Ada sekitar 40 ribu spesies tanaman di dunia dan sekitar 30 ribu diantaranya ada di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Sekitar 9.600-an spesies tanaman tadi telah terbukti memiliki khasiat sebagai obat. Sedangkan 1.000-an diantaranya dimanfaatkan sebagai obat herbal tradisional (jamu) oleh masyarakat Indonesia.
Di Indonesia obat herbal lebih akrab disapa dengan sebutan jamu. Sejak zaman nenek moyang dulu, masyarakat Indonesia telah lama memanfaatkan herbal sebagai obat. Dari pengertiannya, obat herbal adalah obat yang zat aktifnya dari tanaman (daun, batang, akar, kayu, buah, ataupun kulit kayu). Obat herbal terkadang juga sering disebut sebagai jamu. Bahkan bisa dibilang jamu merupakan salah satu identitas bangsa ini.
Di masa kini tren gaya hidup manusia semakin berubah, termasuk dalam hal kesehatan. Manusia kini menganut tren back to nature alias kembali ke alam, sehingga banyak diantaranya yang mengonsumsi obat herbal dan jamu demi menunjang kesehatan. Begitupun dengan hewan khususnya ternak, kenyataannya sediaan herbal juga dapat digunakan sebagai terapi dalam kesehatan hewan ternak.
Herbal Bukan Cuma Jamu
Jamu memang sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Penggunaannya pun juga tidak terbatas hanya pada manusia saja, tetapi juga pada hewan. Seringkali didengar bahkan melihat ada kontes ternak, karapan sapi, atau event sejenisnya, pemilik hewan kerap memberikan jamu agar lebih prima kondisi ternaknya pada saat kontes.
Nah, sebenarnya sediaan herbal tradisional bukan cuma jamu, ada beberapa kategori sediaan berdasarkan pengelompokkannya. Seperti diutarakan dosen mata kuliah farmasi veteriner FKH IPB, Rini Madyastuti. Menurut Rini, obat herbal di Indonesia terdiri atas tiga golongan, yakni jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.
Jamu merupakan obat bahan alam yang sediaannya masih berupa bentuk aslinya (daun, rimpang, batang dan lainnya). Setelah lolos uji pra-klinik, jamu naik kelas menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT). Tingkat paling tinggi disebut sebagai fitofarmaka, dimana kemanan dan khasiat obat bahan alam sudah lolos uji pra-klinik dan uji klinik serta bahan baku dan produk jadinya sudah terstandarisasi. Namun begitu, pembagian tersebut hanya ada pada sediaan obat manusia.
“Untuk hewan mungkin sepertinya belum, tetapi saya lihat semakin kemari kayaknya makin banyak sediaan herbal, apalagi untuk ternak unggas. Tentunya ini indikasi positif untuk sediaan herbal, semoga semakin bergairah juga untuk industrinya menggunakan sediaan herbal,” tutur Rini.
Selain jamu, beberapa jenis tanaman dapat menghasilkan minyak esensial (essential oil) yang juga dapat digunakan dalam menjaga kesehatan manusia dan hewan. Minyak esensial inilah yang juga kemudian dimanfaatkan manusia sebagai sediaan obat maupun imbuhan pakan yang dikenal hingga sekarang ini.
Herbal dan Minyak Esensial (Semakin) Berkembang
Dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai growth promoter (AGP) beberapa tahun lalu menyebabkan para produsen dan distributor obat hewan berpikir keras untuk menemukan alternatif penggantinya. Di sisi lain, beberapa jenis sediaan herbal dan minyak esensial dapat digunakan.
Perkembangan jenis produk herbal dan minyak esensial seperti dipaparkan Kasubdit POH, Ditjen PKH, Kementerian Pertanian (Kementan), Drh Ni Made Ria Isriyanthi. Hal ini ditandai dengan merebaknya produk herbal untuk ternak di pasaran. Ia menyebut, kini produsen obat hewan resmi di Indonesia mencapai 106 produsen.
Empat perusahaan telah memiliki sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) untuk obat alami, sembilan perusahaan memproduksi farmasetik, delapan perusahaan memproduksi sediaan biologik, satu perusahaan memproduksi bahan baku, dan 35 perusahaan memproduksi premiks.
“Obat alami di Indonesia sangat melimpah, selain karena AGP dilarang di Indonesia, penggunaan obat herbal seperti sudah menjadi budaya,” jelas Ria.
Namun begitu, ia mengingatkan agar peternak tetap menggunakan obat hewan herbal yang resmi yang sudah tersertifikasi di Kementan. Sebab obat herbal yang tersertifikasi dan melalui serangkaian uji, serta terbukti secara ilmiah dapat memberikan khasiat. Tak lupa Ria juga mengimbau agar produsen dan distributor obat hewan untuk melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum menjual produknya di pasaran. Ia dan segenap pejabat di Kementan telah berkomitmen untuk mempermudah alur registrasi obat hewan herbal.
Sisi Bisnis Obat Herbal
Tidak bisa dipungkiri sisi bisnis juga bergairah dengan tumbuhnya pasar obat herbal untuk hewan di Tanah Air. Pengembangan produk herbal untuk hewan telah lama dijalankan oleh produsen obat hewan Indonesia. PT Medion Farma Jaya adalah satu diantara banyak produsen yang mengembangkan produknya secara progresif.
Medion mulai meluncurkan produk herbalnya sejak 2012, jauh sebelum pemerintah memutuskan palarangan penggunaan AGP dalam pakan ternak. Pemasaran produk herbal tersebut dilatarbelakangi tren di banyak negara maju, seperti di Benua Biru dan Amerika Serikat yang sudah mulai melarang penggunaan antibiotic.
Corporate Communications & Marketing Distribution Director PT Medion Farma Jaya, Peter Yan, saat dihubungi Infovet mengakui bahwa penjualan produk herbal meningkat tajam dari 2017 hingga 2019, atau semenjak diberlakukannya pelarangan AGP pada 2018, dengan segmentasi konsumen lebih banyak digunakan pada ayam broiler.
Meskipun begitu bisnis tidak selalu berjalan mulus, Peter mengaku menemui berbagai kendala yang dihadapi Medion. Kendala mengenai ketersediaan bahan baku, standardisasi bahan baku dan registrasi.
Peter mengatakan bahwa sekitar 70% bahan baku untuk produk herbal didapatkan dari produksi dalam negeri, sisanya berasal dari impor. Hal ini disebabkan masih terbatasnya kajian ilmiah dari bahan baku yang digunakan tersebut. Selain itu, ketersediaan bahan baku dari dalam negeri belum sepenuhnya mampu mencukupi permintaan, sehingga impor terpaksa dilakukan.
Tantangan ini mengharuskan Peter dan timnya bekerja ekstra untuk mengekstrak dan menguji bahan baku secara mandiri. Faktor ini pula yang turut andil dalam memperpanjang masa pengembangan maupun produksi dari produk herbal yang dimiliki Medion.
Hal senada juga diungkapkan oleh Drh Akhmad Harris Priyadi dari ASOHI. Dirinya mengungkapkan, perlu ada kolaborasi dari tiga pilar untuk pengembangan produk herbal dan minyak esensial.
“Perguruan tinggi, swasta dan pemerintah harus berkolaborasi memajukan produk herbal, sehingga peternak bisa mendapatkan manfaat. Jadi, pengembangan produk herbal ini seperti proyek keroyokan, tapi semuanya dapat memetik manfaat,” kata Harris.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan menurut Harris, harus memberikan bantuan berupa dana maupun teknis kepada pihak lain yang mengembangkan sediaan herbal dan minyak esensial. Pengembangan produk herbal untuk sektor perunggasan di Indonesia memang masih memerlukan usaha dari berbagai pihak secara sistematik. Hal ini membutuhkan waktu lama, namun jika semua pihak terlibat berkeinginan kuat, maka Indonesia akan menjadi negara terdepan dalam riset maupun produksi produk herbal perunggasan untuk pasar di dalam maupun luar negeri.
Mengenai tren dari pasar imbuhan pakan, termasuk di dalamnya sediaan herbal atau fitogenik, dalam suatu webinar Drh Ahmad Wahyudin selaku Product Manager Kemin Asia Pasifik, menyebutkan total market size industri imbuhan pakan di seluruh dunia pada 2012 mencapai sekitar US$15 triliun dan diperkirakan akan tumbuh lebih besar pada 2020-2025. Ahmad mengatakan bahwa adoption rate dari feed additive fitogenic di indonesia sebesar 50%.
“Kami memperkirakan bahwa market size fitogenic feed additive di Indonesia sebesar US$17 juta. Angka yang cukup besar untuk diseriusi,” kata dia.
Berdasarkan analisis SWOT yang dipaparkan Ahmad, salah satu peluang tumbuhnya fitogenik di Indonesia yaitu kesadaran masyarakat terhadap bahaya residu antibiotik dan kesadaran akan pencemaran lingkungan.
Sementara, tantangan yang dihadapi yaitu keraguan konsumen akan efikasi sediaan fitogenik bagi ternak, harga dari sediaan fitogenik yang tidak terjangkau dan riset untuk pemanfaatan sumber daya.
“Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah untuk dijadikan produk fitogenik, namun kelemahannya yaitu dari segi teknologi dan riset belum memadai,” tukasnya.
Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet