|
Foto Bersama Para Peserta Seminar (Sumber : CR) |
Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) kembali menggelar seminar nasional di Hotel Atria Gading Serpong, Kabupaten Tengerang pada Selasa (26/9) yang lalu. Tema yang diusung dalam seminar kali ini adalah "Perunggasan Indonesia Menuju Mandiri Pangan".
Dalam sambutannya Ketua Umum GPPU Achmad Dawami mengatakan bahwasanya Indonesia sudah dapat dikatakan negara yang mandiri alias sudah Swasembada dalam produk perunggasan seperti daging dan telur unggas.
"Kita sudah bisa mandiri dan dapat mencukupi kebutuhan daging dan telur terutama ayam. Tidak tergantung pada impor, namun begitu tetap saja ada beberapa isu yang menjadi tantangan dalam sektor ini kedepannya," tutur Dawami.
Beberapa isu yang dimaksud olehnya diantaranya adalah peningkatan jumlah penduduk yang berimbas pada keseimbangan produksi dan konsumsi, perubahan iklim, krisis pangan, pandemi covid-19 dan penyakit lainnya, serta pembatasan kegiatan ekspor - impor.
Ia memberi contoh misalnya ketika pandemi covid-19 di tahun 2020 lalu yang berimbas pada penurunan ekonomi Indonesia sebanyak 2,07%. Pada keadaan itu pendapatan masyarakat dan konsumsi ayam perkapita masyarakat juga ikut turun. Dampak mirisnya yakni meningkatnya angka stunting pada balita yang mencapai 6,07%.
Dawami juga menjabarakan review fluktuasi harga ayam hidup di pasaran terkait dengan isu - isu tadi serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Selama beberapa tahun belakangan yang dianggap masih butuh kebijakan yang lebih ciamik lagi untuk mengatasi hal tersebut.
Ia juga mengatakan bahwasanya kondisi di Indonesia memiliki fluktuasi yang sebenarnya dapat diperkirakan berdasarkan musim dan custom alias adat istiadat. Tentunya seharusnya untuk menstabilkan harga komoditas perunggasan semua paramater dapat diprediksi karena uniknya pola - pola tersebut.
Selain itu Dawami juga menggarisbawahi neraca rugi-laba beberapa perusahaan yang bergerak di bidang perunggasan dimana rerata pada kwartal satu tahun 2023 mengalami kerugian yang cukup banyak. Tentunya ini juga tidak bisa dibiarkan.
"Sesuai UU No.3 tahun 2014 tentang perindustrian yang tertulis bahwa pemerintah menjaga keberlangsungan usaha industri dalam negeri, oleh karena itu ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karenanya kita harus melakukan konsolidasi dan kolaborasi agar keberlangsungan usaha dan industri tetap seimbang," tutup Dawami.
Menanti Komitmen Stakeholder
Mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berhalangan hadir, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Drh Agung Suganda mengapresiasi acara seminar tersebut. Menurutnya yang dikatakan oleh Achmad Dawami sudah betul semuanya.
Berdasarkan data yang ia miliki, produksi komoditas unggas telah berkontribusi sebanyak 80,8% terhadap total produksi peternakan dan menyerap lebih dari 13 juta (10%) tenaga kerja nasional, dengan omzet kurang lebih Rp 700 triliun pertahunnya. Sehingga menjadikan industri perunggasan bukan industri kaleng - kaleng dan sangat strategis sehingga pemerintah di rezim manapun akan sangat memperhatikan industri ini agar tetap stabil.
Agung juga menyinggung isu over supply di perunggasan Indonesia yang menurutnya saat ini menjadi "berkah" karena keberlimpahan ini dapat menjadi senjata bagi Indonesia di kemudian hari. Dimana saat ini pemerintah mulai mendorong para pelaku industri perunggasan untuk melakukan ekspor ke negara -negara yang memang membutuhkan dan tertarik dengan produk perunggasan Indonesia.
"Alhamdulillah angka ekspor kita meningkat tiap tahunnya di sektor perunggasan, peluang juga masih terbuka lebar potensi ekspor kita ke negara - negara lain. Saat ini kita sedang menjajaki dengan Arab Saudi dimana kebutuhan protein meningkat ketika musim haji dan jamaah umroh," tutur Agung.
Namun begitu Agung menyebut bahwa daya saing produk perunggasan Indonesia masih kurang kompetitif dibanding produk dari negara produsen lain. Pemerintah juga tidak bisa sendirian mengatasi ini, oleh karena kembali ia menyarankan agar semua stakeholder yang terkait harus bergandengan tangan dalam mengatasinya.
Ia juga menyebut bahwa sesungguhnya permasalahan di sektor perunggasan dalam negeri ini masih sangat banyak. Mulai dari masalah supply - demand produksi dan konsumsi, kenaikan harga bahan baku pakan, kesenjangan antara peternak mandiri dan kemitraan integrator, serta rantai tata niaga yang terlalu panjang sehingga mengakibatkan harga di tingkat konsumen akhir cukup melonjak tinggi daripada harga acuan.
Terkait masalah produksi dan penyediaan indukan (GPS), ia juga mengatakan bahwa pemerintah sangat penuh ketelitian dalam menentukan kuota impornya. Hal tersebut perlu dilakukan secara hati - hati karena nantinya juga akan menyangkut masalah stok dalam negeri.
"Kami rapat dengan semua stakeholder, ini yang biasa kita lakukan rutin ya, kita kan selalu tahu kalau pemerintah selalu menyediakan buffer sekitar 8-10% untuk berjaga- jaga. Dan pemerintah merasa bahwa akan lebih mudah mengendalikan stok apabila kita dalam keadaan surplus ketimbang kekurangan, ini juga yang harus kita pahami bersama," kata Agung.
Selanjutnya mengenai harga di tingkat peternak dan konsumen, Agung berujar bahwa Kementan tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga, hanya pada keseimbangan produksi dan supply - demand. Ketika fluktuasi harga terjadi, adalah wewenang Kementerian Perdagangan untuk kembali menyeimbangkannya.
"Kementan hanya mengendalikan pengendalian dengan cara cutting. Namun kita sekarang sudah meninggalkan itu, kita melakukan afkir dini karena kalau cutting dampaknya bisa satu bulan kedepan, tetapi kalau afkir (PS) bisa tiga bulan kedepan. Kita juga terus melakukan evaluasi, apakah afkir dan cutting ini sudah sesuai dengan tujuan kita, dan ini kembali lagi pada komitmen pada integrator yang melakukan kegiatan tersebut, pemerintah tidak punya kemampuan untuk mengawasi satu per satu kegiatan afkir dan cutting ini, jadi kita minta komitmen dan kejujurannya," kata Agung.
Dirinya juga menyadari kekurangan yang dimiliki pemerintah dalam melakukan pengawasan ini, oleh karenanya pemerintah meminta dilakukan cross monitoring antar pelaku usaha dalam melakukan afkir dan cutting. Itupun menurut Agung masih terdapat banyak kelemahan di berbagai aspek. Oleh karenanya Agung meminta komitmen dari semua pelaku usaha agar kebijakan yang diambil dapat dirasakan secara maksimal.
Agung juga menyebut bahwa Kementan memiliki data terkait perusahaan - perusahaan mana saja yang tidak patuh dalam melaksanakan kebijakan pemerintah tadi, hal tersebut terasa karena dampak yang dirasakan masih belum cukup efektif. Ia pun tidak ragu bahwa Kementan mengantongi sejumlah nama perusahaan yang dinilai masih "nakal" tidak menjalankan kebijakan afkir - cutting sebagaimana mustinya.
"Kami mohon komitmennya kepada para perusahaan pembibit agar memgang komitmennya, karena berdasarkan data yang tadi dipaparkan oleh pak Ketua, dampak dari kebijakan ini belum terasa. Semoga ini bisa menjadi komitmen dan tanggung jawab kita bersama," tutup Agung.
Outlook Ekonomi 2024 & Dampak Bagi Perunggasan
Salah satu pembicara dalam seminar tersebut yakni Prof Azam Noer Achsani dari Sekolah Bisnis IPB University. Dalam pemaparannya Prof Azam menjabarkan kondisi global perekonomian dunia dan Indonesia beserta faktor - faktor yang mempengaruhinya serta pengaruhnya bagi sektor perunggasan Indonesia.
Salah satu faktor pemicu dinamika perekonomian dunia menurut Prof Azam yakni perang antara Rusia dan Ukraina. Ia menyebutkan bahwa akibat peperangan kedua negara tersebut hampir seluruh negara - negara di dunia mengalami pergolakan di sektor ekonominya. Dampak paling terasa yakni bekeniakan harga berbagai macam bahan baku kebutuhan pakan, pangan, dan industri.
Hal ini ditandai dengan terjadinya inflasi yang tinggi di beberapa negara di penjuru dunia, bahkan Prof Azam tidak segan menyebut bahwa dengan kondisi perang saat ini, Amerika Serikat adalah satu diantara banyak negara yang terancam akan mengalami resesi ekonomi. Bahkan menurut data Prof Azam, salah satu negara kuat di Eropa yakni Jerman, terdampak ekonominya akibat peperangan tersebut sampai disebut dengan "the sickman". Lalu bagaimana dengan negara kita?. Apakah negara kita juga berpotensi mengalami resesi seperti negara - negaral lainnya?.
Berdasarkan data dan hasil analisis Prof Azam setidaknya Indonesia pernah beberapa kali mengalami resesi ekonomi yakni pada tahun 1963, 1998, dan 2020 dengan faktor penyebabnya masing - masing. Pada resesi ekonomi tahun 2020, ekonomi Indonesia tumbuh negatif selama 4 periode berturut-turut (triwulan II-2020 s.d triwulan I - 2021). Sejak triwulan II 2021 ekonomi kembali tumbuh positif di level 7,1% . Tahun 2022 secara keseluruhan ekonomi tumbuh 5,31% sedangkan tahun 2023 dan 2024 diproyeksikan tumbuh sekitar 5,0% dan 5,15%.
Berdasarkan data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebuah organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi yang terdiri dari beberapa negara di dunia, Leading Economic Growth Indonesia menunjukkan kondisi yang cenderung melambat sejak Bulan Juni 2022 dan stabil sejak awal tahun 2023. Selain itu berdasarkan data BPS, neraca perdagangan barang Indonesia cenderung stabil, padahal isu pelemahan dan resesi global tengah marak.
Selain itu menurut Prof Azam produk-produk ekspor utama Indonesia didominasi oleh komoditas yang bersifat substitusi terhadap komoditas yang mengalami shortage akibat dinamika Global, sehingga hal tersebut sedikit banyak menolong Indonesia dari jurang resesi.
"Beberapa indikator tadi sesungguhnya menguatkan fakta bahwa negara kita cenderung aman dari resesi, namun begitu apabila kebijakan yang diambil salah, bukan tidak mungkin juga negara kita bisa jatuh ke jurang resesi, ini yang menjadi sangat penting kedepannya," tukas Prof Azam.
Tidak hanya itu, Prof Azam juga menyebut bahwa sektor transportasi dan pergudangan, informasi dan komunikasi, penyediaan akomodasi dan makanan-minuman, serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial diperkirakan akan menjadi sektor-sektor yang akan tumbuh tinggi di 2024. Dimana perunggasan berada pada sektor penyediaan makanan dan minuman.
Dalam pemaparannya Prof Azam juga pernah diminta FAO untuk memproyeksikan konsumsi kebutuhan protein hewani Indonesia beberapa tahun kedepan. Dengan menggunakan berbagai metode,analisis, asumsi, dan berbagai macam permodelan diproyeksikan bahwa konsumsi unggas menunjukkan peningkatan tertinggi dibandingkan produk hewani lainnya, yaitu sebesar 22,1 persen pada tahun 2025 menjadi 9,13 kilogram per kapita per tahun dan 29,3 persen pada tahun 2045 menjadi 9,66 kilogram per kapita per tahun (dengan base data Sensus Ekonomi Nasional (2017) dimana rerata konsumsi daging unggas Indonesia senilai 7,5kg/kapita/tahun.
"Perunggasan seharusnya baik - baik saja, yang terpenting adalah menyadarkan masyarakat juga bahwa konsumsi protein hewani itu penting dan yang paling murah dalah telur dan daging ayam. Kebanyakan alokasi budget rumah tangga di Indonesia yang saya tahu itu paling banyak untuk pulsa dan rokok, artinya masyarakat belum sadar akan pentingnya konsumsi protein hewani," tutup Prof Azam.
Selain Prof Azam, terdapat 3 pemibcara lainnya Dominick Elfick dari Aviagen, Amin Suyono dari Cobb, dan Chai Yew Fai dari Novogen. Ketiganya banyak membahas mengenai dinamika perkembangan genetik pada broiler dan layer modern saat ini serta manajemen pemeliharaan yang harus dilakukan agar dapat mencapai potensi genetik maksimal.
Dari segi teknis kesehatan hewan pembicara yang dihadirkan yakni Drh Ayatullah Natsir dari PT Ceva Animal Health Indonesia yang secara meyeluruh menjabarkan tren vaksinasi unggas kekinian serta perkembangan teknologi di bidang vaksinasi perunggasan.
Di akhir acara para peserta yang hadir juga berkesempatan mendapatkan door prize mulai dari telepon genggam, sepeda lipat, dan bahkan hadiah utama berupa smart television berukuran 100 inchi. (CR)