-->

JANGAN PANDANG BIOSEKURITI SEBELAH MATA

Desinfeksi manusia yang masuk dan keluar kandang. (Foto: Ist)

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, manajemen pemeliharaan ayam pun ikut berkembang. Apalagi sejak diberlakukannya larangan penggunaan AGP (antibiotic growth promoter) dalam pakan, semua yang berkecimpung di sektor budi daya berlomba-lomba mengakali manajemen pemeliharaan agar performa tetap terjaga.

Budi daya ayam baik layer maupun broiler di zaman sekarang susah-susah gampang. Kini peternak dihadapkan pada pesatnya pertumbuhan ayam, namun lebih rentan terhadap faktor eksternal, seperti iklim, penyakit dan lain sebagainya.

Ditambah lagi AGP yang selama ini menjadi andalan untuk memacu pertumbuhan telah dilarang pemerintah. Tentunya ini semakin menjadi tantangan bagi para peternak dan semua stakeholder di sektor budi daya.

Padahal, sejak dulu sudah ada “obat” alami agar usaha budi daya lancar tanpa adanya gangguan penyakit. Namun begitu tidak semua peternak mau dan mampu mengaplikasikannya, yakni biosekuriti.

Dipandang Sebelah Mata
Sering didapati bahwa peternak tidak mengindahkan hal ini, misalnya saja kebebasan keluar-masuk suatu peternakan tanpa adanya treatment khusus. Padahal, treatment khusus semacam dipping atau semprot desinfektan merupakan salah satu aspek biosekuriti, dalam hal ini menjaga lalu lintas manusia.

Mengingatkan kembali bahwa ada beberapa aspek dasar dalam biosekuriti, yakni kontrol lalu lintas, vaksinasi, recording flock, menjaga kebersihan kandang, kontrol kualitas pakan dan air, serta kontrol limbah peternakan.

Dengan semakin berkembangnya zaman, ada juga peternak yang semakin sadar bahwa biosekuriti ini penting. Misalnya saja yang dilakukan oleh Jenny Soelistiyani, peternak layer asal Lampung. Wanita yang juga Ketua Pinsar Petelur Nasional (PPN) ini sedang giat-giatnya menggalakkan penerapan biosekuriti di peternakan layer.

“Penerapan biosekuriti yang baik mutlak harus dimiliki, enggak bisa disepelekan. Peternak harus mau berubah, lah wong zaman berubah masa tata cara beternak gitu-gitu aja,” tutur Jenny.

Apa yang diutarakan Jenny bukan tanpa alasan, terlebih lagi ketika AGP dilarang digunakan, otomatis untuk mencegah meledaknya wabah penyakit yang tak terkendali dibutuhkan upaya lain, menurut Jenny yang paling masuk akal adalah penerapan biosekuriti.

Jenny dan para peternak di Lampung kini sedang giat mengajak para peternak layer di Lampung untuk mengaplikasikan biosekuriti tiga zona. Ia dibantu oleh FAO ECTAD, akademisi dari Universitas Lampung (UNILA), pemerintah dan juga perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan.

“Semua turun tangan, FAO memberi penyuluhan dan teknis aplikasi, UNILA juga mendampingi peternak, dinas terkait juga aktif, perusahaan obat hewan juga jadi auditor internal kami, peternaknya jadi semangat dan rata-rata di sini peternak sudah mau mengaplikasikan biosekuriti tiga zona,” ungkapnya.

Penerapan biosekuriti di kandang dapat dimulai dengan hal sederhana. (Foto: Ist)

Menuai Hasil Manis
Ketika biosekuriti diterapkan dengan baik, hasil manis dituai oleh peternak. Misalnya saja yang dirasakan oleh Subadio, peternak layer asal Kecamatan Purbolinggo, Lampung, yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona di peternakannya.

Dirinya mengaku tertarik mengaplikasikan biosekuriti tiga zona karena dinilai… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2020) (CR)

WORKSHOP BIOSEKURITI UNTUK TINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN

Foto bersama workshop biosekuriti di Jakarta, Rabu (28/8/2019). (Foto: Infovet/Ridwan)

Dalam rangka Hari Lahir dan Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang ditetapkan setiap 26 Agustus sampai 26 September tiap tahunnya, PT Gallus Indonesia Utama (GITA), berkontribusi dengan menyelenggarakan
workshop biosekuriti bertajuk “Meningkatkan Daya Saing Perunggasan dengan Menerapkan Biosekuriti Tiga Zona”, Rabu (28/8/2019).

“Kami berniat untuk ikut berkontribusi dalam rangka Hari lahir dan Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia,” ujar Direktur Utama PT Gallus, Bambang Suharno, dalam sambutannya.

Workshop dihadiri oleh Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa. Dalam pidatonya Fadjar mengatakan, saat ini tren global sudah mengarah pada upaya pencegahan penyakit ternak, khususnya unggas. 

“Bukan lagi untuk pengobatan, tapi bagaimana upaya dalam mencegah penyakit. Biosekuriti ini satu hal yang sangat penting dan utama dalam menjaga terjadinya penyakit atau menyebarnya penyakit, jadi mengupayakan agar agen penyakit ini tidak masuk ke unggas,” katanya.

Menurutnya, ada banyak cara yang bisa dilakukan peternak dalam menghalau penyakit, diantaranya dengan membuat pembatas di peternakan atau mengontrol barang yang bisa menjadi media pembawa penyakit.

“Saat ini biosekuriti bisa diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan agar tidak menjadi mahal. Contoh, mencuci tangan itu merupakan tindakan biosekuriti. Sederhana saja, seperti biosekuriti tiga zona ini, bagaimana peternak bisa memilah antara zona kotor dan bersih untuk menghindari terjadinya penyakit,” ucap Fadjar.

Pada kesempatan tersebut, turut mengundang pembicara dari National Technical Advisor FAO ECTAD Indonesia, Alfred Kompudu, yang memberikan materi mengenai meningkatkan daya saing perunggasan dengan penerapan biosekuriti tiga zona, serta Sekretaris Umum ADHPI (Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia), Muhammad Azhar, yang memaparkan mengenai penerapan biosekuriti tiga zona guna menambah keuntungan peternak. Sesi presentasi dimoderatori oleh Direktur HRD PT Gallus, Rakhmat Nuriyanto.

Penyerahan buku panduan biosekuriti secara simbolis kepada Dirkeswan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa (ketiga kanan). (Foto: Infovet/Ridwan)

Dalam
workshop tersebut, seluruh peserta juga mendapat buku “Panduan Biosekuriti Peternakan Unggas Pasca Pelarangan AGP” yang ditulis oleh Alfred Kompudu. Selain itu, juga dilakukan penyerahan buku secara simbolis kepada Dirkeswan. (RBS)

ALFRED KOMPUDU (FAO) DAN M AZHAR (ADHPI) SIAP MENJADI NARASUMBER WORKSHOP BIOSEKURITI




Alfred Kompudu dari FAO ECTAD Indonesia dan Drh. M Azhar dari Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI) yang juga mantan Direktur Kesmawet (Kesehatan Masyarakat Veteriner) siap menjadi narasumber Workshop Biosekuriti yang diselenggarakan Gita Organizer bekerjasama dengan GITA Pustaka dan Majalah Infovet.

Workshop akan berlangsung Rabu, 28 Agustus 2019 di Hotel Sahati yang berlokasi tidak jauh dari kantor pusat Kementerian Pertanian Jakarta, diselenggarakan dalam rangka Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan. Adapun tema workshop adalah “Meningkatkan Daya Saing Perunggasan dengan Menerapkan Biosekuriti Tiga Zona”.

Menurut kedua narasumber, Indonesia perlu terus meningkatkan daya saing perunggasan karena ancaman masuknya impor daging ayam dari Brazil kian nyata. Terlebih dengan kekalahan Indonesia di sidang WTO atas gugatan Brazil yang sejak lama mengincar pasar Indonesia dan merasa dihambat oleh Pemerintah Indonesia dengan berbagai regulasi. Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing adalah dengan menerapkan biosekurit dengan baik.

Biosekuriti tiga zona merupakan konsep penerapan biosekuriti yang kini paling populer, karena mudah diterapkan dan terbukti efektif serta mampu menurunkan biaya pengobatan, mengurangi angka kematian serta otomatis meningkatkan laba peternak.

Dalam pelatihan ini , Alfred Kompudu yang juga dikenal sebagai Master Trainer Biosekuriti pada ACIAR juga akan menjabarkan "Analisa Ekonomi Implementasi Bio-3 Zona" hasil monitoring Oktober 2015 hingga Maret 2017.

Diantaranya keuntungan biosekuriti adalah penurunan penggunaan antibiotik 40% dan desinfektan 30%. Selain itu, penghematan biaya OVK (obat, vitamin, vaksin) hingga 10 Juta Rupiah (USD. 770. – Kurs $ awal tahun 2017).

Hari Lahir dan Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan

Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan berlangsung setiap tahun antara tanggal 26 Agustus sampai 26 September. Adapun tanggal 26 Agustus adalah Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan. Acara workshop diselenggarakan sebagai salah satu bentuk upaya meningkatkan kinerja peternakan dan kesehatan hewan, sehingga workshop ini sebagai bentuk kontribusi memeriahkan kegiatan dalam rangka Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Dr. Drh. I Ketut Diarmita menyambut baik dan mendukung acara ini .

Adapun mengenai Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagaimana disebut dalam Buku berjudul Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan terbitan GITAPustaka, penetapan tanggal 26 Agustus merukan hasil kajian Tim Ditjen Peternakan tahun 2004. Dari berbagai tanggal bersejarah, disimpulkan tanggal 26 Agustus tahun 1836 merupakan momen penting  karena pertama kalinya pemerintah (Hindia Belanda) secara resmi menerbitkan ketetapan melalui “plakat” yaitu suatu bentuk hukum atau dokumen berupa “Maklumat Pemerintah” yang menetapkan tentang “Larangan pemotongan sapi betina produktif.

Maklumat tersebut diumumkan dan disebar-luaskan dengan sifat “pemberlakuan segera/langsung” tanpa tenggang waktu sebagaimana Undang-Undang pada umumnya,  Atas dasar itulah maka tanggal 26 Agustus ditetapkan sebagai Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Ayo, jangan lewatkan kesempatan mengikuti workshop menarik ini untuk meningkatkan daya saing perunggasan sekaligus ikut berkontribusi dalam Bulan Bakti Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pendaftaran hubungi: 0818-0659-7525 (Aida).
***

BIOSEKURITI TIGA ZONA, ALTERNATIF AMPUH NAIKKAN PERFORMA


Biosekuriti, aspek yang penting diaplikasikan dalam peternakan namun kurang dimaksimalkan oleh para peternak di Indonesia. Sejak beberapa tahun silam, FAO ECTAD giat mengkampanyekan sistem biosekuriti tiga zona, seperti apakah biosekuriti tiga zona?

Prinsip paling mendasar dari biosekuriti adalah mencegah penyakit agar tidak masuk dan keluar dari suatu peternakan. Penerapannya terserah kepada masing – masing peternak, namun begitu karena alasan budget rerata peternak abai terhadap aspek biosekuriti. Setidaknya minimal ada tujuh aspek yang harus dilakukan dalam menjaga biosekuriti di peternakan menurut Hadi (2010) yakni : (1) kontrol lalu lintas, (2) vaksinasi, (3) recording flok (4) menjaga kebersihan kandang, (5) kontrol kualitas pakan,(6) kontrol air dan (7) kontrol limbah peternakan. Sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk diimplementasikan.

Mengganti alas kaki pada tiap zona, wajib hukumnya (Foto : CR)

3 Warna, 3 Zona

Kekhawatiran akan implementasi biosekuriti yang buruk di peternakan unggas Indonesia sudah lama dikhawatirkan oleh FAO ECTAD Indonesia. Terlebih lagi ketika AGP telah dilarang penggunaannya dalam pakan, bayang – bayang anjloknya performa makin menghantui peternak. Untungnya, kerumitan konsep biosekuriti bagi peternak berhasil disederhanakan oleh FAO ECTAD menjadi sistem biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut.

“Kami sudah beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred.

Dalam konsep biosekuriti tiga zona. suatu peternakan dibagi menjadi tiga wilayah yakni zona merah, kuning dan hijau. Zona merah berada di area luar peternakan yang menjadi batas antara media kontaminan dan peternakan. Zona kuning adalah zona peralihan yakni perantara zona merah dan hijau. Dalam zona ini orang yang masuk ke peternakan harus didesinfeksi bila perlu mandi dan berganti baju kerja, termasuk alas kaki. Sementara zona hijau adalah lokasi peternakan dan pekerja/individu yang sudah steril.

“Kalau diperhatikan, sederhana ya sebenarnya ini penggabungan aspek kontrol lalu lintas dan hygiene personal saja. Namun hal ini kami rasa cukup efektif, karena beberapa data yang kami kumpulkan, metode ini dapat mengurangi penggunaan antibiotik sebesar 40% dan reduksi penggunaan desinfektan sebesar 30%,” kata Alfred. Selain itu Alfred juga mengklaim bahwa investasi yang dikeluarkan untuk pengaplikasian sistem ini dapat menghasilkan keuntungan hingga 1:10.” Ada peternak yang mengeluarkan modal Rp. 10 juta dalam membangun sarana biosekuriti 3 zona, dan dia untung sebesar Rp. 100 – Rp. 120 juta,” kata Alfred.

Fakta di Lapangan

Infovet berkesempatan mengunjungi Subadio, peternak layer asal Kecamatan Purbolinggo, Lampung yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona di peternakannya. Dirinya mengaku tertarik mengaplikasikan biosekuriti tiga zona karena dinilai menguntungkan. “Di Lampung ada pendampingan dan penyuluhan bagi peternak yang ingin mengaplikasikan sistem ini, kami dibimbing langsung oleh Dinas Peternakan setempat, FAO ECTAD, UNILA, Technical Service produsen pakan dan PPN (Pinsar Petelur Nasional) Lampung,” tutur Subadio.

Tanpa pikir panjang Subadio membangun fasilitas seperti yang disarankan oleh para mentornya. Walhasil, kandang layernya yang baru setahun enam bulan berdiri mengalami banyak kemajuan. “Kandang saya sebelumnya bukan yang di sini mas, ini kandang baru tetapi produksi, performa dan nilai rupiah yang di dapat sangat menjanjikan,” tukas Subadio kepada Infovet. Pernyataan Subadio tadi didukung oleh data yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya saja kini disaat ayam di kandangnya menginjak usia sekitar 29 minggu produksinya stabil di angka 90% lebih. Selain itu dalam data juga disebutkan bahwa tingkat kematian ayam di peternakannya sangat rendah, hanya 1% dari 30.000 ekor populasi. “Di farm sini per hari enggak melulu ada yang mati mas, enggak kaya di farm saya yang satunya yang belum saya bangun biosekuriti tiga zona,” pungkas Subadio.

Ketika ditanya mengenai penyakit dan wabah AI, Subadio juga mengatakan bahwa belum pernah kandang tersebut terjangkit wabah mematikan semisal AI. “Paling penyakit cuma nyekrek – nyekrek (CRD) saja mas, kalau AI mah engak pernah kan lihat sendiri tadi recording saya, kalau bisa jangan sampai kena AI deh,” tukas Subadio. Ia juga mengaku bahwa ketika terjadi penyakit, petugas kesehatan di farm-nya hanya memberikan terapi suportif berupa pemberian vitamin beserta suplemen pemacu sistem imun. “Kasus yang agak parah kemarin sih ada beberapa ekor yang kena fowl pox, sudah dibakar yang mati, terus sisanya kita pisahkan, isolasi dan kita vaksin ulang sambil diberikan terapi suportif mas,” kata Subadio.

Perihal dana yang dikeluarkan, Subadio enggan menyebut nominal angka yang ia gelontorkan untuk membangun sistem tersebut. “Yang jelas enggak sampai seratus juta mas untuk sistemnya saja, kurang dari itu deh. Tapi hasil yang saya dapatkan Alhamdulillah sudah bailk modal itu biaya pembuatan sistemnya dalam dua bulanan,” papar Subadio.

Hal yang berbeda nampak pada kandang milik peternak layer lainnya, H. Tumino yang berasal dari daerah yang sama. H. Tumino yang telah menjadi peternak sejak tahun 1988 tidak mengaplikasikan sistem biosekuriti tiga zona di kandang miliknya. Hasilnya tentu bisa ditebak, performa dari layer miliknya tidak sebaik milik Subadio. 

Biaya menjadi alasan utama bagi H. Tumino yang tidak meng-upgrade kandangnya dengan sistem biosekuriti tiga zona. “Anak saya ada tujuh mas, masih sekolah tiga, kalau saya keluarkan uang buat kandang nanti mereka bisa terhambat sekolahnya,” tutur H. Tumino. Walaupun begitu, H. Tumino mengakui bahwa dirinya juga mendapatkan pendampingan dan penyuluhan dari pihak yang sama terkait penerapan biosekuriti tiga zona, hanya saja H. Tumino belum bisa mengaplikasikan hal tersebut. “Mungkin nanti ketika anak saya sudah pada selesai sekolahnya, baru saya rehab ini kandang, sebenarnya saya tertarik mas, tapi memang masih mentok kalau dalam hitungan saya,” tukas H. Tumino.
           
Penyuluhan Berkelanjutan

Terlepas dari memiliki niat atau tidaknya peternak di Lampung dalam mengaplikasikan sistem biosekuriti tiga zona, hal yang dilakukan para stakeholder peternakan unggas di Lampung patut diapresiasi. Pemerintah Daerah di Lampung mencanangkan provinsi Lampung sebagai zona bebas flu burung pada tahun 2021. Salah satu upaya dalam mengendalikannya yakni dengan penerapan biosekuriti tiga zona pada peternakan ayam yang ada di Lampung. Selain itu dalam menjamin food safety & security bagi konsumen, peternak layer di Lampung diwajibkan memiliki NKV.

Drh Madi Hartono sebagai pendamping dari UNILA lebih jauh menjelaskan program yang ada di Lampung. “Nantinya farm yang sudah punya sistem biosekuriti tiga zona ini akan diwajibkan memiliki NKV. Syaratnya NKV kan salah satunya punya sistem biosekuriti yang bagus kan?. Dengan adanya NKV kan peternak nyaman, konsumen aman mas,” tukas pria alumni FKH UGM tersebut.

Madi menyebutkan bahwa dalam mendapatkan NKV, peternak akan dibimbing dan didampingi oleh PPN Lampung, Dinas Peternakan, Produsen Obat Hewan dan Sapronak, FAO dan UNILA dari awal sampai NKV tersebut terbit. “Pertama kita survey dulu kandangnya, kita bantu buatkan denah, sistem, dan cek kelayakan lainnya. Beberapa waktu kita pantau, dan kalau sudah layak kita minta Dinas Provinsi untuk datang dan mengaudit, ketika ada koreksi dan penyesuaian dari Dinas tetap kita damping sampai NKV-nya terbit,” tutur Madi.

Dalam pengurusan NKV, peternak tidak dipungut biaya sepeser pun oleh Dinas. Hal ini dikemukakakn oleh Drh Anwar Fuadi Kepala Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung. “Kita enggak pungut biaya sama sekali, karena kita sadar bahwa dengan begitu kita juga membantu peternak. Kalau peternak lebih semangat, punya NKV, produksinya meningkat, kualitasnya bagus, kan kita juga bangga, kalau bisa semua peternak di sini punya NKV,” pungkas Anwar.

Data dari PPN Lampung menyebutkan bahwa jumlah populasi layer di Lampung sekitar 4 juta ekor, dengan produksi telur 200 ton perhari, dengan jumlah peternak mencapai kurang lebih 1.000 peternak yang tersebar di 8 Kabupaten dan populasi terbanyak di Lampung Selatan dan Lampung Timur. Sebanyak 20 persen dari produksi tersebut telah dipasarkan ke Jakarta.

Sertifikasi NKV merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan keamanan pangan dalam aspek hygiene & sanitasi, dengan adanya sertifikat NKV, suatu unit usaha dinilai layak dari aspek keamanan pangan sebagai produsen pangan asal hewan.

Selain itu NKV juga menjadi bukti bahwa produk milik peternak memiliki daya saing dalam perdagangan baik nasional maupun internasional. Anwar berharap kedepannya peternak di Lampung semakin peduli dan concern dalam mendapatkan sertifikat NKV, karena nilai jual produk akan semakin bertambah. “Untuk mendapatkan NKV, biosekuriti harus baik, minimal mengadopsi sistem biosekuriti tiga zona, makanya saya berterimakasih atas apa yang dilakukan oleh teman – teman di lapangan dalam membantu dan membimbing peternak – peternak kita di Lampung ini,” tutup Anwar. (CR)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer