Namanya Muhammad Faiz Ramadhan. Mahasiswa Fakultas Komputer semester 8 ini sudah dua kali meraih juara satu dan satu kali juara dua tingkat nasional di lomba yang serupa. Ayahnya seorang konsultan di Kementerian Ketenagakerjaan juga kerap mendapat penghargaan. Mungkin karena bakat turunan atau mungkin dasarnya ia anak yang cerdas.
Akan tetapi, kecerdasan anak ini tak lepas dari terpenuhinya gizi setiap hari. Faiz, begitu ia biasa disapa, mengaku tak terlalu suka dengan makanan siap saji. Namun ia juga kurang doyan dengan sayur. Ia mengaku paling suka makan telur ceplok plus sambal kecap.
“Tiap pagi sarapan selalu pakai telur ceplok sama sambel kecap. Praktis bikinnya, karena pagi-pagi harus berangkat kuliah,” ujarkan kepada Infovet.
Dalam sekali sarapan minimal dua telur ceplok ia makan, bahkan kadang sampai tiga butir. Faiz mengaku kadang berasa bosan, tapi dalam seminggu rata-rata lima hari sarapan dengan telur ceplok. “Kalau pas lagi bosan paling ganti tempe atau tahu sama sambel kecap,” ujarnya.
Menurutnya, kesibukan jadwal kuliah di pagi hari membuatnya harus berpikir simpel dalam urusan sarapan. Kebetulan di tempat kosnya ada dapur untuk dipakai bersama mahasiswa lainnya. Cukup lima menit bikin telur ceplok, selesai.
Bukan tanpa alasan Faiz menyukai telur ceplok. Selain alasan hemat, menurutnya kandungan nutrisi dalam satu butir telur mewakili banyak gizi yang dibutuhkan tubuh. Selain memenuhi nutrisi untuk kecerdasan otak, nutrisi dalam telur juga cukup bagus buat daya tahan tubuh.
“Selain murah, ya itu, saya baca di literatur kandungan gizinya sangat banyak dan hampir semua yang dibutuhkan tubuh ada di telur, termasuk untuk kecerdasan otak,” katanya.
Kisah Faiz mengingatkan Infovet terhadap sosok Daffa Maheswara Wiryawan, siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Pondok Pinang, Jakarta, yang juga sering mendapat juara satu tingkat nasional dalam kompetisi robotik. Kisahnya pernah dimuat di Majalah Infovet pada 2017 lalu. Daffa juga penggemar ayam goreng dan telur sambal balado.
“Anak saya kreatif, karena saya kasih gizi yang cukup baik. Dia doyan banget makan ayam goreng dan telur bumbu pedas. Jarang sekali saya memberi tambahan suplemen atau vitamin,” tutur sang ayah.
Didik menceritakan, hampir setiap hari istrinya menyediakan ayam goreng kesukaan buah hatinya. Terkadang, memasak telur sambal pedas sebagai pelengkap. Tentu saja sayuran tidak dilupakan.
Kenapa ayam dan telur? ”Daging ayam dan telur kan gizinya tinggi dan mudah didapat. Bisa dibeli di pasar atau di tukang sayur yang lewat depan rumah,”katanya.
Bisa jadi asupan gizi dua menu (telur dan daging ayam) inilah yang membuat Faiz dan Daffa memiliki otak yang encer. Dalam berbagai literatur tentang gizi dan kesehatan menyebutkan bahwa ayam dan telur mengandung asam amino esensial yang bermanfaat untuk kesehatan dan kecerdasan otak.
Konsumsi Masih Rendah
Rahasia kecerdasan Faiz dan Daffa semestinya bisa menginspirasi masyarakat, khususnya kaum ibu untuk menyediakan menu daging ayam atau telur sebagai menu harian di keluarganya. Kalaupun tak bisa setiap hari, setidaknya tiga kali dalam seminggu.
Dibandingkan dengan harga bahan lauk pauk lainnya, per kilogramnya tidaklah jauh beda. Namun, untuk urusan kandungan nutrisi, tetap saja telur dan daging ayam lebih baik. Dari sisi rasa juga bisa lebih nikmat, tergantung cara mengolahnya.
Tingkat konsumsi telur ayam di Indonesia sampai saat ini memang masih belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), rata-rata orang Indonesia mengonsumsi sekitar 6,69 kg telur ayam ras/kapita/tahun pada 2023. Level konsumsi tersebut turun 5,5% dibanding 2022 (year-on-year/yoy), tapi masih lebih tinggi dibanding lima tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, orang Indonesia setiap bulannya mengonsumsi telur sebanyak 10,09 butir dengan nilai pengeluaran setara Rp 18.623/bulan/kapita. Telur dimaksud adalah telur ayam ras, telur ayam kampung, telur itik, telur puyuh, telur asin, telur penyu, dan telur angsa. Dikutip dari publikasi BPS, “Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia per Provinsi” berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023, disebutkan bahwa konsumsi telur terbanyak adalah warga DKI Jakarta dengan porsi mencapai 13,64 butir. Dengan nilai pengeluaran untuk konsumsi telur mencapai Rp 24.524/kapita/bulan.
Secara nilai, konsumsi telur terendah terjadi di Gorontalo dengan nilai hanya Rp 9.653/kapita/bulan, sedangkan secara volume terendah dilaporkan terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hanya 3,94 butir/kapita/bulan.
Suntik Hormon?
Banyak faktor memang yang menjadi pemicu rendahnya konsumsi telur dan daging ayam di Indonesia. Tingkat daya beli (kesejahteraan) masyarakat dan masih adanya mitos-mitos yang belum runtuh. Mitos tentang konsumsi telur bisa munculkan bisul pada anak, konsumsi telur dapat menaikkan kolesterol, dan lain sebagainya masih tetap “di hati” sebagian masyarakat.
Masih banyak orang takut makan telur karena kolesterol. Ada juga yang beranggapan bahwa daging ayam broiler juga mengandung suntikan hormon yang berbahaya jika dikonsumsi. Tapi anehnya, mereka tidak takut merokok yang jelas-jelas ada peringatan bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan jatung, paru-paru, ibu hamil, dan lainnya.
Isu negatif semacam ini memang harus dijernihkan. Anggapan bahwa ayam pedaging (broiler) bisa cepat besar karena disuntik hormon sama sekali tidak beralasan. Sebab harga satu dosis hormon sekali suntik bisa mencapai 5 U$D (Rp 65.000), padahal harga ayam di pasar masih berkisar Rp 30.000/ekor. Jelas tidak masuk akal peternak menyuntik ayamnya dengan hormon.
Di sisi lain, mitos masyarakat bahwa telur penyebab bisul juga harus “dianulir”. Kasus ini hanya terjadi pada orang-orang tertentu yang menderita alergi telur yang jumlahnya sedikit sekali.
Orang yang tidak memiliki riwayat alergi pada telur tidak perlu khawatir, karena justru telur mengandung protein hewani dengan asam animo yang sangat lengkap dan bermanfaat untuk pertahanan tubuh, perbaikan sel-sel tubuh dan sel-sel otak, sehingga manfaatnya untuk kesehatan dan juga kecerdasan.
Telur mengandung kolesterol baik, bukan kolesterol jahat. Banyak kasus kolesterol di masyarakat pada umumnya bukanlah karena telur maupun komoditi peternakan lainnya, melainkan karena cara masaknya yang menggunakan minyak secara berulang-ulang, hingga menghasilkan kolesterol jahat.
Peneliti Nutrisi Telur asal Amerika Serikat, Dr. Don Mc Namara, dalam sebuah tulisannya pernah menyebutkan bahwa telur dalam menu makanan akan dapat mengurangi risiko sakit jantung, kanker payudara dan usus, penyakit mata, kehilangan massa otot pada manula, membantu menjaga berat badan, serta meningkatkan kecerdasan otak. ***