-->

FGD FORMAT : RAMBU - RAMBU PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI PERUNGGASAN

FGD FORMAT, membahas penggunaan antibiotik di perunggaan lebih mendalam

Beberapa waktu yang lalu harian Kompas mengangkat tema terkait Antimicrobial Resisstance (AMR) pada laman utamanya. Lalu kemudian digelar pula acara konferensi pers antara YLKI bekerjasama dengan beberapa LSM terkait temuan bakteri yang resisten antimikroba pada produk perunggasan (karkas).

Sebagai upaya klarifikasi atas isu tersebut, Forum Media Peternakan (FORMAT) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai penggunaan antibiotik di sektor perunggasan melalui daring Zoom Meeting pada Kamis (5/8). FGD ini sengaja dibatasi pesertanya hanya pengurus Format dan para wartawan media anggota Format, sedangkan narasumber yang diundang adalah para pimpinan asosiasi terkait dengan isu ini yaitu Pinsar Indonesia, GOPAN, Pinsar Petelur Nasional, GPMT, GPPU, ASOHI, PDHI serta perwakilan pemerintah yaitu Ditkeswan. FGD  dibuka oleh Ketua Format Suhadi Purnomo dan dipandu oleh sekretaris Format Yopi Safari

Pada kesempatan pertama Drh Rakhmat Nuryanto Ketua Bidang Kesmavet PINSAR Indonesia mengatakan bahwa isu bakteri kebal antibiotik terutama E.Coli sebenarnya adalah isu yang sudah lama terjadi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Ia mengutip beberapa laporan dan hasil penelitian terkait isu tersebut.

"Permasalahannya, yang duluan mengangkat isu tersebut adalah media mainstream, sehingga masyarakat menjadi geger. Itu tidak bisa dihindari dan memang dampak sosio-ekonominya cukup besar," tutur Rakhmat. 

Rakhmat sendiri menyayangkan hal tersebut, padahal menurutnya bakteri sekebal apapun terhadap antimikroba akan tetap mati dengan cara dimasak . Jadi untuk meredam isu tersebut ia menyarankan pada stakeholder untuk meng-counternya dengan menyarankan pada masyarakat agar tidak takut makan ayam dan telur.

Selain itu menurut Rakhmat, sektor peternakan bukanlah satu - satunya sektor yang harus disalahkan dari terjadinya AMR. Kesalahan pola konsumsi antibiotik pada manusia juga memegang peranan yang besar atas terjadinya AMR.

Senada dengan Rakhmat, Ketua Umum PB PDHI Dr. Drh Muhammad Munawaroh juga menyayangkan hal tersebut. Menurutnya hal tersebut hanya menyebabkan kepanikan belaka di masyarakat sehingga masyarakat menjadi takut untuk mengonsumsi daging dan telur ayam.

Peternak Bicara

Dalam forum tersebut juga hadir perwakilan PINSAR Petelur Nasional (PPN) yakni Yudianto Yosgiarso. Menurutnya di lapangan sebisa mungkin peternak tidak menggunakan antibiotik maupun obat, karena hal tersebut juga merupakan cost tambahan produksi. 

Ia juga mendukung upaya pemerintah dalam menggalakkan program sertifikasi NKV di Indonesia. Menurutnya dengan adanya program tersebut, peternak dapat lebih meningkatkan sisi manajemen pemeliharaan dimana dengan manajemen yang baik, tidak dibutuhkan penggunaan obat - obatan termasuk antibiotik dalam jumlah yang banyak.

"Saya sangat mendukung itu dan sudah melihat sendiri bahwa dengan memperbaiki cara beternak, obat - obatan termasuk antibiotik dapat dikurangi. Makanya saya dukung program pemerintah ini dan kalau bisa semua peternak ayam petelur juga meneruskan langkah baik ini," tuturnya.

Pendapat Yosgiarso juga didukung oleh Herry Dermawan, Ketua Umum GOPAN. Ia memaparkan bahwasanya penggunaan antibiotik dapat ditekan dengan cara menerapkan biosekuriti yang baik sehingga ayam tetap sehat dan performanya baik.

"Di Priangan Timur sana, kami (termasuk saya), memanen ayam di umur 23-24 harian, karena kami sadar nanti kalau dipanen di umur 28 hari keatas banyak tantangan penyakit. Dengan  dipanen 24 hari, peternak sudah mulai menerapkan cara pemeliharaan yang sangat minim menggunakan obat. Jadi faktanya peternak sendiri sudah melakukan upaya mengurangi penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik," kata Herry.

Namun begitu kata Herry, isu yang ditimbulkan oleh pemberitaan negatif terkait ayam membuat peternak cukup terpukul. Terlebih lagi ketika peternak menghadapi anjloknya harga ayam terkait masalah supply dan demand. Oleh karenanya Herry mengatakan bahwa isu ini harus bisa segera diredam untuk mencegah dampak sosio - ekonomi yang lebih hebat lagi.

Memperkuat Pengawasan dan Komunikasi

Pemerintah pun sebenarnya tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah ini. berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengurangi penggunaan antibiotik yang serampangan. Mewakili Direktur Kesehatan Hewan Drh Ni Made Ria Isriyanthi, PhD pun menjabarkan berbagai regulasi terkait penggunaan antibiotik pada ternak.

Menurut Ria, berbagai upaya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementan bersama stakeholder di luar sektor peternakan. Ia menjelaskan bahwa pihaknya terus meningkatkan pengawasan peredaran obat hewan bersama stakeholder . 

"Kami sedang menggodok aturan bagaimana caranya agar sediaan obat hewan ilegal tidak dijual di marketplace . Ini masih butuh waktu dan kami diskusikan juga dengan ASOHI," tutur Ria.

Sementara itu Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari dalam forum ini mengutarakan, bahwa sebagai mitra pemerintah pihaknya mendukung upaya pemerintah dalam menjalankan kebijakan pengendalian AMR.

"Kami juga mengerti kalau permasalahan ini tidak bisa kami selesaikan sendiri. ASOHI pun telah mewanti - wanti anggotanya agar selalu menaati peraturan yang berlaku, dan kami membuktikan itu. Berbagai kolaborasi dengan pihak lain juga telah kami jalankan agar bisa mereduksi dampak dari AMR, karena kami paham isu ini sifatnya global dan dampak sosio - ekonominya pun besar," tutur Irawati.

Dalam kesempatan yang serupa, Drh Desianto Budi Utomo Ketua Umum GPMT ikut menyatakan pendapat. Ia menjabarkan bahwa semua pabrik pakan anggota GPMT dipastikan sudah mematuhi semua peraturan terkait antibiotik baik AGP maupun medikasi.

"Kami ikuti sesuai peraturannya dan setiap anggota kami wajib memiliki dokter hewan yang menjadi PJTOH (Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan) di pabrik masing - masing, jika nanti terjadi praktik yang tidak sesuai tentunya akan mudah dilacak," kata Desianto.

Sementara itu, Ketua Umum GPPU Ahmad Dawami mengatakan bahwa memang isu perunggasan yang diangkat Kompas beberapa waktu belakangan efeknya cukup mencengangkan. Meskipun ia mengetahui pasti bahwa orang - orang di sektor perunggasan akan menanggapinya dengan santai, tetapi di luar sektor perunggasan pasti dampaknya akan berbeda.

"Kita santai karena kita ngerti, yang lain kan enggak ngerti. Makanya ini kita harus bisa mengubah mindset orang - orang ini agar enggak takut makan ayam dan telur," tutur Dawami.

Ia menyoroti pola komunikasi yang ada di masyarakat dimana sebenarnya banyak beredar isu tak sedap mengenai perunggasan, mulai dari hormon, telur palsu, antibiotik, dan lain sebagainya. 

Selain itu Dawami juga menyoroti ketegasan pemerintah dalam melakukan sanksi pada pihak yang dinilai menyalahi aturan.Menurutnya, pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi, jangan hanya memberikan sanksi administratif, bila perlu penutupan izin usaha.

Drh Munawaroh juga sangat menyoroti sisi komunikasi dari isu ini. Menurutnya, sektor peternakan kurang aktif dalam mengampanyekan sisi baiknya kepada masyarakat luas. Sehingga berita - berita hoaks jadi semakin susah ditangkis.

"Selama ini saya enggak pernah lihat di TV, koran, ada kampanye "Ayo makan daging dan telur Ayam!" padahal ini penting. Makanya kalau dibutuhkan ayo kita bikin kampanye yang masif, PDHI siap membantu mengedukasi masyarakat juga kok. Kalau komunikasinya berjalan dengan baik pasti bisa kita naikkan konsumsi protein hewani kita," tutur Munawaroh.

Ia juga meminta agar FORMAT senantiasa melakukan upaya terbaik dalam meng-counter pemberitaan di media mainsteam. Karena menurutnya FORMAT sebagai media yang berfokus di sektor peternakan lebih paham dan mengerti terkait seluk - beluk peternakan ketimbang media mainstream (CR).



SIAGA MENCEGAH WABAH PENYAKIT HEWAN BALITBANGTAN GELAR FGD

Pendekatan one health dibutuhkan dalam menyelesaikan penyakit hewan yang bersifat zoonotik

Selasa 3 Maret 2020 yang lalu, Badan Litbang Pertanian Kementan bersama dengan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) menggelar Focus Group Discussion bertajuk "Kesiapsiagaan Masuk dan Meyebarnya Penyakit Hewan Emerging dan Re-emerging di Indonesia". 

Tujuan dari acara tersebut yakni dalam rangka meningkatkan kewaspadaan semua pihak yang berkecimpung dalam upaya antisipasi, deteksi dini, dan merespon cepat dalam penanggulangan wabah penyakit hewan emerging dan re-emerging

Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 115 orang peserta yang berasal dari berbagai instansi seperti Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Intelijen Negara, Perguruan tinggi, LSM, Organisasi Profesi, dan tentu saja Kementerian Pertanian.

Seperti kita ketahui bersama bahwa beberapa bulan belakangan Indonesia kembali dihantam dengan mewabahnya beberapa penyakit hewan menular berbahaya baik yang bersifat zoonotik dan non-zoonotik. Sebut saja African Swine Fever (ASF) yang meluluhlantahkan sektor peternakan babi di Sumut beberapa waktu yang lalu, Anthraks yang kembali mewabah di Jawa Tengah, leptospirosis yang bergejolak ketika bencana banjir melanda, dan tentu saja yang terbaru yakni infeksi virus Corona (Covid-19) yang baru-baru ini menghebohkan nusantara. 

Balitbangtan punya mandat dalam urusan riset di bidang veteriner dan menjadi laboratorium rujukan nasional dalam bidang penyakit hewan, tetapi kedepanya diharapkan terjadi sinergisme dari pihak lain yang juga berkecimpung, sehingga konsep one health yang sering digaungkan itu benar - benar diaplikasikan dengan baik.

Ditemui oleh Infovet pada saat acara berlangsung, Kepala BBALITVET Bogor, Drh NLP Indi Dharmayanti menuturkan bahwa beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonotik sudah sejak lama menjadi penyakit strategis dan sulit sekali diberantas. Contohnya anthraks, menurutnya hingga kini anthraks walaupun kasusnya sedikit, namun masih kerap terjadi di Indonesia, dan beritanya selalu menghebohkan. 

Indi juga menyinggung wabah Covid-2019 yang baru - baru ini diumumkan oleh presiden RI beberapa waktu yang lalu. Ia mengatakan bahwa sangat penting mempelajari Covid-2019 lebih dalam karena virus ini berpotensi memiliki sifat zoonotik. 

"Yang kita ketahui sejauh ini kan virus corona memang ada pada beberapa jenis hewan seperti kelelawar, trenggiling, anjing, kucing, dan bahkan ikan paus. Sama - sama virus corona, cuma beda genus dan clade saja. Nah yang perlu kita ketahui kan apakah nanti Covid-19 ini berpotensi zoonotik melalui hewan peliharaan atau hewan ternak, oleh karenanya ini juga harus dipelajari lebih dalam," tukas Indi.

Indi juga berharap agar acara ini sedianya dapat menjadi ajang utuk saling tukar informasi dan bersinergi antar instansi dalam penanggulangan wabah. Selain itu kedepannya hasil dari FGD ini nantinya dapat menjadi saran dan masukan bagi pemerintah pusat dalam mengatasi permasalahan penyakit hewan di Indoensia. (CR)

MENELISIK KESIAPAN INDUSTRI TELUR OLAHAN INDONESIA

FGD BBA 38 Membahas Probabilitas Industri Pengolahan Telur


Fluktuasi harga telur yang kerap terjadi menjadi permasalahan sendiri bagi peternak layer. Oleh karenanya pembentukan industri telur olahan bisa jadi alternatif dalam mengakali hal tersebut. Itulah yang dibahas dalam Focused Group Discussion (FGD) mengenai industri telur olahan (tepug telur) di Jakarta (17/10) yang lalu.

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh LSM Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) melalui acara bertajuk Bincang – Bincang Agribisnis (BBA). Yeka Hendra Fatika Ketua PATAKA mengatakan bahwa perlu dilakukan upaya dalam menyelesaikan masalah ini sehingga peternak ayam petelur dapat bernafas lebih lega. “Saya rasa industri ini sangat mungkin untuk dibuat di negeri kita, secara umum kan kita surplus untuk produksi telurnya dan ini bisa jadi solusi bagi permasalahan fluktuasi harga telur,” tuturnya membuka diskusi.

Pernyataan Yeka didukung oleh data yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita. Menurut data yang dipaparkan oleh Ketut, produksi telur dalam empat tahun terakhir rata-rata meningkat 1 juta ton. Tahun 2019, potensi produksi telur mencapai 4.753.382 ton dengan rata-rata produksi per bulan 395.187 ton.Produksi tersebut telah melampaui kebutuhan telur nasional tahun ini sebanyak 4.742.240 ton dengan rata-rata konsumsi per bulan 395.187 ton. Dengan begitu, kata Ketut, Indonesia tahun ini sudah mencapai surplus telur 11.143 ton. “Ketika kita surplus, tapi tidak bisa barang ni diekspor, mau nggak mau kan kita harus mencari akal, nah hayo siapa disini integrator yang berani mengambil peluang bisnis tepung telur ini?.” kata Ketut.

Bisnis pengolahan tepung telur dianggap prospektif di Indonesia, pasalnya impor tepung telur Indonesia menunjukkan peningkatan. Dari data Badan Pusat Statistik yang dipaparkan saat diskusi, impor kuning telur dan putih telur pada 2015 sebesar 1.310,33 ton. Volume impor meningkat menjadi 1.785,1 ton pada 2018. Memasuki 2019, kurun waktu Januari-Agustus impor tepung telur sebesar 1.130,27 ton.

Kendati demikian, Ketua Umum GPPU Achmad Dawami mengingatkan bahwa untuk menghadirkan industri ini membutuhkan investasi, pengalaman, waktu, skala, dan pendanaan yang perlu dikoordinasikan sejumlah pihak. "Investasinya bukan sedikit untuk industri karena betul-betul higienis. Telur media yang paling gampang terkontaminasi dengan bakteri, pasti pabriknya seperti laboratorium," ujarnya.
Selain itu, perlu dukungan penyediaan tempat atau lahan untuk pembangunan pabrik tepung telur. Terkait hal tersebut, kemudahan perizinan dan pendanaan dari bank dinilai sangat menentukan.Pemerintah pun perlu membuat kebijakan yang mendukung seperti insentif pajak. "Operasionalnya biar swasta yang jalan," imbuhnya.Industri tepung telur ini menurut Dawami tidak hanya sebagai penyangga, namun bisa berskala besar. (CR)





Pembentukan Sapi Indonesian Commercial Cross Mulai Digagas

Direncanakan pengembangan sapi Indonesian Commercial Cross untuk akselarasi produksi daging dan susu nasional. (Sumber: Istimewa)

“Perlunya dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”

Keresahan kaum intelektual di perguruan tinggi dan lembaga penelitian terhadap ketiadaan brand sapi komersial asli Indonesia, sedikit mulai menemukan jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terlaksana dengan baik dan menghasilkan secercah harapan untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapatkan bangsa sapi komersial Indonesia (beef dan dairy) yang mampu menjawab kebutuhan daging dan susu di Indonesia.

Peserta akademisi berasal dari Fapet UGM, Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.

FGD diawali dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir Sumadi, tentang definisi dan karakter yang dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian Dairy Commercial Cross (IDCC), serta potensi dan output yang diharapkan.

“Indonesia defisit satu juta ekor sapi potong yang saat ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700 ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah, kita defisit dua juta induk, jika mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari impor,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.

Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan bangsa sapi IBCC dan IDCC dapat ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa sapi yang ada saat ini.

Alternative crossing yang dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan bangsa baru (komposit). Pemetaan bangsa sapi yang ada saat ini, menurut Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, dapat mengacu pada hasil-hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset itu perlu disinkronisasikan, dirakit, hingga didapatkan komposit terbaik yang bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan breeding beresiko menghabiskan waktu puluhan tahun hingga dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.

Terkait dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure yang siap dijadikan sumber indukan, menurut Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kolaborasi dengan Puslit Bioteknologi LIPI di kandang milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan siap digunakan sebagai sumber indukan.

Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak serta-merta persilangan antara Bos indicus (bangsa sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai contoh pada bangsa sapi Belgian blue di Belgia yang merupakan hasil persilangan berbagai bangsa sapi hingga didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata mempunyai kekurangan berupa mengecilnya saluran reproduksi akibat pertumbuhan otot yang super, sehingga diperlukan operasi sesar dalam setiap penanganan kelahirannya. Tentu ini menambah biaya dan tenaga.

Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia tidak mudah lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam ternak tersebut. Lemahnya recording system di tingkat peternak menjadi salah satu faktor, di samping sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin senang jika ternak mereka semakin berwarna “merah” (darah Bos taurus semakin tinggi), tanpa mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan pemeliharaan jika diinginkan produktivitasnya optimal.

Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya dalam pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu itu sendiri.
Saat ini di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir seluruhnya merupakan sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan putih. Padahal, lanjut dia, terdapat sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis, serta bangsa sapi Jersey yang juga merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan adaptasi iklim tropis yang lebih baik, sehingga perlunya pemikiran untuk melakukan akselerasi dengan pendekatan breeding yang lebih terkonsep dengan baik.

Hal ini diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak adalah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun dapat dikelola sesuai dengan kemampuan peternak.

Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak “dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi, karena memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak dapat dipenuhi secara kontinu, maka produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi perah produksi tinggi yang ambruk.

Menutupi kekurangan margin usaha sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah mereka dengan straw sapi potong seperti Limousin dan Simmental, yang akan menghasilkan anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini pasti menimbulkan masalah, baik pada reproduksi maupun untuk replacement stock. Oleh karena itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.

Dengan adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal dapat diraih. Satu hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau peternak.

Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi pemikiran seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta mengatasi permasalahan industri persapian. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan pada awal 2019 di Bogor, dengan agenda pembentukan konsorsium sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis, hingga diharapkan launching IBCC dan IDCC bisa terwujud pada 2022 mendatang.

Pengembangan bangsa sapi komersial ini membutuhkan dukungan dan kerja-keras semua pihak, mulai dari pihak swasta, asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. ***


Awistaros Angger Sakti, M.Sc.
Peneliti di BPTBA LIPI Yogyakarta

FGD Evonik: What Alternative Do We Have for AGP

Penyelenggara FGD bersama peserta. (Foto: Infovet/Sadarman)
Bertempat di Ballroom I Hotel Mercure Alam Sutera, Tangerang Selatan, PT Evonik Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD), bertajuk “Updateon Regulation for Antibiotic Growth Promoters Use in Poultry Feeds and What Alternative Do We Have for AGPs?”.

Merciawati, Senior Business Manager PT Evonik Indonesia, menyampaikan kegelisahannya terkait penerapan pelarangan AGP, yang berdampak pada industri terkait, yakni obat hewan dan pakan ternak, yang diaplikasikan pada ternak, terutama ayam ras komersial, baik pedaging maupun petelur. Namun, jika dikerjakan bersamaan maka dapat dilewati, sehingga akan indah pada waktunya. Untuk menjawab kegelisahan tersebut, setelah memasuki bulan kesembilan pelarangan penggunaan AGP, PT Evonik Indonesia menyelenggarakan FGD.

“Gunakan forum ini sebaik mungkin, kemukakan keluhan, masukkan dan gagasan terbaik di sini, agar dapat dicarikan solusi terkait What Alternative Do We Have for AGPs dimaksud,” kata Merciawati. 

FGD Evonik ini diikuti oleh hampir sebagian besar nutrisionis, formulator di pabrik pakan, pelaku usaha di bidang peternakan, kemitraan, peternak mandiri dan akademisi, serta peneliti terkait dengan masalah ini.


Dalam FGD, Evonik Indonesia menghadirkan Ni Made Ria Isriyanthi PhD (Kasubdit POH Kementerian Pertanian), Sasi Jaroenpoj DVM dari Animal Feed and Veterinary Product Control Division Thailand, Nasril Surbakti PhD dari PT Charoen Pokphand Indonesia, Dr Girish Channarayapatna selaku Technical Service Director, Evonik SEA. Dan acara dipandu langsung oleh Prof I Wayan Teguh Wibawan, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB. (Sadarman)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer