Ruang shower untuk mandi keramas dan ganti baju dan shower mobil yang mau masuk resticted area. Shower untuk alat transportasi harus lebih ketat demikian juga dipping untuk roda. (Foto: Istimewa) |
Ternak babi pada beberapa provinsi dan kabupaten/kota memegang peran penting untuk memenuhi kebutuhan protein dan menunjang perekonomian keluarga. Babi juga memegang peran dalam kehidupan adat/budaya masyarakat di Indonesia. Kondisi populasi babi di Indonesia tidak terlepas dari dampak penyakit pandemik yang menyerang populasi babi lintas benua dan lintas batas negara. African Swine Fever (ASF) merupakan salah satu penyakit viral menular yang paling ditakuti peternak babi karena dahsyatnya serangan dan akibat yang ditimbulkan bisa membunuh 90% lebih populasi babi dalam kandang dengan waktu singkat.
Setelah adaya serangan Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) yang mengglobal, populasi babi di Indonesia telah meunjukkan peningkatan hingga 2021, menyusul adanya vaksinasi untuk mencegah CSF. Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021, jumlah ternak babi di Indonesia tercatat 8.011.776 ekor dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7.622.724 ekor. Gairah beternak babi muncul lagi setelah ditemukan vaksin Hog Cholera yang beredar luas di pasar global dan dipakai luas di Indonesia.
Penurunan populasi babi terjadi lagi setelah populasi menunjukkan peningkatan. Infeksi global ASF yang juga menyerang peternakan babi di Indonesia menurunkan populasi babi dunia dan juga Indonesia. Belum ditemukan vaksin efektif terhadap infeksi virus ASF yang mematikan babi hutan dan babi domestik. Penurunan populasi babi akibat kematian massal menyebabkan kurangnya stok babi yang tersedia di pasar. Jumlah permintaan daging babi untuk konsumsi yang tidak sebanding dengan penyediaan menyebabkan pergeseran harga menunju kenaikan harga daging babi di berbagai daerah. Kenaikan harga daging babi bisa juga menyumbang kenaikan angka inflasi di beberapa tempat.
Serangan ASF terhadap babi domestik biasanya didahului dengan serangan pada babi hutan. Adanya kontaminasi lingkungan pemeliharaan babi domestik oleh virus ASF yang berasal dari babi hutan yang dibawa peternak/pekerja yang juga memiliki hobi berburu babi hutan berpotensi menyebabkan terjadinya infeksi pada babi domestik.
Kontaminasi virus ASF pada lingkungan peliharaan juga bisa terjadi karena terbawanya babi hutan yang mencari pakan di sekitar lingkungan peliharaan babi domestik atau akibat babi domestik yang dipelihara secara ektensif dan memasuki kawasan babi hutan yang sakit atau mati karena ASF.
Selain itu, peran caplak Ordithodoros spp. babi hutan yang merambat, menggigit babi domestik akan memindahkan virus ASF ke dalam tubuh babi domestik. Serangan ASF di Jerman pada 2020, didahului dengan kematian massal babi hutan. Kematian babi hutan di Jerman akibat serangan ASF mencapai 4,200 ekor (Sehl-Ewert, 2020).
ASF menyebabkan tingkat kematian tinggi pada babi domestik disertai perdarahan pada berbagai organ tubuh babi terserang, menyebabkan kerusakan sistem hemopoetik, menyebabkan deplesi pada organ limfoid, menyebabkan limfofenia, serta imunodefisiensi (Salguero FJ, 2020). Perdarahan pada berbagai organ tubuh dan kulit terjadi karena penurunan drastis jumlah trombosit, terjadi trombositopenia. Virus ASF bereplikasi pada sel-sel fagosit mononuklear dan sel-sel retikuloendotelial (Wales et al., 2021).
Tidak Semua Farm Terserang ASF
Secara peracute serangan ASF ditandai dengan adanya… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2022.
Ditulis oleh:
Sulaxono Hadi
Medik Veteriner Ahli Madya
Balai Veteriner Banjarbaru