternak di Jawa Tengah.

“Saya awalnya enggak percaya, apa bisa cuma dengan kaya begitu? Tapi karena saya suka mencoba dan yakin bahwa semua yang disampaikan baik, saya jalankan. Hasilnya saya bersyukur ternyata farm jadi lebih aman,” tutur Catur.

Hal serupa dirasakan Robby Susanto, peternak layer yang sudah lebih dulu mengadopsi sistem biosekuriti tiga zona. “Awalnya sulit, karyawan bilang agak ribet, namun lama-kelamaan terbiasa dan performa lebih stabil ketimbang sebelumnya,” kata Robby.

Ia menilai bahwa sistem ini tidak mahal, contohnya ketika berpindah dari zona satu ke yang lain karyawan tidak menggunakan sepatu bot yang berbeda, ia hanya menggantikan sepatu bot dengan sandal jepit. Disinfektan yang digunakan juga sederhana, tidak yang bermerk lokal, hanya berupa pemutih pakaian yang dicampur 1:10 dengan air, selain itu penggunaan obat berupa antibiotik atau yang lainnya juga berkurang karena ayam jarang sakit.

Terkait performa, Robby mengatakan sebelum aplikasi biosekuriti… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2022. (CR)

BAGAIMANA KINI AI MENYERANG?

Gambaran patologi anatomi dan histopatologis AI. (Sumber: Mansour et al., 2018)

Avian Influenza (AI) dikenal sebagai suatu virus yang ganas serta menyerang tanpa ampun. Kini setelah belasan tahun berlalu, apakah AI masih sama ganasnya seperti dulu?

Mengingat Kembali AI
AI adalah penyakit yang menyerang saluran pernapasan, reproduksi, pencernaan dan saraf pada beberapa jenis unggas. Penyakit ini disebabkan virus yang termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI terbagi atas beberapa subtipe berdasarkan kemampuan antigenitas dua protein permukaannya, yaitu Hemagglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA).

Hingga 2012 telah diidentifikasi terdapat 16 subtipe antingen Hx (H1-H15) dan 9 subtipe Nx (N1-N9) pada unggas. Protein Hx merupakan bagian penting dari virus untuk menempel pada tubuh ayam, sedangkan protein Nx berkaitan dengan kemampuan virus melepas virion (hasil replikasi) dari sel inang. Dari strukturnya, virus AI  merupakan virus yang memiliki amplop, sehingga sensitif terhadap semua jenis disinfektan tanpa pandang bulu.

Di Indonesia dikenal dua jenis AI yang menyerang unggas, yakni High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Kedua jenis AI ini sama-sama menimbulkan kerugian ekonomi bagi peternak.

HPAI adalah AI subtipe H5N1 yang menyebabkan kematian tinggi pada unggas, sedangkan jenis lain tergolong LPAI yang beredar di Indonesia adalah subtipe H9N2. Dikatakan LPAI dikarenakan serangan tunggal oleh AI tipe ini tidak menimbulkan kematian tinggi namun menyebabkan penurunan produksi cukup signifikan.

Selain berdasarkan subtipenya, virus AI juga terdiri dari beberapa clade. Clade merupakan istilah standar dari World Health Organization (WHO) untuk mendeskripsikan keturunan, genetik, galur, atau kelompok virus influenza. Banyaknya clade virus AI di dunia termasuk yang bersirkulasi di Indonesia, beberapa clade dipecah lagi menjadi beberapa sub clade dan sub sub clade.

Virus AI H5N1 yang bersirkulasi di Indonesia termasuk ke dalam HPAI yang terbagi menjadi dua clade, yaitu 2.1.3.2 dan 2.3.2.1c, serta didominasi clade 2.3.2.1c sejak 2015. Penyakit AI pada unggas yang disebabkan virus AI H5N1 clade 2.1.3 telah berlangsung di Indonesia selama lebih dari 10 tahun. Setelah itu muncul clade baru 2.3.2. Hingga 2021 mayoritas kasus yang terjadi menunjukkan bahwa kasus H9N2 terus mendominasi dibanding H5N1. Virus H9N2 tersebut termasuk ke dalam galur Y280.

Tipe Serangan AI
Kerugian pada kasus AI disebabkan karena… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2022. (CR)

MEWASPADAI KEMBALINYA AI

Dibutuhkan ketegasan agar AI tidak merebak. (Foto: Istimewa)

Avian Influenza (AI) pastinya akrab dan populer di telinga insan perunggasan Indonesia. Virus yang pernah meluluhlantahkan Indonesia pada 2003 silam dan menimbulkan trauma besar bagi sektor perunggasan kini hampir tidak terdengar lagi rimbanya, apa menghilang begitu saja?

Kasus Menyeruak di Belahan Dunia
Beberapa minggu belakangan di berbagai belahan dunia kasus AI nyatanya meningkat. Terbaru dilaporkan Israel dimana virus AI memakan korban bangau liar sebanyak 5.000 ekor. Otoritas berwenang di sana juga menyatakan sebanyak 300.000 lebih ayam petelur mati dan terkonfirmasi AI. Pemerintah Israel langsung memusnahkan 240.000 ekor ayam lainnya yang berada di sekitar lokasi yang terinfeksi. Subtipe virus yang dilaporkan menginfeksi beragam, mulai dari H5N1, H5N3, H5N6 dan H5N8 yang merupakan varian High Pathogenic Avian Influenza/HPAI dan berpotensi sebagai zoonosis.

Kementerian Pertanian Israel langsung mengisolasi kawasan yang terinfeksi AI. Selain itu memperketat lalu lintas unggas dan produk-produk perunggasan sementara dihentikan pemasarannya. Berdasarkan berita yang dirilis oleh Jerussalem post, dilaporkan bahwa kini diperkirakan Israel akan mengalami defisit telur konsumsi sebesar 14 juta butir/bulan dalam waktu dekat.

Hal serupa juga terjadi di beberapa Negara Eropa seperti Perancis, Republik Ceko dan Slovenia, dilaporkan mengalami outbreak AI. Kerugian ekonomi akibat wabah pun tak terhitung dan dipastikan pasokan protein hewani yang berasal dari ayam terancam.

Nasib sama juga dialami Negara Tirai Bambu, dimana ribuan jenis ternak unggas mati terinfeksi virus AI subtipe H5N6. Celakanya virus tersebut juga telah dilaporkan menginfeksi manusia. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) langsung mengeluarkan warning bagi para anggotanya terkait wabah AI yang menyeruak secara mendadak.

Bagaimana di Indonesia?
Menanggapi peringatan OIE dengan serius, Pemerintah Indonesia mengimbau para stakeholder perunggasan agar bersiap menghadapi AI, hal tersebut dikemukakan Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Drh Nuryani Zainuddin.

Nuryani mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2022. (CR)

MENELUSURI KEMBALI SEPAK TERJANG AI

Vaksinasi diperlukan dalam penanganan AI untuk mengurangi gejala klinis dan mortalitasnya, serta selalu lakukan monitoring vaksinasi. (Foto: Istimewa)

Avian Influenza (AI), merupakan penyakit yang paling mendapat perhatian serius banyak peternakan. Berbagai macam upaya dilakukan agar peternakan ayam terhindar dari penyakit yang masih mengancam hingga 2021.

Hasil kajian lapangan menurut berbagai sumber ahli, penyebab AI di Indonesia masih disebabkan oleh virus AI tipe A, sub tipe H5N1 dan HPAI (High Patogenic Avian Influenza). Tingkat homologi (susunan asam amino) antara isolat virus AI dari ayam di tahun 2003 dan 2021 sudah berbeda antara satu sampai dua nukleotida pada rangkaian susunan asam aminonya, terutama pada susunan cleavage-site nya.

Saat ini sebagian besar gejala klinis dan kerusakan alat tubuh yang disebabkan AI berbeda dengan yang ditemukan pada awal wabah penyakit ini pada 2003. Menurut pengamatan para ahli, ada dua bentuk klinis Avian Influenza, HPAI ganas dengan kematian tinggi (sulit dibedakan dengan Newcastle Disease/ND) dan HPAI ringan dengan kematian rendah. Kedua bentuk klinis tersebut masih disebabkan oleh HPAI.

Gejala HPAI ganas ditandai dengan ayam terlihat lesu, kadang terlihat warna kebiruan pada jengger, pial, sekitar muka, dada, tungkai atau telapak kaki. Dapat terlihat gangguan pencernaan, produksi dan saraf. Peningkatan angka kematian (20-40% atau lebih). Pola kematian pada AI berbeda dengan pola kematian ND. Pada Avian Influenza, grafik tingkat kematian meningkat lebih tinggi dan dapat merupakan kelipatan jumlah kematian sebelumnya. Pada ayam petelur, produksi telur terhenti atau sangat menurun.

Gejala klinis HPAI bentuk ringan tersifat dengan adanya penurunan produksi telur yang drastis. Biasa ditemukan pada kelompok ayam dengan titer hasil antibodi yang rendah. Ayam mengalami depresi ringan atau tanpa gejala. Kadang terjadi gangguan pernapasan. Pada layer terjadi juga penurunan produksi telur, baik pada kuantitas maupun kualitas.

Pengaruh HPAI bentuk ringan pada ayam petelur menyebabkan gangguan kualitas telur, berat, ukuran, kerabang, yolk dan albumin. Gangguan tipe penyakit HPAI ringan menyebabkan ayam mudah terkena berbagai penyakit, khususnya ND dan IB. Gangguan respon terhadap pengobatan menjadi rendah, terutama disebabkan karena hati sebagai organ metabolisme utama mengalami gangguan.

Faktor yang Memengaruhi Kejadian AI
Untuk meningkatkan keberhasilan penanggulangan penyakit AI, peternak harus memperhatikan dan mengevaluasi beberapa faktor yang dapat memengaruhi kejadian AI pada suatu peternakan atau wilayah, yaitu... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2022.

Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264 JAKARTA
Telp: 021-8300300

SEPAK TERJANG AVIAN INFLUENZA DI INDONESIA

Serangan AI menyebabkan kerugian besar di peternakan. (Sumber: British Poultry)

Penyakit viral pada unggas khususnya broiler dan layer terus menjadi kendala peternak yang harus diberikan perhatian lebih. Avian influenza (AI) merupakan salah satu penyakit viral pada unggas yang selalu menjadi momok menakutkan sepanjang penyakit ini pertama kali menginfeksi unggas di Indonesia pada 2003.

Penyakit AI kini menjelma menjadi penyakit viral yang sulit dikendalikan apalagi dimusnahkan. Hal ini terbukti sudah 18 tahun penyakit ini masih sering ditemukan di sentra-sentra peternakan ayam di Indonesia. Kejadian penyakit AI dari masa ke masa mengalami perbedaan yang signifikan. Mulai dari gejala klinis yang ditimbulkan, tingkat mortalitas dan yang paling mencolok adalah perbedaan jenis virus AI yang menginfeksi.

Awal pertama kali virus AI menginfeksi gejala klinis yang khas ditemukan adalah jengger dan kaki yang kebiruan, namun saat ini gejala klinis tersebut sangat jarang sekali ditemukan. Mortalitas ayam akibat infeksi virus AI dulu dapat mencapai 100%, sedangkan saat ini dengan adanya program vaksinasi AI, mortalitas menjadi menurun 5-40% tergantung pada program vaksinasi AI yang dilakukan dan biosekuriti.

Berdasarkan hasil analisis genetik virus AI yang pertama kali ditemukan masuk dalam subtipe AI H5N1 clade 2.1.3, seiring dengan perkembangannya pada 2012 muncul AI baru yang berbeda sub clade yaitu AI subtipe H5N1 clade 2.3.2 yang awalnya di isolasi dari bebek kemudian menyerang semua jenis unggas. Virus AI subtipe H5N1 clade 2.3.2 inilah kemudian mendominasi infeksi yang terjadi pada unggas yang disebabkan oleh virus AI H5N1 pada 2015 hingga dipenghujung 2021. Walaupun demikian ditemukan materi genetik yang bervariasi meski dalam satu clade 2.3.2 ditandai dengan adanya beberapa sub clade 2.3.2.1c dengan jarak materi genetik antar strain 1-6%.

Di Indonesia, selain virus AI subtipe H5N1 (yang bersifat High Pathogenic Avian Influenza/HPAI) juga teridentifikasi… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2022.

Ditulis oleh:
Ir Syamsidar SPt MSi IPM
Marketing Support PT Sanbio Laboratories

MENCERMATI RAGAM PENYAKIT DAN RAMALANNYA DI 2022

Penyakit menjadi hambatan dalam budi daya unggas. (Foto: Dok Infovet)

Salah satu hambatan dalam industri peternakan unggas khususnya sektor budi daya adalah keberadaan penyakit. Baik penyakit yang sifatnya infeksius maupun non-infeksius, semuanya bisa jadi biang keladi kerugian bagi peternak. Menarik untuk dicermati ragam penyakit yang menghampiri di tahun ini dan bagaimana prediksinya ke depan.

Perunggasan sebagai industri terbesar di sektor peternakan Indonesia tentunya paling menjadi sorotan. Perlu dicatat, bahwa Indonesia merupakan produsen telur terbesar sedunia dan produsen broiler nomor 11 dunia, diperkirakan sekitar 4 juta orang bekerja di sektor perunggasan (Dirkeswan, 2021).

Oleh karena itu, segala macam hambatan termasuk penyakit harus bisa dikendalikan agar dapat memaksimalkan produksi. Tiap tahunnya, kejadian penyakit selalu terjadi dan jenisnya pun juga beragam, baik infeksius maupun non-infeksius. Sebagai negara tropis, Indonesia menjadi tempat yang nyaman bagi berbagai jenis mikroorganisme patogen. Tentunya para stakeholder mau tidak mau harus berusaha survive dari hambatan ini.

Perlu diingat bahwa kejadian penyakit berhubungan dengan performa dan produktivitas. Kedua aspek itu akan langsung terkait pada nilai keuntungan yang didapat. Jadi, apabila peternak mampu mencegah terjadi penyakit, sudah pasti mendapat keuntungan lebih baik.

AI Menyeruak di 2021
Avian Influenza (AI) kembali mengudara di beberapa bulan terakhir di 2021, beberapa negara di Eropa dan Asia kena getahnya. Di Inggris dilaporkan virus AI H5N6 menyebabkan ratusan unggas mati dan ribuan lainnya harus dimusnahkan. Sementara di Norwegia virus AI H5NI memakan korban hingga 7.000 ekor ayam.

Korea Selatan juga terancam dengan keberadaan virus AI, ribuan unggas mati karena AI dan 770 ribu lainnya dimusnahkan. Sedangkan di Negeri Sakura sekitar 143.000 unggas harus dimusnahkan karena ratusan lainnya positif AI. Bahkan di China juga dilaporkan sebanyak 21 orang terinfeksi AI dari subtipe H5N6.

Pemerintah Indonesia sudah mewanti-wanti stakeholder perunggasan agar bersiap menghadapi AI, hal tersebut dikemukakan Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Drh Nuryani Zainuddin.

Nuryani mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat edaran nomor 08113/PK.320/F/11/2021 terkait kewaspadaan nasional terhadap potensi masuknya AI ke Indonesia. “Kami meminta stakeholder agar lebih waspada, jangan sampai wabah kembali menyeruak seperti beberapa tahun lalu, dimana kondisi perunggasan kita luluhlantah akibat AI,” tutur Nuryani.

Ia mengatakan… Selengkanya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2021. (CR)

DITJEN PKH MENGIMBAU WASPADAI PENINGKATAN KASUS AI

Laporan FAO menyebut bahwa ada potensi peningkatan dan penyebaran penyakit AI ke wilayah Eropa, Afrika dan Asia. (Foto: Dok. Infovet)

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari OIE WAHIS, beberapa laporan kejadian Avian Influenza (AI) subtipe H5Nx (HPAI/High Pathogenic Avian Influenza) pada unggas dibeberapa negara diantaranya Jerman, Republik Ceko, Finlandia, Denmark dan Rusia dengan kecenderungan peningkatan kasus.

Laporan FAO menyebut bahwa ada potensi peningkatan dan penyebaran penyakit ke wilayah Eropa, Afrika dan Asia berkaitan dengan musim migrasi unggas selama musim dingin 2021-2022. Untuk itu diperlukan tidakan antisipasi untuk mencegah penyebaran dan meluasnya kasus tersebut di Indonesia dan diperlukan rencana kontigensi dalam upaya kesiagaan munculnya AI subtipe H5Nx.

Melalui Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bernomor 08113/PK.320/F/11/2021 pada 8 November 2012, tentang peningkatan kewaspadaan HPAI subtipe H5Nx dan subtipe lainnya, serta penyakit African Swine Fever (ASF), mengimbau kepada para pejabat dan dinas, serta balai terkait untuk melakukan analisis risiko pemasukan unggas dan produknya ke Indonesia.

“Memantau dan melaporkan update dugaan AI H5Nx dan subtipe lainnya melalui iSIKHNAS. Menfasilitasi pelatihan diagnosis AI, menyiapkan sarana dan prasarana pengendalian dan penanggulangan untuk mengantisipasi masuknya AI H5Nx dan subtipe lainnya. Melakukan analisis hasil surveilans sebagai bahan kebijakan dalam penentuan program pengendalian AI,” kata Surat Edaran tersebut.

Hal lain yang juga ditekankan dalam surat tersebut adalah memperketat pengawasan pemasukan unggas dan produknya dari negara-negara yang berpotensi terinfeksi AI, meningkatkan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) risiko pemasukan virus AI.

Surat Edaran Ditjen PKH terkait peningkatan kewaspadaan AI.

Untuk balai besar penelitian veteriner juga diimbau melakukan penelitian AI subtipe H5Nx, melakukan koordinasi dengan pejabat otoritas veteriner dan balai besar veteriner/balai veteriner terkait dugaan infeksi dan pengujian AI subtipe H5Nx. Juga imbauan kepada para asosiasi bidang peternakan dan kesehatan hewan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya virus AI dan berkoodinasi dengan otoritas kesehatan hewan setempat. (INF)

CEGAH VIRUS DI KANDANG AGAR TIDAK VIRAL!

Vaksinasi, salah satu upaya mencegah penyebaran virus. (Foto: Istimewa)

Dua tahun sudah dunia di teror wabah penyakit viral (COVID-19). Layaknya manusia, hewan pun bisa terserang penyakit yang disebabkan oleh virus. Beberapa diantaranya menyebabkan kerugian ekonomis bahkan yang bersifat zoonosis layaknya Avian Influenza (AI) dapat menyebabkan ditutupnya lalu lintas hewan antar negara dan kepanikan massal.

Seperti diketahui, virus merupakan mikroorganisme yang familiar dan sangat sering didengar, namun tidak dapat dilihat secara kasat mata. Dalam hal penyakit unggas, beberapa jenis virus sangat berbahaya apabila menginfeksi unggas, misalnya saja Newcastle Disease (ND). Maka dari itu, dibutuhkan strategi khusus dalam menangkal ancaman penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus.

Musuh yang Tak Kasat Mata
Tanpa disadari keberadaan virus memang sudah ada di lingkungan. Di tanah, kandang, air, sapronak, pakaian, alat transportasi dan lain sebagainya, jika dilihat secara mikroskopis pasti akan terdapat virus. Tidak seperti bakteri, virus bisa dikatakan benda hidup juga benda mati. Hal ini karena ketika berada di lingkungan, virus mampu melakukan “hibernasi” atau disebut dorman. Namun, jika virus ada pada inang dan inang tersebut merupakan specific host-nya, maka ia akan menginfeksi dan menyebabkan penyakit. Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Prof I Wayan Teguh Wibawan, yang juga konsultan perunggasan, prinsip ini mutlak harus dipahami peternak.

“Kan sering di peternak kita dengar dari mulut mereka, kalau ditanya buat apa pakai antibiotik ini-itu, mereka masih banyak yang bilang kalau antibiotik bisa ngobatin ND, Gumboro, itu kan salah,” paparnya. Oleh karena itu, Wayan mengimbau para dokter hewan perunggasan agar lebih mendidik peternak supaya tidak salah kaprah.

Selain itu, virus merupakan mikroorganisme yang sulit dibunuh, beberapa jenis virus kata Wayan, dapat hidup dalam suhu tinggi dan rendah. Apabila keadaan lingkungan tidak menguntungkan, virus tidak mati melainkan dorman sampai ia bertemu inangnya dan barulah virus aktif menginfeksi.

Belum lagi sifat adaptasi virus yang luar biasa hebat, adaptasi yang dimaksud Wayan yakni... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2021. (CR)

PENYAKIT VIRUS: TIDAK MENGENAL MUSIM

Serangan penyakit viral pada ternak broiler modern tak kenal musim. (Foto: Dok. Infovet)

Beternak ayam memang susah-susah gampang, mungkin begitulah keluhan yang sering didengar dari beberapa peternak. Berbagai aspek menjadi alasan dalam sulitnya beternak, salah satunya penyakit. Peternak sudah tidak asing lagi dengan penyakit-penyakit seperti Avian Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), Gumboro, Marek’s dan lain sebagainya.

Selain itu, ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit, misalnya perubahan cuaca yang tidak menentu dan ekstrem, sanitasi dan biosekuriti yang kurang baik, serta kesalahan dalam manajemen pemeliharaan dapat menyebabkan ayam lebih sering terinfeksi penyakit.

Mengantisipasi Musim Kering
Berdasarkan lokasi dan posisinya, Indonesia merupakan Negara tropis dimana hanya terdapat dua musim, hujan dan kemarau. Kedua musim tersebut memiliki potensi yang sama pada serangan penyakit.

Berdasarkan data terbaru BMKG (2021), puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada Agustus 2021. Hal tersebut disampaikan oleh Drh Eko Prasetyo dari Tri Group dalam sebuah webinar mengenai perunggasan. 

Menurut Eko, perubahan musim yang ekstrem dari musim penghujan menuju musim kemarau atau sebaliknya menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya serangan penyakit infeksius seperti virus, terutama bagi ayam broiler modern.

Hal ini tentu saja berkaitan dengan genetik broiler modern, dimana mereka memiliki beberapa karakteristik peka dengan pergantian suhu dan kelembapan di lingkungannya. “Jika terjadi perubahan suhu sangat ekstrem, misalnya di musim kemarau suhunya sangat tinggi dan perbedaan suhu antara malam dan siang mencapai lebih dari 8° C, bisa dipastikan ayam akan mudah stres,” tutur Eko.

Lebih lanjut, ketika terjadi pergeseran keseimbangan antara lingkungan, hospes (ayam) dan agen infeksius (bakteri, virus, parasit dan sebagainya), maka yang akan terkena dampak negatif adalah hospes. Terlebih lagi stres dapat mengakibatkan sistem imun ayam tidak bekerja maksimal.

Dijelaskan bahwa stres akan memicu sekresi hormon Adenocorticotropin pada kelenjar pituitary yang kemudian akan meningkatkan sekresi hormon Kortikosteron yang mempengaruhi fungsi sistem imun. Jika sudah begini penyakit akan mudah masuk karena imunosupresi.

Berdasarkan pengalama Eko, di musim kering alias kemarau ketika diawali adanya… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2021. (CR)

RATUSAN BURUNG PIPIT MATI MASSAL DI SUKABUMI, FLU BURUNG MEREBAK KEMBALI?

Burung pipit mati massal yang direkam warga


Warganet dibuat heboh dengan video viral kematian massal burung pipit yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat beberapa waktu yang lalu. Dalam video tersebut, belasan ekor burung pipit, bondol atau emprit tergeletak mati di sekitar kawasan pemukiman warga.

Dilansir dari laman teras.id, video viral ersebut dibagikan oleh akun YouTube Ganesha Adventure, Kamis 29 Juli 2021. Video berdurasi 55 detik yang direkam seorang pria itu menggambarkan sejumlah burung pipit mati tergeletak di lantai yang diduga di halaman rumah atau jalan pemukiman. "Fenomena alam langka, pagi-pagi waktu keluar lihat burung mati tidak tahu kenapa," kata si perekam.

Belum diketahui penyebab kematian massal burung ini. Firman Panthera, salah seorang aktivis lingkungan di Sukabumi menyebut ia masih berusaha mencari tahu lokasi video tersebut dan mengatakan bahwa fenomena ini merupakan tanda bahaya. "Jelas ini tanda bahaya bagi lingkungan karena ada kematian massal dari satwa yang sehari-hari hidup berdampingan dengan masyarakat," kata Firman.

Firman menyarankan instansi terkait secepatnya mencari tahu lokasi dalam video tersebut. Harus dipastikan penyebab kematiannya, karena dikhawatirkan berdampak pada lingkungan sekitar.

Jika penyebabnya adalah diracun, maka harus segera ditindaklanjuti karena bangkai burung pipit yang mati tersebut berada di pemukiman. "Di permukiman itu ada kucing, banyak anak-anak bermain, jadi harus disterilisasi, biar tidak berdampak kepada satwa bahkan manusia disekitar," katanya.

Anggota relawan Komunitas Konflik Satwa Liar Jabodetabek dan Sukabumi, Igor, mengatakan bahwa kemungkinan mati massalnya burung pipit ada tiga penyebab. Pertama, burung pipit tersebut memakan racun dari ladang sawah yang selesai di semprot kimia oleh petani. Namun, untuk memastikan hal itu tinggal diukur jarak dari lokasi penemuan bangkai burung pipit ke sawah.

“Indikasi paling masuk akal dugaannya ya karena makan berbahan kimia dari ladang sawah milik petani. Burung itu biasanya berkoloni, ketika memakan makanan yang sudah disemprot kimia otomatis akan mati," katanya seperti dikutip dari laman sukabumiupdate.com partner Teras.id, 29 Juli 2021.

Kemungkinan kedua adalah terpapar virus Covid-19 yang selama ini sudah mengarah ke satwa liar. Dan kemungkinan yang ketiga adalah karena faktor alam, atau sebuah pertanda semacam fenomena alam yang akan terjadi bencana besar di wilayah tersebut.

“Indikasi-indikasi ini tentunya perlu lebih lanjut diteliti, tetapi saya lebih kepada indikasi burung pipit memakan racun dari ladang petani karena itu hal yang paling mungkin,“ ujarnya.

Sementara itu Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi Drh Asep Kurnadi mengatakan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Menurutnya dua faktor yang paling mungkin menjadi biang keladi kejadian tersebut adalah Serangan AI dan Keracunan pestisida.

"Hingga kini kami sudah turun ke lapangan dan mengambil sampel, untuk pemerikasaan AI sampel yang diambil sudah tidak memungkinkan untuk diperiksa karena sudah membusuk, sementara dugaan kuat kami mereka keracunan pestisida yang digunakan oleh petani, nanti kita lihat hasil surveilansnya," tutur Asep. (CR)

RUSIA LAPORKAN PENULARAN AI H5N8 KE MANUSIA

Avian Influenza H5N8 melanda Rusia

Rusia melaporkan kasus pertama penularan avian influenza strain  H5N8 dari burung ke manusia. Wabah flu burung dengan strain ini dilaporkan tengah terjadi di beberapa negara, namun sejauh ini hanya ditemukan pada unggas.

Virus AI dengan strain H5N8 antara lain mewabah di wilayah Rusia, Eropa, China, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Strain yang menular ke manusia sejauh ini hanya H5N1, H7N9, dan H9N2. Sebanyak 7 pekerja peternakan unggas di Rusia bagian selatan terinfeksi H5N8 pada wabah Desember lalu. Para pekerja saat ini sudah membaik.

"Situasi ini tidak berlanjut," kata Anna Popova, kepala lembaga pengawas kesehatan konsumen Rusia, Rospotrebnadzor, yang melaporkan temuan tersebut ke WHO, dikutip dari Reuters, Minggu (21/2/2021).

Dalam sebuah email, perwakilan WHO di Eropa mengatakan telah menerima laporan tersebut. Diakui, ini adalah pertama kalinya strain tersebut menular dari hewan ke manusia.

"Informasi awal menunjukkan bahwa kasus yang dilaporkan adalah pekerja terpapar dari kawanan burung," tulis email tersebut.

"Mereka tidak bergejala dan tidak ada penularan dari orang ke orang yang dilaporkan," lanjutnya.

Sebagian besar kasus infeksi avian influenza pada manusia dikaitkan dengan kontak langsung dengan unggas hidup maupun mati. Daging unggas yang dimasak dengan benar disebutkan aman untuk dikonsumsi. (reuters/CR)


PERKEMBANGAN KASUS AVIAN INFLUENZA DAN SOLUSINYA

Vaksinasi masih menjadi andalan dalam mencegah AI. (Sumber: Istimewa)

Kasus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) masih banyak terjadi di dunia. China merupakan negara yang paling banyak mengalami wabah yang disebabkan oleh beberapa strain virus HPAI (H5N1, H7N9, H5N6 dan H5N8) dengan penyebaran yang semakin luas pada unggas dan juga korban pada manusia.

Di Indonesia, hingga saat ini kasus Avian Influenza (AI) pada unggas telah menyebar keseluruh provinsi. Berdasarkan laporan dari Team Veterinary Representative PT Romindo Primavetcom, kasus AI masih terjadi di Kalimantan (dua kasus), Medan (tiga kasus), Jawa Timur (dua kasus) dan Tangerang (satu kasus).

Penyakit AI dilaporkan pertama kali muncul di Indonesia pada 2003 silam, penyakit tersebut disebabkan oleh HPAI strain H5N1 clade 2.1. Sampai saat ini Kasus AI telah menyebar di seluruh provinsi, dan dikarenakan dampaknya yang merugikan, maka AI dimasukan dalam 25 penyakit hewan menular strategis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/4/2013.

Virus AI dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu bentuk akut yang disebut dengan HPAI dan yang bentuk ringan disebut Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Virus pada unggas yang mempunyai subtipe H5 atau H7 telah diketahui mempunyai hubungan erat dengan penyakit yang bersifat patogenik, sebaliknya banyak juga virus influenza A subtipe H5 atau H7 yang bersifat tidak patogen (Tabbu, 2000).

Sebagian besar ahli penyakit unggas menyatakan penanggulangan AI masih sulit mencapai hasil yang diinginkan. Beberapa hal yang menjadi hambatan untuk bebas dari penyakit AI diantaranya sistem pemasaran unggas yang sebagian besar belum tertata dengan baik. Dengan sistem pemasaran yang ada saat ini, ayam afkir yang diduga terjangkit AI dapat mencemari tempat penampungan di pasar tradisional dan mencemari alat transportasi yang berasal dari pasar tradisional tersebut. Sehingga pada saat kembali ke peternakan, alat-alat transportasi tersebut akan mencemari peternakan karena tidak melalui proses sanitasi dan desinfeksi yang baik.

Vaksin inaktif AI saat ini sering menjadi “kambing hitam” kegagalan program penanggulangan penyakit. Perdebatan penggunaan vaksin yang efektif masih sering didiskusikan.

Program vaksinasi pada peternakan petelur komersial dan peternakan ayam pembibit saat ini sudah berjalan dan terprogram dengan baik. Namun, masih ada empat kelompok unggas yang belum melakukan vaksinasi terhadap AI, yaitu kelompok ayam broiler (pedaging), ayam pejantan (jantan jenis ayam petelur), ayam kampung dan jenis unggas lain (bebek, angsa, puyuh). Hal tersebut mengakibatkan kurang efektifnya program vaksinasi terhadap AI karena jumlah populasi ayam terbesar di Indonesia adalah populasi ayam broiler, ayam kampung dan unggas lain dibandingkan dengan populasi ayam petelur komersial dan ayam pembibit.

Penanggulangan AI dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Terdapat tiga hal yang dapat dilakukan di peternakan, yaitu tatalaksana peternakan yang optimal, vaksinasi dan biosekuriti.


Karakteristik Patologi Anatomi AI.

Program Vaksinasi AI
Perlu dipahami bahwa pemberian vaksinasi AI tidak dapat serta-merta secara langsung menghilangkan tantangan virus dan memberikan jaminan bahwa ayam bebas dari penyakit AI.

Tujuan vaksinasi terhadap AI adalah untuk mengurangi gejala klinis, mengurangi gangguan produksi telur, menurunkan mortalitas yang disebabkan virus AI, mengurangi populasi ayam yang rentan dan mengurangi pencemaran/shedding virus di lokasi peternakan.

Prinsip dasar pemakaian vaksin AI adalah antigen vaksin harus dapat memberikan stimulasi kekebalan yang optimal sebelum virus asal lapang menginfeksi tubuh ayam. Kemudian, vaksin harus homolog dengan sub tipe H atau subtipe H dan N virus asal lapang. Karakteristik vaksin AI yang ideal (menurut Suarez, 2000) vaksin dapat meransang respon kekebalan humoral (HMI-humoral mediate immunity) dan kekebalan seluler (CMI-cell mediate immunity), sehingga perlindungan terhadap ayam cepat terbentuk.

Vaksin AI juga harus aman untuk unggas dan aman untuk diproduksi. Master seed berasal dari virus LPAI, serta waktu yang diperlukan untuk stimulasi kekebalan singkat sehingga cocok  digunakan pada ayam pedaging.

Kriteria lain yang diharapkan pada vaksin AI adalah harga relatif tidak mahal, mudah diberikan pada ayam, perlindungan efektif dan dapat dicapai dengan dosis tunggal untuk ayam semua umur.

Pencegahan penyakit terhadap AI umumnya sudah dilakukan oleh peternak. Program standar yang telah dilakukan peternak ayam petelur adalah dengan melakukan vaksinasi dengan vaksin inaktif sebanyak minimal tiga kali. Bahkan di beberapa wilayah padat peternakan, vaksinasi inaktif telah dilakukan 3-4 kali pada periode grower dan 1-2 kali pada periode bertelur. 

Pelaksanaan Vaksinasi AI
Teknik alias cara pemberian vaksin juga mempengaruhi hasil vaksinasi. Pemberian vaksin dengan reaksi stres yang minim dapat meningkatkan ransangan kekebalan yang tinggi. Selain itu metode vaksinasi, program vaksinasi, vaksinator dan peralatan vaksinasi beserta sarana/prasarana peternakan ayam, meliputi umur/variasi umur dan status kesehatan, kesemuanya memegang peranan dalam keberhasilan penanggulangan AI.
Untuk mengurangi... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2020)


Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264
JAKARTA. Telp.021 8300300

AGAR AI TIDAK KERASAN

Wabah AI di Indonesia kini tidak hits seperti pada masa awal mewabah. Namun hal tersebut bukan berarti peternak bisa lengah terutama dalam unsur pemeliharaan ayam. (Sumber: Istimewa)

Sebagai negara dengan iklim tropis, pastilah mikroorganisme patogen kerasan tinggal di Indonesia. Bukannya tanpa daya dan upaya, berbagai cara telah dilakukan oleh seluruh stakeholder dalam mengendalikan Avian Influenza (AI) dan teman-temannya. Lalu seberapa efektifkah upaya tersebut?

Memang jika dilihat lebih lanjut persoalan wabah AI di Indonesia kini tidak hits seperti pada masa awal AI mewabah. Namun hal tersebut bukan berarti peternak bisa lengah terutama dalam unsur pemeliharaan. Semakin zaman berubah, bibit-bibit penyakit juga akan berubah menyesuaikan dirinya dalam upaya survival layaknya manusia. Oleh karenanya, upaya pencegahan perlu dilakukan secara maksimal, berkesinambungan dan konsisten.

Upaya Pencegahan AI 
Dalam mengendalikan AI, idealnya memang harus dilakukan secara menyeluruh. Stamping out dan depopulasi selektif seharusnya dilakukan, namun risikonya akan ada kerugian ekonomi dari peternak akibat depopulasi akan sangat besar, pemerintah juga pasti tidak akan mampu memberikan kompensasi. Pada saat AI mewabah 2003 lalu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 96/Kpts/PD.620/2/2004 telah menetapkan sembilan langkah strategis dalam mengendalikan AI, diantaranya: 

1. Meningkatkan biosekuriti pada semua aspek manajemen
2. Depopulasi secara selektif kelompok ayam/unggas yang terinfeksi virus AI
3. Stamping out kelompok ayam/unggas pada daerah infeksi baru
4. Vaksinasi terhadap AI
5. Kontrol lalu lintas unggas, produk asal unggas dan produk sampingannya
6. Surveilans dan penelusuran kembali
7. Mengembangkan penyadaran masyarakat
8. Re-stocking
9. Monitoring dan evaluasi

Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan bahwa pada dasarnya pemerintah juga menerapkan konsep… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2020) (CR)

PERKEMBANGAN KASUS AI TERKINI

Penggunaan vaksin kill AI H5N1 sangat membantu memberi perlindungan dan tentu saja didukung dengan antigenic matching dari seed vaksin kill yang digunakan. (Foto: Dok. Infovet)

Akhir-akhir ini banyak diperbincangkan maraknya kasus penurunan produksi telur baik di ayam layer komersial ataupun di ayam pembibit. Banyak informasi yang bermunculan dengan merebaknya kasus tersebut dan kadangkala mengarah ke virus tertentu (H9N2 misalnya), tanpa didasari peneguhan diagnosis rinci mulai dari anamnesa, pemeriksaan gejala klinis, patologis dan didukung dengan pemeriksaan laboratorium. Untuk itu penulis akan mencoba menyegarkan kembali dengan memberikan update informasi perkembangan terkini AI (Avian influenza) yang menyebabkan gangguan produksi dan kematian tinggi di Indonesia berikut langkah-langkah diagnosisnya.

Peta kasus penyakit di wilayah Sumatra dan Jawa.

Data dari PT Ceva Animal Health yang dikumpulkan sepanjang 2019 (sampai November) menunjukkan kejadian AI pada peternakan layer komersial masih banyak terjadi di wilayah Jawa Timur. AI menduduki peringkat kedua setelah penyakit ND (Newcastle disease). Hal ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi masyarakat peternak untuk lebih waspada dan fokus dalam pengendaliannya.

Virus AI dari berbagai subtipe dapat menimbulkan penyakit dengan derajat keparahan yang berbeda, mulai dari penyakit yang menyebabkan mortalitas tinggi dengan kematian mendadak tanpa didahului gejala klinis tertentu, atau hanya menunjukan gejala ringan sampai pada bentuk penyakit yang sangat ringan atau tidak tampak secara klinis.

Penyakit AI sendiri  akhir-akhir  ini menjadi primadona dan banyak diperbincangkan, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Pada Agustus 2017 lalu, pemberitaan tentang teridentifikasinya virus AI H5N1 di Filipina juga tidak luput menjadi perbincangan, sedangkan di Indonesia sendiri virus H9N2 lebih banyak dibicarakan porsinya dibandingkan H5N1, karena ada beberapa laporan baru mengenai teridentifikasinya virus ini di lapangan. Penyakit AI secara garis besar dikategorikan menjadi dua, yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), misal H5N1 dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI), misal H9N2.

Highly Pathogenic Avian Influenza 
Sudah lama diketahui, bahwa ayam petelur yang mendapatkan serangan virus H5N1 akan mengalami gangguan produksi telur. Variasi gejala dan tingkat kematian yang muncul pada ayam masa produksi sangat tergantung kekebalan ayam, kepadatan virus yang menantang dan kondisi umum ayam.

Virus H5N1 akhir ini didominasi dari grup clade 2.3.2.1 yang menjadi ancaman bagi ayam petelur di Indonesia. Tidak jarang gejala yang muncul hanya penurunan produksi telur tanpa ada kematian, hal ini salah satunya diakibatkan… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2020)

Ditulis oleh:
Drh Sumarno, Senior Manager AHS
& Han han, praktisi peternakan layer Rehobat

AVIAN INFLUENZA, BAGAIMANA RIWAYATMU KINI?

Walau serangan AI tidak seganas dulu, namun kewaspadaan terhadapnya harus selalu dilakukan. (Sumber: Istimewa)

Tiada hari tanpa Corona, setidaknya itulah yang masih menjadi headline di media massa beberapa waktu belakangan ini. Namun begitu, Indonesia pernah beberapa kali dikejutkan dengan adanya outbreak penyakit, yakni Avian Influenza (AI). Namun kini AI terasa menguap, kemanakah ia kini?

Sejak 2003 lalu AI telah eksis di Indonesia, saat itu terjadi wabah penyakit yang menyebabkan kematian mendadak pada unggas dengan gejala klinis seperti penyakit tetelo (Newcastle Disease/ND). Sampai akhirnya kemudian didalami bahwa wabah tersebut disebabkan oleh penyakit baru bernama AI dari subtipe H5N1.

AI memiliki sejarah panjang di Indonesia, jenisnya pun juga bervariasi bukan hanya subtipe H5N1 saja. Secara perlahan tapi pasti, AI menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Awalnya mungkin hanya virus dari subtipe H5N1, kemudian ada varian clade dari H5N1, hingga kini ada juga H9N2 yang disebut-sebut sebagai low pathogenic AI, dimana awalnya wabah H9N2 terjadi pada ayam petelur dan kini H9N2 juga “doyan” menginfeksi broiler.

Tak Seganas Dulu
Divisi Technical Education & Consultation PT Medion, Drh Christina Lilis, menyatakan bahwa penyakit AI H9N2 yang dulunya ditemukan di layer, sekarang sudah ditemukan di broiler. Biasanya memasuki umur 21 hari sampai puncak produksi, penyakit H9N2 ini akan menyerang. Ia juga menegaskan, di luar negeri virus AI H9N2 ini lebih menjadi momok ketimbang H5N1.

Lebih lanjut dijelaskan bahwasanya kejadian AI di Indonesia saat ini masih ada walaupun kasusnya tidak semarak dulu pada masa awal “kejayaan” AI.

“Kami ada beberapa laporan dari tim kami, di berbagai daerah ada, cuma tidak heboh seperti dulu, dan lagi kasusnya bisa dibilang cenderung turun, namun begitu kita tetap harus waspada,” tutur Lilis.

Hal senada juga disampaikan oleh salah satu peternak layer asal Blitar, Sunarto. Ia mengatakan bahwa AI masih ada di beberapa wilayah di daerahnya. Ia mengonfirmasi bahwa beberapa titik di Blitar masih dihantui AI, baik H5N1 maupun H9N2.

“Bukan di peternakan saya, tetapi di sekitaran sini masih ada, walaupun enggak banyak. Saya tahu itu AI karena ada hasil laboratoriumnya dan kata dokter hewannya begitu,” ujar Sunarto.

Ia juga menyebut bahwa kemunculan AI dikhawatirkan akibat adanya perubahan dari musim kemarau ke penghujan. Selain itu adanya heat stress yang muncul akibat cuaca panas yang mencapai suhu 36-39 °C yang terjadi beberapa bulan lalu, sehingga memicu munculnya penyakit AI di wilayah Blitar.

Kendati demikian, Sunarto juga mengonfirmasi bahwa kasus AI yang terjadi hanya tentatif saja. Karena ketika begitu para peternak mendengar ada populasi ayam yang mati mendadak atau turun produksinya, mereka langsung… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2020) (CR)

KATA SIAPA AYAM KAMPUNG KEBAL FLU BURUNG?

Ayam kampung masih sangat diminati masyarakat. (Sumber: Istimewa)

Ayam kampung, atau biasa disebut ayam Buras (bukan ras) dan kini populer dengan ayam lokal, memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ayam kampung juga identik dengan sistem pemeliharaan non-intensif. Dikala wabah AI (Avian influenza) atau Flu burung melanda, bagaimana seharusnya memelihara ayam kampung? Benarkah mereka kebal terhadap serangan AI?

Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tinggi, termasuk di sektor ayam asli (native chicken). Nataamijaya (2000) mencatat, terdapat 32 galur ayam lokal asli yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi ayam pedaging, petelur, petarung dan ayam hias.

Bukan hanya itu, bahkan kini ayam lokal telah menjadi perhatian pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Melalui program Bekerja (Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera), pemerintah membagi-bagikan ayam lokal kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Dibalik segala pesonanya, ada satu hal yang menjadi sorotan, yakni mengenai kekebalan alami terhadap virus AI yang dimiliki oleh ayam lokal Indonesia, penulis mencoba menggali informasi tersebut untuk membuka cakrawala bagi masyarakat perunggasan.

Tahan AI, Mitos atau Fakta?
Sudah menjadi hal yang umum bahwa masyarakat Indonesia khusunya di pedesaan banyak memelihara ayam kampung. Pemeliharaan biasanya dilakukan dengan sistem non-intensif (diumbar tanpa diberi makan), maupun semi intensif (dikandangkan seadanya, diumbar dan diberi makan). Selain minim perawatan, alasan yang biasanya terlontar dari masyarakat adalah ayam tersebut tahan penyakit.

Berdasarkan pengalaman dari beberapa orang tetangga, serta rekan-rekan peternak ayam kampung, memang perawatan terutama program medis yang diberikan kepada ayam kampung bisa dibilang minim. Beda halnya dengan program kesehatan ayam broiler dan layer berupa vaksin, suplementasi dan lain sebagainya, ayam kampung justru kebalikannya. Mereka cukup diumbar, diberi makan yang cukup dan dipanen telur, maupun dagingnya.

Meskipun produktivitasnya rendah, ayam lokal Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. Maeda et al. (2006), menyatakan bahwa 63% ayam lokal Indonesia tahan terhadap virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) karena memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih tinggi. Secara genetik, ketahanan terhadap virus, termasuk virus ND (Newcastle disease) salah satunya dikontrol oleh gen Mx.

Berdasarkan data dari Gen Bank dengan nomor akses DQ788615, berada di kromosom 1 dan bekerja mentranskripsi protein Mx yang berfungsi sebagai promotor ketahanan terhadap infeksi virus. Gen Mx dilaporkan dapat digunakan sebagai penciri genetik untuk sifat ketahanan tubuh ayam terhadap infeksi virus, seperti virus AI dan ND.

Hasil penelitian Maeda tersebut menjadi rujukan bahwa sebagian besar (63%) ayam lokal Indonesia tahan terhadap AI, lalu bagaimanakah dengan 37% lainnya? Itulah yang harus dilindungi, selain berbicara mengenai pengembangan bisnis, bicara ayam lokal juga meliputi aspek populasi yang berujung pada pelestarian plasma nutfah. Tentunya, Indonesia tidak ingin plasma nutfahnya musnah karena wabah penyakit yang seharusnya bisa dicegah.

Vaksinasi atau Tidak?
Ada perbedaan pendapat diantara kalangan pelaku bisnis dan dokter hewan praktisi perunggasan mengenai hal tersebut. Beberapa peternak pembibit ayam lokal melakukan program kesehatan, terutama vaksinasi dalam pengendalian AI, namun ada juga yang tidak melakukannya.

Jika melihat ke belakang pada 2009 lalu, saat itu dilakukan penelitian oleh CIVAS (Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies) mengenai efektivitas vaksin AI terhadap ayam kampung di Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan dengan memberikan sebanyak 58.900 dosis vaksin A1 H5N1 produk lokal, dengan setiap ayam mendapat satu dosis. Penelitian dilakukan di peternakan ayam kampung di Kecamatan Cicurug dengan sampel tak mendapat perlakuan 0,05% dari jumlah populasi (sebagai pembanding). 

Penelitian terhadap ayam kampung pedaging dilakukan pada ayam umur 10 dan 30 hari. Diperoleh hasil geometri mean titer (gmt/tolak ukur kekebalan). Pada ayam umur 10 hari nilainya mencapai 21,4 gmt dan pada ayam umur 30 hari nilainya 22,8 gmt. Dari perhitungan statistik, perbandingan nilai gmt setelah vaksinasi dan sebelum tak menunjukkan perbedaan signifikan. Kesimpulannya, vaksinasi pada ayam kampung tetap berpengaruh terhadap titer antibodi, tetapi berjalan lambat. Penelitian yang dilakukan oleh Janovie et. al. (2014) juga mengungkapkan hasil yang serupa, bahwa vaksin AI tidak efektif dilakukan pada ayam kampung.

Pemberitaan di media massa pun tidak jauh berbeda, seperti baru-baru ini yang diberitakan bahwa ada 11 ekor ayam kampung milik peternak terinfeksi AI, dua diantaranya mati. Di beberapa daerah pun juga begitu, hanya beberapa yang mati dari ratusan atau bahkan ribuan ekor ayam kampung yang terserang AI. Hal tersebut juga merupakan indikasi bahwa ayam kampung relatif tahan terhadap serangan AI. Permasalahannya adalah jika sudah bicara AI, aspek yang diperhatikan bukan hanya kesehatan hewan saja, melainkan aspek sosial, politik dan ekonomi juga pasti ikut terpengaruh.

Bayangkan jika beternak ayam yang lokasinya berdekatan dengan peternakan lain yang pernah terjadi wabah, tentunya risiko penularan semakin besar. Belum lagi harga komoditi unggas yang hampir pasti selalu turun ketika isu AI berhembus. Itulah dampak besar yang ditimbulkan AI. Jangan lupakan pula kebijakan yang diambil akibat AI, tidak akan pernah ada test and slaughter semuanya sudah pasti stamping out

Adapun beberapa peternak yang mendukung program vaksinasi pada ayam kampung dengan pemeliharaan intensif menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

Rekomendasi Program Vaksinasi Ayam Kampung
Umur Ayam (Hari)
Vaksin yang Diberikan
4 atau 7
ND (Lasota)-IB (tetes mata) atau ND (Lasota)-AI killed (Optional)
14
Vaksin Gumboro*
24
Vaksin ND Clone*
30
Vaksin Gumboro (booster)
60
Vaksin ND-Lasota (booster)
Sumber: Sumber Rejeki Farm (2015).
Ket: *) Jarak setelah vaksin Gumboro sebenarnya mengikuti kondisi ayam. Apabila ayam
belum fit jangan dipaksakan vaksin kembali. Umur 24 dipilih jenis vaksin ND Clone (bukan ND LASOTA) karena sifat ND Clone lebih soft. Harapannya vaksin Gumboro sebelumnya berhasil dan ayam tidak terlalu stres.

Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli), Ade Zulkarnain, menyatakan sikap terkait hal tersebut. Menurutnya, kejadian di tahun-tahun lalu hendaknya dijadikan pelajaran.

“Kebetulan saya mengalami itu sewaktu AI menyerang ayam kampung, saat itu kita habis-habisan. Oleh karena itu, menurut saya penting sekali untuk melakukan vaksinasi,” kata Ade.

Ia menjelaskan, sebaiknya walaupun ada bukti penelitian bahwa ayam kampung kebal flu burung, vaksinasi tetap wajib dilakukan dalam rangka antisipasi.

Hal senada juga diutarakan seorang praktisi yang lama berkecimpung di dunia ayam kampung, Drh Miftahuddin. Menurut dia, lebih baik melakukan vaksinasi dalam rangka pencegahan.

“Kita enggak tahu juga kalau di daerah kita misalnya ada kasus AI sebelumnya, terus seberapa jauh lokasi peternakan lain dari peternakan kita, kualitas udara di situ bagaimana. Kita bisa mengukur kemampuan beternak kita (sudh efisien dan intensif atau belum). Nah, maka saya sarankan tetap dilakukan itu vaksinasi sembari mengikuti biosekuritinya diterapkan,” tutur Miftahuddin.

Perlu Dipahami
Miftahuddin juga melanjutkan bahwa sejatinya vaksinasi merupakan pilihan, mau dilaksanakan atau tidak tergantung penerapan peternaknya. Namun, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dan dipahami, diantaranya:

• Mempertahankan atau bahkan meningkatkan daya tahan tubuh ayam yang diperlihara dengan memberikan asupan nutrisi yang cukup dan seimbang sesuai dengan kebutuhan.

• Mereduksi faktor-faktor stres lapangan dengan memperhatikan kondisi dalam kandang sesuai dengan kebutuhan ayam, serta melaksanakan tata pemeliharaan ayam yang “lege-artis”, misalnya dengan memberikan ventilasi yang cukup, atau memperhatikan pola pemberian pakan yang baik dan benar, sehingga keseragaman ayam akan lebih baik.

• Mengimplementasikan cukup istirahat kandang (down time), menerapkan sistem pemeliharaan ayam yang “all in-all out” dan pelaksanaan sanitasi dalam kandang, serta lingkungan kandang secara terjadwal.

• Lakukan seleksi dan culling ayam-ayam yang lemah dan/atau terlihat sakit secara ketat untuk mencegah penyakit.

• Melakukan evaluasi hasil setiap program vaksinasi dengan uji serologis secara teratur, sehingga dinamika titer masing-masing flok ayam yang ada dapat dimonitor secara ketat dari waktu ke waktu (membuat baseline titer). ***

Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer