|
Ternak unggas. (Sumber: Agrarindo.com) |
Dunia sedang menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 1 juta orang di dunia. Sampai saat ini semua orang disarankan untuk tetap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker lantaran vaksin belum ditemukan. Konon, ketiga hal itu akan terus dilakukan meskipun vaksin sudah ditemukan. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa, makhluk yang tak kelihatan ini juga telah memporak-porandakan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kira-kira pertanyaan banyak orang sama, apa dan bagaimana setelah pandemi ini berakhir khususnya di sub sektor perunggasan?
Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal terutama di sektor peternakan, khususnya perunggasan. Hari ini banyak orang lebih waspada dalam mengonsumsi makanan. Apalagi ada rumor bahwa COVID-19 bisa menular lewat makanan. Di sisi lain, ada tantangan dalam teknis perunggasan yaitu produksi, kekebalan dan kesehatan pada ternak unggas. Ketiga hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang berkelanjutan. Lantas kita bertanya bagaimana para pelaku usaha menyikapi dampak pandemi ini dan bagaimana itu jika dikaitkan dengan kepastian keamanan pangan bagi konsumen? Muara dari semua produksi peternakan adalah pangan.
Kita harus akui bahwa masih banyak kelemahan terkait soal kesehatan ternak atau pengendalian penyakit yang terjadi, baik itu dalam kandang hingga kualitas daging pada makanan yang tersedia di meja makan. Dalam banyak praktik di kandang, tak sedikit pelaku usaha masih tetap menggunakan antibiotik dalam melancarkan pembesaran ternak unggas. Masih banyak pula rumah pemotongan ayam (RPA) yang belum menerapkan standar pemotongan yang memenuhi syarat higienis dan sanitasi untuk menjamin kualitas daging. Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi momentum bagi industri peternakan di Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan asal hewan.
Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibotik pada pakan unggas masih menjadi diskusi yang berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun antibiotic growth promoter (AGP) pada pakan sudah dilarang di Indonesia, tapi penggunaannya masih dilakukan oleh sejumlah praktisi peternakan khususnya pada ternak broiler. Dilema dari AGP adalah satu sisi mendorong pertumbuhan bagi ternak, di sisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Resisten antibiotik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat secara global baik langsung maupun tidak langsung.
Resisten antibiotik dapat menular ke manusia secara langsung adalah dengan mengonsumi unggas, sedangkan yang tidak langsung bisa terjadi lewat kotoran unggas yang mencemari lingkungan (air dan tanah). Diperlukan upaya secara cepat dan berkelanjutan dalam menemukan alternatif antibiotik misalnya prebiotik, probiotik dan senyawa antimikroba. Bahan kimia nabati menunjukkan bahwa dalam suplementasi pakan asam kaprilat, rantai asam lemak secara konsisten mengurangi kolonisasi Campylobacter pada ayam broiler (Solis de los Santos, dkk., 2008; 2009; 2010). Kemampuan in vitro dari thymol dan carvacrol untuk menghambat Campylobacter jejuni dan Salmonella Enteritidis dalam isi sekal ayam (Kollanoor Johny, dkk., 2010). Probiotik dan prebiotik dalam studi Arsi et al. (2015 b) menunjukkan bahwa prebiotik tidak secara konsisten mengurangi Campylobacter. Namun, prebiotik secara signifikan menurunkan beban Campylobacter bila digunakan dalam kombinasi dengan probiotik spp. (Arsi dkk., 2015).
Keamanan Pangan
Bahan pangan asal ternak nomor dua paling besar dikonsumsi di dunia adalah unggas, setelah daging babi. Tapi konsumsi daging nomor wahid di Indonesia adalah daging unggas. Oleh sebab itu, perhatian semua pihak pada unggas tak boleh disepelekan. Namun berapa banyak rumah potong atau tempat pemotongan hewan unggas yang ada telah memenuhi syarat higiene dan sanitasi? Dengan mudah kita menemukan tempat pemotongan yang tidak layak di pasar atau di sekitar rumah.
Tempat pemotongan yang tidak layak ini ditandai dengan ciri-ciri kotor, sistem penangan limbah yang tidak memadai, darah atau limbah berceceran di tanah, bangunan yang terbuat dari kayu, kandang penampungan ayam hanya berjarak 2-5 meter, pekerja yang tidak mengenakan perlengkapan yang standar (tidak bersih) dan sebagainya. Kondisi tempat pemotongan seperti ini amat berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena kontaminasi bakteri patogen.
Penyakit yang ditimbulkan jika produk pangan terkontaminasi bakteri patogen adalah infeksi dan keracunan. Infeksi yang dimaksud akibat tertelannya mikroba dan berkembang biak di dalam alat pencernaan. Gejala yang timbul dari sini diketahui adalah sakit perut, pusing, muntah dan diare (Bruckle, dkk., 1987). Sekitar 60-70% penyakit diare disebabkan makanan yang mengandung mikroba patogen (Winarno, 2004). Sedangkan keracunan agak berbeda dengan infeksi, yaitu mikroba terlebih dahulu bertumbuh dalam bahan pangan kemudian tertelan oleh manusia. WHO mendata secara global bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit akibat keracunan makanan dan 420.000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan.
Dalam upaya menjaga agar produk pangan asal hewan terjamin higien dan sanitasinya, pemerintah telah membuat peraturan yang cukup jelas. Bahwa untuk produk mentah pangan (karkas) yang dikomersialkan wajib memiliki sertifikat kontrol veteriner. Tapi sayangnya, hal ini masih langka di Indonesia. Kita dengan mudah menemukan tempat pemotongan yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Beberapa waktu lalu, salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkapkan hanya sedikit sekali RPA di Indonesia yang memiliki NKV. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 60 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner…”
Tantangan COVID-19 terhadap Unggas
Meskipun kesamaan dalam susunan genetik manusia dan ayam adalah sekitar 60%, sistem kekebalan manusia dan spesies unggas sangat berbeda, sehingga protokol, jenis dan aplikasi vaksinasi berbeda (Hafez dan Attia, 2020). Beberapa studi terbaru tampaknya menujukkan COVID-19 tidak menular pada ternak unggas. Kendati demikian, penerapan biosekuriti yang ketat di lokasi kandang harus dipertahankan untuk membatasi penyebaran COVID-19 ke peternakan. Karena kemungkinan terjadinya mutasi bisa terjadi (Montse dan Bender, 2020).
Meskipun saat ini belum ada bukti bahwa makanan dapat menyebarkan COVID-19, masyarakat global dihadapkan pada pertimbangan dalam pembelian makanan. Bakteri dan virus bisa tumbuh di suhu 5-60° C. Sebaiknya jika masyarakat hendak memesan daging unggas bawalah kotak pendingin dan es untuk menjaga makanan pada suhu yang dingin selama diperjalanan. Jangan biarkan daging unggas berada pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam. Setelah sampai di rumah, daging unggas dimasukkan ke dalam kulkas atau freezer untuk penyimpanan yang aman.
Pandemi ini sebetulnya momentum yang tepat dalam rangka membenahi kualitas produk perunggasan nasional. Ini merupakan tanggung jawab bersama baik dari pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menindak tegas pelaku usaha yang tidak memiliki NKV, karena ini berkaitan dengan nyawa manusia. Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam memilih produk unggas yang sudah terjamin mutunya. Bagi pelaku usaha, sudah saatnya lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat, tidak semata-mata mengejar profit belaka (People, Planet, Profit). Perguruan tinggi menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat dan juga dalam melakukan riset/inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Usaha perunggasan Indonesia semakin maju. ***
Oleh: Febroni Purba (Praktisi Peternakan Unggas Lokal)