-->

FENOMENA KONSUMSI ASUPAN GIZI VS ROKOK, MENANG MANA?

Konsumsi asupan makanan begizi sangat penting untuk kesehatan. (Foto: Istimewa)

Selama rokok masih menjadi candu, maka untuk menurunkan jumlah konsumennya sangat sulit. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, orang (termasuk kalangan miskin) rela mengurangi kebutuhan pokok demi menikmati rokok. Sampai kapan begini?

Akhir Juli 2025 lalu, BPS kembali merilis soal konsumsi rokok menjadi salah satu penyebab kronis kemiskinan di Indonesia. Seakan tak dapat dicegah, penyebab ini masih mendominasi, di urutan kedua setelah kebutuhan beras, bahkan terjadi di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Rilis terbaru ini merupakan hasil laporan survei hingga Maret 2025.

Sejak satu dekade BPS sudah berulang kali merilis masalah ini, namun persentasenya tak pernah turun. Meski di dalam bungkus rokok sudah tercantum peringatan keras soal bahayanya, namun masyarakat masih saja menikmatinya.

“Beras, rokok, dan kopi sachet masih menjadi penyumbang utama garis kemiskinan per Maret 2025,” begitu tertulis dalam siaran pers BPS, akhir Juli 2025.

Data BPS menunjukkan beras menyumbang sebesar 21,06% terhadap garis kemiskinan (GK). Sementara itu, rokok filter menyumbang 10,72% terhadap GK untuk perkotaan. Sedangkan di perdesaan, beras menyumbang sebesar 24,91% dan rokok kretek filter sebesar 9,99%.

Pada periode sebelumnya juga dijumpai hal serupa. Komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan masih berupa beras dengan sumbangan terbesar, yakni 21,01 % di perkotaan dan 24,93% di perdesaan.

Sedangkan rokok kretek filter juga menempati posisi kedua pada GK September 2024, memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap GK (10,67% di perkotaan dan 9,76% di perdesaan).

Besaran sumbangan rokok bahkan lebih besar dibandingkan bahan makanan pokok seperti telur maupun daging ayam. Bumbu-bumbu dapur krusial seperti bawang merah, gula pasir, dan cabe rawit juga menempati posisi yang lebih rendah pada daftar.

Telur ayam menempati posisi ketiga dengan proporsi 4,50% untuk GK perkotaan dan 3,62% untuk GK perdesaan, dan daging ayam ras menempati posisi berikutnya dengan proporsi 4,22% dan 2,98% untuk perkotaan dan perdesaan secara berurutan.

“Kondisi ini benar-benar memprihatinkan,” ujar ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto PhD kepada Infovet.

Erwanto menyebut, fenomena semacam ini sungguh sulit diterima akal sehat. Kebutuhan asupan gizi untuk keluarga dikalahkan kebutuhan rokok yang hanya jadi candu. Ia memberikan gambaran kalkulasi kalau dalam sehari orang menghabiskan Rp 20.000 untuk membeli rokok, maka dalam sebulan Rp 600.000 dibakar begitu saja.

“Tapi coba kalau dibelikan telur, dengan asmusi Rp 30.000, maka sebulan dia bisa beli 20 kg telur. Gizi keluarga bisa terpenuhi,” ungkapnya.

Menurut dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini, perputaran uang untuk membeli rokok hanya akan berputar pada pabrik rokok dan cukai ke negara saja. Mereka yang menikmati keuntungan sangat besar, sementara para perokok mendapat titipan zat berbahaya yang bersarang di dalam tubuhnya.

Sementara untuk konsumsi telur atau daging ayam, perputaran uangnya sangat luas. Mulai dari petani jagung, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha pemotongan hewan, hingga jalur pasar yang melibatkan pelaku usaha.

Artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi telur atau daging ayam secara tidak langsung akan membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi masyarakat.

Jebakan Kemiskinan
Dalam rilis BPS di atas, menunjukkan bahwa rokok terutama kretek filter, merupakan salah satu komoditas paling banyak dikonsumsi masyarakat miskin dan berkontribusi besar terhadap garis kemiskinan. BPS menggunakan data konsumsi rokok dalam menghitung garis kemiskinan karena rokok adalah salah satu komoditas yang banyak dikonsumsi, termasuk oleh masyarakat miskin.

Meskipun rokok memberikan pemasukan besar bagi pemerintah, konsumsi rokok yang tinggi di kalangan masyarakat miskin, yang seharusnya memprioritaskan kebutuhan dasar seperti makanan, menjadi fenomena yang miris. Bagi mereka konsumsi rokok dapat menjadi semacam “jebakan kemiskinan” karena uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar digantikan untuk rokok.

Kalangan perokok sangat sulit untuk mengurangi jatah rokoknya, apalagi untuk berhenti total. Karena candu rokok sudah bersemayam dalam tubuh, maka ada orang yang berpinsip “tidak apa tidak sarapan, asal tiap pagi bisa merokok.”

“Artinya pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan kebiasan sebagian masyarakat kita yang memang lebih untuk tetap merokok, bagaimana pun kondisinya,” ujar Erwanto.

Karena Rokok “Dimakan”
Sekadar untuk melengkapi informasi tulisan ini, ada ulasan menarik yang disampaikan seorang Petugas Survei BPS, Dwi Ardian, yang ia tulis di platform Kompasiana.com, 24 Juli 2025.

Petugas survei ini mengamati di lapangan, banyak rumah tangga miskin yang lebih memilih mengurangi konsumsi makanan bergizi daripada berhenti merokok. Padahal, menurut standar garis kemiskinan makanan, setiap anggota rumah tangga minimal membutuhkan asupan 2.100 kilokalori (kkal) per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar gizi, begitu pengakuan Dwi Ardian.

Padahal, rokok yang harganya mahal tidak memberikan kalori sama sekali (nol kalori). Artinya, uang yang seharusnya digunakan untuk membeli makanan bergizi justru dihabiskan untuk bakar-bakar rokok, suatu kebiasaan yang kontraproduktif bagi kesehatan dan ekonomi keluarga.

Dalam penghitungan garis kemiskinan, BPS menggunakan paket komoditas kebutuhan dasar yang terdiri dari 52 jenis komoditas, termasuk padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak. Uniknya, rokok juga termasuk dalam daftar ini. Mengapa? Karena rokok “dimakan”, meskipun bukan dalam arti harfiah sebagai makanan bergizi.

Data Susenas menunjukkan bahwa lebih dari 73% pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk membeli 52 komoditas tersebut, termasuk rokok. Sisanya sekitar 26%, digunakan untuk kebutuhan non-makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Artinya, jika rumah tangga miskin mengurangi atau berhenti merokok, mereka dapat mengalihkan pengeluaran tersebut untuk memenuhi kebutuhan pokok yang lebih penting, seperti makanan bergizi atau biaya pendidikan anak.

Rokok dalam “Pelukan” Budaya
Data dari Kemenkes, data BPS, dan data Komnas Pengendalian Tambakau, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari waktu ke waktu perokok pemula usia 10-18 tahun beberapa tahun terakhir. Perokok remaja mencapai sekitar 11-12% pada 2024, dari 9% pada 2018. Sedangkan, perokok usia di atas  telah mencapai sekitar 33% pada 2024.

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan komunitas tradisional, kenduri atau selamatan menjadi salah satu ritual yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Acara-acara seperti syukuran kelahiran, pernikahan, kematian, atau bahkan peresmian rumah kerap dijadikan momentum untuk berkumpul.

Namun, di balik nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi, tradisi semacam ini turut berkontribusi terhadap meningkatnya akses dan konsumsi rokok di masyarakat. Rokok sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyelenggaraan kenduri, baik sebagai pelengkap sajian bagi tamu maupun sebagai sarana penghormatan kepada sesama. Dalam banyak kasus, rokok bahkan dianggap sebagai “tanda terima kasih” bagi para undangan yang hadir, sehingga menciptakan persepsi bahwa menolak rokok bisa dianggap “tidak sopan”.

Budaya memberikan rokok kepada tamu atau sesama peserta kenduri juga memperkuat normalisasi konsumsi rokok dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam acara-acara adat di Jawa, rokok kerap disediakan dalam nampan atau gelas bersama hidangan lainnya, seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang setara dengan makanan dan minuman.

Hal ini mengakibatkan rokok tidak lagi dipandang sebagai barang berbahaya, melainkan sebagai bagian dari adat istiadat yang harus dihormati. Akibatnya, anak-anak dan remaja yang turut serta dalam acara semacam ini sejak dini terpapar kebiasaan merokok dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah.

Menurut Yuny Erwanto, kalau saja anggaran rokok tersebut dialihkan, misalnya untuk bikin ayam bakar atau ikan bakar yang bisa dinikmati bersama, tentu jauh lebih sehat. Tapi apa daya, tradisi memang sulit untuk “ditaklukkan”. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

SEMINAR NASIONAL MENYONGSONG HATN 2025 DIGELAR DI USU

Foto bersama Seminar Nasional dalam rangka menyongsong HATN 2025 di USU. (Foto-foto: Dok. Infovet)

Selasa (19/8/2025), bertempat di Aula Fakultas Peternakan Universitas Sumatra Utara (USU), diselenggarakan Seminar Nasional dalam rangka menyongsong Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) 2025.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Bidang Promosi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Ricky Bangsaratoe, yang juga Ketua Panitia Pusat HATN, menyampaikan apresiasinya kepada USU yang telah mendukung kegiatan HATN.

“Terima kasih kepada USU yang telah berkenan memfasilitasi dan mendukung seminar ini. Diharapkan ini menjadi inspirasi dan bekal bagi para mahasiswa bidang peternakan untuk bisa berkontribusi secara nyata dalam membangun sektor perunggasan agar lebih maju dan berdaya saing,” kata Ricky.

Salah satu bentuknya adalah dengan terus menggencarkan edukasi terkait pentingnya konsumsi protein hewani sebagai sumber makanan bergizi, sekaligus menangkal isu-isu hoaks seputar daging ayam dan telur yang berdampak pada melambannya tingkat konsumsi dua protein hewani tersebut.

Selain itu juga dapat mengubah mindset di masyarakat untuk lebih memerhatikan asupan makanan bergizi ketimbang konsumsi rokok dan pulsa. “Konsumsi daging ayam dan telur saat ini masih kalah dengan konsumsi rokok, dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan konsumsi rokok tertinggi di ASEAN,” ujar Bambang Suharno selaku Pemimpin Redaksi Majalah Infovet sebagai Official Media Partner HATN, yang didapuk menjadi narasumber dengan topik peningkatan konsumsi ayam dan telur, serta dampaknya bagi lulusan peternakan.

Pemred Infovet Bambang Suharno saat menyampaikan presentasinya.

Oleh karena itu, ia pun mengimbau kepada para mahasiswa dan dosen yang hadir untuk terus mengupayakan kampanye pentingnya makan daging ayam dan telur sebagai penunjang kesehatan bagi masyarakat.

Karena dengan semakin tingginya konsumsi, tentunya industri perunggasan akan semakin tumbuh dan membuka peluang besar bagi masyarakat khususnya para lulusan bidang peternakan. Saat ini produksi unggas pun semakin tinggi dan teknologinya semakin berkembang.

“Bisnis perunggasan makin berkembang dan besar, peluang karir dan usaha bagi lulusan peternakan juga makin terbuka. Karena itu diperlukan upgrade skill, keterampilan digital, networking, dan juga mindset enterpreneur bagi para mahasiswa,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Technical Consultant Animal Protein USSEC Indonesia, Alfred Kompudu. Menurutnya, unggas modern yang terus berkembang dan semakin terdepan dapat membuka peluang usaha yang besar bagi para lulusan peternakan, baik dari bisnis pakan, budi daya, peralatan, kesehatan hewan, pengolahan hasil peternakan, hingga retail.

Ia pun secara mendalam turut menjelaskan perkembangan budi daya unggas dulu vs modern, bagaimana mencapai target performa unggas, hingga manajemen pemeliharaan mulai dari pemberian pakan dan air minum, program pencahayaan, kebutuhan udara, serta kepadatan dan sanitasi kandang, yang menjadi kunci sukses dalam manajemen pemeliharaan unggas.

Foto bersama usai penandatangan kerja sama antara Pinsar Sumatra Utara dan USU.

Momentum seminar ini pun menjadi pembuka rangkaian gelaran HATN 2025 yang akan berlangsung di Sumatra Utara. Puncak acaranya direncanakan akan dilaksanakan pada Oktober mendatang, sekaligus bertepatan dengan peringatan World Egg Day (WED) 2025. (RBS)

FAKTOR PENURUNAN PRODUKSI TELUR

(Foto: Dok. Sanbio)

Produksi telur merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam usaha peternakan ayam petelur. Namun, tidak jarang peternak menghadapi masalah turunnya produksi telur yang dapat berdampak signifikan terhadap keuntungan usaha.

Penurunan produksi ini bisa bersifat sementara atau berkepanjangan, tergantung dari penyebabnya. Penurunan produksi telur terjadi akibat banyak sebab, mulai dari faktor infeksius ataupun non-infeksius.

Penyebab infeksius dapat terjadi karena virus dan bakteri. Penurunan produksi telur yang diakibatkan oleh faktor infeksius mengganggu keberlangsungan usaha bagi peternak ayam petelur. Penyebaran virus yang cepat tidak jarang dapat menyebabkan kematian tinggi, membuat peternak harus berpikir keras dalam melindungi kesehatan ternak unggasnya.

Beberapa faktor infeksius yang dapat menyebabkan penurunan produksi adalah:

Newcastle disease (ND)
Disebabkan oleh Avian paramyxovirus tipe-1 (APMV-1). Jika sudah terinfeksi akan berpengaruh pada produksi telur, terutama penurunan produksi, kualitas telur jelek, warna abnormal, serta bentuk dan permukaan kerabangnya abnormal.

Infectious bronchitis (IB)
Disebabkan oleh Coronavirus. Ayam  petelur dewasa yang terinfeksi akan mengalami penurunan produksi hingga mencapai 60% dalam kurun waktu 6-7 minggu dan selalu disertai dengan penurunan mutu telur berupa bentuk telur tak teratur, kerabang telur lunak, dan albumin (putih telur) cair.

Avian influenza (AI)
Terutama AI subtipe H9N2 dapat menyebabkan penurunan produksi. Virus AI subtipe H9N2 masuk kedalam low pathogenic avian influenza (LPAI) yang menyebabkan rusaknya saluran reproduksi ayam ditandai dengan ovarium dan oviduk kemerahan, kuning telur tampak seperti brokoli, dan yang sangat nampak terlihat adalah penurunan produksi yang sangat tajam (dapat mencapai 5-10% per hari).

Egg drop syndrome (EDS)
EDS disebabkan oleh Adenovirus tipe I. Ayam yang terinfeksi produksi telur akan memiliki kerabang tipis hingga tanpa kerabang. Pada umumnya terjadi pada awal periode bertelur, sehingga puncak produksi tidak tercapai.

Infectious coryza
Disebabkan oleh bakteri Avibacterium paragallinarum. Ayam yang terinfeksi mengalami gangguan pernapasan atas. Terlihat bengkak pada area wajah ayam dengan keluar eksudat dari hidung, anoreksia. Serta dapat terjadi pada semua umur dan dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 40%.

Selain penyakit infeksius di atas, penurunan produksi telur dapat terjadi akibat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025. (Muchammad Wildan Firdaus & Aprilia Kusumastuti)

MENCEGAH PENURUNAN PRODUKSI TELUR: STRATEGI CERDAS UNTUK PETERNAK

Ayam petelur modern. (Foto: Istimewa)

Produksi telur yang menurun adalah salah satu tantangan utama dalam peternakan ayam petelur. Penurunan ini dapat berdampak pada keuntungan peternak dan efisiensi produksi. Perlu dipelajari bagaimana profil ayam petelur modern saat ini dengan memahami peforma, berat badan, kebutuhan nutrisi, manajemen, dan standar produksi telur di setiap umurnya.

V. Arantes dari Hy-Line International USA pada Australian Poultry Science Symposium memaparkan tentang “Optimizing Nutrition and Management to Enhance Productivity in Modern Laying Hens: From Rearing to Peak Production” bahwa kemajuan genetika ayam petelur modern telah meningkatkan efisiensi produksi mereka secara signifikan, ditandai dengan peningkatan konversi pakan, produksi telur yang lebih tinggi, dan persistensi bertelur yang lebih lama.

Namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama dalam komposisi manajemen dan nutrisi di lima minggu pertama. Hal ini dikarenakan tren penurunan berat badan pada layer modern, yang membutuhkan manajemen tepat untuk menghindari pertambahan berat badan yang berlebihan, terutama selama fase perkembangan utama. Menetapkan profil berat badan yang optimal, terutama pada minggu kelima sangat penting untuk membuka potensi produktivitas ayam petelur.

Faktor Nutrisi: Fondasi Produksi Telur
Nutrisi yang tidak seimbang adalah penyebab utama turunnya produksi telur. Kalsium dan fosfor pada ayam petelur merupakan nutrisi yang penting untuk pembentukan cangkang telur. Jika pasokan kalsium kurang atau rasio Ca : P tidak seimbang, produksi telur akan mengalami penurunan.

Defisiensi atau kelebihan energi, protein, dan asam amino esensial seperti metionin dan lisin sangat penting untuk produksi telur yang optimal. Kekurangan salah satu dari nutrisi ini dapat menurunkan jumlah produksi telur yang dihasilkan.

Selain itu proses pemilihan bahan baku yang baik dan analisis antinutrisi yang presisi akan mempermudah dalam melakukan pemberian aditif, contohnya penggunaan enzim untuk membantu kecernaan substrat pada bahan baku alternatif, toxin binder untuk mengikat mikotoksin (aflatoksin, DON, fumonisin) pada bahan baku yang menyebabkan stres fisiologi, menurunkan daya tahan tubuh, dan berdampak terhadap produksi telur. Manajemen waktu dan metode pemberian pakan yang tidak tepat bisa menyebabkan fluktuasi konsumsi nutrisi.

Kenyamanan Ayam Jadi Kunci
Manajemen kandang yang kurang optimal dapat menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025.

Ditulis oleh:
Drh Henri E. Prasetyo MVet
Praktisi perunggasan, Nutritionist PT DMC

AGAR PRODUKSI TELUR TAK MENGENDUR

Peternakan ayam petelur modern. (Foto: Istimewa)

Telur ayam merupakan sumber protein hewani termurah yang terjangkau bagi masyarakat. Patut dibanggakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil telur ayam terbanyak, namun hal tersebut jangan sampai membuat peternak lengah.

Mesin Biologis Canggih
Sejak dikembangkan kurang lebih 100 tahun lalu, kini ayam petelur/layer modern menjelma menjadi mesin biologis penghasil telur yang mumpuni. Bisa dibilang ayam petelur modern merupakan hasil seleksi tradisional dan teknologi genomik canggih, sehingga menghasilkan strain dengan produksi tinggi (300-500 telur/tahun), umur bertelur lebih panjang, dan adaptasi iklim yang baik.

Hal tersebut disampaikan oleh Technical Service Specialist, Southeast Asia, Hyline-Internasional, Drh Dewa Made Santana, dalam sebuah webinar. Menurut data yang diperoleh, ada perbedaan cukup menonjol antara ayam layer old fashion (sekitar 1992), dengan layer modern dengan data di 2021.

Berdasarkan data yang ada layer “versi lama” hingga umur 80 minggu menghasilkan sebanyak 321 butir telur, sedangkan layer modern sudah bisa memproduksi sebanyak 374 butir. Ada selisih 53 butir atau peningkatan sebanyak 16%. Jika dihitung dari segi berat, ayam petelur lama hanya mampu memproduksi telur sebesar 20,39 kg, sedangkan untuk ayam petelur modern sudah bisa memproduksi sebanyak 23,06 kg.

“Dari data itu saja terdapat selisih 2,67 kg atau ada peningkatan sebesar 13,09%. Belum lagi untuk FCR, kalau ayam lama rata-rata FCR-nya sebesar 2,37, ayam modern sebesar 2,07 terdapat selisih 0,30 atau ada penurunan 12,66%. Ini artinya konsumsi pakannya semakin irit, namun menampilkan produksi yang cukup tinggi,” kata Santana.

Kendati demikian, keunggulan genetik yang luar biasa itu tidak bisa berdiri sendiri, agar produksinya bisa optimal perlu dukungan menyeluruh dari tiap aspek pemeliharaan, seperti ketersediaan nutrisi yang baik dan cukup, manajemen pemeliharaan mumpuni, adanya pelayanan veteriner, serta penerapan biosekuriti yang baik.

“Kalau saya lihat di negara kita, mungkin tidak semua peternak bisa memaksimalkan potensi ini, mungkin hanya beberapa saja. Oleh karena itu, bila termanfaatkan 100%, produksi telur kita bisa lebih baik lagi pastinya,” ucapnya.

Nutrisi Baik, Performa Apik
Berbagai literatur mengatakan bahwa berhasilnya suatu usaha peternakan ditentukan oleh empat faktor, yaitu... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025. (CR)

BEBERAPA FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA PRODUKSI TELUR

Penurunan produksi bisa disebabkan secara tunggal atau kolektif dari beberapa faktor. (Foto: Istimewa)

Sudah merupakan kebiasaan di komunitas peternak ayam petelur jika ada masalah dengan penurunan produksi telur yang tidak biasa, hampir selalu dikaitkan dengan gangguan kesehatan akibat serangan penyakit. Padahal penurunan produksi bisa merupakan penyebab tunggal atau kolektif dari beberapa faktor.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi selain infeksi penyakit, adalah karena nutrisi, cahaya, usia, stres, dan kondisi lingkungan. Nutrisi yang tepat, terutama kalsium, protein, dan energi, sangat penting untuk pemeliharaan produksi telur yang konsisten. Kemudian juga pencahayaan, terutama paparan cahaya siang hari yang berperan dalam merangsang siklus reproduksi dan hari yang pendek dapat mengurangi produksi telur.

Selain itu, faktor usia turut memengaruhi produksi telur, dengan penurunan alami seiring bertambahnya usia induk ayam. Serta kondisi stres dan faktor lingkungan seperti suhu dan ventilasi juga berperan serta dalam produksi dan kualitas telur yang dihasilkan.

Pemberian Nutrisi
Ayam betina membutuhkan diet seimbang dengan cukup protein, kalsium, dan energi untuk bertelur. Jangan juga abaikan kebutuhan air minum, karena kebanyakan dari peternak lupa bahwa air juga termasuk nutrisi yang utama. Hampir 80% telur terdiri dari air, bila kebutuhan air minum tidak tercukupi otomatis produksi berjalan tidak tidak optimal. Oleh karena itu, hindari pemberian nutrisi yang tidak memadai.

Kalsium sangat penting untuk pembentukan kerabang telur, bisa dikatakan kalsium merupakan nutrisi spesifik, bila terjadi kekurangan dalam pakan dapat menyebabkan kerabang telur menjadi tipis. Menggunakan pakan layer yang lengkap berarti menyediakan nutrisi yang diperlukan untuk produksi telur yang optimal. Standar nutrisi untuk ayam petelur adalah ME 2.750-2.800 Kcal dengan protein 17.5-18.00%, kalsium 3.50% dengan feed intake/hari/ekor 115-120 gram (Lohmann Brown Classic Manual Guide).

Pencahayaan
Meningkatnya pemberian intensitas cahaya harian, cenderung meningkatkan produksi telur. Pencahayaan tambahan dapat membantu mempertahankan atau meningkatkan produksi telur ayam pada saat ayam hanya mendapat periode cahaya harian normal yang pendek. Memastikan intensitas dan durasi cahaya yang cukup dapat berdampak positif pada produksi telur.

Pada masa usia produksi ayam petelur secara umum mendapatkan cahaya sebanyak maksimal... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025.

Ditulis oleh:
Drh Arief Hidayat
Praktisi Perunggasan

AKAR GANGGUAN PRODUKSI TELUR

Peternak layer kini tengah berhadapan dengan ayam yang terus berpenampilan “gaya baru”. (Foto: Istimewa)

Oleh:
Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant - Jakarta)

Slogan 
more eggs less feed tampaknya sudah melekat dengan karakteristik umum ayam petelur/layer modern. Sadar atau tidak, sekarang para peternak layer tengah berhadapan dengan ayam yang terus berpenampilan “gaya baru”.

Keengganan mengikuti perubahan tata laksana pemeliharaan seiring dengan perkembangan genetik layer modern tersebut tentu akan memengaruhi penampilan (performance) akhir ayam yang dipelihara. Ujungnya, tak hanya menyebabkan keuntungan melayang, tetapi juga dapat menjadi faktor pencetus masalah baru yang kompleks dan terkesan misterius.

Gangguan produksi telur layer modern pada sindroma obesitas yang diikuti “yolk peritonitis” misalnya, adalah contoh paling representatif dan sering terjadi di lapangan.

Latar Belakang
Perkembangan genetik ayam petelur modern dalam lima dekade terakhir memang sangat spektakuler. Jika diikuti perbaikan tata laksana pemeliharaan yang sesuai, maka layer modern mampu menghasilkan paling tidak 220 butir telur pada era 1960, menjadi 500 butir telur selama 700 hari pada 2019 (Martin, 1960; Anderson, 2019).

Itu saja tidak cukup, bobot telurnya pun lebih besar, yang tadinya berkisar 56-62 gram/butir menjadi 60-68 gram/butir. Perbaikan penampilan fenotipe ini tentu menuntut kualitas pullet yang baik, dimana perkembangan bobot badan (pertumbuhan seimbang antara fleshing dan framing) serta keseragaman ayam selama masa pullet harus seiiring berkembang (Bain et al., 2016; Wang et al., 2017; Underwood et al., 2021).

Dasar Produksi Prima
Salah satu sifat ayam petelur modern yang sangat menonjol adalah progres pembentukan dasar konformasi tubuh yang seimbang (antara kerangka/framing dan perototan/fleshing) yang sangat dominan paling telat sampai ayam berumur enam minggu.

Itulah sebabnya pada saat layer modern berumur empat minggu, maka bobot badan harus mencapai bobot minimal berdasarkan standar strain yang ada dan dengan keseragaman yang harus di atas 80%. Melalui timbang bobot badan dan “grading” seratus persen pada umur empat minggu tersebut, maka peternak hanya mempunyai kurun waktu dua minggu untuk memperbaikinya, karena puncak pertumbuhan hiperplasia untuk organ-organ visceral terjadi antara 4-6 minggu.

Gangguan pertumbuhan pada fase ini berarti menghambat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2025. (toe)

TAK PERLU SUSU FORMULA, CUKUP RAJIN KONSUMSI TELUR

Konsumsi telur rebus sangat dianjurkan bagi ibu hamil atau menyusui. (Foto: Pixabay)

Nutrisi dalam telur ayam, menurut para ahli gizi, mampu memacu produksi air susu ibu (ASI). Lupakan banyaknya mitos soal konsumsi telur ayam yang justru menyesatkan.

Di era serba digital sekarang ini, ternyata masih banyak mitos menakutkan di tengah masyarakat. Terutama di masyarakat pedesaan yang cenderung masih memegang “tradisi kebiasaan” orang tua mereka di zaman dulu. Salah satu mitosnya, mengonsumsi telur setiap hari dianggap membahayakan kesehatan ibu hamil dan setelah anak lahir.

“Kata orang tua sih, kalau lagi hamil jangan kebanyakan makan telur, nanti bayinya banyak bisulan. Air susu ibunya juga jadi amis,” tutur Siti Ruminah, warga Kampung Pegiringan, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, kepada Infovet.

Ibu muda ini baru saja melahirkan anak kedua. Umur bayinya masih sekitar tiga bulan. Oleh orang tuanya, Ruminah dilarang makan telur setiap hari. Dia hanya diizinkan makan telur seminggu sekali, sekadar untuk lauk, dan itupun hanya sebutir. Selebihnya, ibu dari Ruminah hanya menyarankan makan sayur dan tempe-tahu. Makan ikan pun jarang, karena dianggap lebih amis dibandingkan telur.

Arahan orang tua semacam ini rupanya sudah menjadi “tradisi” di kampung tersebut. Padahal, lokasi kampung ini tidak berada di pelosok atau pegunungan. Masih dalam jarak sekitar 15 km dari pusat Kota Pemalang. Tapi sebagian masyarakatnya masih memegang teguh mitos dalam urusan makan telur.

Berbeda dengan yang dialami Ruminah, wanita lainnya yakni Rina Nurkhikmah justru sebaliknya. Ia rajin konsumsi telur rebus selama masa kehamilan dan setelah melahirkan. Warga Desa Bantarbolang, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten Pemalang ini juga melahirkan anak kedua. Bahkan, setiap hari ia mengaku makan telur dua butir.

“Tiap pagi saya makan dua telur rebus. Kadang buat sarapan, kadang juga buat nyemil sambil minum teh,” katanya kepada Infovet.

Alasan ibu muda ini rutin mengonsumsi telur ayam setiap pagi menginspirasi banyak wanita sebaya di kampungnya yang juga ikut mengonsumsi telur. Terutama teman-teman dekatnya. “Kata dokter kandungan protein dan omega 3-nya tinggi, bagus buat ibu-ibu yang sedang menyusui bayi. Termasuk yang lagi hamil,” sebutnya.

Tak Perlu Sufor
Saat ini, Rina memang masih memiliki anak yang baru berumur sekitar enam bulan lebih beberapa hari. Awalnya, ia enggan mengonsumsi telur rebus tiap hari. Selain bosan, kadang berasa mual setelah konsumsi telur.

Namun setelah mendengar penjelasan dari dokter kandungan dan dokter anak, setiap kali kunjungan pemeriksaan, ia pun menjadi rutin mengonsumsi telur. Menurut dokter anak, kandungan telur sangat bagus untuk produksi air susu ibu (ASI).

Dan ternyata benar, produksi ASI ibu muda ini cukup berlimpah sejak mengonsumsi telur rebus tiap pagi. “Alhamdulillah anak saya sehat. Saya tidak perlu nambahin pakai sufor (susu formula),” ungkapnya.

Tentu saja bukan hanya telur yang ia konsumsi, Rina juga rajin mengonsumi sayur dan buah. Susu berbahan kacang-kacangan juga menjadi pelengkap minumannya setiap pagi. Namun, konsumsi telur sangatlah dianjurkan agar ASI yang dihasilkan berkualitas.

Menirukan pesan dokter, menurut Rina, telur ayam sumber protein yang harganya murah. Untuk mendapatkannya pun tak sulit, tak perlu jauh-jauh ke pasar. “Saya biasanya beli di warung dekat rumah,” tambahnya.

ASI Semakin Berkualitas
Menurut praktisi kesehatan anak, dr Triza Arif Santosa SpA, makan telur saat hamil dan menyusui aman, asalkan benar-benar dimasak dengan baik. Tak disarankan mengonsumsi telur mentah atau setengah matang, karena kemungkinan tercemar bakteri berbahaya seperti salmonela.

Bakteri tersebut bisa menyebabkan keracunan. Memasak telur sampai matang sempurna akan membunuh bakteri, sehingga akan mengurangi risiko keracunan bakteri salmonela saat hamil atau menyusui.

Journal of Health, Population, and Nutrition, menuliskan bahwa manfaat telur rebus untuk ibu hamil dan menyusui dapat meningkatkan kualitas ASI. Wanita hamil membutuhkan minimal 450 mg kolin. Sementara wanita yang sedang menyusui membutuhkan sekitar 550 mg kolin.

Selain untuk ASI, telur juga meningkatkan kecerdasan otak bayi sejak kandungan. Mengonsumsi telur dalam jumlah yang cukup dapat membantu pertumbuhan janin dan bayi yang menyusu ASI. Karena mengandung asam amino esensial yang tidak dapat disintetis oleh tubuh.

Menurut jurnal tersebut, kandungan vitamin D pada telur terkonsentrasi di kuning telur, jadi makan telur utuh sangat dianjurkan, bukan hanya bagian putih telurnya. Wanita hamil dan menyusui membutuhkan lebih banyak vitamin D dibandingkan wanita tidak hamil. Nutrisi ini penting untuk kesehatan, termasuk menjaga kesehatan tulang, mendukung fungsi kekebalan tubuh, dan menstimulasi perkembangan janin. Hanya dalam satu kapsul “ajaib” kebutuhan nutrisi ibu dan janin sudah terpenuhi.

ASI menjadi satu-satunya makanan bernutrisi lengkap untuk bayi. Kualitas ASI yang baik juga dapat berpengaruh pada perkembangan otak si kecil. Untuk itu, para ibu perlu mengonsumsi makanan yang tinggi protein, kalsium, hingga omega 3 agar bayi tetap sehat. Telur ayam adalah sumber omega 3 yang paling murah dari sisi harga dan mudah didapatkan.

Lupakan Mitos Soal Telur
Cukup banyak mitos seputar makan telur bagi ibu hamil yang masih beredar di masyarakat hingga sekarang, di antaranya ibu hamil yang makan telur khawatir kulit anaknya saat lahir akan belang seperti panu dan bisulan.

Ada juga mitos bahwa ibu hamil yang makan telur mentah atau setengah matang dapat mempermudah proses persalinan. Menurut banyak ahli nutrisi, menyebutkan mitos ini yang paling berisiko secara medis. Telur mentah atau setengah matang justru dapat membahayakan ibu hamil karena berisiko terkontaminasi bakteri salmonela yang dapat menyebabkan keracunan makanan dan komplikasi lainnya.

Gejala yang akan muncul akibat infeksi bakteri ini adalah demam tinggi, muntah, sakit perut, sakit kepala, diare, dan dehidrasi. Pada beberapa kasus, tingkat keparahan gejala bisa sangat berat hingga menyebabkan persalinan prematur bahkan keguguran.

Jika seorang ibu hamil sedang mengidam atau ingin makan telur, sebaiknya hindari menyajikan telur setengah matang atau telur mentah. Jangan pernah ambil risiko di saat hamil dengan makanan yang masih belum sempurna kematangannya.

Selain memperhatikan tingkat kematangan telur, sebaiknya ibu hamil juga segera mengonsumsi telur setelah dimasak untuk menghindari kontaminasi bakteri. Terlalu lama membiarkan makanan, terlebih yang tidak diolah dengan baik, dapat memicu tumbuhnya bakteri penyebab penyakit listeriosis. Jika terjadi pada ibu hamil, infeksi ini berisiko tinggi menyebabkan keguguran bahkan bayi meninggal dalam kandungan atau stillbirth.

Berikut beberapa panduan dalam memilih dan menyajikan telur yang perlu ibu hamil pahami, di antaranya hindari membeli telur yang cangkangnya retak dan kotor, cuci telur sampai bersih dan keringkan cangkangnya, simpan telur dalam lemari es pada tempat yang terpisah dengan makanan lain, hindari konsumsi telur mentah atau setengah matang, sajikan telur dengan cara digoreng dan direbus sampai benar-benar matang, cuci tangan sebelum dan setelah memasak telur, serta pastikan telur sudah benar-benar matang, biarkan telur di dalam air mendidih hingga kira-kira 10-12 menit sewaktu merebus telur.

Telur sangat bermanfaat bagi perkembangan janin jika disajikan dengan cara yang baik dan benar. Bagi para ibu hamil, khususnya yang tinggal di pedesaan, sangat penting untuk sadar nutrisi. Lupakan mitos-mitos yang menyeramkan dan tidak benar terkait konsumsi telur. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

ARGININE DAN TRYPTOPHAN UNTUK PRODUKSI TELUR YANG STABIL DAN OPTIMAL

Produksi telur yang optimal merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam industri peternakan unggas, namun berbagai faktor dapat memengaruhi kemampuan produksi telur. Faktor-faktor tersebut sangatlah kompleks, mulai dari nutrisi, manajemen, hingga kesehatan hewan, semuanya berperan penting dalam menentukan tingkat produksi telur.




SPLIT FEEDING: ASUPAN NUTRISI LEBIH PRESISI

Walaupun spesifikasi pakan dan poin feed sudah ditata dengan baik, namun salah satu problem yang dihadapi kebanyakan para peternak ayam layer modern adalah pertumbuhan bobot badan menjelang puncak produksi yang selalu kebablasan. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan jika ditinjau dari sudut penggunaan pakan pada pasca puncak, keterbatasan daya topang kandang dan tingginya kasus oxidative stress yang ujung-ujungnya pasti mereduksi performa total.

Ditulis oleh:
Tony Unandar
Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta

Dalam dua dekade terakhir, perbaikan genetika ayam petelur modern (modern layer) memang sangat mencengangkan. Bayangkan, sampai umur 100 minggu mampu menghasilkan sekitar 500 butir telur/ekor ayam. Performa produksi yang luar biasa ini, selain sangat tergantung pada kualitas pullet yang masa pertumbuhannya semakin singkat, juga menuntut kondisi lingkungan kandang, program feeding, dan tataran fisiologi ayam yang tetap prima sepanjang masa produksi telur.

Walaupun pengamatan detail lapangan penulis belum tuntas, namun penulis mencoba memperkenalkan konsep split feeding agar pemeliharaan ayam petelur modern dengan asupan nutrisi yang lebih presisi serta semakin efisien di tengah tekanan harga pakan yang terus bergejolak.

Realita Lapangan
Observasi kritis penulis terhadap performa ayam petelur modern pasca pandemi COVID-19 menimbulkan beberapa tanda tanya. Walaupun performa akhir berdasarkan potensi genetik menurut supplier strain ayam petelur modern bisa tercapai dalam kondisi di Indonesia pada beberapa peternakan ayam petelur, namun beberapa fenomena lapangan tampaknya masih perlu dicari solusinya.

Beberapa fenomena konsisten yang sudah dicermati terjadi di lapangan berupa:

• Saat mulai bertelur (first egg) cenderung mundur 1-2 minggu, atau bahkan lebih dari itu. Padahal, sejatinya ayam petelur modern meletakkan telur pertama berkisar umur 15-16 minggu. Demikian juga persentase HD secara mingguan (weekly % HD) > 90% yang seharusnya sudah tercapai pada umur 24-25 minggu, kebanyakan mundur 1-2 minggu.

• Pada paruh pertama masa produksi telur, ayam layer modern cenderung mengalami overweight (kelebihan bobot badan), umumnya berkisar 10-20%. Pada peternakan tertentu bahkan bisa lebih dari 20% dibandingkan dengan bobot badan standar. Dalam kondisi seperti ini tentu terjadi pemborosan pakan dan tereduksinya daya topang kinerja sistem kandang tertutup. Ujung-ujungnya adalah ayam dengan mudah mengalami oxidative stress dan terjungkalnya performa akhir produksi telur.

• Adanya gangguan kualitas kerabang yang signifikan, baik menjelang puncak produksi telur (di beberapa peternakan) dan/atau pasca puncak produksi telur, khususnya ketika ayam berumur di atas 35 minggu (pada peternakan ayam petelur modern umumnya).

• Walaupun sudah dipelihara dalam kandang sistem tertutup, pada beberapa peternakan berat telur rata-rata tidak dapat mencapai berat standar sesuai potensi genetik.

• Adanya kerontokan bulu lebih dini, bahkan pada beberapa peternakan ayam petelur hal itu secara masif sudah mulai terlihat ketika ayam masih berumur 30-an minggu.

• Adanya total deplesi ayam yang relatif tinggi yang umumnya terkait dengan kasus prolaps yang diikuti dengan kanibalisme pada area kloaka.

• Penurunan produksi telur (% HD) yang relatif lebih cepat dibanding standar strain dan/atau adanya drop produksi telur yang tiba-tiba tanpa sebab, terutama ketika ayam sudah berumur di atas 45 minggu.

Tampaknya, beberapa fenomena tersebut di atas ada kaitannya dengan... (toe) Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2025.

LANSIA KONSUMSI KUNING TELUR? AMAN, KOK

Telur, sumber protein yang baik bagi tubuh. (Foto: Shutterstock/Amarita)

Kekhawatiran lansia mengonsumsi telur, wajar terjadi. Banyaknya informasi tak akurat yang berseliweran menjadi penyebabnya. Tapi sesungguhnya, kuning telur tetap aman untuk dimakan semua umur.

Perkara konsumsi kuning telur bagi orang berumur di atas 50 tahun masih menjadi perdebatan. Ada yang beranggapan makan kuning telur berbahaya bagi kesehatan karena kandungan kolesterolnya tinggi. Orang yang setuju dengan anggapan ini, biasanya hanya konsumsi putih telurnya saja. Bagian kuningnya disisihkan.

Budi Waseso, pensiunan jenderal polisi bintang tiga, salah satunya. Saat berbincang dengan Infovet dalam sebuah acara, mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) ini bercerita soal makanan kegemarannya. Salah satunya telur ayam.

“Sewaktu masih muda, saya makan telur hampir tiap hari. Sekarang juga masih konsumsi, tapi putihnya saja. Kuningnya saya enggak makan,” ujarnya.

Apa alasannya tak lagi makan kuning telur? “Umur saya kan sudah di atas 50 tahun, yang saya tahu sebaiknya makan bagian putihnya saja. Kuningnya takut kolesterol,” sambungnya.

Kebiasaan menyisihkan kuning telur dan hanya memakan bagian putihnya saja saat makan juga dilakukan oleh Subono. Sejak dulu, pensiunan TNI berpangkat Kolonel ini juga gemar mengonsumsi telur ayam. Namun setelah pensiun dari dinas kemiliteran, Subono hanya konsumsi bagian putih telurnya saja.

“Telur itu sumber protein yang bagus. Dari dulu saya suka makan, terutama telur rebus, paling suka. Tapi sekarang cuma makan putihnya saja, biar aman. Takut kolesterol,” ucapnya saat bertemu dengan Infovet di rumahnya, di Panglima Polim, Jakarta Selatan.

Kekhawatiran dua narasumber Infovet tersebut memang bisa dimaklumi. Di usianya yang makin tua, kadang rasa takut konsumsi telur muncul. Meskipun sebelumnya sudah bertahun-tahun makan telur dan tak ada masalah dengan penyakit yang dikhawatirkan.

Namun tak demikian bagi yang memliki persepsi berbeda, meski sudah lansia, konsumsi kuning telur tak terlalu memengaruhi kesehatan meskipun rutin mengonsumsinya. Banyak yang membuktikan konsumsi telur seutuhnya tak perlu khawatir dengan serangan kolesterol.

Iman Firdaus, jurnalis senior media online di Jakarta kepada Infovet mengaku tetap konsumsi telur ayam utuh. Bahkan hampir setiap hari stok telur ayam di lemari es selalu tersedia. Alasannya simpel, saat sarapan pagi paling mudah olah telur.

“Waktu pagi kan kadang terbatas, buat sarapan cukup ceplok atau dadar telur sudah cukup. Yang penting sudah ada nasi, ceplok telur enggak sampai 5 menit,” ujar wartawan yang kini usianya memasuki 56 tahun ini.

Nazarudin, pensiunan ASN di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) juga menyampaikan kesehariannya mengonsumsi telur. Narasumber Infovet yang kini berumur lebih dari 70 tahun mengaku masih sering makan telur ayam. Menu favoritnya adalah telur dadar. “Buat saya telur itu murah, tapi bisa memenuhi gizi. Soal takut, alhamdulillah saya sih tidak. Yang penting waktu mau makan baca bismallah, insyaallah aman,” tuturnya.

Tergolong HDL
Apakah orang berumur lebih dari 50 tahun perlu khawatir dengan konsumsi kuning telur? Banyak narasi artikel tentang kesehatan yang pro dan kontra. Tak sedikit artikel kesehatan yang ditulis seorang dokter menganjurkan agar kaum lansia menghindari konsumsi kuning telur ayam. Namun tak sedikit yang menjelaskan itu tak masalah.

Dengan beragamnya pendapat kalangan ahli gizi yang didapatkan, Infovet kembali menyimak pendapat pakar gizi dr Triza Arif Santosa yang pernah disampaikan dalam Seminar Nasional: Healthy Family With Chicken Meat & Egg beberapa tahun silam.

Infovet memilih mengutip dari narasumber ini karena kajiannya masuk akal dan diperkuat sejumlah informasi pada jurnal kesehatan skala internasional. Menurut dokter spesialis anak ini, telur mengandung tinggi protein yang fungsinya sebagai zat pembangun jaringan dan massa otot dalam tubuh.

Memang kadar protein yang tinggi itu ada pada bagian putih telur, sedang di bagian kuningnya lebih banyak mengandung mikronutrien dan kolesterol. Kadar kolesterol itu diproduksi di dalam tubuh, yakni di hati. Namun kolesterol yang berasal dari kuning telur dan diproduksi oleh hati akan menghasilkan kolesterol baik atau yang lebih dikenal dengan sebutan HDL (High Density Lipoprotein).

Menurut Triza, dari hasil penelitian justru konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh bisa meningkatkan kolesterol jahat atau dikenal dengan sebutan LDL (Low Density Lipoportein). Ini adalah kolesterol jahat yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan strok.

Contoh makanan yang mengandung lemak jenuh antara lain daging merah,  produk susu penuh lemak, mentega, minyak kelapa, dan makanan yang dipanggang. Maka itu, orang dewasa dan lansia sangat dianjurkan untuk mengindari makanan yang mengandung banyak lemak jenuh atau lemak trans. Lemak jenuh jika dikonsumsi di hati akan diproses menjadi kolesterol jahat (LDL).

Kandungan Omega
Apakah orang lansia yang memiliki penyakit gula sebaiknya menghindari konsumsi telur? Triza mengakui ada penelitian yang menyebutkan untuk orang yang sudah lanjut usia dan memiliki penyakit gula (diabetes) dianjurkan untuk konsumsi telur cukup tiga butir per minggu.

“Umumnya orang lansia banyak yang menderita penyakit gula. Penyakit gula inilah yang akan memicu penyakit-penyakit lainnya dan akan mengganggu fungsi liver atau hati. Jadi, bukan karena konsumsi telur,” ujarnya.

Tetapi jika dalam kondisi sehat, maka konsumsi telur 1-2 butir dalam sehari tidak masalah. Tidak menimbulkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Telur mengandung banyak zat yang baik untuk tubuh, seperti omega 3, omega 6, dan lainnya.

Zat-zat yang terkandung di dalam telur bukan termasuk lemak jenuh, sehingga tidak menjadi kolesterol jahat saat diproses dalam tubuh. Tetapi sebaliknya, jika tingkat konsumsi telurnya tinggi, maka akan meningkatkan kolesterol baik (HDL) yang dibutuhkan oleh tubuh.

Menurutnya, tidak salah juga jika ada orang usia di atas 50 tahun hanya konsumsi putih telur. Namun demikian, kuning telur memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk tubuh, sehingga aman untuk dikonsumsi orang dewasa di atas 50 tahun.

Mengutip artikel pada situs PinsarIndonesia.com, dr Thomas Behrenbeck MD PhD, seorang ahli kardiologi dari Mayo Clinic di Amerika Serikat, mengulas seputar konsumsi telur dari sisi medis.

Ahli jantung ini menyebutkan, telur memang mengandung kadar kolesterol. Namun berapa banyak kadar kolesterol dalam makanan yang dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah? Jawabannya adalah kadar kolesterol tidak sama untuk setiap orang.

Faktanya, meski mengonsumsi telur dalam jumlah banyak dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, namun secara umum memakan empat butir telur dalam seminggu (termasuk kuning telurnya) tidak akan meningkatkan risiko penyakit jantung.

Telur mengandung kolesterol pada bagian kuningnya. Satu butir telur dengan ukuran yang besar dapat mengandung kolesterol sampai 186 mg, yang semuanya terdapat dalam kuning telur. Jika menyukai telur tapi tidak ingin menambah jumlah kolesterol dalam darah, bisa makan bagian putihnya saja.

Sumber lain yang menguatkan pendapat tersebut berasal dari Journal of American College of Nutrition. Dalam salah satu artikelnya menyebutkan bahwa risiko penyakit kardiovaskuler pada laki-laki dan perempuan tidak ada hubungannya dengan meningkatnya konsumsi telur.

Bahkan sebaliknya, dari temuan mereka setelah menganalisis lebih dari 27.000 subjek, diketahui bahwa mereka yang mengonsumsi telur memiliki kadar kolesterol lebih rendah dibandingkan yang tidak makan telur.

Dengan demikian, jika saat ini sudah memasuki usia lanjut, jangan takut konsumsi telur ayam lengkap dengan kuningnya. Aman, yang terpenting tidak berlebihan. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet Daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

MENCEGAH INFEKSI DINI SAAT INKUBASI TELUR TETAS

Ilustrasi anak ayam menetas. (Foto: Pixabay)

Tindakan mencegah adalah lebih baik daripada menyembuhkan infeksi. Pencegahan merupakan salah satu langkah dalam melakukan mitigasi risiko jangan sampai ada kerugian besar yang terjadi di belakang hari.

Antisipasi sebelum terjadi infeksi yang menyebabkan kerugian adalah tindakan yang jauh lebih baik, menghilangkan kontaminasi yang kemungkinan terjadi saat melakukan inkubasi telur tetas. Agen penyebab penyakit bisa terbawa masuk ke dalam mesin tetas melalui telur tetas terkontaminasi dari sumber vertikal maupun horizontal, saat telur keluar dari induk maupun pada proses handling dari kandang ke mesin tetas.

Breeding farm maupun perusahaan pembibitan unggas dalam proses produksinya tidak terlepas dalam satu rangkaian siklus produksi yang disebut penetasan, melakukan inkubasi telur tetas terpilih dengan mesin tetas atau inkubator. Peternak kecil yang sekarang berkembang sudah banyak yang menggunakan mesin inkubator untuk menyediakan atau menjual bibit unggas. Sering kali  terlupakan bahwa pada proses produksi bibit yaitu saat inkubasi, ternyata tidak hanya bakal embrio dalam telur tetas yang berkembang menjadi DOC/DOD, namun kuman, virus, dan fungi juga terinkubasi.

Saat DOC/DOD muncul dalam mesin tetas, jutaan mikroorganisme juga ada dalam mesin tetas. Mikroorganisme ada yang bersifat patogen ikut terbawa DOC/DOD ke dalam kandang pembesaran yang bisa mengancam perkembangan DOC/DOD saat dalam brooder atau kandang pembesaran.

Dalam siklus produksi bibit, DOC/DOD keluar dari kerabang telur, telur tetas baru masuk dalam mesin tetas. Proses penetasan berlanjut dan berulang. Jeda waktu sebenarnya diperlukan untuk membersihkan dan mendisinfeksi mesin tetas sebelum dipakai kembali untuk menetaskan telur tetas. Sebab daya tetas bisa turun karena banyak tumpukan koloni mikroorganisme di berbagai bagian mesin tetas. Mikroorganis ini bisa masuk melalui pori kerabang telur dan menginfeksi calon embrio. Embrio bisa mati sejak dini sebelum berubah dan berkembang menjadi DOC/DOD. Daya tetas yang diharapkan tinggi bisa... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2025.

Ditulis oleh: 
Ratna Loventa Sulaxono
Medik Veteriner Ahli Pertama
Balai Veteriner Jayapura

BENARKAH KONSUMSI ROKOK MASYARAKAT KELAS BAWAH MELEBIHI KONSUMSI TELUR?

Daging dan telur ayam, sumber protein hewani. (Foto: Istimewa)

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, menyebutkan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang. Sekitar 7,4% di antaranya masih berusia 10-18 tahun. Di sisi lain, mereka hanya sedikit mengonsumsi telur dan daging ayam.

Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi para perokok, tetapi didasarkan untuk mengungkap fakta dan data bahwa uang masyarakat Indonesia yang dibelikan “candu” berupa rokok jauh lebih besar dibandingkan untuk kebutuhan konsumsi telur maupun daging ayam.

Yang membuat miris, jumlah perokok yang cukup besar berasal dari kalangan masyarakat yang notabene termasuk kelompok masyarakat miskin. Kok, bisa?

Data Badan Pusat Statistik (BPS), per 2023, proporsi perokok Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas adalah sebanyak 28,62%. Jumlah tersebut diproyeksi akan terus bertumbuh.

Mengutip dari GoodStats, World Health Organization (WHO) membuat proyeksi ini berdasarkan data prevalensi merokok yang tersedia di 165 negara. WHO menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia diprediksi mencapai 38,7% dari total penduduk pada 2025. Adapun angka tersebut hanya menghitung jumlah perokok berusia 15 tahun ke atas.

Data ini mengungkapkan, Indonesia menduduki urutan kelima negara dengan proporsi perokok terbanyak di dunia, di bawah Nauru, Myanmar, Serbia, dan Bulgaria. Namun WHO hanya menghitung data perokok yang menggunakan produk dengan kandungan tembakau, baik yang berasap atau tidak, dengan frekuensi pemakaian setiap hari atau hanya kadang-kadang.

Di sisi lain, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai sekitar 70 juta orang dan 7,4% di antaranya masih berusia 10-18 tahun.

Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).

Sekarang bandingkan dengan tingkat konsumsi makanan sehat, seperti konsumsi telur dan daging ayam. Berdasarkan data BPS Maret 2024 (data terakhir yang dirilis BPS, red), terdapat perbandingan yang membuat prihatin antara konsumsi telur dan daging ayam dengan konsumsi rokok.

Menurut data BPS tersebut, komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan di dalam negeri, baik di perkotaan maupun di perdesaan, pada umumnya hampir sama.

Pertama adalah beras yang memberi sumbangan terbesar, yakni 21,84% di perkotaan dan 25,93% di perdesaan. Kemudian rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua, yakni 11,56% di perkotaan dan 10,90% di perdesaan. Sementara untuk komoditas daging ayam ras hanya 4,25% di perkotaan dan 2,86% di perdesaan, serta telur ayam ras sebesar 4,21% di perkotaan dan 3,36% di perdesaan.

Candu Rokok Sudah “Bersemayam”
Dari sisi gizi, data BPS di atas sungguh miris. Bagaimana bisa kelompok masyarakat miskin justru lebih mementingkan “membakar uang” (baca: merokok) ketimbang memberi makanan bergizi untuk keluarganya?

Fenomena konsumsi rokok jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging ayam mendapat perhatian dari para pakar. Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto PhD, menyebutkan bahwa fenomena semacam ini sulit diterima akal sehat. Kebutuhan asupan gizi untuk keluarga dikalahkan kebutuhan rokok yang hanya jadi candu.

“Bisa dibayangkan kalau dalam sehari orang menghabiskan Rp 20 ribu untuk membeli rokok, maka dalam sebulan Rp 600 ribu dibakar begitu saja. Kalau dibelikan telur, dengan asmusi Rp 30 ribu, maka sebulan dia bisa beli 20 kilogram telur. Keluarga sehat, gizi terpenuhi, rumah juga bersih tanpa asap rokok,” jelas Yuny.

Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini berpendapat, perputaran uang untuk membeli rokok hanya akan berputar pada pabrik rokok dan cukai ke negara saja. Mereka yang menikmati keuntungan sangat besar, sementara para perokok mendapat titipan zat berbahaya yang bersarang di dalam tubuhnya.

Berbeda dengan itu, untuk konsumsi telur atau daging ayam perputaran uangnya sangat luas. Mulai dari petani jagung dan bahan pakan lain, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha restoran, usaha pemotongan hewan beserta jalur pasar yang mereka lewati melibatkan banyak pelaku usaha.

“Artinya kalau semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk telur atau daging ayam akan mempunyai daya ungkit bagi usaha yang terlibat dan akan membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan uang yang berputar untuk membeli rokok,” ungkapnya.

Yuny tak sependapat dengan anggapan peningkatan daya beli rokok masyarakat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. “Sederhananya, masyarakat yang konsumsi rokok atau yang makan telur yang akan meningkatkan produktivitas? Jadi tidak ada hubungannya antara biaya pulsa yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan,” tambahnya.

Ia berargumen, kalangan perokok sangat sulit untuk mengurangi jatah rokoknya, apalagi untuk berhenti total. Karena candu rokok sudah “bersemayam” dalam tubuh, maka ada orang yang berpinsip “tidak apa tidak sarapan, asal tiap pagi bisa merokok.”

Bahkan sampai yang tidak punya uang sekalipun, para perokok berat akan mencari jalan lain untuk bisa mendapatkan rokok, entah dengan meminta ke teman, utang ke warung, bahkan ada yang nekat mengambil tanpa izin alias mencuri.

“Artinya pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan kebiasaan sebagian masyarakat kita yang memang lebih memilih untuk tetap merokok, bagaimanapun kondisinya,” ucap dia.

Risiko SIDS
Sebagai peringatan untuk orang tua yang perokok, meski sudah sering diperingatkan, merokok di dalam rumah yang terdapat anak kecil sangat besar risikonya. Kementerian Kesehatan dalam rilisnya menyebutkan, pada anak-anak paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko Sudden Infant Death Syndromes (SIDS) hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan anak-anak yang tidak merokok.

Risiko SIDS ini bisa berakibat fungsi paru menurun, penyakit pernapasan, kanker, gangguan ginjal, hingga infeksi telinga. “Kebiasaan merokok juga menyebabkan stunting. Karena nilai nutrisi keluarga itu bisa teralihkan akibat pembelian rokok oleh bapaknya,” tulisnya dalam rilis tersebut.

Anak-anak mempunyai hak untuk tumbuh di lingkungan yang bebas dari dampak berbahaya tembakau. Upaya tanpa henti dari industri tembakau untuk memikat generasi muda pada produk mereka merupakan serangan langsung terhadap hal ini.

Keluarga dengan kepala rumah tangga perokok aktif, pemenuhan kebutuhan nutrisi cenderung harus berlomba dengan pemenuhan konsumsi rokok. Sering kali kebutuhan nutrisi menjadi tersingkir, mengingat harga rokok saat ini mahal dan kebutuhan beberapa bahan makanan pokok dan lauk pauk juga bisa naik turun.

Secara perhitungan bila harga rokok mahal tentu akan dapat mengurangi pengeluaran yang ditujukan untuk konsumsi makanan sehat. Padahal tubuh membutuhkan asupan nutrisi seimbang guna mempertahankan imunitas, kesehatan, dan kebugaran.

Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang berkurang pada anak dapat menganggu tumbuh kembangnya. Jika itu terganggu, bisa mengakibatkan stunting. Selain itu juga dapat mengganggu kesehatan anggota keluarga yang lain.

Dampak lebih lanjut adalah ketika anak-anak mengalami gangguan tumbuh kembang, tentu berdampak pada masa depan mereka. Kualitas generasi penerus salah satunya berasal dari nutrisi seimbang. Bila tumbuh kembang terganggu, kualitas generasi penerus menjadi turun. Kemampuan intelektual, kemampuan kerja, dan produktivitas menjadi faktor penting yang perlu dikawatirkan, ketika asupan nutrisi kurang.

Selanjutnya, kondisi ini dapat mendorong munculnya kasus-kasus kemiskinan baik di perdesaan maupun perkotaan. Dampak kurangnya asupan nutrisi juga dapat menyebabkan tingginya risiko kematian pada bayi dan anak.

Kepala rumah tangga yang seorang perokok, kesehatannya juga sedikit demi sedikit akan digerogoti oleh racun rokok. Bila akhirnya sakit, akan menjadi beban keluarganya yang tentunya mengancam perekonomian hingga pemenuhan asupan makan bernutrisi untuk keluarga. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer