Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD sebagai salah satu pembicara seminar ASOHI Jateng (Foto: Istimewa) |
Virus
African Swine Fever (ASF) disebut-sebut
sebagai top killer industri babi.
Suatu penyakit virus yang menyerang babi dan ditemukan pertama kali di Kenya
pada 1921. Virus ASF membunuh babi dengan menyebabkan demam hemoragik yang
ekstrim dan menghancurkan limfosit secara masif dalam jaringan limfa.
Pembahasan
ASF dikupas secara menarik dan mendalam dalam Seminar “Strategi Antisipasi
Penyebaran Virus ASF” di Studio Dreamlight World Media, Ungaran yang
diselenggarakan ASOHI Jateng dan PDHI. Seminar berlangsung pada Sabtu, 12 Oktober 2019.
Pembicara
dari Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina
Hewan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menerangkan penyebab ASF adalah
virus yang unik, satu-satunya anggota keluarga Asfarviridae yaitu virus DNA yang dapat ditularkan oleh caplak (tick-borne DNA virus).
“Genom
yang besar, dengan setengah dari proteinnya tidak diketahui fungsinya. Siklus
penularan yang unik di antara babi-babi domestik, babi hutan liar dan caplak
lunak, belum lagi virus ini punya daya tahan (survivability) in vitro yang tinggi,” lanjutnya.
Lebih lanjut Tri Satya Putri Naipospos memaparkan presentasinya yang berjudul "African Swine Fever: Pembelajaran dari Wabah di China dan Vietnam".
Sejak
ditemukan pada Agustus 2018, ASF menyebar ke setiap provinsi di daratan China.
ASF diperkirakam menjangkiti 150-200 juta ekor babi, dugaan kerugian produksi
daging babi mencapai 30%.
Penyebab
penyebaran ASF di China diantaranya lalu lintas jarak jauh babi hidup dan
produk babi 16,3%, transportasi kendaraan dan orang 40.8%, sisa-sisa makanan untuk
babi (swill feeding) 42,9%. Uraian
presentasi Tri Satya bersumber dari Dr Shengqiang Ge dari China Animal Health
and Epidemiology Center.
Pembangunan
kembali industri babi di China akan berjalan lambat dan butuh bertahun-tahun.
Produsen akan tetap waspada mengingat resiko kontaminasi ulang dan difokuskan
kepada peningkatan biosekuriti pada operasi yang tersisa.
Populasi
babi di China sekitar 440 juta ekor babi, lebih dari 90% rumah tangga di China
memelihara babi.
“Seringkali
dengan biosekuriti terbatas, sedikit atau tidak ada mekanisme pengendalian yang
dapat digunakan untuk memastikan virus tidak ditularkan lewat truk, melalui pakaian
orang yang masuk ke peternakan, atau dalam pakan dimana virus bertahan untuk
jangka waktu lama,” jelasnya.
Sementara
kasus wabah ASF di Vietnam pada Februari 2019 pertama terdeteksi di Provinsi
Thai Binh dan Hung Yen, yang lokasinya di tenggara ibukota Hanoi kira-kira 160
km dari perbatasan China.
Vaksin
yang dikembangkan di National University of Agriculture menunjukkan sukses awal
dalam memerangi ASF, tapi para ahli skeptis dan mengatakan diperlukan lebih
banyak penelitian.
Sementara
Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Dr Sauland Sinaga SPt, MS
sebagai narasumber berikutnya memaparkan presentasi berjudul “Strategi
Manajemen Pemeliharaan Mencegah ASF”.
Imbauan
AMI dalam mewaspadai penyebaran ASF antara lain negara harus menghentikan impor
babi dan olahan dari negara terduga, peternak menghindari membawa olahan babi
di kandang, bandara harus menghanguskan sisa makanan pesawat di pelabuhan dan
di bandara yang berasal dari negara terduga.
Diuraikan
juga lima elemen biosekuriti diantaranya isolasi/pemisahan, sanitasi dan
desinfeksi, pengendalian lalu-lintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai
babi. (NDV)
0 Comments:
Posting Komentar