Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini pataka | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PATAKA BAHAS LSD BERSAMA PARA STAKEHOLDER

Webinar PATAKA Membahas Wabah LSD

Rabu (20/4) Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) mengadakan webinar yang membahas wabah Lumpy Skin Disease (LSD) yang melanda Indonesia baru - baru ini. Webinar digelar melalui daring Zoom Meeting dan live streaming melalui kanal youtube PATAKA. 

Ketua Umum PATAKA Ali Usman dalam sambutannya mengatakan, hadirnya LSD sebagai wabah baru di Indonesia merupakan kekhawatiran baru bagi para peternak dan pengusaha di sektor persapian. Oleh karenanya dibutuhkan respon dan penanganan yang tepat.

"Mungkin dari yang saya tahu penyakit ini kematiannya tidak terlalu tinggi, tetapi tetap saja kalau penularannya cepat, bisa gawat juga," kata Usman.

Lebih lanjut mengenai LSD dijelaskan oleh Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh. Secara rinci ia menjelaskan mengenai aspek - aspek terkait penyakit ini. 

"Di Indonesia ini penyakit masuk karena lalu lintas yang kurang terjaga, sebagaimana kita ketahui bahwa di negara lain ini juga terjadi dengan pola yang sama," kata dia.

Munawaroh juga menyoroti fasilitas check point yang kurang dimaksimalkan, padahal peran dari check point yang dimiliki oleh Kementan tersebut merupakan salah satu unsur esensial dalam mengendalikan penyakit hewan lintas batas, termasuk LSD. 

Selain itu ia juga menyebut bahwa penyakit LSD dapat menyebar cepat melalui vektor serangga terbang seperti nyamuk, lalat pengisap darah, kutu, dan caplak. Oleh karena itu mengendalikan vektor juga menjadi aspek penting dalam pengendalian LSD.

Yang tak kalah penting menurut Munawaroh yakni vaksinasi. Dengan dilakukannya program vaksinasi, penyakit dapat dicegah sedini mungkin, dan disinilah pemerintah juga harus banyak memfokuskan kegiatannya.

Dalam kesempatan yang sama pemerintah yang diwakili oleh Direktur Kesehatan Hewan Drh Nuryani Zainuddin mengatakan bahwa pemerintah telah mengerahkan segala upaya dalam mencegah LSD masuk ke Indonesia.

Sebelumnya pemerintah telah beberapa kali memberikan notifikasi terkait penyakit ini, upaya lain seperti pelatiahn teknis juga telah dilakukan, namun apa daya ternyata penyakit ini memang tidak terbendung.

Kini pemerintah memfokuskan diri dalam program vaksinasi darurat. Kurang lebih target vaksinasi sebanyak 450.000 dosis, dan baru 100.000 dosis yang baru bisa dilaksanakan karena terkendala dana.

"Sementara ini vaksinasi yang tersedia bagi 100.000 dosis, diharapkan nanti akan diperluas, kami sudah melakukan pengajuan anggaran terkait penanggulangan penyakit ini, namun karena dananya masih terbatas, jadi belum bisa maksimal juga kitanya," tutur dia.

Aspek sosial ekonomi menurut Nuryani juga menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam mengendalikan LSD di Riau.

"Kami merasa ini sangat nyata, peternak dan pemilik hewan terlihat acuh. Mereka lebih takut ternaknya kena Jembrana daripada LSD. Ini bisa jadi duri dalam daging juga, meskipun begitu tetap kami lakukan pendekatan supaya mereka lebih aware dengan penyakit ini," kata dia.

Aspek ekonomi yang dimaksud oleh Nuryani yakni terkait dengan pengendalian lalu lintas ternak vs stok daging sapi. Dengan diperketatnya lalu lintas ternak, otomatis kemungkinan terjadinya kelangkaan daging sapi yang berujung kenaikan harga bisa saja terjadi, dan inilah yang menurutnya juga adalah kendala terbesar.

Sementara itu Drh Nanang Purus Subendro Ketua Umum Pehimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) juga menyoroti aspek lalu lintas ternak terkait mewabahnya LSD.

Menurut dia, dengan banyaknya pulau kecil di sekitar Sumatera memungkinkan tejadi pengiriman sapi secara ilegal dari luar. Sehingga perdagangan ilegal yang tidak terkontrol inilah yang menjadi faktor risiko juga.

Ia juga kerap kali ditanya oleh eksportir sapi asal Australia terkait wabah LSD di Indonesia. Menurutnya ini juga menjadi suatu hal yang cukup mengkhawatirkan.

"Bisa saja nanti teman - teman kami di Australia menyoroti hal ini, jadi nanti mereka bikin kebijakan untuk sementara tidak mengekspor sapi ke Indonesia. Ini kan bahaya, feedlot bisa rugi, lalu peternak juga rugi kalau yang diekspor dari sana dagingnya saja," tutur dia.

Selain itu, menurut Nanang Indonesia sedikit beruntung karena Riau merupakan daerah resipien sapi, bukan produsen. Ia membandingkan bila LSD datang pertama kali di Lampung , Jawa Timur, atau NTB.

"Kita sedikit beruntung, kalau dia sampai duluan di Lampung, Jatim, atau NTB akan lebih gawat. Itu daerah produsen dan kalau sudah ada wabah biasanya nanti akan terjadi panic selling. namun begitu tetap kita semua harus bekerja keras untuk mengendalikan wabah ini," tutur Nanang

BANJIR IMPOR DAGING KERBAU INDIA, KEMANA SAPI LOKAL KITA?

Impor daging kerbau India terjadi di tengah klaim produksi meningkat, konsumsi stagnan dan neraca defisit. (Foto: Istimewa)

Tahun 2021 Indonesia telah mengimpor daging kerbau asal India sebanyak 80.000 ton. Jumlah tersebut terkoreksi dari sebelumnya dimana kuota impor daging kerbau India sepanjang 2016-2020 mencapai 100.000 ton/tahun. Hal ini tidak lepas dari program pemerintah menyediakan daging murah untuk masyarakat.

Direktur Operasional PT Berdikari Persero, Muhammad Hasyim, mengatakan berdasarkan hasil Rakortas (rapat koordinasi terbatas) 2018, Berdikari mendapat penugasan impor daging kerbau sebanyak 20.000 ton atau sekitar 714 kontainer. Memasuki 2019, impor daging sapi Brasil sebanyak 10.000 ton hanya terealisasi 3.500 ton. Pada 2020, impor daging kerbau 50.000 dan sapi Brasil sebanyak 10.000 dengan realisasi impor daging kerbau 24.724 ton dan sapi 1.900 ton.

“Untuk 2021 impor daging kerbau tidak ada penugasan kepada Berdikari, yang ada hanya impor daging dari Brasil sekitar 20.000 ton dan realiasinya saat ini kurang lebih 16.560 ton,” ungkap Hasyim dalam Webinar PATAKA ke-67 “Banjir Kerbau India, Kemana Sapi Lokal Kita?”, Kamis (13/1/2021). 

Ketua Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Didiek Purwanto, mengatakan melalui BUMN Pangan importasi daging kerbau beku India 2016-2021 sebanyak 39.524 ton (2016), tertinggi 93.970 ton (2019), menurun menjadi 73.780 (2021), sedangkan realisasi impor daging Brasil 16.706 ton (2021). Impor dengan harapan mencapai harga Rp 80.000/kg secara nasional. Tetapi realisasinya, harga daging sapi lokal dalam negeri rata-rata Rp 105.000-109.000/kg sepanjang 2019-2021. Dinilai program impor daging kerbau India belum berhasil menurunkan harga daging sapi lokal dalam negeri.

Sementara Ketua Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI), Nanang Purus Subendro, mengatakan kebijakan impor daging kerbau bertujuan mulia menurunkan harga. Namun impor yang semakin meningkat khawatir terjadi banjir daging kerbau India ketika peternakan rakyat mulai bangkit.

Oleh karena itu menurut Direktur Eksekutif PATAKA, Ali Usman, kebijakan impor daging kerbau India harus dievaluasi. “Tataniaga harus dibenah, jangan hanya melihat sisi konsumen, tapi juga sisi produsen peternak rakyat. Biaya pemeliharaan sapi masih tinggi, hingga rantai pasok fasilitas masih minim, sehingga membuat harga daging sapi masih tinggi,” kata dia dalam keterangan tertulisnya.

Padahal berbagai program pemerintah untuk meningkatkan populasi tetapi defisit daging sapi masih cukup tinggi, sehingga Indonesia masih melakukan impor daging.

Ia mengusulkan, sistem informasi pangan dalam satu data supply-demand daging sapi harus dibangun. Tidak hanya data produksi, tapi angka konsumsi berbagai daerah. Sehingga pemerintah dapat mengetahui jumlah peternak dan ternaknya di tiap daerah, juga data biaya produksi pemeliharaan ternak, pasokan bahan baku pakan, penyediaan bibit, hingga sistem rantai pasok. Sehingga data harga daging bisa dilihat secara transparan oleh konsumen. (INF)

MEMPERTANYAKAN VALIDITAS DATA KETERSEDIAAN JAGUNG

Jagung, bahan baku esensial dalam pakan ternak

Jakarta (30/9/21). Pemerintah mengklaim produksi jagung surplus 2.7 juta ton secara nasional. Kemudian tersedia 120 ribu ton dengan Kadar Air 15 % - 17% di Kabupaten Grobogan, Semarang Jawa Tengah dan 15 ribu ton katanya ada di gudang perusahan di Provinsi Gorontalo.

Jikalau memang ada seharusnya pemerintah c.q Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) menugaskan Perum Bulog untuk serap jagung lokal di petani dan pabrikan. Sehingga Bulog segera melakukan operasi pasar di sentra peternak layer (ayam petelur) mandiri di Blitar Jawa Timur, Kendal Jawa Tengah dan Provinsi Lampung. “Masalahnya apakah jagung itu ada, ini masih diragukan oleh banyak pihak,” kata Ali Usman, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA).

Dalam pernyataan sikap tersebut, Ali menyampaikan, dalam rakortas (rapat koordinasi terbatas) pada (22/9/2021) pemerintah sudah memutuskan tidak ada impor jagung, tetapi memaksimalkan serap jagung lokal. Hal ini dilakukan karena Kementan mengklaim stok jagung dalam negeri melimpah seperti di Grobogan dan Gorontalo. Kalau memang melimpah seharusnya pihak Kementan menugaskan Bulog untuk menyerap jagung disana. Sehingga stok jagung yang katanya ada itu dijadikan buffer stock nasional oleh Bulog.

Untuk operasi pasar, Bulog sebenarnya siap menyerap jagung lokal tetapi harga jagung masih tinggi di kisaran Rp 5.500 – 6.200 per kg sehingga Bulog sulit menjual jagung Rp 4.500 per kilogram ke peternak. Masalahnya, jika operasi pasar bersubsidi oleh Bulog melalui pendanaan komersial maka sangat membosankan Bulog, karena skema pinjaman Bulog masih menggunakan bunga komersial sebesar 8%.

“Walaupun ada pendanaan subsidi dari pemerintah melalui Kementerian Perdagangan. Maka mekanisme penugasan Bulog seperti juklak (petunjuk pelaksana) dan juknis (petunjuk teknis) seperti apa dan saya kira ini belum jelas. Karena itu, penting Kementan melakukan koordinasi dengan Kemendag untuk serap stok jagung oleh Bulog di Grobogan atau Gorontalo,” papar Ali dalam webinar PATAKA dengan tajuk “Tersandung Data Jagung” melalui zoom meeting Kamis (30/9/2021).

Validasi Data Jagung

Polemik harga jagung tidak lepas dari sengkarut data jagung yang disajikan oleh Kementan. Sebab data jagung tahun 2018 – 2021 stok akhir (ending stock) untuk tahun sebelumnya dan stok awal (beginning stok) tahun berikutnya selalu tidak sama. Bahkan beginning stok di awal tahun selalu tidak sama. Karena itu, perlunya validasi data prognosa jagung. Karena data prognosa jagung yang kurang valid dapat menyebabkan kebijakan pemerintah yang keliru.

Kemudian, kata dia, perlunya perbaikan data jagung juga terkait dengan perubahan luas lahan untuk tanam jagung selalu tidak sama dari tahun ketahun. Padahal tingkat keberhasilan panen sangat tergantung pada musim dan pupuk yang tersedia. Sedangkan perubahan data jagung harus dikonfirmasi ketika bencana alam menimpa seperti di NTB (Nusa Tenggara Barat) dan NTT (Nusa Tenggara Timur).

Selama ini sentra jagung berada di luar Jawa sedangkan kebutuhan jagung mayoritas ada di pulau Jawa. Seperti industri ayam broiler 11.8 juta ton pertahun, layer 3 juta ton pertahun, konsentrat layer 1.7 juta ton pertahun, breeder 2 juta ton per tahun dan lain-lain 1.1 juta ton dengan total kebutuhan 19 juta ton pertahun. Sedangkan prognosis jagung mencapai 22 juta ton di tahun 2021. Artinya Kementan mengklaim surplus 3 juta ton. “Kalau memang surplus seharusnya harga jagung stabil,” ungkapannya.

Solusi jangka pendek ini untuk menyelamatkan peternak. PATAKA menyarankan Kementan untuk menyerahkan data mentah jagung kepada BPS (Badan Pusat Statistik), hal ini sesuai instruksi Presiden Joko Widodo sehingga diharapkan satu data bidang Pertanian. Sehingga BPS bersama pihak Kementan untuk menghitung luas lahan potensi melalui Kerangka Sampel Area (KSA) seperti beras yang juga telah direvisi. Juga BPS dapat menghitung faktor produksi melalui pendekatan kualitas bantuan bibit, bantuan pupuk hingga potensi produksi jagung berdasarkan cuaca dan iklim. Sehingga produksi atau supply jagung lokal dapat ditentukan dalam negeri berapa. “Jika memang produksi melimpah data BPS yang bicara, kalau memang jagung kurang ya silahkan mau tingkatkan produksi dalam negeri atau impor,” ujarnya.

Karena itu, BPS harus segera mengambil langkah untuk menghitung data jagung sementara karena menunggu Sensus Tani 2023 masih lama. BPS dapat menganalisa jagung melalui angka produksi tahun 2010 – 2015. Pasalnya BPS tidak merilis data jagung sejak Kementan menyatakan produksi jagung meningkat sejak 2015. Kementan mengklaim produksi jagung dalam negeri meningkat 19,61 juta ton (2015), 23,58 juta ton (2016) dan 28,92 juta ton (2017) hingga tembus 30 juta ton (2018). Padahal menurut BPS, impor gandum melonjak 6,77 juta ton (2015) dan impor gandum melonjak tajam 9,77 juta ton di tahun berikutnya (2016).

Untuk solusi jangka panjang. PATAKA menyarankan pemerintah segera menerbitkan regulasi “Stabilisasi Harga Industri Perunggasan”. Gejolak industri perunggasan tidak hanya dirasakan peternak layer tetapi peternak mandiri broiler (ayam pedaging) juga mengalami yang sama. Harga pakan tinggi karena harga jagung selalu melonjak di atas Permendag Rp 4.500 per kilogram. Pemerintah dapat menghitung ulang HPP jagung di petani, HPP pakan untuk ternak broiler dan layer. Sehingga Kementan dan Kemendag dapat bersinergi untuk melahirkan regulasi stabilitas harga jagung, telur dan ayam.

“Yang penting petani peternak dapat menikmati keuntungan dalam berusaha, mereka saling ketergantungan. Jangan sampai saling menekan harga. Jika harga jagung melambung karena broker, silahkan pemerintah bertindak untuk menghapus rantai distribusi yang sangat panjang. Sehingga merugikan petani dan petani yang selama ini dilindungi oleh Undang-undang No.19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” tukas Ali. (INF)

PATAKA NYATAKAN SIKAP TERKAIT DATA JAGUNG

Jagung, komoditi penting di sektor peternakan


Jakarta. (21/9/21). Direktur Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), Ali Usman mengatakan, Desas-desus data jagung yang dinyatakan surplus sebesar 2,37 juta ton oleh Kementan tidak mendasar ditengah melambungnya harga jagung mencapai Rp 6.200 per kg.

Menurutnya padahal sudah jelas peternak Layer, Suroto berteriak terkait mahalnya harga jagung, sampai akhirnya terdengar ke telinga Presiden. Singkat cerita Presiden memerintahkan Kementan agar menurunkan harga jagung paling tinggi di angka Rp 4.500/kg khusus ke peternak layer.

Kenyataannya Per-tanggal 21/09/21 realisasi bantuan harga jagung wajar tersebut tersalurkan hanya 1.000 ton dari 30.000 ton yang dijanjikan Presiden. Rincian distribusi jagung Koperasi Blitar 350 ton, Koperasi Kendal 300 ton, Koperasi Lampung 200 ton dan Koperasi PPN 150 ton.

“Sedangkan Kementan masih bersikukuh bahwa jagung surplus, tetapi harga jagung masih tinggi di berbagai daerah terutama di Sumatera, Jawa, NTB, Kalimantan dan Jawa. Diluar harga bantuan Presiden kepada Peternak Blitar Jawa Timur. Kalau memang surplus seharusnya harga jagung lebih murah bukan sebaliknya. Lalu mau sampai kapan Desas-desus Jagung Surplus ini berlanjut,” tegas Ali.

Pasalnya, kata Ali, Presiden Joko Widodo baru mengetahui masalah jagung dari aksi nekat Suroto membentangkan poster di Blitar sehingga di undang ke Istana Merdeka. Dia kira harga jagung baik-baik saja karena Kementan surplus. Ali menyampaikan, munculnya fenomena Suroto adalah momentum menyadarkan pemerintah c.q Kementerian Pertanian bahwa Desas-desus Surplus Jagung harus segera di akhiri.

Sudah saatnya DPR RI mengambil langkah strategis untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, KemenKo Ekonimi dan Kementerian Badan Pusat Statistik (BPS). Guna menghitung supply-demand dan neraca jagung nasional. Sehingga persoalan segera diakhir dan mencapai kesepatakan bahwa data Jagung kedepan harus dikelola oleh BPS tidak lagi dklaim sepihak oleh Kementan.

Karena itu, ego sektroral lembaga harus dibuang jauh-jauh, seharusnya Kementan koordinasikan ketika ada masalah sehingga terjadi harmonisasi petani-peternak. Petani-peternak bagian penggerak ekonomi negara, kedunya saling membutuhkan dan jangan saling menekan harga. Dan inilah momentum harmonisasi stakeholder perunggasan layer baik petani, peternak, pelaku usaha jagung, distributor jagung dan industri pakan.

PATAKA DESAK PERPRES BARU KOMODITAS PETERNAKAN STRATEGIS

Ternak ayam broiler. (Foto: Infovet/Ridwan)

Carut-marut bisnis perunggasan tidak lepas dari persaingan usaha antar korporasi, peternak menengah atas hingga skala kecil (peternak rakyat). Misalnya komoditas ayam broiler yang mengalami pertumbuhan signifikan pada perusahaan skala integrasi melalui PMA/DAN panjang dua dekade.

Hal itu membuat Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) mendesak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) terkait perbaikan komoditas peternakan strategis.

Dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/9/2021), Ketua Pataka, Ali Usman, membeberkan tumbangnya para peternak skala rakyat akibat persaingan usaha yang dinilai tidak sehat. Salah satunya jebloknya harga ayam panen (live bird) yang kerap berada di bawah harga acuan pemerintah Rp 19.000-21.000/kg.

"Hal itu akibat meluapnya pasokan (oversupply) di hulu, meskipun dilakukan cutting tetapi persoalan masih terjadi. Derasnya investasi asing yang juga diperbolehkan melakukan budi daya membuat oversupply terjadi," jelas Usman.

Selain ternak broiler, lanjut dia, usaha ternak layer kini juga mengalami nasib serupa. Kelebihan produksi membuat harga telur terpuruk. Apalagi ditambah lesunya permintaan karena PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) akibat pandemi COVID-19.

Usman juga menambahkan, selain oversupply, persoalan langkanya pasokan jagung dan harganya yang melambung juga membuat biaya pakan membengkak. Padahal sebanyak 40-60% jagung merupakan komponen utama pakan ternak unggas. Harga jagung pun kini berada di atas Rp 6.000/kg.

Desakan dari peternak pun, kata dia, sudah terdengar sampai ke telinga presiden, akibat salah satu peternak membentang poster soal mahalnya harga jagung.

“Meskipun presiden telah menerima kunjungan dari perwakilan peternak, saya merasa pesimis persoalan ini bisa diselesaikan dengan cepat. Mengingat pasokan jagung dalam negeri langka. Sekalipun ada impor, harga jagung dunia juga mahal menyentuh di atas Rp 5.000/kg sampai ke Indonesia,” jelas Usman.

Lebih jauh diungkapkan, persoalan industri peternakan broiler dan layer bukan masalah baru. Oversupply terjadi selama dua dekade, tetapi pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian belum mampu menuntaskan. Padahal dalam UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam Pasal 32 Ayat (1) mengatakan pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budi daya ternak. Artinya pemerintah berkewajiban membina dan memfasilitasi masyarakat untuk mengajak berusaha, sehingga tercipta usaha peternakan yang dapat membantu usaha rakyat dan memajukan roda perekonomian.

“Selama ini banyak peternak melakukan budi daya tetapi kegairahan peternak merasa terganggu akibat kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap peternak rakyat," ucapnya.

Oleh karena itu, Pataka mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perpres tentang Komoditas Peternakan Strategis guna melindungi peternak rakyat. Perpres menata industri perunggasan dari hulu-hilir agar semua pihak dapat diuntungkan.

"Presiden harus mengajak seluruh stakeholder untuk bertumbuh bersama agar industri perunggasan berkembang dengan baik. Sebab nilai bisnis perunggasan lebih dari Rp 500 triliun. Semua pelaku usaha anak bangsa harus bisa menikmati, jangan hanya kelompok usaha tertentu, terutama perusahaan asing," pungkasnya. (INF)

TALKSHOW KUPAS INTEGRASI HORIZONTAL DI INDUSTRI PERUNGGASAN


Ketua PPN Yudianto Yosgiarso, salah satu pembicara talkshow 

Perwujudan konsep integrasi horizontal di industri perunggasan secara perlahan namun pasti telah dirintis melalui wadah koperasi peternak. Hal ini disampaikan oleh  Ketua Presidium Pinsar Petelur Nasional (PPN), Ir Yudianto Yosgiarso dalam talkshow daring kerjasama AIPI, PATAKA, dan IPB pada Rabu (15/6).

Yudi menyebutkan saat ini, para peternak ayam petelur (layer) di Lampung bersatu dalam koperasi dengan arahan Ketua PPN Cabang Lampung Ir Jenny Soelistiani MM sekaligus berkolaborasi dengan perguruan tinggi di Lampung. Tambah Yudi, di Lampung juga kini terdapat Kampung Layer.    

“Peternak layer di Kabupaten Blitar, Jawa Timur juga berhimpun dalam wadah Koperasi Peternak Unggas Sejahtera (Putera) Blitar,” imbuhnya.

Kendati demikian, menurut Yudi menyatunya kekuatan peternak dalam koperasi ini tetap harus dijaga serta memerlukan pembinaan dari pemerintah.

 “Kami tentunya berharap kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Kementerian Pertanian, akademisi, para pelaku usaha perunggasan serta semua pihak terkait untuk memberi arahan dan fasilitas untuk peternakan rakyat,” tandas Yudi.

Lebih lanjut Yudi mengatakan cita-cita para peternak memiliki bibit (DOC) sendiri, juga mengenai harga pakan maupun bahan baku yang sering mengalami kenaikan ini agar memiliki kejelasan.” Jadi para peternak tidak tergantung pada perusahaan,” tuturnya.  

Prof Muladno selaku Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB adalah sosok yang memperkenalkan istilah Integrasi Horizontal Peternakan Rakyat.

Integrasi horizontal merupakan kerjasama kesetaraan empat pihak untuk saling memperkuat dalam ikatan kuat secara berkelanjutan. Empat pihak tersebut adalah peternak kecil-menengah yang terkonsolidasi dalam bentuk koperasi, kemudian perusahaan/pemitra pengayom koperasi, pemerintah kabupaten/kota sebagai fasilitator dan regulator serta perguruan tinggi sebagai pemegang otoritas pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM M Riza Damanik mengatakan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha amat dibutuhkan agar industri perunggasan bisa bangkit kembali.

“Konsep integrasi horizontal sejalan dengan apa dan yang ingin dilakukan pemerintah. Salah satu solusi yang kami tawarkan adalah dengan membentuk koperasi modern. Peternak skala kecil harus berhimpun dalam koperasi agar memiliki posisi tawar yang kuat,” terang Riza.   

Riza menambahkan pentingnya integrasi usaha hulu hilir dengan pelibatan kemitraan beberapa pihak dalam rantai pasok atau inklusif, adopsi teknologi, akses pembiayaan, terhubung dengen offtaker dan memiliki tata kelola manajemen profesional.  

“Tahun 2021, kami menargetkan 40 koperasi pangan modern dari total 100 koperasi yang ditargetkan dengan ada adanya keterlibatan lembaga tentunya akan memudahkan akses pembiayaan, termasuk asal LPDB yg tahun ini penuh untuk pembiayaan koperasi,” jelasnya.

Talkshow daring “Kebijakan Berbasis Evidence Dalam Integrasi Horizontal di Industri Perunggasan” ini juga dihadiri Prof Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia/AIPI) dan Ir Teguh Boediyana MSc (Ketua Komite Pendayagunaan Pertanian). (NDV)

 

KEMENDAG : EFISIENSI DALAM BETERNAK ATAU MATI TERGILAS IMPOR!

Kemendag minta peternak lebih efisien agar harga ayam terjangkau


Kementerian Perdagangan mengatakan impor daging ayam dari negara yang bisa menawarkan harga lebih murah, seperti Brasil, adalah sebuah keniscayaan.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra mengatakan melihat tren harga daging ayam mahal yang ada saat ini, impor daging ayam murah hanya masalah waktu saja.

"Kalau melihat tren, ini akan kalah, tetap. Ini hanya soal mengulur waktu saja. Kita tidak tahu apakah mampu mengulur waktu dalam setahun, setahun setengah, atau 2 tahun. Tetapi daging ayam yang murah akan masuk," katanya pada webinar Pataka bertajuk Harga Jagung Melambung, Selasa (20/4).

Saat ini saja, lanjutnya, masyarakat sudah teriak harga daging ayam mahal. Menurut dia, harga daging ayam per kilogram berkisar antara Rp30 ribu hingga Rp44 ribu.

Kenaikan ini dipicu oleh mahalnya harga bibit anak ayam atau Day Old Chicken (DOC), juga pakan ternak yang selangit.

Pakan ayam seperti jagung misalnya mengalami anomali karena terjadi di tengah kenaikan produksi. Dia mengatakan rata-rata harga jagung produksi lokal pada April 2021 mencapai Rp4.263 per kg atau naik 6,52 persen dari rata-rata harga Maret, Rp4.002 per kg.

Sementara, harga acuan Kemendag paling tinggi untuk jagung kadar air 15 persen seharga Rp3.150 per kg dan Rp2.500 per kg untuk kadar air 35 persen di tingkat petani. Masuk ke pabrik, lanjut Syailendra, harga pakan naik hingga Rp7.000-Rp8.300 per kg.

Kalau sudah begitu, harga daging ayam di pasaran jadi selangit, mengingat kontribusi pakan terhadap harga daging ayam mencapai 60 persen.

Oleh karena itu, ia mengingatkan industri pakan untuk menekan harga bila tidak mau konsumsi beralih ke impor yang mampu bersaing.

"Saya ingin mengajak teman-teman lakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas kita bagaimana harga pakan itu murah, DOC murah, sebelum yang dari luar akan menyerbu kita," bebernya. (CNN/IFT)


POLEMIK OVERSUPPLY PERUNGGASAN, BEGINI SOLUSINYA

Talkshow daring membahas mengenai kebijakan berbasis evidence dalam pengendalian oversupply perunggasan. (Foto: Dok. Infovet)

“Kebijakan Berbasis Evidence dalam Pengendalian Oversupply Perunggasan” menjadi bahasan dalam talkshow daring seri keempat yang diselenggarakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) bersama Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamis (25/3/2021).

Disampaikan oleh Ketua Pataka, Ali Usman, oversupply pada industri perunggasan Indonesia sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Hal ini tak terlepas dari adanya kebebasan pasar antar negara yang akhirnya berpengaruh pada industri di dalam negeri (persaingan usaha).

Kelebihan produksi yang terjadi tentunya mempengaruhi harga unggas hidup yang kerap naik-turun di tingkat peternakan rakyat (Rp 15.000-19.000), sementara HPP peternak berada diangka Rp 19.000-20.000, sehingga kerugian tak terelakan. Kondisi lain yang turut mempengaruhi adalah lemahnya daya beli masyarakat, konsumsi daging unggas yang masih rendah dan munculnya pandemi COVID-19 yang melanda seluruh negara.

Hal itu juga seperti disampaikan Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof Muladno. Ia menjelaskan bahwa kondisi penurunan harga live bird (LB) telah berlangsung selama dua tahun terakhir dan saat ini diperparah dengan pandemi COVID-19. Kemudian beberapa kondisi seperti harga daging unggas yang tetap tinggi dan penampungan LB ketika oversupply belum cukup memadai.

Ia pun menampilkan data yang dihimpun dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) per 1 Maret 2021, potensi produksi/kebutuhan 2021 sebanyak 3,4 miliar ekor (supply), sementara demand 2,9 miliar ekor dan diperkirakan ada surplus sebanyak 510 juta ekor.

 “Sehingga diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih komprehensif dan bias ke peternak rakyat untuk tegaknya keadilan dalam kegiatan ekonomi,” papar Muladno.

Hal senada juga disampaikan oleh Sahrul Bosang selaku pengamat perunggasan. Ia menyebut, diperlukannya pembangunan cold storage oleh para importir GPS yang dimaksudkan untuk keperluan bufferstock.

“Selain itu bagiamana caranya pemerintah juga bisa memutus rantai broker dan melakukan audit kepada PS farm untuk menekan overstock dan menstabilkan harga LB seperti yang terjadi pada harga karkasnya di pasaran,” ucap dia.

Untuk memperbaiki oversupply yang terjadi, beberapa solusi pun diberikan. Dintaranya oleh Muladno yang berencana membangun sinergi kolaborasi antara pemerintah, koperasi, akademisi dan perusahaan yang terkonsolidasi melalui pendekatan SPR.

“Integrasi horizontal sangat dibutuhkan. Karena filosofi SPR itu semua harus terikat dan saling berkaitan serta berkomitmen. Rencananya SPR pertama untuk komoditas ayam pedaging ini akan dibangun di Bogor, mudah-mudahan ini bisa menjadi role model,” ungkap Muladno yang juga anggota AIPI.

Solusi serupa juga disampaikan oleh praktisi perunggasan, Tri Hardiyanto, yang juga Founder Tri Group. Ia mengemukakan bahwa untuk penguatan peternak mandiri, dibutuhkan dorongan peternak untuk berhimpun membentuk mini integrasi. Maka diantara peternak mandiri kecil, menengah dan besar bisa bergabung dengan kesetaraan (partnership).

Lebih jauh dijelaskan, Tri juga berharap ada kemandirian bibit bagi peternak mandiri. “Usaha peternak mandiri semakin tergerus, perlu adanya kepastian atau kemandirian bibit bagi peternak mandiri dengan mini breeding farm, sehingga kami juga bisa berlayar bersama integrator,” pungkasnya.

Pendapat lain juga hadir dari salah satu pelaku usaha budi daya unggas, Pardjuni. Ia dengan tegas mengatakan untuk memperbaiki kondisi carut-marut perunggasan, budi daya ternak harus dikembalikan seutuhnya ke peternak rakyat.

“Kami sudah dua tahun terakhir ini rugi miliaran rupiah. Solusinya untuk memperbaiki permasalahan ini, budi daya ayam dikembalikan ke peternak rakyat, sudah masalah selesai,” tukasnya.

Talkshow yang dimulai pukul 14:00 WIB ini dihadiri lebih dari 100 orang dari berbagai kalangan bidang perunggasan. Dihadirkan pula narasumber Iqbal Alim dari Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. (RBS)

PENTINGNYA INTEGRASI VERTIKAL DI INDUSTRI PERUNGGASAN (DOWNLOAD MATERI PRESENTASI)

Dalam Webinar PATAKA Seri Forum Diskusi Publik 6, Kamis 10 September 2020, Arief Daryanto PhD membawakan tema “Daya Saing dan Modernisasi Industri Perunggasan”. Dimana ada bahasan menarik tentang konsep vertikal integrasi industri perunggasan dan implementasinya.

Menurut Arief, integrasi vertikal industri perunggasan adalah proses produksi (pembibitan, industri pakan, budidaya) hingga industri hilirnya (pemotongan, pengolahan, dan pemasaran) berada pada satu komando keputusan manajemen.

Integrasi vertikal dapat terjadi secara parsial atau penuh. Parsial misalnya integrasi ke belakang (backward integration) yang telah dicapai Indonesia saat ini, melalui pengembangan industri pembibitan (hatchery/breed development) dan pakan ternak. Atau integrasi ke depan (forward integration) yang menggarap pengembangan industri hilir. Indonesia sendiri belum banyak melakukan integrasi ke depan.

Integrasi ke depan merupakan upaya untuk meningkatkan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan, penyimpanan, pengemasan, dan pemerekan (branding). Pada saat ini, 80% komoditas ayam masih diperdagangkan dalam bentuk hidup dan dipasarkan dalam pasar basah (pasar tradisional). Sebanyak 20% sisanya diperdagangkan sebagai ayam potong dalam bentuk beku atau dalam bentuk olahan misalnya burger, nugget, kiev, bologna, smoked chicken, sate, sosis, dan bakso yang dipasarkan di pasar modern.

Kurangnya diferensiasi dalam produk dalam industri ayam ras tentu saja menghambat terjadinya peningkatan nilai tambah. Pada umumnya ayam ras masih diperlakukan sebagai komoditas, belum sebagai barang industri yang memiliki nilai tambah yang tinggi.

Faktor rendahnya integrasi industri ayam ras di Indonesia menyumbang porsi yang sangat besar terhadap tingginya votalitas harga ayam hidup di pasar basah. Mengingat belum semua perusahaan peternakan memiliki Rumah Potong Ayam, cold storage, dan pabrik pengolahan ayam, maka sebagian besar ayam yang dihasilkan dijual di pasar basah.

Faktor-faktor pendorong integrasi vertikal:

  • Jaminan pemasaran produk dan pelayanan
  • Kompetisi harga untuk melakukan retensi keuntungan
  • Keragaman input dan output untuk lebih mampu mengelola resiko
  • Pengembangan kontrak-kontrak untuk membatasi modal sesuai kebutuhan

Industri perunggasan memiliki resiko sangat tinggi terhadap harga input dan output. Integrasi vertikal merupakan model yang dilaksanakan dengan menggunakan kerjasama atau kemitraan kontrak dengan para peternak. Kiranya bakal banyak permasalahan mendasar yang bisa diatasi jika integrasi vertikal ini sudah berjalan baik kelak.

Download materi presentasi lengkap disini.


MENYOROTI PERMENTAN 32/2017, DICABUT ATAU DIREVISI?



Kamis 16 Juli 2020, Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) bersama beberapa asosiasi di bidang peternakan bersama melakukan Webinar via daring. Seminar tersebut membahas Permentan No. 32 tahun 2017 tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras dan telur konsumsi. Sekitar 70 orang dari kalangan peternak, instansi pemerintah, dan swasta hadir dalam acara tersebut. Yeka Hendra Fatika selaku direktur dari PATAKA sendiri yang bertindak sebagai moderator dalam acara hari itu.

Sigit Prabowo dari PPUN sebagai presenter pembuka diskusi menjelaskan berbagai perbedaan definisi peternak berdasarkan tiap regulasi UU peternakan terkini. Dalam hal ini ia menyoroti bahwa peternak mandiri UMKM disandingkan dengan koorporasi tanpa adanya pembinaan yang jelas dari pemerintah. Padahal peternak mandiri memerlukan pendampingan dari pemerintah daerah dan hal itu tadi juga ada di dalam UU No. 18 tahun 2019.

“Kami merasa peternak belum terbina dengan baik oleh pemerintah daerah, dan juga TS dari koorporasi obat hewan. Oleh karenanya kita harus berekonsiliasi dengan berbagai pihak. Apalagi belakangan ini saya merasa TS masih fokus dengan omzet, bukan pembinaan. Entah karena peternak sudah pintar – pintar, atau gimana saya nggak tahu juga,” tutur Sigit.

Sigit juga menekankan bahwa urgensi berkonsolidasi dengan pemda yakni terkait pemasaran dan pemetaan pasar. Jadi apabila terjadi over supply berlebih, maka tujuan pasar akan jelas mau dikemanakan kelebihan produksi tersebut. Selain itu juga ia menyebutkan bahwa peternak harus melek dengan regulasi dan peraturan perundangan yang ada.

Selain itu Sigit menyoroti bahwa apakah regulasi yang ada saat ini sudah diterapkan oleh pemerintah sebagai turunan dari UU peternakan yang sudah ada?. Dan apakah peraturan perundangan tadi sudah tepat sasaran dan menguntungkan bagi semua stakeholder?. Tentunya ini sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan. 

Pada kesempatan yang sama, Joko Susilo selaku Sekjen ISPI juga memaparkan beberapa hal yang perlu disoroti. Utamanya adalah kemampuan akses peternak mandiri terhadap sapronak, harga, dan produksi dimana pada akhirnya peternak mandiri dianggap tidak efisien dan efektif. Ia juga menyoroti kegaduhan di dunia perunggasan yang terus gaduh meskipun beberapa Permentan tentang pengaturan supply dan demand telah banyak dikeluarkan.

“Saya jadi mempertanyakan implementasi permentan – permentan yang tadi, sudah efektif belum sih ini peraturannya?. Sudahkah dapat memproteksi peternak mandiri?. Atau jangan – jangan malah menambah keruwetan permasalahan?,” tutur Joko.

Yang terpenting menurut Joko adalah mengenai pengawasan dari implementasi regulasi yang telah diterbitkan. Ia merasa bahwa kegaduhan – kegaduhan masih terjadi karena fungsi pengawasan masih belum benar – benar fungsional. Jika memang benar fungsi pengawasan telah dijalankan dengan benar, ia merasa kegaduhan yang terjadi pasti dapat diminimalisir bahkan tidak ada. 

ISPI sendiri melihat situasi ini dan mengusulkan melalui surat rekomendsinya kepada Ditjen PKH selaku pemangku kebijakan. Mulai dari pendefinisian peternak, pembibit, dll nya sampai yang terpenting adalah mengaktifkan fungsi pengawasan.

“Siapa yang mau mengawasi?, pemda kah?, pemerintah pusat kah?. Jadi ini harus dilaksanakan dan sangat urgent. Jadi kalau ini luput, maka ya kegaduhan akan tetap terjadi kedepannya. Jika perlu pengawasan juga dilakukan berjenjang mulai dari pemerintah daerah sampai pusat,” tutur Joko. 

Jenny Soelistiyani perwakilan Pinsar Petelur Nasional yang juga hadir dalam acara tersebut juga merespon hal yang diwacanakan oleh Joko Susilo. Ia memberi contoh misalnya ketika ada masalah di broiler, masalah tersebut kemudian merambat kepada peternak layer yang menyebabkan harga telur turun. Ditambah lagi beberapa waktu yang lalu beredar “telur putih” yang merusak harga telur konsumsi.

“Kami sudah melakukan dokumentasi, pelaporan, bahkan terkait telur infertil yang beredar di pasaran, kami sudah melapor bahkan ke polisi, tapi apa?, tidak ada tanggapan dan tidak ada yang meberikan sanksi kepada pengedarnya. Artinya apa?, tidak ada fungsi pengawasan yang berjalan, padahal itu juga sudah tertuang di dalam regulasi, masa enggak ada tindak lanjutnya?. Makanya saya setuju dengan Mas Joko, bila perlu ini harus dinaikkan jadi perpres, atau peraturan lainnya,” tutur Jenny.

Ia berharap juga bahwa adanya komitmen dari semua stakeholder agar terjadi harmonisasi di bidang perunggasan. Hal ini agar tidak terjadi lagi kegaduhan di dunia perunggasan Indonesia sendiri, karena jika terus gaduh, maka Indonesia akan hanya berkutat di situ-situ saja, padahal musuh dari luar sudah siap menjajah pasar Indonesia.

Sementara itu Tri Hardiyanto sebagai Dewan Penasihat GOPAN meyoroti satu persatu pasal yang ada di Permentan No. 32 tahun 2017. Ia menguliti satu persatu pasal – pasal yang ada, yang menguntungkan, yang merugikan, dan yang siftnya multi tafsir. 

“Saya beri contoh pasal 5,6, dan 7 ini kan masalah kuota. Kita juga masih butuh tim analisis. Mereka harus difasilitasi dan diberi keleluasaan lebih dan kewenangan untuk melakukan observasi, sehingga lebih baik dalam memberikan saran dan masukan kepada pemerintah. Jadi tim ini harus diberi previlige dalam hal kewenangan dan fasilitas. Sehingga nantinya tidak dipermalukan termasuk oleh pemerintah sendiri,” tukas Tri.

Tri juga menyebutkan bahwa pasal 8 dalam permentan tersebut harus dirombak, para integrator harus difokuskan di pasar ekspor bukan dalam negeri. Sehingga kebutuhan dalam negeri dapat lebih banyak dipenuhi oleh pelaku UMKM mandiri. 

Achmad Dawami selaku Ketua Umum GPPU yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menguraikan bahwa peraturan perundangan kini dirasa lebih mengacu pada efisiensi dan produksi bukan kepada kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dengan kegaduhan yang diakibatkan oleh terbitnya beberapa peraturan perundangan baru.

“Sekarang begini, kalau enggak gaduh kan artinya ya sudah beres masalahnya kan?, kalau masih gaduh, ya pasti ada masalah toh. Kan kesimpulannya begitu?,” tukasnya.

Meskipun begitu ia setuju bahwa jika dirasa kurang ampuh, utamanya dalam segi pengawasan dan sanksi, permentan memang harus dinaikkan levelnya. Entah perppu, entah kepres, yang intinya adalah penerapan sanksi dan wewenang.

Haris Azhar selaku praktisi hukum yang juga hadir sebagai pembahas mengatakan bahwa semua aturan hukum, utamanya permentan seharusnya merupakan bentuk pengejewantahan dari peraturan diatasnya. Ia juga mengatakan bahwa permentan 32 ini juga harus ditinjau dari legal sains, sehingga jelas apakah perementan ini merupakan penerapan dari UU peternakan atau malah “pembelokan” dari masalah yang selama ini terjadi.

“Saya mau bilang dengan kondisi seperti ini, acuannya banyak, jadi permentan ini mau menertibkan pasar, menerapkan keberpihakan kepada yang lemah, atau mengemankan produksi dan distribusinya?. Ini terlalu banyak warnanya, jadi enggak fokus, jadi malah ribet,” tukas Ketua Umum LBH Lokataru tersebut.

Ia juga sepakat bahwa industri pangan ini harus serius dalam peningkatan kualitas hidup manusia dan kehidupan di dunia kerja. Jika dilihat dari kacamata HAM, sektor pangan ini hal yang luar biasa dan perlu fokus dalam aspek legaltasnya. 

Haris melihat di masa kini bahwa peternak rakyat menjadi kelompok rentan, karena perusahaan integrator semakin besar. Karena mengguritanya perusahaan tadi, maka tidak menghasilkan pemberdayaan. Ia juga bilang bahwa semakin urgent sekarang ini untuk mendorong Negara agar menolong para peternak.

“ Menurut saya apapun dasar hukum yang dipakai, minta peraturan baru yang memang melindungi peternak kecil. Konsekwensinya ya nanti mungkin ada beberapa pasal yang dihilangkan, masa anusia mengikuti permentan, salah itu, harusnya permentan yang mengikuti manusianya, itu baru adil,” tukas Haris.

Dirinya juga menyarankan agar mendorong pemerintah agar membuat peraturan baru yang lebih pro peternak. Hal ini dirasa perlu untuk menguji keberpihakan pemerintah terhadap rakyat (peternak). Ia juga bilang bahwa permentan 32 ini tidak bisa dipakai dalam menyelamatkan peternak rakyat mandiri karena masih bias. 

Pada sesi diskusi, kritik juga datang dari Wayan Suadnyana, salah satu peserta diskusi yang mengeritik keras permentan tersebut. Menurutnya permentan tersebut juga banyak melanggar peraturan perundangan lainnya, bukan malah mengejawantahkan peraturan perundangan yang ada.

Saya merasa peternak diperdayai, bukan diberdayakan. Tolonglah supaya peternak itu diberdayakan, jangan diperdayai. Jadi permentan ini jangan sampai jadi pelegalan dari kesalahan – kesalahan yang terjadi sebelumnya,” tutur Wayan.

Salah satu peserta yang juga mendukung pendapat Wayan yakni Ashwin Pulungan. Menurutnya, karena bersifat quick yield, sektor peternakan unggas ini tentunya cocok untuk pemberdayaan masyarakat. 

“Perputaran uang di situ kan cepat, ini lah yang dilihat oleh para investor besar, sehingga PMA banyak masuk. Oleh karenanya perlu difokuskan terutama pasal perlindungan peternak dan pembagian pasar,” kata Ashwin.

Ashwin juga mengatakan bahwa selama ini pemerintah banyak membuang energi untuk mengatur perunggasan dengan permentan yang tidak penting. Masalah hanya berkutat disitu -situ saja, tidak selesai – selesai. 

Yang disayangkan adalah, meskipun ada peserta diskusi yang berasal dari kalangan pemerintah, tetapi tidak ada yang ikut berdiskusi, menanggapi, atau sekedar mendengarkan saran dan kritik dari para peserta dalam acara yang berlangsung selama 3 jam tersebut. Begitu pula dari kalangan perusahaan integrator.

Akhir kata, Permentan 32 dirasa masih kurang greget dan belum ada sesuatu yang bisa disimpulkan dari diskusi ini. Entah butuh revisi atau sekalian diganti/dicabut, Permentan No.32 harus fokus terhadap satu hal, misalnya perlindungan peternak, pembagian pasar, dan lain sebagainya.

Selain itu memang dirasa perlu membuat peraturan perundangan baru yang nantinya tidak menyebabkan kegaduhan dan menjadi win – win solution agar perunggasan tidak lagi gaduh dan fokus dalam produksi yang efisien. (CR)

MENELISIK KESIAPAN INDUSTRI TELUR OLAHAN INDONESIA

FGD BBA 38 Membahas Probabilitas Industri Pengolahan Telur


Fluktuasi harga telur yang kerap terjadi menjadi permasalahan sendiri bagi peternak layer. Oleh karenanya pembentukan industri telur olahan bisa jadi alternatif dalam mengakali hal tersebut. Itulah yang dibahas dalam Focused Group Discussion (FGD) mengenai industri telur olahan (tepug telur) di Jakarta (17/10) yang lalu.

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh LSM Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) melalui acara bertajuk Bincang – Bincang Agribisnis (BBA). Yeka Hendra Fatika Ketua PATAKA mengatakan bahwa perlu dilakukan upaya dalam menyelesaikan masalah ini sehingga peternak ayam petelur dapat bernafas lebih lega. “Saya rasa industri ini sangat mungkin untuk dibuat di negeri kita, secara umum kan kita surplus untuk produksi telurnya dan ini bisa jadi solusi bagi permasalahan fluktuasi harga telur,” tuturnya membuka diskusi.

Pernyataan Yeka didukung oleh data yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita. Menurut data yang dipaparkan oleh Ketut, produksi telur dalam empat tahun terakhir rata-rata meningkat 1 juta ton. Tahun 2019, potensi produksi telur mencapai 4.753.382 ton dengan rata-rata produksi per bulan 395.187 ton.Produksi tersebut telah melampaui kebutuhan telur nasional tahun ini sebanyak 4.742.240 ton dengan rata-rata konsumsi per bulan 395.187 ton. Dengan begitu, kata Ketut, Indonesia tahun ini sudah mencapai surplus telur 11.143 ton. “Ketika kita surplus, tapi tidak bisa barang ni diekspor, mau nggak mau kan kita harus mencari akal, nah hayo siapa disini integrator yang berani mengambil peluang bisnis tepung telur ini?.” kata Ketut.

Bisnis pengolahan tepung telur dianggap prospektif di Indonesia, pasalnya impor tepung telur Indonesia menunjukkan peningkatan. Dari data Badan Pusat Statistik yang dipaparkan saat diskusi, impor kuning telur dan putih telur pada 2015 sebesar 1.310,33 ton. Volume impor meningkat menjadi 1.785,1 ton pada 2018. Memasuki 2019, kurun waktu Januari-Agustus impor tepung telur sebesar 1.130,27 ton.

Kendati demikian, Ketua Umum GPPU Achmad Dawami mengingatkan bahwa untuk menghadirkan industri ini membutuhkan investasi, pengalaman, waktu, skala, dan pendanaan yang perlu dikoordinasikan sejumlah pihak. "Investasinya bukan sedikit untuk industri karena betul-betul higienis. Telur media yang paling gampang terkontaminasi dengan bakteri, pasti pabriknya seperti laboratorium," ujarnya.
Selain itu, perlu dukungan penyediaan tempat atau lahan untuk pembangunan pabrik tepung telur. Terkait hal tersebut, kemudahan perizinan dan pendanaan dari bank dinilai sangat menentukan.Pemerintah pun perlu membuat kebijakan yang mendukung seperti insentif pajak. "Operasionalnya biar swasta yang jalan," imbuhnya.Industri tepung telur ini menurut Dawami tidak hanya sebagai penyangga, namun bisa berskala besar. (CR)





REMBUK PETANI-PETERNAK: DEMI KESEJAHTERAAN, BUKAN PILPRES-PILPRESAN


Sejumlah petani dan peternak yang tergabung dalam berbagai macam organisasi berkumpul di Gedung Pewayangan Kautaman, TMII Rabu (21/3) yang lalu. Acara bertajuk Rembuk Petani dan Peternak Indonesia 2019 tersebut dimotori oleh beberapa LSM seperti Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Lokataru, dan Agriwatch.

Acara tersebut sukses terlaksana walaupun sempat terjadi aksi penolakan oleh beberapa organisasi massa karena dinilai bermuatan politis. Ketua LSM Pataka, Yeka Hendra Fatika menegaskan bahwa tidak ada sama sekali agenda politik dari acara tersebut, apalagi deklarasi kepada salah satu calon presiden. “Kita tidak mempolitisasi petani dan peternak, tujuan acara ini murni untuk kepentingan petani dan peternak dimana saat ini kebijakan – kebijakan yang dibuat dinilai memberatkan mereka. Toh, siapapun presidennya nanti, kalau kebijakannya tidak berpihak pada petani dan peternak,” imbuhnya.

Hal serupa juga dikatakan oleh presidium Agriwatch, Jones Batara Manurung. Menurutnya tidak ada kepentingan politik apapun dalam acara hari itu, semuanya yang didiskusikan adalah murni curahan hati petani dan peternak. “Semua disini berkumpul dengan tujuan yang sama, enggak peduli itu capres-capresan dan politik, kita semua berjuang untuk kedaulatan petani-peternak Indonesia lha wong kita disini bayar sendiri – sendiri kok, tanpa adanya sponsor dari kedua capres,” kata Jones dalam sambutannya.

Jones Batara Manurung memberikan sambutan


Dalam acara tersebut, peserta yang terdiri atas petani dan peternak diberikan kesempatan untuk berorasi menyuarakan kegelisahannya kepada pemerintah terkait pemangku kebijakan. Satu – persatu peserta bergantian berorasi, setiap orang diberi waktu selama 5 menit. Banyak isu – isu di bidang pertanian yang diangkat dalam setiap orasi peserta.

Hadir juga dalam kesempatan tersebut Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh I Ketut Diarmita beserta DIrektur Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping Tjaturrasa dan Direktur Perbibitan, Sugiono. Dalam pidatonya Ketut mengklaim produksi daging dan telur ayam Indonesia saat ini meningkat. Menurut dia, Indonesia dapat melakukan ekspor ke berbagai negara, karena sedang terjadi surplus daging dan telur ayam. Kementan mencatat ekspor produk olahan daging ayam berlangsung mulai 2016-September 2018 mencapai 118,81 ton. "Nilai ekspor kita tinggi. Kenapa bisa ekspor karena kita melakukan langkah-langkah peningkatan produksi," ucap Ketut.

Data Kementan juga menunjukkan surplus produksi daging ayam sebanyak 269.582 ton atau setara 22.482 ton per bulan. Hal itu diperoleh dari jumlah kebutuhan daging ayam pada 2018 sebanyak 3.051.276 ton atau 254.273 ton tiap bulannya, lebih tinggi dari final stock broiler (ayam pedaging) sebanyak 3.517.731 ton atau 293.143 tiap bulannya. Kementan juga mencatat surplus produksi telur ayam ras sebanyak 795.071 ton atau setara 66.256 ton per bulannya. Nilai itu diperoleh dari kebutuhan telur ayam ras pada 2018 mencapai 1.766.410 ton atau setara 147.201 per bulannya. Sedangkan, potensi produksi telur tahun 2018 mencapai 2.561.481 ton atau setara 213.457 per bulannya. 

Menanggapi Ketut, Ketua Presidium Layer Nasional Ki Musbar mengapresiasi keberhasilan Kementan dalam meningkatkan populasi dan menggenjot produksi. Namun begitu, ia juga menyoroti ketimpangan yang dialami antara peternak skala besar (integrator) dan mandiri. “Okelah kita produksi naik, ekspor, tapi siapa yang menikmati?, apakah peternak mandiri?, integrator kan?. Kalau mereka bisa ekspor, seharusnya di pasar becek dalam negeri mereka jangan ikut bermain juga,” tutur Ki Musbar.

Ki Musbar mempertanyakan keberpihakan pemerintah dan peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah perunggasan yang sejak beberapa tahun belakangan masih seperti benang kusut. “Padahal di UU No. 18 2009 itu ya, peternak mandiri seharusnya dilindungi oleh pemerintah di sektor budidaya, oleh karenanya kami ingin agar integrator jangan terlalu dikasih “nafas” budidaya itu hak kami para peternak,” pungkasnya. Dalam acara tersebut juga dibacakan maklumat kesejahteraan petani dan peternak Indonesia kepada Kementan. Harapannya, pemerintah diminta agar lebih perhatian lagi kepada petani dan peternak mandiri akan kesejahteraan mereka. (CR)

PETERNAK AYAM MANDIRI MENGADU KE OMBUDSMAN

Ilustrasi peternakan ayam (Foto: Infovet/Ridwan)

Tingginya harga bahan pokok kebutuhan berproduksi membuat peternak ayam mandiri semakin terpinggirkan. Sementara dari segi harga mereka kalah saing dibandingkan perusahaan peternak ayam besar. Kalangan peternak mengadu dan meminta perlindungan Ombudsman untuk bisa membantu memecahkan persoalan yang dihadapi para pengusaha.

Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar mengungkapkan para peternak mandiri semakin tertekan
dengan dominasi peternak besar.

Menurut Haris, hal tersebut tersebut terlihat dari bagaimana perusahaan-perusahaan ternak ayam besar menguasai bibit ayam, pakan, hingga obat-obatan. Selain itu, mereka juga melakukan budidaya yang menghasilkan biaya produksi menjadi lebih rendah.

“Mereka menguasai hampir semua sektor. Peternak mandiri biasanya membeli DOC atau bibit ayam, pakan ayam, dan obat-obatan dengan harga yang lebih mahal dibandingkan perusahaan-perusahaan itu menjual ke tempat mereka melakukan budidaya sendiri,” tutur Haris.

Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Sugeng Wahyudi mengatakan pengaduan ke Ombudsman dilakukan untuk melaporkan kondisi terkini yang dihadapi peternak nasional. Dia menyebutkan, saat ini peternak mengalami suatu kondisi di mana harga ayam yang mereka jual berada di bawah harga produksi.

“Sementara harga pakan kita dan DOC tinggi,” ungkap Sugeng.

Yeka Hendra Fatika dari Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) mengatakan, peternak merasa tidak dilayani dengan baik sebagai warga negara oleh pemerintah.

“Paling utama adalah iklim usaha peternak yang tidak sehat. Perusahaan besar dan peternak kecil sama-sama masuk di pasar yang sama,” ungkap Yeka.

Yeka menyebut, dalam Undang-undang peternakan, di Pasal 29 ayat 1 memang perusahaan boleh masuk di budidaya. “Namun jangan lupa ada ayat 5 yang menyebut pemerintah memberikan perlindungan kepada pelaku usaha atas persaingan tidak sehat,” tuturnya.

Para peternak berharap ada regulasi yang bisa melindungi. “Harapannya Ombudsman bisa masuk dan memetakan, apakah butuh Peraturan Pemerintah, Perppu atau Keputusan Presiden untuk hal ini. Terpenting adalah kehadiran pemerintah dan konsisten bisa dilaksanakan,” jelasnya.

Terhadap pengaduan ini, Komisioner Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan telah
melakukan audiensi dengan sejumlah organisasi peternak unggas.

“Tadi dilihat juga ada problem-problem yang bersifat sistemik, yang kaitannya dengan regulasi dan segmen pasar. Nanti kita akan panggil pihak-pihak terkait,” pungkas Ahmad. (Sumber: jawapos.com)

Gugatan Kementan Terhadap Ketua Pataka Dicabut

Ketua Pataka (bersyal) bersama rekan-rekan. (Foto: Istimewa)

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), Yeka Hendra Fatika hari ini, Selasa (8/1/2019) memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Panggilan tersebut atas dasar gugatan yang dilayangkan oleh Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan).

Hasil dari persidangan perdana ini, Kementan mencabut gugatan terhadap Yeka Hendra Fatika. Pencabutan gugatan terkait kasus Petisi Ragunan terkait pembohongan data produksi yang dilakukan Kementan dan berbeda dengan yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS).

Menurut informasi yang Infovet rangkum dari Detiktv, pencabutan dilakukan tanpa disertakan alasan. Pembacaan putusan oleh Hakim Wahyu Sektianingsih.

“Saya secara pribadi sangat bersyukur dan berterima kasih dengan dicabutnya gugatan ini. Seperti sudah diduga meng-kasuskan Petisi Ragunan yang ditandatangani 20 orang, namun gugatan ditujukan ke satu orang saja justru menimbulkan kegaduhan,” urai Yeka dalam petikan wawancaranya di Detiktv.

Yeka pun menyampaikan terima kasih atas dukungan teman-teman petani dan peternak yang juga telah membentuk wadah Agri Watch untuk terus memonitoring kinerja Kementan.

“Memperjuangkan hak-hak petani dan peternak tetap harus kami lanjutkan,” pungkasnya. (NDV)

Asosiasi Petani dan Peternak Deklarasikan Petisi Minta Menteri Pertanian Diberhentikan

Para perwakilan asosiasi petani dan peternak deklarasikan Mosi Tidak Percaya pada Menteri Pertanian (Foto: Istimewa) 

Sebuah petisi muncul, meminta Presiden Republik Indonesia Jokowi untuk memberhentikan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Petisi ini dinamai Petisi Ragunan, di mana 20 perwakilan organisasi serta asosiasi petani dan peternak membubuhkan tanda tangan.

Para penggiat sekaligus pelaku sektor pertanian dan peternakan tersebut berkumpul di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan dalam kegiatan ‘Refleksi Akhir Tahun’ yang digagas oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka). Acara berlangsung hari ini, Kamis (22/11/2018).

Petisi Ragunan dibacakan Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika. Dalam dasar pertimbangan petisi tersebut, disebutkan bahwa telah terjadi pembohongan data produksi pertanian yang sudah dibuktikan oleh BPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perwakilan berbagai organisasi dan asosiasi petani meminta Presiden Republik Indonesia untuk memberhentikan Mentan.

Berbagai pertimbangan sebagai alasan perlunya pendeklarasian Petisi Ragunan disampaikan para peserta diskusi. Agropreneur Jagung dari Lombok, Dean Novel melihat pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) terlalu asyik sendiri dengan kebijakan yang dibuat. 

“Petani justru bingung dengan kebijakan pemerintah. Apa yang petani perlukan tidak diberikan, sebaliknya yang petani tidak perlukan justru pemerintah berikan,” ungkap Dean. 

Misalnya, sebut Dean, ketika pemerintah mendorong tanam serentak membuat petani menjadi dilematis. Bahkan ketika panen, harga malah jatuh. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sarana penyimpanan seperti alat pengering (dryer) dan pergudangan.

Ketika tidak ada panen, harga melonjak tinggi, sehingga peternak unggas yang kesulitan mendapatkan bahan baku pakan ternak. Lebih mirisnya, benih jagung bantuan pemerintah juga kualitasnya dipertanyakan. Artinya, ketika pemerintah membuat kebijakan persoalan utama (bottle neck)-nya tidak diselesaikan.

Dean tengah melihat perjagungan Indonesia tengah menghadapi anomali. Satu sisi pemerintah mengklaim surplus jagung dan sudah ekspor, tapi yang terjadi malah ada impor. Bahkan kemudian pemerintah meminjam stok dari pabrik pakan ternak untuk menutupi kebutuhan jagung peternak rakyat. 

Karena itu, kalangan petani jagung berharap pemerintah jujur dan kemudian berjanji akan menata pertanian Indonesia dengan lebih baik.

Kadma Wijaya dari PPUN (Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara) Bogor melihat dari sisi peternak rakyat, pemerintah juga tidak berpihak. Di sisi hulu pemerintah memaksa untuk harga mahal dengan berbagai kebijakan, tapi di bagian  hilir harga sesuai mekanisme pasar. Kondisi tersebut membuat banyak peternak bangkrut.

Kalangan peternak broiler yang tergabung dalam GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional) juga mengeluhkan kebijakan pemerintah. Pengurus GOPAN, Sigit Prabowo menilai pemerintah memang mengatur kebijakan di hulu, tapi dibagian hilirnya tidak pernah diatur. Menurutnya, kebijakan yang pemerintah buat sepotong-sepotong. 

“Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagai acuan, tapi harga jualnya sesuai mekanisme pasar. Akibat kebijakan itu, harga menjadi tinggi DOC, peternak pun terancam gulung tikar,” ujar Sigit.

Stimulan Pemerintah Cuma Lips Service

Keluhan terhadap kebijakan pemerintah juga dirasakan kalangan peternak sapi. Kebijakan yang pemerintah buat dinilai banyak yang kontra produktif. 

Seperti dalam penetapan harga daging yang tidak menguntungkan produsen. Bahkan produsen  sapi (feedloter) rakyat, banyak yang menutup usahanya. Sementara yang masih bertahan mengurangi kapasitas produksinya. Tapi hal itu berdampak dalam permodalan, karena perbankan tidak lagi berani membiayai. 

Agus Warsito dari APSPI (Asosisasi Peternak Sapi Perah Indonesia) mengatakan, tugas pemerintah sebenarnya tidak berat, buat regulasi yang berpihak kepada rakyat. 

“Kenyataannya regulasinya tidak berpihak nyata. Stimulan yang pemerintah berikan hanya lips service, gula-gula belaka,” tandas Agus. 

Pada awal pemerintahan, Agus mengaku optimis dengan kebijakan persusuan dengan keluarnya Permentan No. 27/ 2016. Tapi kemudian setelah mendapat respon swasta dan ditekan kepentingan asing, Permentan tersebut dicabut diganti Permentan 30, lalu diganti lagi Permentan 33. 

“Artinya, Kementan tidak mempunyai kedaulatan di negeri sendiri dan justru tunduk pada kepentingan asing,” lanjutnya. 

Selain penandatanganan petisi, dalam kegiatan ini menyepakati dua hal. Pertama, membentuk  Agriwatch yang akan berfungsi sebagai lembaga untuk melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan program-program di Kementan. 

Lembaga ini nantinya akan memberikan masukan kepada Kementan, baik diminta ataupun tidak diminta. (NDV)

POLA PERDAGANGAN DAGING PERLU DITATA KEMBALI

Para pembicara pada diskusi Pataka di Jakarta, Kamis (2/11).
“Menata Pasar Daging yang Tersegmentasi” menjadi bahasan dalam program Bincang-Bincang Agribisnis (BBA), yang dilaksanakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Kebijakan (Pataka) bekerjasama dengan Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor, di Jakarta, Kamis (2/11).
Acara yang dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai kalangan bisnis ini menghadirkan narasumber diantaranya, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor (KSKP IPB), Prof Dodik R. Nurrochmat, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan (P2HP) Kementerian Pertanian, Ir Fini Murfiani, Guru Besar IPB, Prof Muladno dan Manejer Pemasaran Pasar Jaya, Gatra Vaganza.
Menurut Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika, pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga daging dengan menetapkan beberapa kebijakan, salah satunya kebijakan importasi daging kerbau beku asal India. Daging kerbau yang dinilai pemerintah menjadi optional daging sapi justru malah menimbulkan perubahan tata kelola perdagangan daging.
Mengutip penelitian yang dilakukan APDI, Gapuspindo dan Komunitas Sapi Indonesia, kebijakan impor tersebut memunculkan praktek dagang yang tidak berkeadilan, dimana pedagang banyak yang mengoplos daging sapi segar dengan daging kerbau, adanya penurunan volume pemotongan di RPH/TPH hingga 47%, sampai menurunnya skala usaha feedloter sekitar 70%.
“Jika kita bandingkan data penurunan pemotongan sapi, data impor daging kerbau dan data perkembangan harga daging sapi di pasar tradisional yang didukung rilis BPS, menyatakan harga daging sapi stabil tinggi. Maka kebijakan stabilisasi harga daging sapi melalui instrumen yang ada ternyata tidak berhasil,” kata Yeka.
Ia melanjutkan, “Bahkan hal itu turut menurunkan kegiatan perekonomian di industri feedloter maupun peternakan sapi potong yang dikelola peternak kecil. Dengan dalih ingin menciptakan tatanan pasar yang jujur, kebijakan (impor daging kerbau) justru mendistorsi pasar karena munculnya praktek penjualan daging oplosan yang merugikan konsumen dan berdampak pada masih tingginya harga daging sapi,” tambahnya.
Sementara itu menurut Asnawi, gelontoran daging kerbau beku dengan harga rendah ke pasar dinilai kurang tepat, hal itu disebabkan karena permintaan daging sapi segar sangat tinggi di pasar tradisional. Selain menimbulkan persoalan pedagang daging oplosan, ia menekankan pemerintah bisa lebih fokus terhadap peningkatan populasi sapi potong di dalam negeri. “Daging murah belum tentu murah, daging mahal belum tentu mahal, tetapi daging mahal sudah pasti berkualitas,” kata Asnawi.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar IPB, Prof Muladno, kebijakan impor daging kerbau beku untuk menutup permintaan daging segar di dalam negeri dinilai salah sasaran. Masyarakat cenderung lebih memilih daging segar, bukan daging beku. “Saya lihat kebijakan impor daging beku ini untuk mengisi pasar daging segar, dan menjual daging beku ke pasar itu adalah kesalahan,” ujarnya.
Ia menilai, pemerintah seyogyanya mengimpor sapi bakalan ketimbang daging beku guna memenuhi permintaan daging segar di pasar. “Impor daging beku lebih baik hanya untuk industri pengolahan saja,” ucap dia.

Asnawi saat menunjukkan kepada peserta sulitnya
membedakan antara daging sapi dan daging kerbau impor.
Tata Kembali Segmentasi Daging
Sementara, Prof Dodik menyatakan, dengan masuknya daging kerbau beku asal India, segmentasi pasar daging harus dibuat sebagai dasar nilai tambah produk pertanian. Segmentasi bisa dari pola konsumsi, selecting and grading dan processing. “Di pasar daging itu perlu di awasi karena banyak blantik atau importir. Harusnya daging dijual secara spesifik dengan harga bersaing, karena itu segmentasi sangat penting,” ucapnya.
Untuk memperbaiki situasi pasar daging, ia pun merekomendasikan beberapa kebijakan, diantaranya optimalisasi peran Bulog dalam tataniaga daging, kombinasi kebijakan tarif dan kuota untuk pengaturan impor daging sapi dan kerbau guna memastikan daging impor yang masuk aman untuk konsumsi dan tidak menyalahi aturan yang berlaku.
Hal serupa juga dikatakan Prof Muladno. Dengan adanya segmentasi daging pemerintah akan lebih mudah mengawasi, terutama daging beku. Sebab, pemerintah hanya mengeluarkan ijin impor daging beku untuk kebutuhan saja.
Diungkapkan pula oleh Asnawi, mengenai segmentasi pasar itu adalah bagaimana bisa membentuk pola perdagangan daging dengan baik. “Pasar di Indonesia ini sebenarnya sudah terbentuk polanya, namun karena kepentingan politik seperti importasi daging kerbau beku, jadi merubah keadaan,” terang dia.
Pengurus YLKI, Sudaryatmo, mengatakan dari sisi konsumen, harga memang menjadi perdebatan, namun konsumen tidak terlalu mempermasalahkan jika daging yang diberikan sesuai. “Harga tidak menjadi masalah kalau kualitas daginya terjamin,” kata Sudaryatmo.
Terkait maraknya oknum pedagang yang mengoplos daging sapi dan kerbau, ia meminta pemerintah harus sigap dengan selalu memberikan informasi kepada konsumen. “Ini harus terus dilakukan inspeksi, atau paling tidak ada penjelasan yang menyatakan bahwa itu merupakan daging sapi, kerbau ataupun oplosan,” jelasnya.
Dari sisi pemerintah, Direktur P2HP, Fini Murfiani, menanggapi, untuk meningkatkan populasi sapi pemerintah terus menggenjot program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab), yang pada tahun ini sudah mencapai 3 juta ekor sapi yang di Inseminasi Buatan (IB) dari target 4 juta akseptor, dan dari jumlah tersebut yang mencapai kebuntingan sekitar 40%.
Sementara untuk segi pasar, ia mengungkapkan, pemerintah berjanji memperbaiki infrastruktur, terutama pasar di Jakarta yang menjadi tolak ukur pasar di Indonesia. “Kepada pelaku usaha, di balik bisnis ingat ada bisnis peternak juga, sehingga dibutuhkan kerjasama. Pengawasan terus kita optimalkan, mengingat sekarang sudah dibentuk satgas pangan,” pungkasnya.
Satgas pangan sendiri yang dibentuk berdasarkan Rapat Koordinasi Terbatas memiliki peran yang signifikan dalam membangun iklim usaha yang kondusif dan mensejahterkan, serta menstabilkan harga pangan. Kendati demikian, menurut Pataka dalam diskusi tersebut, jika pemerintah memutuskan importasi daging kerbau beku, sebaiknya di pasarkan dengan kaidah penjualan yang jujur. Agar kegiatan perekonomian yang dikelola pihak swasta maupun peternak kecil tidak mengalami penurunan. Karena itu, instrumen pasar harus ditata kembali, agar pedagang dan konsumen teredukasi. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer