Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini One Health | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

FAO DAN KEMENTAN UNDANG BARA GELAR WORKSHOP AMR

Foto Bersama Para Peserta dan Trainer

Resistensi antimikroba (AMR) tentunya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Isu tersebut bahkan merupakan salah satu topik yang dibahas oleh para pemimpin dunia pada KTT G-20 di bali beberapa waktu yang lalu.

Indonesia sendiri masih berjuang dalam mengendalikan resistensi antimikroba. Dengan tujuan studi banding sekaligus berbagi pengalaman, FAO ECTAD Indonesia bersama Kementan melaksanakan kegiatan workshop mengenai AMR bertemakan MPTF - BARA Traning and Workshop di Hotel Aston Priority, Jakarta Selatan (23/5) lalu. Pesertanya merupakan semua stakeholder baik pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang medis, akuakultur, dan pertanian yang bersinggungan dengan penggunan antimikroba. 

Kasubdit POH Drh Ni Made Ria Isriyanthi yang hadir mewakili Direktur Kesehatan Hewan dalam sambutannya menyatakan rasa terima kasihnya kepada semua pihak yang telah mendukung keberlangsungan acara tersebut. Ia menyebut bahwa pelatihan ini merupakan upaya dari pemerintah dalam mengendalikan resistensi antimikroba.

"Kita berkolaborasi dengan BARA dan FAO juga bukan tanpa alasan, di Bangladesh kampanye AMR ini sangat masif, dan kita bisa mengambil hal - hal positif dari mereka," tutur Ria.

BARA (Bangladesh AMR Response Alliance) sendiri merupakan organisasi independen yang terdiri dari bermacam profesi yang berhubungan dengan medis seprti dokter, dokter hewan dokter gigi, apoteker, dan semua pihak yang berkecimpung di sektor keamanan pangan, akuakultur, dan pertanian secara luas.

Hal tersebut disampaikan oleh Jahidul Hasan selaku fasilitator / trainer dalam acara tersebut Pria yang berprofesi sebagai apoteker tersebut juga merupakan salah satu anggota BARA. Ia mengatakan bahwa BARA terbentuk sejak tahun 2018 atas keresahan mengenai resistensi antimikroba yang terjadi di Bangladesh.

Di negaranya, Jahidul mengatakan bahwa penggunaan antimikroba di berbagai sektor dapat dibilang sangat serampangan. Bahkan ia menyebut bahwa seorang profesor di satu rumah sakit besar di Bangladesh sampai terkaget - kaget bahwa bakteri yang diisolat dari rumah sakit tempatnya bekerja merupakan superbug alias bakteri yang resisten terhadap berbagai macam jenis antibiotik.

"Ini tentu sangat meresahkan, oleh karena itu kami berinisiatif membangun BARA. semua sektor kami rangkul, dokter, dokter gigi, dokter hewan, bahkan dari sektor akuakultur dan pertanian juga boleh, kami tidak membatasi keanggotaan kami, siapapun yang merasa terpanggil akan masalah ini boleh menjadi anggota kami," tuturnya.

Kegiatan yang dilakukan BARA antara lain melakukan penyuluhan, pendampingan, konsultasi, dan pelatihan ke masyarakat, pelajar, mahasiswa, kalangan medis, bahkan petani, peternak, dan pembudidaya ikan. Mereka umumnya melaksanakan kegiatan dengan pendekatan yang persuasif dan menyenangkan sehingga masyarakat menerima kedatangan mereka.

"Kami memulai dari bawah, mengumpulkan data, melihat apa yang terjadi, dan melakukan action sesuai dengan permasalahan yang ada di lapangan. Pemerintah pun ikut andil dalam hal ini, karena kami tahu bahwa data adalah hal yang penting juga bagi mereka dalam mengambil keputusan," kata Jahidul.

Dari data yang terkumpul, BARA kemudian mengolahnya dan menjadikanya aplikasi yang dapat digunakan oleh masyarakat. Dari situlah masyarakat dapat mengakses isu tentang AMR, teredukasi, dan lebih menyadari pentingnya isu tersebut.

Dalam kesempatan yang sama Drh Erianto Nugroho selaku perwakilan FAO ECTAD Indonesia mengatakan bahwa program ini sangat bagus dan esensial bagi Indonesia yang tengah berjuang menghadapi AMR. Ia menilai dari sini Indonesia bisa banyak belajar, membagi dan berbagi pengalaman terutama challenge di lapangan terkait pengendalian AMR.

"Bisa saja kita membuat semacam organisasi kaya BARA, orang yang ikut yang benar - benar independen. Tapi sebagus - bagusnya program yang dibuat kalau masyarakatnya tidak aware akan hal ini juga rasanya percuma, jadi fokus utamanya bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat dulu ya mungkin," tutur dia.

Kegiatan tersebut berlangsung selama 3 hari dimulai dari 23-26 Mei 2023. Diharapkan dengan selesainya kegiatan ini kapasitas Indonesia dalam mengendalikan AMR semakin meningkat dan lebih baik. (CR)


KEMENTAN DAN FAO DISKUSI ONE HEALTH BERSAMA ANIMATOR MUDA

ANTERO Science Discussion bersama pakar dari Kementerian Pertanian, FAO, dan kanal Akar Ilmiah, 

Dalam upaya meningkatkan kesadaran di kalangan anak muda dan  masyarakat umum mengenai One Health dalam menanggulangi zoonosis dan Penyakit Infeksi Baru (PIB), Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) dengan dukungan Kementerian Pertanian serta Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), menyelenggarakan Diskusi Sains ANTERO di Jakarta yang ditujukan untuk anak muda, bekerja sama dengan Kok Bisa pada (9/1) yang lalu.

Diskusi sains ini merupakan acara penutup dari Program Creators Challenge yang diadakan selama sebulan, yakni sebuah kompetisi video animasi sains yang mengajak para animator muda berusia 18 hingga 25 tahun dari seluruh Indonesia untuk membuat video animasi tentang One Health.  

Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah menjelaskan, One Health merupakan solusi pendekatan holistik yang menyatukan kekuatan bersama untuk menjaga kesehatan manusia dan hewan, termasuk lingkungan dengan menggarisbawahi pentingnya kolaborasi multisektoral. 

Sebagian besar penyakit infeksi dan endemik bersifat zoonosis, yang dapat menular ke manusia dari hewan dan sebaliknya. Oleh karena itu, menurut Nasrullah, komitmen dari semua pihak, termasuk kaum muda, sangat penting dalam menanggapi dan mencegah ancaman keamanan kesehatan yang mungkin terjadi. 

“Anak muda memiliki peran penting dalam menguatkan penerapan One Health karena mereka adalah inovator dan pengguna teknologi dan praktik baru, termasuk media digital“, ungkap Nasrullah. “Keterlibatan dan kepemimpinan pemuda secara intrinsik berkaitan dengan banyak aspek dalam mencapai ketangguhan kesehatan global, salah satunya melalui kreativitas pemuda dalam penggunaan media digital dan teknologi baru untuk menyebarluaskan kesadaran tentang mengenai masalah keamanan kesehatan,” imbuhnya. 

“Keterlibatan anak muda sebagai bagian dari garis depan dalam menjaga kesehatan manusia dan hewan merupakan kekuatan besar untuk memastikan komunitas yang lebih sehat dan kuat. Belakangan ini, peran kaum muda dalam kesehatan sangat diperlukan, dan suara mereka sangat penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman kesehatan yang muncul,” ujar Rajendra Aryal, perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste dalam kata sambutannya.

“Amerika Serikat, melalui USAID, bangga bermitra dengan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, FAO, dan Kok Bisa untuk memicu minat generasi muda tentang ilmu kesehatan yang penting dengan cara yang kreatif dan menyenangkan,” kata David Stanton, Wakil Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia. “Konten kreatif tentang One Health akan membantu anak-anak muda memahami bagaimana penguatan kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan hidup akan membantu Indonesia untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons ancaman penyakit menular seperti COVID-19 dengan lebih baik, dan meningkatkan ketahanan dan ketangguhan kesehatan secara keseluruhan dalam jangka panjang.”

Program Creators Challenge mengajak para animator muda yang inovatif untuk membuat video sains yang berkualitas guna meningkatkan kesadaran publik tentang One Health dalam mengatasi zoonosis dan PIB. Program ini terdiri dari tiga hari pelatihan secara daring tentang penelitian, penulisan, dan pembuatan animasi yang mencakup topik One Health untuk tiga puluh kelompok peserta terpilih dari lebih dari 200 pendaftar.  

Pada acara penutupan ini, panitia mengumumkan tiga kelompok pemenang, dan satu kelompok yang menjadi juara favorit. “Selamat kepada seluruh pemenang! Karya Anda akan menginspirasi jutaan pemuda Indonesia untuk berperan aktif sebagai agen perubahan dalam menyebarluaskan kesadaran akan pentingnya menjaga ketahanan kesehatan global di seluruh dimensi sistem pangan dan kesehatan,” kata Rajendra sembari mengapresiasi pencapaian para peserta.

Rangkaian acara ini merupakan bagian dari kegiatan Global Health Security Program (GHSP) yang didanai oleh USAID dalam meningkatkan kesadaran anak muda untuk memperkuat kesehatan global dengan meningkatkan kapasitas nasional untuk mencegah, mendeteksi dan menangani ancaman penyakit, menggunakan pendekatan One Health secara multisektoral. (INF)

PENGUATAN SISTEM KESEHATAN HEWAN NASIONAL

PCC II AIHSP yang diselenggarakan Kementerian PPN/BAPPENAS. (Foto: Istimewa)

Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pertegas langkah stategis mendukung  kesehatan hewan nasional dalam kerangka program kerja sama Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP).

Hal itu disampaikan Direktur Kesehatan Hewan, Nuryani Zainuddin, mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada pertemuan Program Coordinating Committee (PCC) II AIHSP yang diselenggarakan Kementerian PPN/BAPPENAS secara virtual, Senin (10/1).

“Kementan mempersiapkan langkah kerja untuk implementasi program penguatan sistem kesehatan hewan nasional berkelanjutan” ujar Nuryani. Dijelaskan, program AIHSP selama dua tahun berjalan (2020-2021), telah menunjukkan arah yang tepat dalam mendukung ketahanan kesehatan (health security) yang menjadi prioritas pemerintah mendukung implementasi Instruksi Presiden No. 4/2019 tentang Peningkatan Kapasitas dalam Mencegah, Mendeteksi dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemik, Global dan Kedaruratan Nuklir, Biologi dan Kimia.

Oleh karena itu, pihaknya dengan dukungan program AIHSP bersinergi dengan Kemenko PMK, Kementerian PPN/BAPPENAS, Kementerian Kesehatan Hewan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemendikbudristek, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), WHO, FFCGI dan FAO.

“Program AIHSP telah dilaksanakan dengan pendekatan one health melibatkan multi-sektor dan multi-disiplin untuk mencapai kesehatan manusia, hewan dan lingkungan yang optimal,” tegasnya.

Nuryani menjelaskan, program AIHSP menetapkan lima tujuan prioritas, yaitu penguatan sistem surveilans penyakit hewan, kesiapsiagaan darurat dan respon, pengendalian penyakit hewan menular strategis dan zoonosis prioritas. Selain itu, program juga fokus pada penguatan kapasitas sumber daya kesehatan hewan dan pelibatan sektor swasta dalam pengendalian penyakit dan peningkatan produksi ternak.

Salah satu penguatan untuk sistem surveilans penyakit hewan diperlukan dukungan pemeliharaan Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional yang terintegrasi Indonesia (iSIKHNAS)  dan pengembangan fitur iSIKHNAS termasuk untuk kewaspadaan dini, logistik, sumber daya manusia kesehatan hewan, produksi peternakan dan integrasi data dengan sistem informasi laboratorium dan mendukung sistem imformasi one health (SIZE).

Pada kesempatan yang sama, Minisiter Counsellor DFAT, Kirsten Bishop, menyampaikan dukungannya memperkuat sistem kesehatan hewan di Indonesia, juga mendukung kepemimpinan Indonesia di G20, dimana isu one health menjadi fokus utama Indonesia. 

Sementara perwakilan dari BRIN, Mego Pinandito, menyampaikan kesiapan dukungan kolaborasi riset sektor kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan. “Kami mendukung riset bidang pertanian kesehatan hewan sehingga kami terbuka untuk melakukan kolaborasi,” kata Mego. (INF)

WAAW 2021: MENTAN TEGASKAN PENDEKATAN ONE HEALTH DIBUTUHKAN UNTUK KESEHATAN DUNIA

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pada puncak acara WAAW 2021. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia (World Antimicrobial Awareness Week/WAAW), yang diperingati setiap tahunnya pada 18-24 November, merupakan momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat dunia dalam pengendalian resistensi antimikroba/antimicrobial resistance (AMR) dengan pendekatan one health.

“Pendekatan one health sangat dibutuhkan untuk kesehatan dunia, mengingat saat ini masalah kesehatan dengan adanya pandemi COVID-19 dan AMR membuat tren kemunduran dalam ketahanan pangan. Oleh karena itu, semua sektor harus terlibat aktif dan bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan dan ketahanan pangan,” ujar Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, dalam kegiatan puncak Pekan Kesadaran Antimikroba 2021 yang diselenggarakan secara hybrid di Provinsi Bali, Rabu (24/11/2021).

Lebih lanjut dijelaskan, AMR menjadi isu yang santer dibicarakan di seluruh dunia karena diprediksi menjadi pembunuh nomor satu pada 2050 mendatang dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa pertahun dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.

“Prediksi tersebut bisa saja terjadi apabila kita tidak melakukan pengendalian secara konkrit. Untuk itu komitmen kita dalam mengendalikan AMR bersama-sama menjadi bagian penting,” imbuh Mentan Syahrul.

Untuk mengantisipasi dampak tersebut dan meningkatkan ketahanan pangan, lanjut Syahrul, pihaknya telah melakukan beberapa strategi diantaranya meningkatkan kapasitas produksi berkelanjutan, penguatan diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, pengembangan pertanian modern dan dukungan Gratieks.

“Melalui strategi ini kita transformasikan kemandirian sistem pangan secara holistik, berintegrasi dan berkelanjutan. Saya berharap ada kesatuan emosional bahwa masalah kesehatan adalah ujung yang sangat penting melalui ketahanan pangan. Saya percaya kita semakin mempertajam program bersama lembaga dunia sebagai upaya gerakan antimikroba di Indonesia untuk kontribusi pada kepentingan dunia,” ucap dia.

“Mari kita bekerjasama saling bertukar pikiran cerdas kita dengan pendekatan intelektual melalui referensi dunia yang bisa kita pelajari bersama untuk kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di masa mendatang.”

Konsep one health didefinisikan sebagai upaya kolaboratif dan komunikatif dari berbagai sektor, utamanya kesehatan manusia, hewan dan lingkungan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan optimal. Pengendalian penyakit zoonosis, AMR dan penggunaan antibiotik yang bijak memerlukan kolaborasi multisektor, tidak hanya terbatas pada kesehatan dan pertanian, tetapi juga kehutanan, lingkungan dan pendidikan. (RBS)

RESMI!, INDONESIA LUNCURKAN PROGRAM KETAHANAN KESEHATAN GLOBAL UNTUK CEGAH PANDEMI BERIKUTNYA

Peluncuran Program Ketahanan Kesehatan Global, kolaborasi Kementerian Pertanian, FAO, dan USAID dilakukan secara virtual, Selasa (29/6)

Pandemi COVID-19 menunjukkan bagaimana wabah penyakit menular memiliki dampak kesehatan, ekonomi, politik, dan sosial yang sangat signifikan. COVID-19 menyebar di hampir seluruh negara di dunia dan tidak ada negara yang sepenuhnya siap menghadapi pandemi berikutnya. 

Berbagai ancaman pandemi berkaitan dengan penyakit “zoonosis”, penyakit hewan  yang menjangkit pada manusia. Artinya, perhatian terhadap penyakit pada hewan dan ancaman munculnya penyakit zoonosis menjadi prioritas pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 


Indonesia, bersama 70 negara lainnya, bekerja untuk mempercepat dukungan politik dan multi sektoral untuk kesiapan ketahanan kesehatan melalui inisiasi global, yang disebut Global Health Security Agenda (GHSA) – untuk menjaga dunia aman dari ancaman penyakit menular. 


Untuk mendukung GHSA ini, Kementerian Pertanian bersama dengan  Badan Pangan dan Pertanian Dunia melalui Emergency Center for Transboundary Animal Diseases (FAO ECTAD) dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) resmi meluncurkan Program Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Security Programme / GHSP) hari ini secara daring. 


Kasdi Subagyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian mengatakan “Saya berharap agar sinergi dan harmonisasi pelaksanaan proyek GHSP dengan proyek lainnya di Kementerian Pertanian dapat berjalan dengan tetap memastikan aspek administrasi yang baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku, dengan mengambil best practices dan lesson learned dari pengalaman implementasi proyek-proyek sebelumnya. 


Saya juga ingin menyampaikan penghargaan kepada semua mitra kerja Kementerian Pertanian baik dari kementerian/lembaga, asosiasi serta mitra pembangunan internasional, khususnya FAO Indonesia dan USAID, yang selama ini telah mendukung dan secara bersama-sama bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam upaya penguatan layanan kesehatan hewan nasional yang berkelanjutan. Harapannya upaya yang kita lakukan juga dapat berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).” ujar Kasdi. 


Selain itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian, Nasrullah menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pelopor GHSA dan telah aktif berkontribusi sebagai anggota tetap Tim Pengarah sejak tahun 2016 – 2024. Kontribusi besar Indonesia dalam inisiatif global ini juga mendapat perhatian besar dari presiden. 

"Kerja sama ini diharapkan bisa melakukan pencegahan, deteksi dini dan pengendalian penyakit-penyakit menular baru, terutama yang berpotensi mengancam kesehatan dan ekonomi Indonesia. Selain itu, semoga bisa berkontribusi pada peningkatan kesehatan manusia, ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat," papar Nasrullah. 

Nasrullah menambahkan, program ini juga selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah, terutama terkait keamanan pangan dan kesehatan. Ia berharap program ini bisa menjadi kesempatan untuk meningkatkan komitmen bersama dalam melangkah ke depan. 

GHSP adalah program baru dari kolaborasi panjang Kementerian Pertanian dan FAO ECTAD-USAID dalam mencegah pandemi. Kerja sama ini berawal saat  pandemi Avian Influenza pada tahun 2006, dimana Indonesia merupakan negara dengan kasus flu burung H5N1 dengan kematian manusia terbanyak hingga tahun 2014. 


Sementara jumlah kasus flu burung pada manusia telah menurun secara signifikan, situasi endemik virus H5N1 masih menjadi ancaman bagi industri perunggasan dan kesehatan manusia. Selain flu burung, banyak daerah di Indonesia yang masih endemik penyakit zoonosis seperti rabies dan antraks. 


Program GHS yang akan berjalan selama empat tahun ke depan berfokus pada dukungan teknis di empat area: a) Kolaborasi multi sektor dan pengembangan kebijakan; b) Surveilans, laboratorium dan identifikasi risiko; c) Kesiapsiagaan dan respons penyakit dengan One Health; d) Kesehatan unggas nasional dan pengendalian resistansi antimikroba. 


Dukungan FAO dan USAID untuk program ini 


FAO dan USAID bekerja sama dengan pemerintah membangun kapasitas untuk mencegah ancaman pandemi yang berasal dari Zoonosis di Indonesia, sehingga negara dapat dengan cepat merespons dan mengendalikan wabah zoonosis.  


Bersama dengan Pemerintah Indonesia, FAO memperkuat kapasitas kesehatan hewan di berbagai daerah dan memberikan pelatihan dan dukungan teknis pada surveilans penyakit, diagnostik laboratorium, pelaporan dan investigasi wabah, serta kesiapsiagaan dan respons melalui pendekatan One Health. 


“Selain dampak kesehatan yang luar biasa, COVID-19 telah mengganggu ketahanan pangan dan ekonomi dunia. Secara global, setidaknya lebih dari 132 juta orang diprediksi menderita sebagai akibat dari COVID-19. Kita tidak ingin keadaan darurat kesehatan global seperti ini terjadi lagi. Kita perlu mendeteksi potensi wabah sedini mungkin dan FAO selalu siap bekerja sama dengan Indonesia untuk merespons lebih awal dan secara efektif.” kata Richard Trenchard, Perwakilan ad interim FAO untuk Indonesia. 


“Merupakan suatu kehormatan untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menangani penyakit menular yang muncul,” kata Pelaksana Tugas Wakil Direktur Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Indonesia Laura Gonzales. “Melalui pendekatan One Health, Program Ketahanan Kesehatan Global USAID akan menurunkan risiko zoonosis dan penyakit infeksi, resistansi antimikroba, serta ancaman biologis lainnya dengan memperkuat sistem kesehatan hewan Indonesia. GHS akan melanjutkan keberhasilan sebelumnya - dan pembelajaran yang kita dapatkan dari respons COVID-19 - untuk lebih mengasah kemampuan deteksi, kesiapsiagaan, serta respons zoonosis dan penyakit infeksi di Indonesia.”

MEDIA BRIEFING RESISTENSI ANTIMIKROBA

Mikroorganisme resisten (superbugs), ancaman manusia di masa depan


Pekan Kesadaran Antimikroba Se-dunia (World Antibiotic Awareness Week) diperingati tiap minggu ke-3 sampai minggu  ke-4 di bulan November (18-24 November). Bertepatan dengan hari pertama pada minggu tersebut, FAO ECTAD Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Yayasan Orang tua Peduli menggelar Media Briefing melalui daring zoom. Media briefing dilakukan agar media dapat mengampanyekan mengenai pentingnya  resistensi  antimikroba kepada masyarakat.
 
Dalam beberapa puluh tahun terakhir, resistensi mikroorganisme terhadap antimikroba di seluruh dunia cenderung meningkat, sedangkan perkembangan jenis antimikroba baru yang ditemukan oleh manusia bisa dibilang tidak berkembang dengan baik. Hal itu disampaikan oleh Direktur Kesehatan Hewan Kementan, Drh Fadjar Sumping Tjaturrasa dalam opening speech-nya mewakili Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berhalangan hadir.

"Berdasarkan model yang dibuat oleh WHO, kematian akibat resistensi antimikroba di seluruh dunia akan lebih tinggi jumlahnya ketimbang kanker. Ini sangat memprihatinkan dan berbahaya bagi umat manusia," tutur Fadjar.

Ia melanjutkan bahwa tidak hanya kesehatan manusia yang menjadi ancaman, kesehatan hewan dan lingkungan pun juga akan terancam. Oleh karenanya ia mengajak kepada seluruh kalangan yang bergerak di bidang medis agar berusaha semaksimal mungkin terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terkait penggunaan antimikroba secara bijak.

Dalam kesempatan yang sama Look Schooman Team Leader FAO ECTAD Indonesia mengatakan bahwa resistensi antimikroba disebabkan oleh penggunaan antimikroba yang serampangan baik pada manusia dan hewan.

"Produk pangan asal hewan berpotensi menyebarkan bakteri yang resisten antimikroba kepada manusia. Oleh karena itu pangan asal hewan harus terus diawasi keamanannya. Selama ini kami bersama stakeholder Indonesia berusaha semaksimal mungkin berkolaborasi akan hal ini," tutur Luuk.

Bukan hanya keamanannya saja, keberlangsungan produksi pangan juga akan terdampak akibat resistensi antimikroba. Oleh karenanya Luuk Menyebut bahwa isu ini resistensi antimikroba merupakan isu yang krusial dan mendunia. (CR)


SIAGA MENCEGAH WABAH PENYAKIT HEWAN BALITBANGTAN GELAR FGD

Pendekatan one health dibutuhkan dalam menyelesaikan penyakit hewan yang bersifat zoonotik

Selasa 3 Maret 2020 yang lalu, Badan Litbang Pertanian Kementan bersama dengan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) menggelar Focus Group Discussion bertajuk "Kesiapsiagaan Masuk dan Meyebarnya Penyakit Hewan Emerging dan Re-emerging di Indonesia". 

Tujuan dari acara tersebut yakni dalam rangka meningkatkan kewaspadaan semua pihak yang berkecimpung dalam upaya antisipasi, deteksi dini, dan merespon cepat dalam penanggulangan wabah penyakit hewan emerging dan re-emerging

Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 115 orang peserta yang berasal dari berbagai instansi seperti Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Intelijen Negara, Perguruan tinggi, LSM, Organisasi Profesi, dan tentu saja Kementerian Pertanian.

Seperti kita ketahui bersama bahwa beberapa bulan belakangan Indonesia kembali dihantam dengan mewabahnya beberapa penyakit hewan menular berbahaya baik yang bersifat zoonotik dan non-zoonotik. Sebut saja African Swine Fever (ASF) yang meluluhlantahkan sektor peternakan babi di Sumut beberapa waktu yang lalu, Anthraks yang kembali mewabah di Jawa Tengah, leptospirosis yang bergejolak ketika bencana banjir melanda, dan tentu saja yang terbaru yakni infeksi virus Corona (Covid-19) yang baru-baru ini menghebohkan nusantara. 

Balitbangtan punya mandat dalam urusan riset di bidang veteriner dan menjadi laboratorium rujukan nasional dalam bidang penyakit hewan, tetapi kedepanya diharapkan terjadi sinergisme dari pihak lain yang juga berkecimpung, sehingga konsep one health yang sering digaungkan itu benar - benar diaplikasikan dengan baik.

Ditemui oleh Infovet pada saat acara berlangsung, Kepala BBALITVET Bogor, Drh NLP Indi Dharmayanti menuturkan bahwa beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonotik sudah sejak lama menjadi penyakit strategis dan sulit sekali diberantas. Contohnya anthraks, menurutnya hingga kini anthraks walaupun kasusnya sedikit, namun masih kerap terjadi di Indonesia, dan beritanya selalu menghebohkan. 

Indi juga menyinggung wabah Covid-2019 yang baru - baru ini diumumkan oleh presiden RI beberapa waktu yang lalu. Ia mengatakan bahwa sangat penting mempelajari Covid-2019 lebih dalam karena virus ini berpotensi memiliki sifat zoonotik. 

"Yang kita ketahui sejauh ini kan virus corona memang ada pada beberapa jenis hewan seperti kelelawar, trenggiling, anjing, kucing, dan bahkan ikan paus. Sama - sama virus corona, cuma beda genus dan clade saja. Nah yang perlu kita ketahui kan apakah nanti Covid-19 ini berpotensi zoonotik melalui hewan peliharaan atau hewan ternak, oleh karenanya ini juga harus dipelajari lebih dalam," tukas Indi.

Indi juga berharap agar acara ini sedianya dapat menjadi ajang utuk saling tukar informasi dan bersinergi antar instansi dalam penanggulangan wabah. Selain itu kedepannya hasil dari FGD ini nantinya dapat menjadi saran dan masukan bagi pemerintah pusat dalam mengatasi permasalahan penyakit hewan di Indoensia. (CR)

HARUS TAHU LEBIH TENTANG RESISTENSI ANTIMIKROBA

Mencegah AMR dengan bijak menggunakan antibiotik (Foto : CR)

Dalam dunia medis dan peternakan isu resistensi antimikroba merupakan isu yang sangat seksi untuk dibicarakan. Namun begitu, masyarakat luas kurang mengetahui akan pentingnya isu ini. Padahal ancaman resistensi antimikroba setingkat dengan bio terorisme. Atas inisiatif inilah ReAct bersama Yayasan Orangtua Peduli dan FAO menggelar seminar resistensi antimikroba di Jakarta, 14 November lalu.

Narasumber dalam acara tersebut adalah drh Wayan Wiryawan dan dr Purnamawati Sp.A(K). Wayan Wiryawan dari Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia mengatakan, penggunaan antimikroba yang serampangan dalam dunia peternakan ridak hanya akan merugikan usahanya sendiri tetapi juga konsumen yang mengkonsumsi produknya. “Tentunya ini akan berbahaya bagi semuanya, bukan hanya yang beternak saja”, katanya.

Wayan juga menyampaikan bahwa pemakaian antibiotik yang tidak bijak menjadi tantangan dalam beberapa tahun belakangan karena banyak mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antimikroba tertentu.

“Saya selalu bilang pada peternak pemakaian antibiotik bukan untuk pencegahan tapi untuk mengobati. Jadi tidak baik untuk kesehatan hewan itu sendiri. Selain itu saya juga selalu mengingatkan peternak agar menerapkan biosekuriti yang baik serta penerapan Good Farming Practices”, ujarnya.

Senada dengan Wayan, Purnamawati juga menekankan bahwa penggunaan antimikroba untuk penyakit - penyakit yang ringan seperti flu, radang tengorokan dan diare tanpa lendir atau darah sebaiknya tidak dilakukan.

"Kami sudah bekerjasama bahkan sudah sampai ke KEMENKES isu ini, sejak beberapa tahun lalu. Namun memang sangat sulit ya mengubah mindset masyarakat kita tentang antibiotik ini. Mereka masih menganggap antibiotik ini sebagai obat dewa, tetapi mengkonsumsinya seperti "dewa mabuk"," tukas Purnamawati.

Maksudnya adalah ketika memang dibutuhkan antibiotik dalam medikasi, masyarakat tidak bijak dan disiplin dalam mengonsumsinya (tidak sampai tuntas), sehingga timbul resistensi antimikroba. Selain itu fakta lain yang mengejutkan yang dipaparkan oleh Purnamawati adalah bahwa sejak tahun 1980-an tidak lagi ditemukan antimikroba jenis baru, sehingga ini mempersempit drug of choice terhadap infeksi bakterial atau parasitik.

Guna mencegah "bencana" yang lebih besar akibat resistensi antimikroba, baik Wayan maupun Purnamawati mengajak serta masyarakat Indonesia agar menggunakan antimikroba dengan bijak dan cerdas. Karena jika hal ini kerap berlanjut, bukan tidak mungkin akan jatuh lebih banyak korban akibat resistensi antimikroba.

Perlu juga peran dari media sebagai penyambung kepada masyarakat agar mengamplifikasi pengetahuan kepada masyarakat awam akan pentingnya isu ini, karena menurut Purnamawati dan Wayan di masa kini, apa yang muncul dari media lebih dipercaya oleh masyarakat ketimbang pendapat para ahli (CR).


 

OPTIMALISASI KONSEP ONE HEALTH DALAM PENCEGAHAN FOOD BORNE DISEASE

Pembicara seminar pada kegiatan RAP 2019 yang dilaksanakan di Bogor. (Foto: Infovet/Sadarman)

Himpunan Profesi (Himpro) Ruminansia, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB), menyelenggarakan kegiatan Ruminant Action Project (RAP), pada Minggu (13/10/2019), di salah satu pusat perbelanjaan di Bogor, bertajuk “Optimalisasi Konsep One Health dalam Pencegahan Food Borne Disease”.

Ketua Panitia Pelaksana RAP, Sri Wahyuni, menyebutkan bahwa pelaksanaan RAP 2019 sengaja dilakukan di pusat perbelanjaan karena diakhir kegiatan diadakan kegiatan lomba memasak. “Ada lomba memasak dan pesertanya kebanyakan dari pengunjung dan dari kelompok-kelompok mahasiswa,” ujar Yuni kepada Infovet ditemui disela-sela acara.

Sementara Ketua Himpro Ruminansia FKH IPB, Agung Nulhakim, menyatakan acara tahunan ini menjadi mega program kerja (mega proker) dari Himpro Ruminansia. “Tahun lalu kita sukses mengedukasi masyarakat pedesaan, tahun ini kita kembali mengedukasi masyarakat perkotaan. Tentunya tema acara disesuaikan dengan kebutuhan mereka,” kata Agung.

Terkait tema acara, Dekan FKH IPB yang diwakili oleh Dr Drh Sri Rahmatul Laila, menyebut bahwa konsep OH sejatinya adalah mencegah penyakit hewan menular, ternak ke manusia dan sebaliknya, yang melibatkan semua stakeholders, baik pemerintah, akademisi dan pihak lainnya yang berkaitan dengan Kesmavet. 

Ia pun turut memberi apresiasi terhadap kegiatan tersebut. “Salut dan bangga dengan mereka dalam mendesain acara ini dan perlu dicontoh oleh Himpro lainnya,” kata Sri Rahmatul Laila yang juga dosen FKH IPB.

Kegiatan menghadirkan narasumber diantaranya Ketua Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmaveti), Drh Sri Hartati dan dosen Kesmavet FKH IPB, Dr Drh Herwin Pisestyani.

Tampil sebagai pembicara pertama, Sri Hartati memaparkan materi food borne disease, bahaya dan cara pencegahannya. Menurutnya, produk ternak seperti daging, susu dan telur merupakan bahan pangan tinggi protein, sehingga mudah terpapar mikroba. “Bahan pangan asal hewan harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), sehingga fungsinya bukan hanya mengenyangkan, namun juga dapat menyehatkan,” jelasnya.

Agar produk ternak yang dihasilkan menyehatkan bagi konsumen, kata dia, diawali dengan manajemen pemeliharaan yang baik hingga manajemen pemotongan yang higienis, untuk menjamin produk ternak tidak terpapar mikroba maupun bahan cemaran lainnya.

Sementara pembicara kedua, Herwin Pisestyani, menjelaskan mengenai bahaya penyakit bawaan pangan asal hewan. Ia menyebut, resiko food borne disease sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan asal ternak, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap orang berisiko terpapar penyakit tersebut. “Penyakit asal bahan pangan cukup banyak, pada 2018 tercatat ada sekitar 61 kasus fatal akibat food borne disease,” kata Herwin. Rata-rata awal mula kasus dari kebiasaan buruk individu yang terlibat dalam menangani dan memproses produk ternak itu sendiri.

Ia mengimbau, konsumen tetap mewaspadai kondisi bahan pangan yang akan atau sudah dibeli, terutama terkait dengan penanganan dan penyimpanannya. (Sadarman)

KOLABORASI KEMENTAN, FAO DAN AFKHI HASILKAN BUKU BARU


Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bersama Badan Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO) Indonesia, dan Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI) menuntaskan buku bertajuk Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas.

Buku tersebut menjelaskan isu-isu kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat terkait strategi pencegahan serta pengendalian Emerging Infectious Disease (penyakit infeksi baru/berulang-PIB) dengan pendekatan One Health, masalah kesehatan unggas, termasuk rantai produksi dengan potensi terjadinya zoonosis seperti penyakit Avian Influenza (AI) serta isu penting dan perkembangan resistensi antimikroba (AMR).

Menurut Dirjen PKH, I Ketut Diarmita dalam acara peluncuran buku tersebut, Kementerian Pertanian sangat serius dalam penanggulangan zoonosis atau penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia atau sebaliknya.Ketut menganggap langkah Kementan menuangkan pengalaman penanggulangan zoonosis dan AMR serta penanganan kesehatan unggas sangat penting dilakukan, hal ini merupakan kontribusi Kementan untuk kemajuan pendidikan masyarakat luas, dan sumber daya manusia, khususnya di dunia kedokteran hewan di Indonesia.

“Kegiatan di lapangan yang telah dilakukan oleh Kementan dan kementerian terkait lain banyak memberi masukan dan pembelajaran tentang praktik terbaik dalam pencegahan, deteksi, dan respon terhadap ancaman zoonosis, PIB, dan AMR,” ujar Ketut. Lanjut Ketut menambahkan bahwa penyusunan Buku Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas ini merupakan dukungan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian dalam pengembangan kapasitas SDM sejak sebelum masuk dunia profesional dan upaya keberlanjutan dari hasil kerjasama Kementan dengan FAO dan sebelas lembaga perguruan tinggi di Indonesia.

Sementara itu, perwakilan FAO ECTAD, James McGrane mengatakan bahwa materi-materi pengayaan ini adalah hasil intisari pengalaman dan studi lapangan jangka panjang bersama Kementan di bidang pengendalian penyakit AI atau FB serta kerjasama kuat di sektor perunggasan sejak tahun 2006 yang turut didukung oleh Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID)."FAO mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan Ditjen PKH, terutama dalam pengendalian AI/FB yang bersifat zoonosis. Keberhasilan Indonesia mengendalikan AI berdampak positif bagi perkembangan perunggasan," tambahnya. 

Dirjen PKH dan Dekan FKH IPB saat peluncuran buku (Foto : FAO)


Sedangkan, Ketua AFKHI, Srihadi Agungpriyono menyambut gembira selesainya pengayaan materi perkuliahan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan ini.“Topik-topik terkait One Health, kesehatan unggas, dan AMR telah menjadi rekomendasi Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) untuk dijadikan materi ajar di Fakultas Kedokteran Hewan. Ini membuktikan hadirnya peran Pemerintah, akademisi, pakar kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, serta dunia Internasional yang diwakili oleh FAO dan USAID untuk mewujudkan materi kurikulum kedokteran hewan yang komprehensif dan mutakhir," ungkapnya. 

Menurut Srihadi kerjasama seperti ini merupakan yang pertama di dunia, dimana peran pemerintah, khususnya sektor pertanian dan organisasi internasional seperti FAO langsung terjun mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk upaya dalam mencapai konsep Day 1 Competency yang disarankan oleh OIE.

Buku yang terdiri dari 5 (lima) bab utama, setebal 73 halaman, masing-masing membahas tentang Implementasi One Health dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksi Baru; Pengendalian Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba.Serta Implementasi Kesehatan Unggas dan Rantai Pasar Unggas ini kemudian diserahterimakan secara simbolis oleh Dirjen PKH, Dr. Drh. I Ketut Diarmita, M.P., dan Team Leader FAO ECTAD, Dr. James McGrane kepada ketua AFKHI, Prof. Srihadi Agungpriyono untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar. (FAO)



KOMITMEN ONE HEALTH BUKA PELUANG EKSPOR PRODUK PETERNAKAN KE JEPANG

Dirkeswan saat menyampaikan presentasinya di Tokyo AMR One Health Conference. (Foto: Istimewa)

Tokyo AMR One Health Conference yang dihelat Jumat (8/3/2019), Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping Tjatur Rasa hadir mewakili Indonesia. Acara ini juga turut dihadiri delegasi dari 17 negara Asia Pasifik.

Indonesia saat ini terus menyiapkan diri menuju pertanian modern. Pernyataan itu disampaikan oleh Dirkeswan.

"Kami siapkan secara terpadu dari hulu sampai ke hilir, kemudian menyiapkan sistem pengawasan obat-obatan hewan, prasarana dan sarana kesehatan serta pengkajian efek samping," kata Fadjar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/3/2019).

Selain itu, persiapan lain yang juga terus digencarkan adalah pengaturan penggunaan antibiotik serta populasi dan distribusi ternak. Di sisi lain, ada juga pematangan legislasi dan pengawasan pakan ternak maupun kompetensi sumber daya manusia medik dan paramedik veteriner.

"Langkah ini sudah kami rintis sejak tahun 2015 yang bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dan FAO dalam mengembangkan peta jalan dan pengembangan pengendalian AMR di Kementerian Pertanian," katanya.

Menurut Fadjar, semua upaya itu sudah membuahkan hasil yang cukup bagus, juga sangat strategis. Di antaranya telah menghasilkan produk olahan hasil peternak yang didukung dengan izin ekspor ke Jepang.

"Indonesia akan menjadi satu-satunya eksportir SFM untuk bahan baku pupuk dan pakan ternak pertama untuk Jepang. Karena itu, kami kawal dengan baik rencana dan prosedur ekspor ini," ungkapnya.

Fadjar menambahkan, permintaan impor juga terjadi pada tepung bulu, bahkan sudah memperoleh permintaan impor sosis daging sapi bersetifikat halal dari Sugitomo Co Ltd Jepang. Selanjutnya, ada juga produk lain yang akan menyusul memperoleh permintaan impor dari Jepang.

"Dua perusahaan Jepang, Saiwa Shaji Co Ltd dan Kyushu Koeki Co Ltd akan menjadi importir steamed feather meal (SFM) atau tepung bulu dari Indonesia. SFM ini akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk dan pakan ternak di Jepang," lanjutnya.

Kendati demikian, kata dia, pengakuan sertifikasi halal Indonesia yang dilabeli MUI jauh lebih tinggi ketimbang sertifikasi halal yang berlaku di Jepang. Posisi ini sangat membantu karena produk hasil peternakan asal Indonesia tidak perlu mengajukan sertifikasi di Jepang.

"Keunggulan ini harus kita jaga bersama dengan cara menjamin kualitas produk. Apalagi pasar produk halal akan semakin meningkat karena wisata salju dan sakura di Jepang semakin diminati. Lebih dari itu, wisatawan yang sebagian besar muslim akan semakin mudah menemukan produk halal," tandasnya.

Fadjar menambahkan, pertemuan ini juga telah membawa dampak positif, utamanya pada sektor peternakan Indonesia. Dampak positif itu ditandai dengan munculnya berbagai industri pabrik pakan ternak yang bebas antibiotik.

"Ada juga pabrik pemacu pertumbuhan dan peningkatan biosekuriti di farm atau produk unggas olahan bebas residu antibiotik serta kompartemen farm yang bebas penyakit unggas. Inilah yang akan mendorong peningkatan permintaan pemasukan produk unggas olahan dari Indonesia ke Jepang," katanya.

Pertemuan ini juga turut dihadiri para perwakilan FAO, WHO, OIE, NIID, dan SEARO. Indonesia sendiri dalam presentasinya mengambil judul ”National Action Plan on AMR Indonesia”.

"Jadi, supaya One-health ini bisa optimal sesuai Rencana Aksi Nasional, maka perlu lebih mengadvokasi kembali K/L dan berbagai pihak terkait untuk ikut berkolaborasi dalam survei yang disebut Tri-cycle Surveillance AMR One-Health untuk memonitor dalam mencegah terjadinya kuman resisten," tutup Fadjar. (NDV)


Atasi AMR, Dokter Hewan jadi Garda Terdepan

Panitia penyelenggara bersama para peserta seminar CIVAS, Sabtu (1/12). (Foto: Istimewa)

Antimicrobial Resistance (AMR) masih menjadi isu global yang terus mendapat perhatian banyak pihak. Fenomena ini tidak hanya terjadi di manusia, tetapi juga pada hewan dan lingkungan. Hal ini terjadi akibat penggunaan antibiotik yang berlebihan, tidak bijak dan tidak bertanggung jawab pada sektor kesehatan manusia dan hewan.

Hal tersebut mendasari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) melaksanakan seminar dan dialog bertema “Pendekatan One Health dalam Upaya Mengatasi Meningkatnya Ancaman Resistensi Antimikroba (AMR)” pada Sabtu (1/12).

Seminar tersebut dihadiri peserta dokter hewan dari beragam institusi, baik dari pemerintah, swasta dan dokter hewan praktisi. Ketua Pelaksana, Drh Sunandar, menyebut, saat ini peran dokter hewan telah menjadi dasar penting untuk keberhasilan penerapan strategi, tindakan, dan metode untuk memajukan, melindungi, serta mengembalikan kesehatan hewan dan populasi penduduk guna melindungi kesehatan manusia.

“Kita butuh inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat yang peduli, yang bersedia untuk berpartisipasi secara proaktif dan ingin menyumbangkan kemampuannya di bidang kedokteran hewan untuk memastikan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat melalui kesehatan hewan,” ujar Sunandar.

Sementara, Ketua Badan Pengurus CIVAS, Drh Tri Satya Putri Naipospos, mengungkapkan, edukasi mengenai AMR menjadi sesuatu hal penting untuk dokter hewan di mana pun mereka bekerja. Menurutnya, saat ini Indonesia telah memiliki lebih dari 20 ribu dokter hewan, rata-rata mereka memberikan pelayanan teknis di pemerintahan atau swasta, sehingga mereka harus paham dan mengerti AMR. Ke depannya diharapkan mereka dapat menjadi agen yang dapat mengubah cara pandang masyarakat dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar.

“Para dokter hewan, mereka adalah garis terdepan yang dalam praktek sehari-harinya melakukan pemberian antibiotik kepada hewan, baik melalui suntikan, pakan atau air minum. Mereka kurang tersentuh dengan kampanye sosialisasi tentang masalah AMR, ini tidak benar, kalau mau menurunkan kasus AMR itu sendiri pada manusia sebagai konsumen produk ternak, maka yang perlu dilakukan adalah edukasi dokter hewannya yang secara langsung bersentuhan dengan pemicu terjadinya AMR,” tutur wanita yang akrab disapa Tata.

Tata menambahkan, profesi dokter hewan harus turut berpartisipasi aktif dalam menghadapi masalah AMR dengan pendekatan terpadu One Health. “Untuk memitigasi risiko AMR, dokter hewan harus mengubah dengan cara-cara pemberian antibiotik lama yang dianggap berlebihan (overuse) dan menyimpang (misuse) menuju penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab,” imbuhnya. 

Senada dengan hal itu, Dr Joanna McKenzie, salah satu pembicara dari Massey University, New Zealand, menyatakan AMR merupakan ancaman nyata yang dapat menyebabkan kematian lebih dari 10 juta orang pada tahun 2050 mendatang jika tidak bergerak dari sekarang. “Ini akan menjadi kenyataan yang terjadi pada generasi kita. Saat ketika kita telah meninggalkan mereka dengan musibah besar, yakni AMR,” kata Dr Joanna.

AMR sendiri, lanjut dia, merupakan masalah komplek dan multisektorial yang membutuhkan pendekatan One Health, serta peran semua pihak terutama dokter hewan. Profesi kesehatan hewan sangat penting dalam penggunaan antimikroba dengan bijak, sebab 80-99% penggunaan antimikroba terdapat di industri peternakan. 

Ditambahkan oleh Dr Tikiri Wijayathilaka, spesialis AMR dari Sri Lanka, mengungkapkan bahwa Benua Asia merupakan salah satu epicenter terjadinya AMR di dunia, hal ini disebabkan masih lemahnya penegakkan peraturan dan pengawasan penggunaan antibiotika untuk kesehatan manusia dan ternak. Selain ancaman juga datang dari antibiotik palsu yang 78% diproduksi di negara-negara Asia, 44% diantaranya digunakan di kawasan ini. “Sudah saatnya pemerintah bersama-sama dengan profesi kesehatan melakukan hal yang progresif untuk mengatasi AMR,” katanya. (Sadarman)

Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan Kunci Tembus Pasar Global

Dirjen PKH dalam Rapat Koordinasi Teknis Nasional di Lombok (Foto: Dok. Kementan)


"Dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing produk ekspor, Kementan terus mendorong komitmen semua pihak dalam mewujudkan konsep One Health dalam penanganan penyakit Zoonosis," tutur Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) I Ketut Diarmita dalam Rapat Koordinasi Teknis Nasional (Rakonteknas) di Hotel Lombok Raya, Nusa Tenggara Barat, Rabu (5/12/2018).

Saat ini masalah kesehatan hewan dan keamanan produk hewan menjadi isu penting dalam perdagangan internasional. Bahkan menjadi hambatan dalam menembus pasar global.

Sebagai upaya memanfaatkan peluang ekspor, diperlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan sektor peternakan, terutama dalam penerapan standar-standar internasional mulai dari hulu ke hilir.

Ditjen PKH sendiri terus membangun kompartemen-kompartemen Avian Influenza (AI) dengan penerapan sistem biosekuriti. Kini, kompartemen tersebut sudah berkembang menjadi 141 titik dan ditambah 40 titik yang masih dalam proses untuk sertifikasi, padahal awalnya hanya 49 titik.

“Kita terus mendesain kegiatan ini agar peternak lokal dapat menerapkan dengan baik dan kompartemen-kompartemen yang dibangun diakui oleh negara lain,” terang I Ketut.

Untuk penjaminan keamanan pangan, saat ini sudah ada 2.132 unit usaha ber-NKV (nomor kontrol veteriner). Nomor ini merupakan bukti tertulis yang sah bagi terpenuhinya persyaratan sanitasi higienis sebagai jaminan keamanan produk hewan pada unit usaha produk hewan.

Peluang perluasan pasar untuk komoditas peternakan di pasar global, menurut I Ketut, masih sangat terbuka luas. Adanya permintaan dari negara di daerah Timur Tengah dan negara lain di kawasan Asia sangat berpotensi untuk dilakukan penjajakan karena keunggulan Indonesia salah satunya adalah produk halal.

"Jaminan kehalalan juga dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk ekspor produk peternakan ke wilayah Timur Tengah dan negara dengan penduduk mayoritas muslim lainnya dan ini harus kita manfaatkan,” ungkap Ketut.

Ekspor Peternakan 2018 Meningkat

Dalam kesempatan tersebut, I Ketut Diarmita juga menyatakan, ekspor sub sektor peternakan terus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan) dalam meningkatkan daya saing dan mempermudah perizinan ekspor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementan, volume ekspor sub sektor peternakan pada 2018 sejak Januari hingga September sebesar 183.414 ton dengan nilai 474.193.507 dolar AS. Dengan demikian terhitung volume ekspor naik sebesar 52,99 persen dan sementara nilai ekspor meningkat sebesar 194 persen, jika dibandingkan dengan volume dan nilai ekspor Januari-September 2017 yaitu sebesar 119.885 ton dan 161.171.933 dolar AS.

“Kita harapkan volume dan nilai ekspor sub sektor peternakan di triwulan akhir 2018 terus mengalami peningkatan,” katanya.

Ketut menjelaskan, data realisasi rekomendasi ekspor Ditjen PKH, capaian ekspor peternakan dan kesehatan hewan pada 3,5 tahun terakhir (2015-2018 semester I) mencapai Rp 32,13 triliun.

Kontribusi ekspor terbesar pada kelompok obat hewan yang mencapai Rp 21,58 triliun menembus ke 87 negara tujuan. Selain itu, ekspor babi ke Singapura sebesar Rp 3,05 triliun.

Produk susu dan olahannya juga menghasilkan sebesar Rp 2,99 triliun menembus pasar di 31 negara. Kelompok pakan ternak asal tumbuhan menyumbang Rp 3,34 triliun masuk ke 14 negara.

Beberapa produk lain seperti produk hewan non pangan, telur ayam tetas, daging dan produk olahannya, pakan ternak, kambing/domba, (DOC), dan semen beku juga menyumbang devisa cukup besar tahun ini.

“Langkah dan kebijakan Kementan dalam mewujudkan visi Indonesia menjadi Lumbung Pangan Dunia pada 2045 terus diupayakan bersama para pemangku kepentingan,” ujar I Ketut. (Sumber: Siaran Pers Kementan)

Komunikasi Tingkat ASEAN Bahas Ancaman AMR

Pertemuan ACGL di Yogyakarta. (Foto: Istimewa)
Resistensi Antimikrobia (AMR) menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan. Hal itu menjadi bahasan dalam pertemuan ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) di Yogyakarta, 7-10 Agustus 2018. 

Pertemuan yang keenam kali ini bertujuan merumuskan langkah-langkah komunikasi tepat dalam menyampaikan bahaya AMR dan peran masyarakat dalam pencegahannya. Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan, AMR menjadi masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan multi-sektoral. Menurutnya, saat ini sudah terlihat ada peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan kapasitas teknis di kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengandalian AMR.

“Risiko AMR tercatat lebih tinggi di negara-negara dimana peraturan perundang-undangan, pengawasan regulasi dan sistem pemantauan mengenai penggunaan antimikroba hampir tidak ada. Pencegahan dan pengendalian AMR yang tidak memadai dan lemah di beberapa negara akan meningkatkan risiko penyebarannya,” ujar Fadjar.

Dalam pertemuan ini dirumuskan kegiatan komunikasi dan pesan kunci AMR kepada seluruh pemangku kepentingan khususnya masyarakat. “Strategi komunikasi dan advokasi resistensi antimikroba tingkat regional yang telah sepakati oleh para Menteri Pertanian se-Asia Tenggara merupakan pedoman bagi negara anggota ASEAN dalam pelaksanaan kerangka kerja, serta menyempurnakan dan mengembangkan kesadaran AMR” tambah Delegasi Indonesia, Pebi Purwo Suseno.

Pada kesempatan itu, Indonesia juga berbagi pengalaman dalam mengimplementasi pencegahan dan pengendalian AMR, serta implementasi One Health dalam mencegah dan mengendalikan penyakit infeksi baru dan zoonosis. “Bentuk kegiatan edukasi yang sudah dilakukan seperti kuliah umum di perguruan tinggi, kampanye di CFD, perlombaan essay, pembuatan video pendek terkait AMR,  penyabaran informasi melalui media,” sambung Delegasi Indonesia lainnya, Imron Suandi.

Kendati begitu, masih ada tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pemahaman AMR, yakni koordinasi lintas sektor, keterbatasan anggaran dan prioritas kegiatan AMR, pengembangan pesan kunci, Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi peternak dan motivasi sektor swasta untuk ikut berperan terhadap pengendalian AMR. “Diharapkan ke depan ada peningkatan pemahaman masyarakat dalam penggunaan antimikroba yang cerdas dan bijak,” pungkasnya. (INF)

INDONESIA KENDALIKAN AMR DENGAN KONSEP “ONE HEALTH”

JAKARTA, Kamis 16 Maret 2017. Bertempat di Hotel Pullman Jakarta, FAO ECTAD Indonesia dan USAID bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan Seminar One Health.
Foto bersama para pembicara seminar dan tamu undangan kehormatan.
Seminar ini ditujukan untuk memperkuat kerjasama dan komitmen lintas pemangku kepentingan dalam mengatasi ancaman global terkait resistensi antimikroba di bidang pertanian, produksi ternak, kesehatan manusia dan akuakultur, serta bertepatan dengan kunjungan Asisten Direktur Jenderal dan Perwakilan Regional FAO untuk Asia dan Pasifik.
Hadir dalam acara ini Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita dan Asisten Direktur Jenderal, Wakil Duta Besar AS Brian McFeeter dan Perwakilan Asia-Pasifik, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Ms. Kundhavi Kadiresan.
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita menjelaskan bahwa ancaman Resistensi Antimikroba (AMR) menjadi ancaman tanpa mengenal batas-batas geografis, dan berdampak pada kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan lingkungan. Selain itu, ancaman Resistensi Antimikroba juga dipandang sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor perternakan, pertanian dan perikanan. Sebab, pertumbuhan populasi dunia, globalisasi dan degradasi lingkungan yang sangat cepat, ancaman-ancaman terhadap kesehatan manusia menjadi semakin kompleks dan tidak dapat dipecahkan oleh hanya satu sektor saja.
Menurut Ketut, untuk mengendalikan ancaman Resistensi Antimikroba, diperlukan Konsep One Health. Konsep ini memastikan seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Pendekatan One Health mencakup pemikiran bahwa permasalahan yang memberikan dampak kepada kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dapat diselesaikan secara efektif melalui komunikasi dan kolaborasi yang lebih baik diantara para pemangku kepentingan dari berbagai disiplin ilmu dan kelembagaan, menuju pada masyarakat yang lebih sehat dan bahagia.
"AMR dapat ditangani secara sangat efektif melalui pendekatan One Health. Penggunaan antibiotik secara tidak hati-hati baik pada kesehatan manusia maupun agrikultur hanya dapat dikurangi melalui tindakan yang dilakukan bersama-sama secara kolaboratif oleh seluruh sektor terkait: kesehatan manusia, hewan, ikan termasuk juga budidaya air, dan ekosistem serta kesehatan lingkungan," ujar Ketut.
Lebih lanjut, Ketut mengungkapkan tindakan-tindakan nyata dalam bidang AMR yang akan dan telah dilaksanakan oleh Kementan, melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan antara lain pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Pertanian, melalui Keputusan Menteri Pertanian. Kemudian, pembuatan draf Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia (PERMENTAN) tentang Pengendalian Resistensi Antimikroba di Peternakan dan Kesehatan Hewan.
"Selain itu, Keikutsertaan Kementrian Pertanian bersama dengan Kementerian Kesehatan dalam penulisan draf Rencana Aksi Nasional mengenai AMR," imbuh Ketut.
Sementara itu, Asisten Direktur Jenderal dan Perwakilan Asia-Pasifik, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Ms. Kundhavi Kadiresan mengucapkan FAO sepenuhnya berkomitmen pada pendekatan One Health. Saat ini FAO sedang mengembangkan inisiatif One Health di tingkat regional; memperluas cakupan penanganannya menjadi tidak hanya pada penyakit zoonosis endemik dan emerging, AMR dan isu keamanan makanan.
Acara ini juga dihadiri berbagai perwakilan asosiasi dan organisasi profesi bidang peternakan, termasuk ASOHI. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer