-->

EMBRIO TERNAK BET CIPELANG MENARIK MINAT BANGLADESH

BET Cipelang, Bogor (Foto: Ditjen PKH)



Embrio ternak (pedet unggulan) hasil produksi Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, Bogor salah satu unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian menarik minat pemerintah Bangladesh.

Hal ini terbukti pada saat kunjungan delegasi Kementerian Perikanan dan Peternakan Bangladesh ke BET Cipelang, Senin, 21 Oktober 2019.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita ketika dikonfirmasi membenarkan hal tersebut dan mengatakan bahwa Kementan selalu mendorong kegiatan ekspor berbagai produk peternakan dan kesehatan hewan, termasuk untuk produk embrio ternak.

Untuk ekspor embrio ternak ini, Kementan masih melakukan pembahasan dan persiapan terkait tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan dikenakan, meliputi perhitungan biaya produksi dan distribusi ke negara lain.

“Setelah semua siap, kita dorong BET untuk segera ekspor produknya ke mancanegara,” ujarnya.

Sementara itu, Oloan Parlindungan, Kepala BET Cipelang menyampaikan bahwa ketertarikan para delegasi dari Bangladesh ini terlihat dari keinginan mereka untuk mengirimkan pegawai teknisnya ke BET Cipelang agar dapat belajar tentang embrio transfer di Indonesia.

Salah satu yang diminati adalah terkait pengembangan sapi Belgian Blue. Belgian Blue adalah salah satu sapi unggulan yang dikembangkan di BET Cipelang.

Sampai September 2019, terdapat 103 kelahiran Belgian Blue di BET Cipelang, dan jumlah ini adalah kedua terbanyak setelah BPTU-HPT Sembawa dengan jumlah kelahiran sebanyak 139 ekor.

“Mereka tertarik untuk belajar dan mengembangkan sapi dengan teknologi embrio transfer, dan juga belajar tentang pengelolaan kegiatan upaya khusus sapi indukan wajib bunting (Upsus Siwab),” tambahnya.

Hal senada diungkapkan oleh Pulakesh Mondal, Senior Assistant Chief, Ministry of Fisheries and Livestock Bangladesh yang menyatakan banyak hal penting yang dipelajari oleh delegasi Bangladesh di BET Cipelang ini.

“Kami punya banyak Balai Inseminasi Buatan di Bangladesh, tapi belum ada unit yang menangani transfer embrio, dan ini menarik bagi kami,” lanjutnya.

Kunjungan delegasi Bangladesh kali ini masih merupakan rangkaian dari kegiatan Livestock & Dairy Development Project (LDDP), suatu program peningkatan kapasitas dari pemerintah Bangladesh yang didanai oleh Bank Dunia.

Tujuan dari kunjungan delegasi Bangladesh ke Indonesia ini adalah untuk memahami beberapa praktek pengelolaan persusuan, strategi produksi, sampai pada bagaimana peternak mendapat manfaat dari industri persusuan di lndonesia. Di BET Cipelang mereka belajar bagaimana menciptakan sapi perah yang mempunyai produksi susu tinggi melalui teknologi embrio transfer dan inseminasi buatan.

“Ini adalah kali kedua dalam tahun ini, Kementerian Perikanan dan Peternakan Bangladesh mengirimkan para pejabat dan stafnya untuk belajar ke Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa sistem pengembangan sapi dan pengelolaan persusuan di Indonesia diakui kualitasnya,” pungkas Ketut. (Sumber: monitor.co.id)

PEMERINTAH SIAP ANTISIPASI WABAH ASF

Dirjen PKH : Pemerintah siap mengantisipasi ASF


Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita angkat bicara mengenai African Swine Fever (ASF) dalam sebuah acara Seminar International mengenai ASF di Bogor, Sabtu (19/10). Pada kesempatan itu, dirinya menjelaskan upaya peningkatan kewaspadaan penyebaran wabah. "Tindakan kewaspadaan terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis yang meliputi pengamatan/deteksi cepat, pelaporan cepat dan pengamanan cepat” tegas I Ketut Diarmita.

Diarmita menambahkan, ASF bersifat highly pathogenic pada babi ternak dan babi hutan, serta menyebabkan kematian yang tinggi, dampak dari penyakit tadi berupa kerugian ekonomi yang sangat tinggi. “Negara seperti Cina saja sudah dibuat ketar – ketir dengan penyakit ini, Indonesia walaupun mayoritas muslim dan tidak banyak konsumsi babi, tapi kan babi ini sumber devisa, tidak ada alasan untuk tidak waspada,” tuturnya.

Dengan upaya yang dilakukan Kementan bersama stakeholders yang berkepentingan, Diarmita menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan langkah cepat dan eksekusi bila penyakit ASF terjadi. Menurutnya, upaya yang dilakukan selama ini sebenarnya sudah tepat. Namun dalam mengamati perkembangannya,  penyakit ini yang sangat cepat dan mendekati perbatasan wilayah Indonesia.

Artinya potensi ancaman masuknya ASF ke Indonesia sangat besar. Terkait dengan kondisi tersebut, tindakan kewaspadaan dini terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis. Indonesia termasuk wilayah yang terancam, mengingat populasi babi yang sangat tinggi di beberapa wilayah antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, NTT, Bali, Papua, dan Papua Barat.

Oleh karena itu, pemerintah sedang menyiapkan pedoman kesiapsiagaan darurat veteriner ASF (Kiatvetindo ASF). Ada empat tahapan penanggulangan yaitu : 1.Tahap Investigasi 2. Tahap Siaga 3.Tahap Operasional dan 4. Tahap pemulihan.Hal lain adalah sosialisasi terkait ASF di wilayah-wilayah risiko tinggi, membuat bahan komunikasi, informasi dan edukasi untuk di pasang di bandara, pemantauan dan respon terhadap kasus kematian babi yang dilaporkan melalui iSikhnas, membuat penilaian risiko masuknya ASF ke Indonesia sehingga membantu meningkatkan kewaspadaan.

Karantina Siaga
Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Agus Sunanto juga menegaskan Badan Karantina Pertanian (Barantan) akan turut melakukan upaya antisipatif. Hal yang dilakukan diantaranya memperketat serta meningkatkan kewaspadaan pengawasan karantina di berbagai tempat pemasukan negara.

Beberapa kali Barantan berhasil menggagalkan masuknya komoditas yang berpotensi membawa virus ASF, seperti daging babi, dendeng, sosis, usus dan olahan babi lainnya. Sebagai contoh, Karantina Pertanian Bandara Intenasional Soekarno Hatta sepanjang 2019 hingga bulan September telah menyita komoditas petensial sebanyak 225,28 kg yang berasal dari barang bawaan penumpang.

Selain melakukan pengawasan, Agus menjelaskan pihaknya merangkul semua instansi, baik di bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara, seperti Bea dan Cukai, Imigrasi, unsur airlines, agen travel serta dinas peternakan di daerah. Menurut Agus, Kementan telah menghitung potensi kerugian kematian akibat ASF. Apabila dihitung 30 persen saja populasi terdampak, maka kerugian peternakan babi dapat mencapai Rp7,6 triliun.

Selain itu, Indonesia akan kehilangan pasar ekspor dan potensinya, baik untuk babi maupun produknya. Saat ini Indonesia memiliki banyak peternakan babi, dan merupakan salah satu pemasok utama bagi pasar Singapura. (CR)



AGAR PENCERNAAN BEKERJA OPTIMAL

Kepadatan kandang harus diperhatikan agar meminimalisir stres yang bisa memicu penyakit pencernaan. (Foto: Dok. Infovet)

Dalam aspek pemeliharaan ayam, banyak sekali tantangan yang dihadapi peternak. Masalah pada saluran pencernaan kerap kali terjadi, baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Lebih kece lagi ketika keduanya berkomplikasi dan menimbulkan masalah yang epik di lapangan.

Seperti yang pernah dialami oleh peternak broiler kemitraan asal Bogor, Supendi. Ketika kebijakan pakan non-AGP (Antibiotic Growth Promoter) mulai diberlakukan, dirinya merasa performa ayam di kandangnya menurun cukup drastis. Hal ini semakin rumit karena diperparah dengan cuaca ekstrem, sangat panas di siang hari dan dingin di malam hari.

“Awalnya ayam cuma diare, terus saya kasih obat anti diare. Setelah jalan dua hari bukannya sembuh enggak tahunya malah diare berdarah gitu. Saya panik, langsung telepon TS obat, besoknya dateng konsultasi dan fix ayam saya kena koksi,” tutur Supendi kepada Infovet

Saat itu untungnya ayam sudah berusia 25 hari, walaupun bobot badannya di bawah standar, Supendi langsung melakukan panen dini ketimbang merugi lebih lanjut. Ia pun langsung berbenah, semua aspek yang berkaitan dengan kasus yang ia alami langsung diperbaiki dan cari tahu penyebabnya. 

“Pakan dan air minum tidak bermasalah, semua aspek saya sudah penuhi. Tetapi memang mungkin saya teledor pada cara pemeliharaannya, memang beda ketika AGP sudah dilarang, cara pelihara juga harus berubah,” ungkap dia.

Merubah Cara Pandang 
Dilarangnya AGP kerap kali dijadikan kambing hitam oleh peternak di lapangan terkait masalah yang mereka alami. Tidak semua orang seperti Supendi, memiliki pemikiran positif dan mau merubah tatacara budidayanya. Di luar sana masih banyak peternak yang sangat yakin bahwa AGP adalah “dewa” yang harus hadir disetiap pakan unggasnya.

Seorang nutrisionis PT Farmsco Indonesia, Intan Nursiam, mengakui bahwa saat ini mindset dari peternak harus diubah, utamanya terkait pakan. “Semua produsen pakan pasti berlomba-lomba dengan keadaan yang ada saat ini tentang bagaimana menggantikan AGP dengan formulasi yang terbaik. Masalahnya, mindset peternak ini sulit diubah, mereka pasti akan selalu menganggap pakan merk A, B dan sebagainya udah tidak sebagus dulu. Hal ini wajar, soalnya tiap formula berbeda, tinggal peternaknya saja,” kata Intan.
Lebih lanjut dikatakan, jika mindset peternak tidak kunjung berubah di era yang memang sudah berubah ini, tentunya akan... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019.

PENUHI KEBUTUHAN SUSU NASIONAL, FRISIAN FLAG GANDENG PETERNAK SAPI LOKAL



Milking Parlour System dengan mesin modern di Dairy Village, Subang (Foto: Istimewa)

             

PT Frisian Flag Indonesia (FFI) menggandeng kemitraan dengan peternak sapi perah lokal untuk membeli susu mereka. Produksi susu lokal diklaim baru bisa memenuhi 19 persen dari kebutuhan konsumsi susu nasional.

Dalam bincang-bincang Bewara bersama para peternak sapi perah di Tulungagung, Jumat malam, 18 Oktober 2019 lalu, Fresh Milk Relationship Manager Frisian Flag Indonesia Efi Lutfillah mengatakan konsumsi susu masyarakat Indonesia saat ini sebesar 16,5 kilogram per orang per tahun. Sementara produksi lokal baru mencapai 864,6 ribu ton atau sekitar 19 persen dari kebutuhan nasional sebanyak 4,5 juta ton.

“Artinya kebutuhan susu untuk konsumsi nasional masih cukup tinggi. Ini pasar yang jelas bagi peternak sapi perah kita untuk bermain di sana,” kata Efi.

Tingginya kebutuhan susu nasional ini, menurut Efi Lutfillah, tak akan bisa dipenuhi perusahaan susu seperti Frisian Flag tanpa dukungan dari peternak sapi perah Indonesia. Hal ini pula yang mendorong FFI membangun kemitraan dengan koperasi peternak sapi di berbagai daerah, termasuk Jawa Timur.

Tak hanya menerima produksi susu peternak, FFI memberikan pendampingan mulai hulu hingga hilir untuk menggenjot produktivitas peternak. Melalui program edukasi Bewara, FFI mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peternak agar mampu bekerjasama dalam kelompok.

Di Kabupaten Tulungagung, FFI sukses menggandeng kemitraan dengan Koperasi Bangun Lestari. Koperasi ini memiliki keanggotaan yang cukup luas meliputi Tulungagung, Blitar, Trenggalek, dan Ponorogo, dengan kapasitas produksi 50.000 liter per hari. Sedikitnya terdapat 1.000 peternak dengan 5.000 ekor sapi yang dikelola anggota koperasi ini.

“Kami sangat diuntungkan dengan kerjasama ini,” kata Nurdin Afandi, Sekretaris Koperasi Bangun Lestari.

Selain pendampingan manajemen kandang, para peternak juga mendapat kepastian harga dari FFI. Negosiasi soal harga dengan FFI juga lebih egaliter dibanding perusahaan susu lain. FFI juga telah mengirimkan salah satu peternak Tulungagung ke Belanda untuk melihat langsung peteranakan sapi di sana.

Kepala Divisi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Epi Taufik mengatakan pengetahuan dan pemahaman para peternak sapi perah lokal masih harus diperbarui. Banyak sekali kesalahan dalam manajemen kandang, pemberian pakan, hingga teknik memerah yang merugikan peternak. “Selain kualitas susunya buruk, produktivitas sapi juga turun,” kata Epi.

Dia berharap program kemitraan yang dibangun FFI dengan Koperasi Bangun Lestari ini bisa memacu produksi susu lokal, serta mengurangi ketergantungan pada produk impor. (Sumber: bisnis.tempo.co).

LANGKAH PRAKTIS PENGENDALIAN GANGGUAN PENCERNAAN UNGGAS

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Overview
Sejak Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2017 di keluarkan dan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dicabut per Januari 2019, kejadian gangguan penyakit pencernaan mulai meningkat dan signifikan berpengaruh terhadap kondisi intestinal ayam.

AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif, yaitu bakteri Clostridium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan sering terjadi.

Menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566), menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) bahwa kejadian NE yang bersifat subklinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Fenomena kejadian NE seperti fenomena gunung es, dimana yang bersifat subklinis justru lebih besar dibandingkan yang klinis. Kejadian NE subklinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, ADG (Average Daily Gain) yang tidak tercapai dan FCR (Feed Conversion Ratio) yang buruk.

NE, Koksidiosis dan Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada ayam broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal, yakni Koksidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti setelah serangan Koksi dan biasanya terjadi di sekitar duodenum. Masuknya Koksi akan menembus fili-fili usus. Banyaknya sel usus yang rusak merupakan pintu bagi masuknya bakteri Clostridium perfringens. Serangannya pun tidak tanggung-tanggung, yakni sepanjang usus itu sendiri. Kasus yang terjadi pada broiler lebih banyak disebabkan... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019)

Drh Sumarno
Senior Manager AHS, PT Sierad Produce Tbk

PEMBELAJARAN WABAH ASF DI CHINA DAN VIETNAM


 
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD sebagai salah satu pembicara seminar ASOHI Jateng (Foto: Istimewa)

Virus African Swine Fever (ASF) disebut-sebut sebagai top killer industri babi. Suatu penyakit virus yang menyerang babi dan ditemukan pertama kali di Kenya pada 1921. Virus ASF membunuh babi dengan menyebabkan demam hemoragik yang ekstrim dan menghancurkan limfosit secara masif dalam jaringan limfa.

Pembahasan ASF dikupas secara menarik dan mendalam dalam Seminar “Strategi Antisipasi Penyebaran Virus ASF” di Studio Dreamlight World Media, Ungaran yang diselenggarakan ASOHI Jateng dan PDHI. Seminar berlangsung pada Sabtu, 12 Oktober 2019. 

Pembicara dari Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menerangkan penyebab ASF adalah virus yang unik, satu-satunya anggota keluarga Asfarviridae yaitu virus DNA yang dapat ditularkan oleh caplak (tick-borne DNA virus).

“Genom yang besar, dengan setengah dari proteinnya tidak diketahui fungsinya. Siklus penularan yang unik di antara babi-babi domestik, babi hutan liar dan caplak lunak, belum lagi virus ini punya daya tahan (survivability) in vitro yang tinggi,” lanjutnya.

Lebih lanjut Tri Satya Putri Naipospos memaparkan presentasinya yang berjudul "African Swine Fever: Pembelajaran dari Wabah di China dan Vietnam".  

Sejak ditemukan pada Agustus 2018, ASF menyebar ke setiap provinsi di daratan China. ASF diperkirakam menjangkiti 150-200 juta ekor babi, dugaan kerugian produksi daging babi mencapai 30%.

Penyebab penyebaran ASF di China diantaranya lalu lintas jarak jauh babi hidup dan produk babi 16,3%, transportasi kendaraan dan orang 40.8%, sisa-sisa makanan untuk babi (swill feeding) 42,9%. Uraian presentasi Tri Satya bersumber dari Dr Shengqiang Ge dari China Animal Health and Epidemiology Center.

Pembangunan kembali industri babi di China akan berjalan lambat dan butuh bertahun-tahun. Produsen akan tetap waspada mengingat resiko kontaminasi ulang dan difokuskan kepada peningkatan biosekuriti pada operasi yang tersisa.

Populasi babi di China sekitar 440 juta ekor babi, lebih dari 90% rumah tangga di China memelihara babi.  

“Seringkali dengan biosekuriti terbatas, sedikit atau tidak ada mekanisme pengendalian yang dapat digunakan untuk memastikan virus tidak ditularkan lewat truk, melalui pakaian orang yang masuk ke peternakan, atau dalam pakan dimana virus bertahan untuk jangka waktu lama,” jelasnya.

Sementara kasus wabah ASF di Vietnam pada Februari 2019 pertama terdeteksi di Provinsi Thai Binh dan Hung Yen, yang lokasinya di tenggara ibukota Hanoi kira-kira 160 km dari perbatasan China.

Vaksin yang dikembangkan di National University of Agriculture menunjukkan sukses awal dalam memerangi ASF, tapi para ahli skeptis dan mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Dr Sauland Sinaga SPt, MS sebagai narasumber berikutnya memaparkan presentasi berjudul “Strategi Manajemen Pemeliharaan Mencegah ASF”.

Imbauan AMI dalam mewaspadai penyebaran ASF antara lain negara harus menghentikan impor babi dan olahan dari negara terduga, peternak menghindari membawa olahan babi di kandang, bandara harus menghanguskan sisa makanan pesawat di pelabuhan dan di bandara yang berasal dari negara terduga.

Diuraikan juga lima elemen biosekuriti diantaranya isolasi/pemisahan, sanitasi dan desinfeksi, pengendalian lalu-lintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai babi. (NDV)

MENELISIK KESIAPAN INDUSTRI TELUR OLAHAN INDONESIA

FGD BBA 38 Membahas Probabilitas Industri Pengolahan Telur


Fluktuasi harga telur yang kerap terjadi menjadi permasalahan sendiri bagi peternak layer. Oleh karenanya pembentukan industri telur olahan bisa jadi alternatif dalam mengakali hal tersebut. Itulah yang dibahas dalam Focused Group Discussion (FGD) mengenai industri telur olahan (tepug telur) di Jakarta (17/10) yang lalu.

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh LSM Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) melalui acara bertajuk Bincang – Bincang Agribisnis (BBA). Yeka Hendra Fatika Ketua PATAKA mengatakan bahwa perlu dilakukan upaya dalam menyelesaikan masalah ini sehingga peternak ayam petelur dapat bernafas lebih lega. “Saya rasa industri ini sangat mungkin untuk dibuat di negeri kita, secara umum kan kita surplus untuk produksi telurnya dan ini bisa jadi solusi bagi permasalahan fluktuasi harga telur,” tuturnya membuka diskusi.

Pernyataan Yeka didukung oleh data yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita. Menurut data yang dipaparkan oleh Ketut, produksi telur dalam empat tahun terakhir rata-rata meningkat 1 juta ton. Tahun 2019, potensi produksi telur mencapai 4.753.382 ton dengan rata-rata produksi per bulan 395.187 ton.Produksi tersebut telah melampaui kebutuhan telur nasional tahun ini sebanyak 4.742.240 ton dengan rata-rata konsumsi per bulan 395.187 ton. Dengan begitu, kata Ketut, Indonesia tahun ini sudah mencapai surplus telur 11.143 ton. “Ketika kita surplus, tapi tidak bisa barang ni diekspor, mau nggak mau kan kita harus mencari akal, nah hayo siapa disini integrator yang berani mengambil peluang bisnis tepung telur ini?.” kata Ketut.

Bisnis pengolahan tepung telur dianggap prospektif di Indonesia, pasalnya impor tepung telur Indonesia menunjukkan peningkatan. Dari data Badan Pusat Statistik yang dipaparkan saat diskusi, impor kuning telur dan putih telur pada 2015 sebesar 1.310,33 ton. Volume impor meningkat menjadi 1.785,1 ton pada 2018. Memasuki 2019, kurun waktu Januari-Agustus impor tepung telur sebesar 1.130,27 ton.

Kendati demikian, Ketua Umum GPPU Achmad Dawami mengingatkan bahwa untuk menghadirkan industri ini membutuhkan investasi, pengalaman, waktu, skala, dan pendanaan yang perlu dikoordinasikan sejumlah pihak. "Investasinya bukan sedikit untuk industri karena betul-betul higienis. Telur media yang paling gampang terkontaminasi dengan bakteri, pasti pabriknya seperti laboratorium," ujarnya.
Selain itu, perlu dukungan penyediaan tempat atau lahan untuk pembangunan pabrik tepung telur. Terkait hal tersebut, kemudahan perizinan dan pendanaan dari bank dinilai sangat menentukan.Pemerintah pun perlu membuat kebijakan yang mendukung seperti insentif pajak. "Operasionalnya biar swasta yang jalan," imbuhnya.Industri tepung telur ini menurut Dawami tidak hanya sebagai penyangga, namun bisa berskala besar. (CR)





KONTES KAMBING FESTIVAL WONOMERTO 2019

Peternakan kambing (Foto: Google Image)


Selain pengenalan potensi lokal, pergelaran kontes kambing Festival Wonomerto 2019 diharapkan bisa mendorong pengembangan sentra ternak di wilayah setempat.

Kepala Desa (Kades) Wonomarto, Kecamatan Kotabumi Utara, Waskito Yusika, mengatakan pergelaran kontes kambing di Festival Wonomerto 2019 ini diharapkan akan menjadi penyemangat peternakan rakyat untuk lebih berupaya mengembangkan usahanya di bidang peternakan khususnya kambing.

"Sehingga, bukan sebatas daya dukung desa menjadi kawasan sentra ternak, tapi sekaligus menjadi daya dukung bagi masyarakat untuk peningkatan ekonomi," kata dia di lokasi bendungan Tirta Sinta, Desa Wonomarto Kecamatan setempat, Kamis 17 Oktober 2019.

Kabid Peternakan Dinas Pertanian Lampung Utara, Yuli Endratmoko mengatakan, ada lima kategori yang dilombakan, yakni kategori kecantikan (rias), kelas ekstrem (bobot badan), calon pejantan rambon, dan kambing betina rambon.

"Kontes ini bukan hanya menjadi motivasi bagi masyarakat untuk berbudidaya kambing, tapi juga mencari indukan unggul agar kambing yang dibudidayakan bukan hanya unggul dari jumlah anakan tapi juga berat dagingnya," kata dia. (Sumber: www.lampost.co)

MEMAHAMI PENTINGNYA TITER ANTIBODI

Kegagalan vaksinasi dapat berakibat fatal. (Foto: Dok. Infovet)

Usaha peternakan ayam merupakan usaha yang membutuhkan investasi besar dan penuh risiko. Salah satu ancaman terhadap investasi tersebut adalah tantangan penyakit, khususnya penyakit viral yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan. Tentunya dengan maraknya penyakit viral yang ada dan menjangkiti ayam, perlu dilakukan usaha berupa program vaksinasi dan biosekuriti, perlu juga melakukan monitoring status kesehatan ayam yang dipelihara. Monitoring status kesehatan ayam dapat dilakukan dengan pemantauan titer antibodi, yaitu uji serologi.

Sistem Kekebalan Ayam
Secara umum sistem kekebalan pada unggas hampir sama dengan sistem kekebalan hewan lainnya. Sistem kekebalan unggas juga ada yang merupakan sistem kebal alami yang bersifat fisik seperti bulu dan kulit maupun kimiawi, seperti pembentukan lendir/mukus dan enzimatis (lisozim yang terkandung dalam air mata).

Sistem kekebalan lainnya adalah sistem kebal dapatan yang bersifat seluler maupun humoral. Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan tubuh. Selama perkembangan janin, prekursor limfosit berasal dari sumsum tulang. Pada unggas, prekursor yang menempati bursa fabricius di transformasi menjadi limfosit yang berperan dalam kekebalan humoral (limfosit B). Sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel B memori. Sel T dibagi menjadi empat, yaitu sel T pembantu, sel T supresor, sel T sitotoksik (sel T efektor atau sel pembunuh) dan sel T memori (Ganong 1998).

Anak ayam yang baru menetas memiliki antibodi maternal yang diturunkan dari induknya. Antibodi maternal yang diperoleh secara pasif dapat menghambat pembentukan imunoglobulin, sehingga mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Penghambatan antibodi maternal berlangsung sampai antibodinya habis, yaitu sekitar 10-20 hari setelah menetas (Tizard 2004). Anak ayam yang antibodi maternal asal induknya telah hilang akan menjadi sangat rentan terhadap infeksi penyakit di alam. Oleh karena itu perlu dilakukan vaksinasi untuk merangsang sistem kekebalan anak ayam.

Antibodi merupakan suatu molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara limfosit B dengan bibit penyakit atau agen asing (termasuk vaksin). Antibodi ini berfungsi menetralisir bibit penyakit yang berhasil menginfeksi ke dalam tubuh ayam. Kemampuan titer antibodi dalam menetralisir infeksi bibit penyakit akan optimal jika titernya protektif.

Diketahui bahwa antibodi ini berperan sebagai “satuan pengamanan” yang akan menetralisir/menghancurkan agen penyakit sesuai dengan jenis antibodi yang terbentuk. Sebagai contoh, ketika titer antibodi AI di dalam tubuh rendah, secara kasat mata ayam tidak menunjukkan gejala apapun. Namun ketika ada serangan bibit penyakit dari lapangan, titer antibodi yang rendah tersebut tidak mampu menghalau serangan, walhasil outbreak pun tak dapat dielakkan.

Berbeda halnya jika dilakukan... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019)


Oleh Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

AWAS! PERNAPASAN TERSUMBAT KEUNTUNGAN TERHAMBAT

Kepadatan ayam yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kemungkinan infeksi penyakit pernapasan. (Foto: Dok. Infovet)

Sudah dipelajari ditingkat sekolah dasar, menengah dan bahkan pendidikan tinggi bahwa salah satu dari beberapa ciri mahluk hidup adalah bernapas. Tanpa terkecuali ternak unggas, penyakit pernapasan masih menjadi hal yang mendominasi dan ditakuti para peternak karena dapat berakibat fatal.

Mengingat masa perkuliahan, bahwa ada tiga organ vital yang dapat menjadi penyebab kematian hewan maupun manusia, yakni otak, jantung dan paru-paru. Otak tentunya berkaitan dengan sistem syaraf, bisa dibilang otak adalah prosesor dari suatu organisme. Jantung, tentunya berkaitan dengan sistem sirkulasi dan peredaran darah. Sedangkan paru-paru berkaitan dengan sistem respirasi atau pernapasan. Jika salah satu diantara ketiga sistem tersebut tidak bekerja dengan baik, maka sistem akan rusak. Pada unggas, terutama unggas komersil, sistem pernapasan merupakan sistem yang sering menjadi kendala dalam usaha budidaya, baik skala kecil maupun besar.

Hukum Sebab-Akibat
Mengapa penyakit pernapasan sering terjadi dan cenderung berulang? Jawabannya adalah karena industri perunggasan yang berkembang pesat ditambah perkembangan unggas modern saat ini yang pertumbuhannya sangat cepat. Peternak kawakan sudah pasti memahaminya. Ayam ras dahulu butuh waktu lebih lama untuk mencapai panen, kurang lebih hampir 2 bulan. Namun ayam ras modern kini tidak memerlukan waktu yang lama, cukup 4-5 minggu pun sudah bisa dipanen dengan bobot badan lebih dari 1 kg. Tentunya dengan beberapa syarat, seperti manajemen yang baik, biosekuriti dan lain sebagainya.

Namun sangat disayangkan, perkembangan genetik ayam ras yang sangat cepat dan baik masih terkendala dengan cara budidaya yang monoton. Sehingga impaksinya dapat terlihat dari indeks performa dan hasil panen yang kurang memuaskan, serta mudahnya ayam terserang penyakit yang mengakibatkan mortalitas tinggi serta kerugian besar.

Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Prof Wayan Teguh Wibawan, ayam ras masa kini merupakan ayam dengan profil genetik yang baik dan unggul, tetapi... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019)

Oleh Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

KEMENTAN SAMPAIKAN CARA MENCEGAH PENYAKIT DEMAM BABI AFRIKA

Penyakit ASF diketahui mengakibatkan kerugian ekonomi tinggi di sektor peternakan babi (Foto: Dok. Kementan)



Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerjasama dengan instansi terkait serta Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) terus memperkuat kolaborasi dalam menanggapi kemungkinan terjadinya penyakit demam babi Afrika (ASF) di Indonesia. Hal ini didasari dengan sudah mewabahnya virus ASF di China, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, dan Timor Leste. Informasi tersebut disampaikan Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Rabu (16/10/2019).

Menurutnya penyakit demam babi Afrika (ASF) adalah penyakit virus menular yang menyerang babi. Penyakit ini menyebabkan kematian hingga 100 persen pada babi yang diternakkan (domestikasi), juga dapat menulari babi liar yang lebih tahan dan dapat menjadi reservoir virus

Penyakit babi ini diketahui dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi pada sektor peternakan babi. Virus ASF dapat menyebar dengan mudah, baik melalui melalui kontak langsung dengan babi ataupun ektoparasit (caplak) yang terkontaminasi, pemberian pakan babi yang berasal dari sisa daging babi atau produk olahannya yang tidak dimasak sempurna, material pembawa (fomites) termasuk pekerja, pengunjung, petugas, peralatan peternakan, dan kendaraan serta pakan mentah yang terkontaminasi.

Untuk menilai potensi risiko masuk dan menyebarnya ASF di Indonesia, Fadjar menyampaikan bahwa Kementan sebelumnya telah melakukan pertemuan antar sektor tingkat daerah dan nasional di Sumatera Utara pada tanggal 7 – 8 Oktober 2019. 

Pertemuan tersebut bertujuan untuk merancang rekomendasi mitigasi risiko pengendalian kasus apabila terjadi dikemudian hari. Berbagai sektor dari lingkup Kementerian Pertanian seperti Direktorat jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor serta Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, bersama-sama dengan pemerintah daerah di provinsi Sumatera Utara, pihak bandara, pelabuhan dan peternak babi ikut serta melakukan analisis risiko dan estimasi risiko dari wabah ASF.

"Risiko terjadinya ASF harus kita petakan dan nilai, sehingga Indonesia siap untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mencegah masuknya penyakit, dan juga siap untuk mengendalikan apabila nanti terjadi" ungkapnya.

Rekomendasi Mitigasi Risiko

Fadjar juga menjelaskan bahwa mitigasi risiko yang efektif, komprehensif, dan terintegrasi antar sektor terkait merupakan kunci untuk mencegah masuk dan menyebarnya virus ASF di Indonesia. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk tim surveilans untuk melakukan pengawasan dan respon penyakit secara partisipatif bersama masyarakat dengan edukasi, pendampingan peternak/rumah tangga peternak babi.

Fadjar Sumping Tjatur Rasa
Lebih lanjut, Fadjar menyampaikan pentingnya melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada bupati/walikota untuk penerbitan peraturan bupati/ walikota untuk pembatasan lalu lintas babi dan produk babi, penutupan wilayah serta mengupayakan dana tanggap darurat pada pemerintah kabupaten/kota.

"Kita juga harus melakukan tindakan mencegah masuknya ASF ke wilayah dan peternakan yang belum tertular dengan memperketat kebijakan impor, dan mengontrol setiap produk babi yang masuk ke Indonesia," tambahnya. Selain itu diperlukan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) untuk peningkatan pengetahuan yang baik di kalangan peternak dan masyarakat umum terutama di daerah dengan populasi babi yang banyak.

Hal penting lain menurut Fadjar adalah pentingnya pemahaman tentang ASF dan penerapan biosekuriti yang ketat dan berkelanjutan oleh peternak babi dan peternakan komersial. Ini dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui bimbingan teknis terstruktur.

"Pemerintah daerah juga harus mulai mengidentifikasi dan meregistrasi pedagang/pengepul dan pemotong babi serta alat angkut yang digunakan. Hal ini diperlukan agar tidak ada kontaminasi oleh virus ASF dan mengurangi risiko penularan/penyebatan," jelasnya.

Menghindari keresahan masyarakat terhadap bahaya ASF, Fadjar menegaskan bahwa penyakit ini tidak berbahaya bagi manusia atau bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat (non-Zoonosis).

Namun demikian, virus ini dapat bertahan lama dalam suhu dingin maupun panas dan relatif tahan terhadap disinfektan serta sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif melawan virus ASF. 

"Setelah babi terinfeksi, cara paling efektif untuk mencegah penyebaran adalah dengan memusnahkan populasi babi yang tertular," pungkasnya. (Rilis Kementan) 

HARI PANGAN SEDUNIA 2019 : MARI PERBAIKI KUALITAS MAKANAN KITA

Peringatan Hari Pangan Sedunia 2019 : Mari Perbaiki Kualitas Makanan Kita

Hari Pangan Sedunia (World Food Day) diperingati setiap tanggal 16 Oktober dengan menyoroti perlunya upaya yang lebih keras untuk mengakhiri kelaparan dan bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya. Peringatan ini juga diadakan untuk memastikan keamanan pangan dan pola pangan sehat tersedia untuk semua orang. Tema Global Hari Pangan Sedunia tahun ini adalah “Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk  #Zerohunger ”

“Mencapai “Tanpa Kelaparan” (Zero Hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Tahun ini, Hari Pangan Sedunia menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard. Hari Pangan Sedunia dirayakan setiap tahun, tepat pada hari lahir FAO. Hari ini adalah salah satu hari terbesar dalam kalender PBB. Peringatan ini diadakan pada lebih dari 150 negara yang menyatukan pemerintah, sektor bisnis, LSM, media, komunitas  dan menyerukan aksi untuk mencapai SDG2 - Zero Hunger.

Dalam beberapa dekade terakhir, secara dramatis kita telah mengubah pola pangan sebagai akibat dari globalisasi, urbanisasi dan bertambahnya pendapatan. Kita telah beralih dari pangan musiman, terutama produk nabati yang kaya serat, pada makanan yang kaya akan pati, gula, lemak, garam, makanan olahan, daging dan produk hewani lainnya.  Waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makanan di rumah semakin sempit. Konsumen, terutama di daerah perkotaan, semakin bergantung pada supermarket, gerai makanan cepat saji, makanan kaki lima dan makanan pesan antar.

Kombinasi dari pola pangan yang tidak sehat serta gaya hidup yang kurang aktif telah menjadi faktor risiko pembunuh nomor satu di dunia. Kebiasaan ini telah membuat angka obesitas melonjak, tidak hanya di negara maju, tetapi juga di Negara - negara berpendapatan rendah,  di mana kekurangan dan kelebihan gizi sering terjadi bersamaan.  Saat ini, lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (5–19 tahun) mengalami obesitas, dan lebih dari 40 juta anak balita kelebihan berat badan, sementara lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan. Di Indonesia, 30,8% anak tergolong stunting (kekerdilan), 10,2% anak-anak di bawah lima tahun kurus dan 8% mengalami obesitas.

Hari Pangan Sedunia 2019 menyerukan aksi untuk membuat pola pangan sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Untuk ini, kemitraan adalah hal mendasar. Petani, pemerintah, peneliti, sektor swasta dan konsumen, semua memiliki peran untuk dimainkan,”kata Rudgard.

Kementan memberikan perhatian khusus soal ini dengan sebuah program untuk mendorong pemenuhan kebutuhan pangan nasional pada skala terkecil rumah tangga dengan nama Obor Pangan Lestari (Opal)”, tegas Kuntoro Boga Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah stunting yang terjadi di Indonesia. Opal juga dirancang untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga, meningkatkan akses pangan keluarga, konservasi sumberdaya genetik lokal dan mengurangi jejak karbon serta emisi gas pencemar udara.

Pola Pangan Sehat Harus Bisa Diakses Semua orang

Pola Pangan sehat adalah pola pangan yang memenuhi kebutuhan gizi individu dengan menyediakan makanan yang cukup, aman, bergizi, dan beragam untuk menjalani kehidupan yang aktif dan mengurangi risiko penyakit. Ini termasuk, antara lain, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, dan makanan yang rendah lemak (terutama lemak jenuh), gula dan garam. Makanan bergizi yang merupakan pola pangan sehat hampir tidak tersedia atau terjangkau bagi banyak orang.

Hampir satu dari tiga orang mengalami kekurangan atau kelebihan gizi . Berita baiknya adalah ada solusi yang terjangkau untuk mengurangi semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi tersebut, tetapi hal ini membutuhkan komitmen dan tindakan global yang lebih besar. Program Opal memiliki kerangka jangka panjang untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan keluarga yang Beragam, Seimbang dan Aman (B2SA),” Boga menambahkan.

Opal dirancang sebagai salah satu langkah konkrit pemerintah dalam mengintensifkan peta ketahanan dan kerentanan pangan atau food security and vulnerability atlas (SFVA). FAO dengan badan-badan PBB lainnya dan kementerian terkait akan merayakan Hari Pangan Sedunia dalam serangkaian acara termasuk perayaan nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Sulawesi Tenggara pada 2-5 November dan Festival Kaki Lima Jakarta “Pangan Sehat, siap santap” pada 10 November. Tema Nasional di Indonesia sendiri mengusung, Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045. (FAO/CR)

HOG CHOLERA MENYERANG, PULUHAN BABI JADI KORBAN

Hog Cholera, penyakit yang mematikan pada babi


Nasib naas menghampiri  puluhan ekor babi yang mati di Kabupaten Tapanuli utara, Sumatera Utara. Penyebab kematian diduga adalah virus Hog Cholera. Kabid Peternakan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tapanuli Utara, Ronny A. Hutasoit, menyatakan penyakit tersebut menyerang babi di Kecamatan Tarutung dan Kecamatan Siatas Barita.

"Dari pemeriksaan, gejala yang muncul indikasinya mengarah ke penyakit hog cholera. Kami masih menunggu hasil uji laboratorium dari Medan," kata Hutasoit, Selasa (15/10/2019). Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah babi yang mati akibat virus ini sudah lebih dari 50 ekor di dua kecamatan tersebut. Namun jumlah pasti kini masih dalam proses pendataan.

"Petugas perkecamatan masih mendata jumlah yang mati per desa," kata Hutasoit. Terkait dengan masalah ini, kata Hutasoit, pihaknya sudah melakukan penanganan di lapangan, yaitu melakukan tindakan pengobatan di lokasi ternak yang sakit serta antisipasi di daerah yang masih aman dengan vaksinasi. Diketahui kasus babi yang mati mendadak juga terjadi di Kabupaten Dairi dan Humbang Hasundutan. Diduga kasus ini juga dipicu penyakit yang sama. (CR)


ASOHI JATENG SELENGGARAKAN SEMINAR ANTISIPASI PENYEBARAN VIRUS ASF


         
Seminar ASF yang digelar ASOHI Jateng ramai peserta (Foto: Dok. ASOHI Jateng)



Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Jawa Tengah (Jateng), pekan lalu menyelenggarakan Seminar Strategi Antisipasi Penyebaran Virus African Swine Fever (ASF) di Studio Dreamlight World Media, Semarang. 

Kendati belum terindikasi adanya virus ASF di Indonesia, tapi penyakit eksotik pada babi ini telah penyebabkan keresahan para peternak di Jateng.

"Karena apapun, Jateng salah satu penyangga kebutuhan daging babi untuk provinsi yang lain. Maka posisi ini harus dipertahankan untuk kesejahteraan warga di Jateng,"

Hal tersebut diutarakan Drh Abdullah, Kabid Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Provinsi Jateng.

Pada seminar yang diadakan ASOHI Jateng dengan Dreamlight World Media dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) ini, Abdullah menandaskan harus ada kesamaan persepsi dan pola pandang bagaimana mengantisipasi agar ASF tidak masuk ke Jateng.

"Jateng memiliki 10 pos lalulintas ternak yang memeriksa semua ternak, termasuk babi. Kami khawatir jika kendaraan pengangkut ternak ini tidak melalui jalur yang umum. Misalnya jika lewat jalan tol saja, sudah tidak terpantau. Maka dinas akan memperketat izin pengangkutan ternaknya di kabupaten/kota," terangnya. 

Untuk antisipasi ASF, maka dilakukan biosekuriti, yaitu melalui isolasi/pemisahan, sanitasi, pengandalian lalulintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai babi. Virus ASF pertamakali ditemukan di Kenya, Afrika pada 1921 dan belum ada obat maupun vaksinnya. (Sumber: www.suaramerdeka.com/INF) 


TEKNOLOGI PETERNAKAN DAN VETERINER DUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN DI ERA INDUSTRI 4.0

Foto bersama pada kegiatan Seminar Nasional TPV di Universitas Jember, Jember, Jawa Timur. (Foto: Infovet/Sadarman)

Kemandirian pangan di era industri 4.0 harus terus ditingkatkan dan dipertahankan. Hal ini mengingat bahwa pangan merupakan bagian utama yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia. Industri peternakan merupakan salah satu penunjang penyediaan bahan pangan nasional, terdiri dari daging, susu dan telur. Untuk menghasilkan produk yang optimal diperlukan teknologi yang mumpuni, mulai dari penyediaan bibit hingga desain pemasaran produk yang tuntutan era industri 4.0. 

Merujuk pada pentingnya hal itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian Pengembangan Peternakan, menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Teknologi Peternakan dan Veteriner (TPV) Mendukung Kemandirian Pangan di Era Industri 4.0”, yang diselenggarakan di Universitas Jember, Jember, Jawa Timur, Selasa (15/10/2019).

Ketua Panitia Pelaksana, Dr Wisri Puastuti, dalam laporannya menyatakan seminar TPV tahun ini diikuti sekitar 160 orang peserta, 5 makalah undangan, 46 makalah oral dan 56 makalah yang di posterkan.

“Harapannya ini dapat menjadi ajang pertukaran dan penyebaran informasi ilmiah hasil penelitian teknologi peternakan dan veteriner, terjalinnya hubungan kerjasama antara lembaga penelitian, perguruan tinggi, praktisi peternakan dan stakeholder, serta menghasilkan rumusan informasi teknologi peternakan dan veteriner untuk mendukung kemandirian pangan di era industri 4.0,” kata Dr Wisri.

Pada seminar TPV 2019 kali ini, lanjutnya, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor mengenalkan aplikasi Smart Feed Agrinak (SFA) yang dikreasikan oleh Cecep Hidayat. Aplikasi berbasis Android ini dapat digunakan peternak untuk memformulasikan bahan pakan menjadi pakan ayam Kampung Unggul Balitnak.

Rektor Universitas Jember, Moh. Hasan PhD, menyambut baik pelaksanaan seminar di kampusnya. “Seminar ini memiliki makna khusus bagi Universitas Jember yang baru saja mendirikan Program Studi Peternakan yang berkampus di Bondowoso. Keberadaan program tersebut merupakan terobosan yang diambil universitas untuk ikut serta menyiapkan generasi muda peternakan yang melek teknologi, terkait dengan peternakan sesuai dengan tuntutan era industri 4.0,” tuturnya.

Dalam pelaksanaan Seminar TPV 2019, menghadirkan pembicara Dr Haryono Soeparno (dari Universitas Bina Nusantara), Prof Dr Heather Burrow (University of New England, Australia), Dr Paul Boon (dari IACCB), Prof Dr Achmad Subagio (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Jember) dan Agus Sholehul Huda SPt (Praktisi Ternak Domba). Seminar dihadiri oleh para peneliti dari berbagai lembaga penelitian dan akademisi. Di akhir acara, peserta seminar diajak mengunjungi wisata alam terkenal di Jawa Timur, yakni Blue Fire di Kawah Ijen dan Taman Nasional Baluran di Banyuwangi. (Sadarman)

PETERNAKAN AYAM KAMPUNG UNISMUH MAKASSAR


 
Meninjau pembangunan kandang ayam kampung Unismuh Makassar (Foto: Portal Makassar) 


Kandang pembibitan dan pembesaran ayam kampung (lokal) telah dipersiapkan di Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar Bollangi. Rapat persiapan peresmian kandang tersebut berlangsung Sabtu, (28/9/2019) lalu, dipimpin langsung Rektor Unismuh Makassar, Prof Dr H Abdul Rahman Rahim SE, MM.

Rapat tersebut dihadiri pula perwakilan Kementerian Pertanian RI yaitu Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Keseharan Hewan (Sesditjen PKH) , Dr Ir Nasrullah dan pimpinan proyek ayam kampung Unismuh Makassar, Kaswadi.

Selain itu, dihadiri Pelaksana Harian (Plh) Wakil Rektor III, Dr Syamsir Rahim, Wakil Rektor IV Ir H Saleh Mollah, Direktur Humas Dr Mahmud Nuhung, Dekan Fakultas Pertanian Dr H Burhanuddin, Dekan FEB Ismail Rasulong, Wakil Dekan III FEB Syamsul Rizal SE, MM, Wakil Dekan I Pertanian Dr Husnah Latifah, Kepala Pusdiklat Unismuh Zulkifli, Lembaga Pengkajian Pesisir Sufri Laode serta pengelola ayam kampung Unismuh Makassar.

Agenda rapat membahas persiapan peresmian kandang pembibitan dan pembesaran ayam kampung Unismuh Makassar yang dijadwalkan berlangsung pada 15 Oktober 2019. Rencananya, dalam peresmian kandang ini dihadiri Menteri Pertanian RI, Amran Sulaiman. (Sumber: portalmakassar.com/INF)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI


Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer