-->

JURUS MENANGKAL SERANGAN PENYAKIT UNGGAS IMBAS PERUBAHAN CUACA EKSTREM


Terjadinya pergeseran musim dan perubahan cuaca ektrem menyebabkan lingkungan peternakan menjadi kurang kondusif, akibatnya daya tahan tubuh unggas melemah dan membuka peluang masuknya berbagai macam penyakit, terjadi emerging disease, serta re-emerging disease dengan manifestasi penyakit yang bervariasi dan kompleks.

Budi daya unggas komersial adalah bisnis, berbeda dengan memelihara hewan kesayangan, penelitian, atau kegiatan sosial. Setiap rencana harus diperhitungkan, karena memiliki konsekuensi bisnis, dengan pertimbangan menguntungkan atau merugikan, apakah risiko bisa dikendalikan.

“Jika unggas terlanjur sakit, pertumbuhan pasti terganggu, bobot ayam tidak merata, dan berisiko terjadi kematian sehingga sangat merugikan,” ujar Baskoro.

Pengobatan terhadap unggas yang sakit adalah tindakan logis untuk meminimalisir kerugian, tetapi meskipun sembuh pertambahan bobotnya tidak cukup menutup biaya pengobatan yang dikeluarkan dan kerugian konversi pakan. Fakta di lapangan kasus penyakit unggas sering muncul bersamaan sebagai infeksi kompleks, sehingga hasil pengobatan tidak memuaskan dan berisiko terjadi residu antibiotik.

Hasil investigasi pola holistik membuktikan bahwa… Selengkapnya simak di kanal YouTube Majalah Infovet:
https://www.youtube.com/watch?v=r4HTdBjVYj8


Agar tidak ketinggalan info konten terbaru, silakan kunjungi:
https://www.youtube.com/@majalahinfovet6267/videos
Subscribe, Like, dan Share. Anda juga bisa memberi komentar dan usulan konten lainnya di kolom komentar.

MEMUTUS “LINGKARAN SIPUT” PERUNGGASAN

Bambang Suharno
Gejolak perunggasan nyaris tak kunjung berhenti, meskipun sudah  banyak upaya untuk mengatasinya. Bahkan sejak sebelum pandemi, peternak unggas khususnya peternak broiler nyaris belum sempat menikmati yang namanya laba usaha. Gejolak yang dihadapi peternak mandiri semakin besar. Jika pada era 90-an peternak berteriak karena rugi beberapa periode produksi, kini yang terjadi mereka mengalami kerugian lebih dari setahun, sehingga jumlah pelaku usaha mandiri/rakyat disinyalir semakin sedikit.

Kejadian ini sudah pernah diramalkan Dr Drh Soehadji (Dirjen Peternakan 1986-1994). Ia menyebut, masalah gejolak harga di perunggasan ini adalah masalah klasik yang berputar dan berulang yang digambarkan sebagai “lingkaran siput”. Dimulai dari harga melonjak karena kekurangan pasokan, disusul penambahan populasi oleh pelaku usaha, lalu terjadi kelebihan pasokan (oversupply) yang membuat harga jatuh. Selanjutnya dilakukan pengurangan investasi secara alami, yang kemudian menyebabkan harga naik lagi dan seterusnya berputar berulang-ulang, makin membesar dan membesar, seperti lingkaran siput.

Bisa kita bayangkan, pada 1990-an, populasi ayam sekitar 800 juta ekor, tahun ini diperkirakan lebih 3 miliar ekor. Gejolak akibat fluktuasi harga pastinya jauh lebih dashyat dibanding fluktuasi pada 1990-an. Apalagi jika kondisi harga jatuh berlangsung berbulan-bulan. Total kerugian yang diderita peternak dan perusahaan sarana produksi ternak mencapai puluhan triliun rupiah.

Siput dalam terminologi yang digunakan Soehadji bukan hanya bermakna gejolak yang semakin membesar, tapi juga sebagai singkatan dari “Selalu Itu Permasalahannya Untuk Tuduh-tuduhan.” Soehadji melihat permasalahan yang disampaikan peternak dan pihak lainnya dari tahun ke tahun itu-itu saja alias nyaris sama, antara lain perlunya perlindungan untuk peternak mandiri/rakyat, perbaikan tata niaga ayam, serta data perunggasan yang perlu diperbaiki agar akurat untuk mengambil keputusan.

Apa yang disampaikan Soehadji tentang “selalu itu permasalahannya” masih relevan hingga sekarang. Dalam siaran pers yang dirilis Sekretariat Bersama Asosiasi Perunggasan pada Maret 2023, disebutkan beberapa tuntutan yang diajukan antara lain perbaikan data perunggasan, keberpihakan pemerintah terhadap peternak mandiri/rakyat, serta perbaikan tata niaga perunggasan agar mereka bisa menjalankan usaha secara normal.

Bedanya dulu tuntutan lebih sering ditujukan ke Kementerian Pertanian (Kementan), kini karena banyak lembaga mengurus perunggasan, yang dituntut selain Kementan, juga Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Selain itu juga turut ditambah permintaan peternak ke Komnas HAM agar memanggil kementerian tersebut untuk menelusuri apakah ada pelanggaran HAM dalam kebijakan perunggasan.

Jika selama 30 tahun peternak menuntut hal yang sama, kita bisa menyimpulkan bahwa masalah yang sama belum dapat diatasi meskipun pemerintah sudah berganti pemimpin dan undang-undang juga sudah direvisi.

Memutus Lingkaran Siput
Pada negara yang pasarnya didominasi penjualan live bird (ayam hidup), campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Hal ini karena produk peternakan mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply-demand menjadi faktor penting penentu untung dan rugi peternak. Oleh karena itu, perlu manajemen pasokan di hulu dan pengurangan penjualan ayam hidup di bagian hilir. Jika dua hal ini saja bisa dikelola dengan baik, setidaknya gejolak akan berkurang.

Integrator 100%
Perihal manajemen pasokan yang artinya mengatur jumlah impor GPS (Grand Parent Stock) agar sesuai perkembangan permintaan pasar, telah dibahas di berbagai forum. Ada yang pro terhadap pengaturan kuota, ada juga yang menuntut pembebasan kuota impor. Intinya mau dibebaskan atau dengan model kuota, tetap perlu ada mekanisme kontrol agar pasokan sesuai pergerakan permintaan. Selain itu perlu juga ada jaminan bahwa peternak mandiri selalu mendapatkan pasokan bibit sesuai kebutuhan.

Ada suara dari beberapa pihak agar integrator berhenti melakukan budi daya sehingga pasar ayam hidup menjadi hak peternak mandiri/rakyat. Secara umum pengertian integrator adalah usaha dari hulu (pembibitan) hingga hilir (pasca panen). Ini artinya integrator beserta grup kemitraannya mestinya tidak menjual ayam hidup. Kalau perusahaan yang disebut integrator masih menjual ayam hidup, maka perusahaan itu belum disebut integrator. Istilah ini menjadi salah kaprah. Jika integrator tidak boleh budi daya artinya mereka juga tidak bisa disebut integrator. Demikian juga yang saat ini disebut integrator, jika mayoritas ayamnya dijual dalam bentuk live bird, juga bisa disebut sebagai integrator “setengah matang.” Faktanya memang mereka sudah terlanjur disebut sebagai integrator.

Jika pemerintah mewajibkan perusahaan yang sekarang disebut integrator itu menjadi integrator 100%, maka penjualan ayam hidup otomatis hanya milik peternak mandiri/rakyat. Setidaknya dengan cara ini tidak ada “pertandingan tinju yang beda kelas di ring yang sama.”

Patut dicatat, dari 3 miliar ekor ayam yang diproduksi Indonesia, yang dijual sebagai ayam beku diperkirakan baru sekitar 20% saja. Ini membuktikan yang disebut integrator itu masih menjadi integrator semu, belum 100%.

Ekspor dan Kampanye Gizi
Selama ini program yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi oversupply adalah dengan melakukan pemangkasan telur tetas, afkir dini PS (Parent Stock) dan upaya pemangkasan produksi yang lain. Sementara itu menjaga keseimbangan pasokan dalam negeri dengan melakukan ekspor belum secara nyata dilakukan. Ada program gerakan tiga kali ekspor oleh Kementan tapi fokusnya lebih ke peningkatan devisa negara, bukan stabilisasi harga.

Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Perancis beberapa tahun lalu, tatkala oversupply produksi susu sapi akibat embargo ke Rusia, pemerintah setempat membeli susu milik peternak dan melakukan ekspor ke negara berkembang, baik sebagai bantuan kemanusian maupun aktivitas lainnya.

Sementara itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan dana APBN untuk kampanye konsumsi ayam dan telur. Masih ada ruang untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur sebesar dua kali lipat dari sekarang, karena kita melihat konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, sekitar 4.000 batang rokok/orang/tahun, sementara konsumsi ayam hanya 13 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur hanya 150 butir/kapita/tahun. Jika konsumsi naik dua kali lipat saja, bisnis perunggasan akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru sekaligus usaha perunggasan akan semakin bergairah.

Pada 2011 lalu Menteri Pertanian, Suswono, mencanangkan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) yang diinisiasi oleh 14 asosiasi perunggasan. Pencanangan ini sebagai upaya mempercepat peningkatkan konsumsi ayam dan telur. Sayangnya, kegiatan kampanye ayam dan telur ini dijalankan sendiri oleh para peternak dan asosiasi perunggasan. Belum ada dukungan nyata dari pemerintah untuk mendongkrak konsumsi ayam dan telur agar tidak terpaut jauh dengan konsumsi negara tetangga. Padahal Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki program gemar makan ikan (Gemarikan), dengan tim yang lengkap dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga konsumsi ikan secara nyata mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding konsumsi ayam dan telur.

Kemitraan, Jembatan Menuju Mandiri
Pola kemitraan sudah dikembangkan sejak era 80-an, tujuannya agar peternak kecil bermitra setelah semakin besar bisa berdiri sendiri. Ini tujuan ideal, yang ternyata dalam implementasi bisnis terjadi kebalikannya. Peternak mandiri yang tidak kuat akhirnya berhenti atau melanjutkan sebagai mitra perusahaan lain. Jika itu yang terus terjadi berarti pola kemitraan yang berkembang tidak sesuai tujuan awal dikembangkannya kemitraan, dan jumlah peternak mandiri semakin sedikit.

Program untuk menjadikan lebih banyak peternak tangguh dan mandiri layak kita gaungkan, agar peta bisnis perunggasan menjadi lebih sehat dan kondusif. Jika itu dilakukan, lingkaran siput sudah terputus dan tak ada lagi ungkapan “selalu itu permasalahannya untuk tuduh-tuduhan.” ***

Ditulis oleh: 
Bambang Suharno, GITA Consultant, Pengamat Peternakan

CATATAN AWAL TAHUN PERUNGGASAN 2023

Kondisi surplus daging ayam harus ada penyaluran yang tepat. (Foto: Shutterstock)

Bisnis perunggasan masih sangat menjanjikan, terlebih produk protein hewani salah satu penopang utama pembangunan SDM bangsa. Banyaknya tantangan yang tidak dapat diprediksi dan berubah cepat, juga ditambah kompetisi global mengharuskan untuk beradaptasi dalam situasi ini.

Pada peringatan Hari Gizi Nasional pada 25 Januari 2023 lalu pemerintah mengumumkan slogan “Cegah Stunting dengan Protein Hewani”. Perunggasan sangat berkontribusi besar sebagai penopang utama pembangunan SDM bangsa sekaligus berperan memberantas stunting.

Industri Broiler Meranggas
Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA IPU ASEAN Eng, mengatakan industri broiler sedang meranggas, dimana fluktuasi harga sering menjadi persoalan. Ibarat pohon yang meranggas menggugurkan daunnya untuk beradaptasi dengan iklim.

Namun pertanyaannya mengapa unggas meranggas? Apakah karena kompetisi global dan produk impor dalam konteks ini pakan dan supporting lainnya. Atau bisa juga disebabkan kurangnya efisiensi pakan, mahalnya pakan, banyak kandang masih konvensional dan tata niaga belum ideal.

“Saya mengamati dan mencermati broiler sudah hampir satu dasawarsa persoalannya tidak bergeser dari fluktuasi harga jual live bird di kandang dan itu harganya rendah,” tutur Ali Agus pada webinar Indonesia Livestock Club 24, Minggu 19 Februari 2023.

Isu utama industri broiler adalah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (NDV)

MELIHAT POTRET DAN PROSPEK AGRIBISNIS INDONESIA

Webinar Agrina Agribisnis Outlook “Prospek Agribisnis Indonesia 2021”. (Foto: Dok. Infovet)

Rabu, 10 Maret 2021. Agrina Agribisnis Outlook “Prospek Agribisnis Indonesia 2021” diselenggarakan secara daring. Webinar yang dihadiri 90-an orang ini fokus membahas bagaimana potret dan pengembangan sektor agribisnis Indonesia yang tengah dilanda pandemi COVID-19.

“Untuk menatap prospek agribisnis ke depan, kita harus melihat kejadian-kejadian dari tahun sebelumnya, bahkan melihat juga ke depan bagaimana menyiapkan strategi jangka menengah maupun jangka panjangnya,” ujar Ketua Dewan Redaksi Majalah Agrina, Prof Bungaran Saragih dalam sambutannya.

Sebab adanya kondisi pandemi, lanjut dia, berpengruh besar secara global terutama dari segi kesehatan yang berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

“Tahun sebelumnya pertumbuhan ekonomi kita negatif. Namun walau pertumbuhannya rendah, produk domestik bruto (PDB) agribisnis khususnya on farm walaupun ikut berdampak turun, tapi masih tetap positif,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Deputi Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Mahmud, yang menjadi pembicara pada sesi I. Ia menjelaskan, pada 2020 sektor pertanian, kehutanan dan perikanan mampu tumbuh positif.

“Pertumbuhan ini banyak terstimulus dari stimulus fiskal berupa bantuan sosial-ekonomi serta mulai membaiknya kondisi ekonomi sejak triwulan III. Begitu juga pada sub sektor tanaman pangan dan tanaman hortikultura yang memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari sekitarnya,” kata Musdhalifah. PDB pertanian 2020 untuk tanaman pangan (3,54%), tanaman hortikultura (4,17%), tanaman perkebunan (1,33%), peternakan (0,33%), serta jasa pertanian dan perburuan (1,60%).

Lebih lanjut dijelaskan, untuk PDB pertanian 2021 diproyeksikan tumbuh di atas 3%. Guna mencapai hal itu, lanjut dia, dibutuhkan dorongan dari sisi produksi disertai dukungan sisi permintaan.

“Perbaikan harga komoditas tanaman perkebunan dan perbaikan sisi permintaan konsumsi produk hewani diharapkan memperbaiki pertumbuhan subsektor tanaman perkebunan dan subsektor peternakan,” jelas dia.

Ia juga menyebut, adapun tantangan yang harus diperhatikan pemerintah pada tahun ini diantaranya anomali iklim, penerapan teknologi, regenerasi sumber daya manusia, diversifikasi pangan, akses pangan maupun kerawanan pangan. Kemudian kelembagaan, akses pembiayaan, integrasi data dan logistik yang juga menjadi challenge, selain alih fungsi dan kepemilikan lahan.

Sementara memasuki webinar sesi II, dihadirkan pembicara Koordinator Evaluasi dan Layanan Rekomendasi, Sekretariat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Batara Siagian. Dalam paparannya, ia menjelaskan beragam upaya yang telah dan akan dilakukan dalam memenuhi ketersediaan jagung untuk pakan ternak.

“Upaya pada 2020 kita sudah lakukan bantuan benih jagung bersertifikat (1,4 juta ha), kerja sama pengembangan budi daya jagung (3.000 ha), pengembangan petani benih jagung (2.600 ha), food estate jagung Sumba Tengah (2.000 ha) dan budi daya jagung hibrida (21.500 ha),” ujar Batara.

Sementara untuk tahun ini, lanjut dia, pihaknya sudah menyiapkan beberapa strategi dalam memenuhi ketersediaan jagung dalam negeri. Diantaranya bantuan benih jagung bersertifikat 988.000 ha, budi daya jagung pangan 3.000 ha, pengembangan jagung wilayah khusus 9.000 ha, pengembangan petani benih jagung 1.250 ha dan food estate jagung Sumba Tengah 4.380 ha.

“Untuk target produksi jagung pada 2021 sebanyak 23 juta ton pipilan kering, dengan terus melakukan perbaikan mutu jagung dalam negeri melalui perbaikan standar jagung (SNI 8926: 2020 jagung) dan pendampingan uji mutu bagi pelaku jagung nasional,” katanya.

Sedangkan dari sisi perunggasan, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Sugiono, mengemukakan dinamika ketidakstabilan harga unggas hidup secara nasional melalui pengendalian produksi DOC FS dengan cutting HE fertil dan afkir dini PS.

“Terdapat korelasi positif upaya pengendalian produksi DOC FS (akhir Agustus-November 2020) dengan perkembangan harga live bird (LB). Kenaikan LB ini turut berpengaruh pada naiknya permintaan dan harga DOC FS dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.000/ekor,” kata Sugiono.

Untuk mengatasi persoalan itu, ia menjelaskan, “Setiap perusahaan pembibit harus memprioritaskan distribusi DOC FS untuk eksternal farm (peternak rakyat) sebanyak 50% dari produksinya dengan harga sesuai acuan Permendag Rp 5.500-6.000/ekor.”

Sebelumnya harga LB di tingkat peternak, DOC dan pakan di Pulau Jawa pada Januari-Februari 2021, disampaikan Sugiono dari data PIP untuk LB berada dikisaran Rp 17.600-19.500/ekor, DOC antara Rp 6.750- 7.700/ekor dan pakan berkisar antara Rp 7.400-7.800/kg.

Untuk itu adapun beberapa poin upaya permanen stabilisasi perunggasan yang dijelaskan Sugiono, diantaranya pengaturan supply-demand, pembibit GPS wajib menyediakan DOC FS (20%) dari produksi kepada pembibit PS eksternal.

“Kemudian 50% DOC FS untuk ekternal farm, menyerap dan memotong LB di RPHU oleh pembibit GPS sebesar produksi FS secara bertahap selama lima tahun, memotong LB bagi pelaku usaha menengah-besar, kewajiban penguasaan RPHU dan rantai dingin oleh pembibit GPS secara bertahan selama lima tahun dan peningkatan konsumsi pangan asal unggas melalui kampanye sadar gizi secara massif,” pungkasnya.

Kegiatan yang berlangsung mulai pukul 10:00-16:00 WIB juga turut menghadirkan pembicara lain, diantaranya Bhima Yudhistira Adinegara (peneliti INDEF), Togar Sitanggang (Wakil Ketua III GAPKI) dan Tinggal Hermawan (Kementerian Kelautan dan Perikanan). (RBS)

MEMANFAATKAN HERBAL SEBAGAI TERAPI MEDIS PADA HEWAN

Sediaan herbal dapat digunakan sebagai terapi kesehatan pada ternak unggas. (Foto: Dok. Infovet)

Di masa kini tren gaya hidup manusia semakin berubah, termasuk dalam hal kesehatan. Manusia di masa kini banyak mengonsumsi obat-obatan herbal dan jejamuan demi menunjang kesehatannya. Namun pada kenyataannya, sediaan herbal juga dapat digunakan sebagai terapi dalam kesehatan hewan.

Menurut Drh Slamet Raharjo, selaku praktisi dokter hewan sekaligus peneliti dan staf pengajar dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM), Indonesia sebagai salah satu negara mega biodiversity memiliki potensi yang besar karena keanekaragaman tanaman obatnya. Hal itu ia sampaikan dalam webinar Dr B The Vet show, beberapa bulan lalu.

Lebih lanjut dijelaskan Slamet, ada ratusan bahkan ribuan jenis tanaman obat yang tersedia di Tanah Air. Kendati demikian, belum banyak termanfaatkan dengan maksimal, khususnya pada sektor medis veteriner.

Pria kelahiran Kebumen tersebut kemudian menjelaskan beberapa penelitiannya yang bisa dibilang sederhana tetapi menakjubkan. Seperti misalnya ketika meneliti tentang potensi daun sambiloto pada luka iris ke beberapa jenis hewan seperti domba dan anjing.

“Ini berawal dari pengalaman pribadi saya, ketika mengalami kecelakaan, saya mencoba pada diri saya. Lalu berpikir bahwa seharusnya pada hewan juga memiliki efek yang sama dan saya mencobanya, ternyata bisa,” tutur Slamet.

Selain daun sambiloto, Slamet juga menyebut beberapa jenis tumbuhan obat lain yang telah banyak digunakan sebagai obat pada hewan. Misalnya kunyit dan meniran yang dikombinasikan sebagai imunomodulator pada ayam petelur yang telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan tubuh ayam terhadap serangan Avian Influenza (AI).

Selain itu dalam beberapa literatur yang sudah dipublikasikan, khasiat tumbuhan obat sambiloto juga digunakan untuk menggantikan peran antibiotika seperti tetracycline yang secara luas digunakan oleh peternak sebagai aditif pakan ayam pedaging. Diantara spesies dalam famili Acanthaceae, sambiloto mempunyai khasiat obat paling populer (Prapanza dan Marianto, 2003). 

Pada umumnya sambiloto digunakan sebagai obat infeksi saluran pencernaan, disentri (Sindermsuk, 1993), diare (Duke dan Ayensu, 1985), infeksi saluran pernapasan (SCHRI, 1996), demam, batuk (Akbarsha et al. 1990; Prapanza dan Marianto, 2003). Khasiat sambiloto telah diketahui karena sifat antimikrobial yang dimiliki oleh komponen aktif penyusunnya, yaitu andrographolide (Deng dkk., 1982). Ekstrak sambiloto dapat diperoleh dari seluruh bagian tumbuhan atau akarnya saja dimana bagian daun mengandung komponen aktif tertinggi (2.5-4.8% dari berat keringnya) (Prapanza dan Marianto, 2003).

Saat ini belum banyak kajian tentang peranan sambiloto jika diberikan pada ayam pedaging. Diyakini bahwa penggunaan sambiloto dapat menurunkan pH dalam saluran pencernaan. Hal ini akan menyebabkan mikroba patogen dalam saluran pencernaan dapat ditekan atau bahkan dimatikan pertumbuhannya. Sedangkan mikroba yang menguntungkan, seperti Lactobacillus sp. dan Bacillus sp. dapat meningkat pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan kondisi tersebut, diharapkan kesehatan ayam meningkat sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas, menurunkan penggunaan antimikroba dan meningkatkan efisiensi pakan. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan ekstrak daun sambiloto untuk ayam pedaging.

Indonesia memiliki potensi herbal yang dapat dimanfaatkan dalam terapi medis veteriner. (Sumber: Istimewa)

Perhatikan Penggunaan Herbal
Dalam penggunaan obat herbal, kembali dijelaskan Slamet, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, khususnya sebagai media terapi pada hewan. Menurut dia, herbal digunakan sebagai terapi suportif, untuk itu penggunaan herbal akan lebih baik jika dikombinasikan dengan sediaan konvensional.

Ia juga mengingatkan agar para dokter hewan untuk memahami jenis herbal yang digunakan, serta spesies pasien yang akan diterapi dengan herbal, karena hal ini juga berkaitan dengan efek fisiologis dari pasien tersebut.

Selain itu, penting juga memperhatikan cara pemberian sediaan herbal, karena terkait dengan jenis herbal dan spesies yang diobati tadi. Terakhir ia juga mengingatkan bahwa agar sediaan herbal memiliki khasiat obat, volume, konsentrasi dan aplikasinya harus tepat dan digunakan sesuai kaidah medis.

“Jika volume kurang tidak berefek, jika berlebih bisa jadi toksik, oleh karena itu harus tepat. Lebih penting lagi, gunakan herbal yang memang sudah diteliti memiliki efek dan khasiat, jadi jangan serampangan juga menggunakan tumbuhan yang belum pernah diteliti di laboratorium," pungkasnya. (CR)

PERUNGGASAN PASCA PANDEMI

Ternak unggas. (Sumber: Agrarindo.com)

Dunia sedang menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 1 juta orang di dunia. Sampai saat ini semua orang disarankan untuk tetap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker lantaran vaksin belum ditemukan. Konon, ketiga hal itu akan terus dilakukan meskipun vaksin sudah ditemukan. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa, makhluk yang tak kelihatan ini juga telah memporak-porandakan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kira-kira pertanyaan banyak orang sama, apa dan bagaimana setelah pandemi ini berakhir khususnya di sub sektor perunggasan?

Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal terutama di sektor peternakan, khususnya perunggasan. Hari ini banyak orang lebih waspada dalam mengonsumsi makanan. Apalagi ada rumor bahwa COVID-19 bisa menular lewat makanan. Di sisi lain, ada tantangan dalam teknis perunggasan yaitu produksi, kekebalan dan kesehatan pada ternak unggas. Ketiga hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang berkelanjutan. Lantas kita bertanya bagaimana para pelaku usaha menyikapi dampak pandemi ini dan bagaimana itu jika dikaitkan dengan kepastian keamanan pangan bagi konsumen? Muara dari semua produksi peternakan adalah pangan.

Kita harus akui bahwa masih banyak kelemahan terkait soal kesehatan ternak atau pengendalian penyakit yang terjadi, baik itu dalam kandang hingga kualitas daging pada makanan yang tersedia di meja makan. Dalam banyak praktik di kandang, tak sedikit pelaku usaha masih tetap menggunakan antibiotik dalam melancarkan pembesaran ternak unggas. Masih banyak pula rumah pemotongan ayam (RPA) yang belum menerapkan standar pemotongan yang memenuhi syarat higienis dan sanitasi untuk menjamin kualitas daging. Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi momentum bagi industri peternakan di Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan asal hewan.

Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibotik pada pakan unggas masih menjadi diskusi yang berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun antibiotic growth promoter (AGP) pada pakan sudah dilarang di Indonesia, tapi penggunaannya masih dilakukan oleh sejumlah praktisi peternakan khususnya pada ternak broiler. Dilema dari AGP adalah satu sisi mendorong pertumbuhan bagi ternak, di sisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Resisten antibiotik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat secara global baik langsung maupun tidak langsung.

Resisten antibiotik dapat menular ke manusia secara langsung adalah dengan mengonsumi unggas, sedangkan yang tidak langsung bisa terjadi lewat kotoran unggas yang mencemari lingkungan (air dan tanah). Diperlukan upaya secara cepat dan berkelanjutan dalam menemukan alternatif antibiotik misalnya prebiotik, probiotik dan senyawa antimikroba. Bahan kimia nabati menunjukkan bahwa dalam suplementasi pakan asam kaprilat, rantai asam lemak secara konsisten mengurangi kolonisasi Campylobacter pada ayam broiler (Solis de los Santos, dkk., 2008; 2009; 2010). Kemampuan in vitro dari thymol dan carvacrol untuk menghambat Campylobacter jejuni dan Salmonella Enteritidis dalam isi sekal ayam (Kollanoor Johny, dkk., 2010). Probiotik dan prebiotik dalam studi Arsi et al. (2015 b) menunjukkan bahwa prebiotik tidak secara konsisten mengurangi Campylobacter. Namun, prebiotik secara signifikan menurunkan beban Campylobacter bila digunakan dalam kombinasi dengan probiotik spp. (Arsi dkk., 2015).

Keamanan Pangan
Bahan pangan asal ternak nomor dua paling besar dikonsumsi di dunia adalah unggas, setelah daging babi. Tapi konsumsi daging nomor wahid di Indonesia adalah daging unggas. Oleh sebab itu, perhatian semua pihak pada unggas tak boleh disepelekan. Namun berapa banyak rumah potong atau tempat pemotongan hewan unggas yang ada telah memenuhi syarat higiene dan sanitasi? Dengan mudah kita menemukan tempat pemotongan yang tidak layak di pasar atau di sekitar rumah.

Tempat pemotongan yang tidak layak ini ditandai dengan ciri-ciri kotor, sistem penangan limbah yang tidak memadai, darah atau limbah berceceran di tanah, bangunan yang terbuat dari kayu, kandang penampungan ayam hanya berjarak 2-5 meter, pekerja yang tidak mengenakan perlengkapan yang standar (tidak bersih) dan sebagainya. Kondisi tempat pemotongan seperti ini amat berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena kontaminasi bakteri patogen.

Penyakit yang ditimbulkan jika produk pangan terkontaminasi bakteri patogen adalah infeksi dan keracunan. Infeksi yang dimaksud akibat tertelannya mikroba dan berkembang biak di dalam alat pencernaan. Gejala yang timbul dari sini diketahui adalah sakit perut, pusing, muntah dan diare (Bruckle, dkk., 1987). Sekitar 60-70% penyakit diare disebabkan makanan yang mengandung mikroba patogen (Winarno, 2004). Sedangkan keracunan agak berbeda dengan infeksi, yaitu mikroba terlebih dahulu bertumbuh dalam bahan pangan kemudian tertelan oleh manusia. WHO mendata secara global bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit akibat keracunan makanan dan 420.000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan.

Dalam upaya menjaga agar produk pangan asal hewan terjamin higien dan sanitasinya, pemerintah telah membuat peraturan yang cukup jelas. Bahwa untuk produk mentah pangan (karkas) yang dikomersialkan wajib memiliki sertifikat kontrol veteriner. Tapi sayangnya, hal ini masih langka di Indonesia. Kita dengan mudah menemukan tempat pemotongan yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Beberapa waktu lalu, salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkapkan hanya sedikit sekali RPA di Indonesia yang memiliki NKV. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 60 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner…”

Tantangan COVID-19 terhadap Unggas
Meskipun kesamaan dalam susunan genetik manusia dan ayam adalah sekitar 60%, sistem kekebalan manusia dan spesies unggas sangat berbeda, sehingga protokol, jenis dan aplikasi vaksinasi berbeda (Hafez dan Attia, 2020). Beberapa studi terbaru tampaknya menujukkan COVID-19 tidak menular pada ternak unggas. Kendati demikian, penerapan biosekuriti yang ketat di lokasi kandang harus dipertahankan untuk membatasi penyebaran COVID-19 ke peternakan. Karena kemungkinan terjadinya mutasi bisa terjadi (Montse dan Bender, 2020).

Meskipun saat ini belum ada bukti bahwa makanan dapat menyebarkan COVID-19, masyarakat global dihadapkan pada pertimbangan dalam pembelian makanan. Bakteri dan virus bisa tumbuh di suhu 5-60° C. Sebaiknya jika masyarakat hendak memesan daging unggas bawalah kotak pendingin dan es untuk menjaga makanan pada suhu yang dingin selama diperjalanan. Jangan biarkan daging unggas berada pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam. Setelah sampai di rumah, daging unggas dimasukkan ke dalam kulkas atau freezer untuk penyimpanan yang aman.

Pandemi ini sebetulnya momentum yang tepat dalam rangka membenahi kualitas produk perunggasan nasional. Ini merupakan tanggung jawab bersama baik dari pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menindak tegas pelaku usaha yang tidak memiliki NKV, karena ini berkaitan dengan nyawa manusia. Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam memilih produk unggas yang sudah terjamin mutunya. Bagi pelaku usaha, sudah saatnya lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat, tidak semata-mata mengejar profit belaka (People, Planet, Profit). Perguruan tinggi menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat dan juga dalam melakukan riset/inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Usaha perunggasan Indonesia semakin maju. ***

Oleh: Febroni Purba (Praktisi Peternakan Unggas Lokal)

PENTINGNYA MEMPERHATIKAN LINGKUNGAN KANDANG

Masalah paling serius yang dihadapi ayam pada umur awal adalah keterbatasan lingkungan dan manajemen pemeliharaan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Mengendalikan lingkungan ayam merupakan salah satu parameter produksi yang vital, diantaranya berasal dari pengumpulan data dan hasil pemantauan di kandang. Sebagaimana dikutip dari artikel DR Dhia Alchalabi, Poultry International (2001), informasi yang baik dan bisa diandalkan adalah penting untuk pengambilan keputusan, sedangkan pengumpulan data yang tidak akurat akan menyebabkan kesalahan dalam mengambil keputusan.

Pada tahap awal perlu diidentifikasi apa saja kebutuhan ayam dan kendala yang terdapat di peternakan. sebab, ayam modern saat ini berbeda dibandingkan 10 tahun lalu. Oleh karena itu, dibutuhkan kondisi lingkungan yang lebih baik untuk hasil yang lebih apik.

Hal yang sama juga diterapkan pada cara pemberian pakan. Menggunakan pakan jenis apapun, hasilnya tetap akan tergantung pada kondisi lingkungan. Karena pakan tidak berubah setiap hari sedangkan lingkungan selalu berubah-ubah.

Ayam yang menderita gangguan kesehatan atau kerusakan paru-paru pada minggu pertama pertumbuhan sudah pasti tidak akan berpenampilan baik selanjutnya, namun bisa dibantu apabila lingkungannya mendukung. Oleh sebab itu, sangat penting menyediakan lingkungan yang baik dan sehat sejak hari pertama pemeliharaan (DOC/day old chick). Meskipun membutuhkan investasi cukup mahal untuk pengumpulan data dan sistem pemantauannya.

Pasalnya, masalah paling serius yang dihadapi ayam di umur awal adalah keterbatasan lingkungan dan manajemen pemeliharaan. DOC seringkali menderita akibat suhu tinggi, kelembaban rendah dan naiknya konsentrasi karbon dioksida, ditambah sistem ventilasi yang buruk. Situasi seperti itu tercipta karena banyak peternak berupaya menghemat biaya bahan bakar dengan membatasi ventilasi dan meresirkulasi udara dalam kandang dengan pemanasan ulang.

Tindakan ini menjadi lebih parah pada malam hari karena kandungan gas berbahaya, suhu dan kelembaban bisa melewati kisaran yang direkomendasikan. Jika cuaca buruk sepanjang hari, maka situasi sulit seperti ini akan terus berulang pada siang dan malam. Menyebabkan penurunan kesehatan ayam dan produksi sepanjang siklus pemeliharaan.

Pengendalian parameter lingkungan yang bisa dipantau secara ilmiah menjadi hal penting. Sistem ini dapat digunakan membantu manajer untuk mendidik peternak dengan cara memberikan demonstrasi praktis atas teknik pengendalian parameter lingkungan yang penting. Peternak harus menyadari bahwa lingkungan yang lebih baik bagi ayam berarti memberikan keuntungan baginya.

Mengukur Parameter
Banyak faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan ayam, serta biaya kesehatan konsumen, peternak dan ayam itu sendiri. Adalah penting untuk memantau, mengukur dan mengendalikan parameter-parameter yang bisa mempengaruhi produksi dan menyadari bahwa parameter tersebut saling berkaitan. Parameter-parameter penting tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor lingkungan dan manajemen.

Faktor- faktor lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap tingkat produksi daging dan telur ayam. Termasuk di dalamnya adalah suhu, kelembaban, cahaya (lama hari siang dan intensitasnya), kadar amonia, karbon dioksida, oksigen, serta kondisi ventilasi udara (pergerakan udara), energi surya dan kualitas udara.


Penempatan Sensor
Lokasi penempatan sensor suhu juga penting diperhatikan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penyebaran suhu dalam kandang. Beberapa patokannya sebagai berikut:

• Tempatkan alat (probe) pada area lingkungan ayam yang efektif (lingkungan mikro).
• Selalu menempatkan alat pada posisi masuk (inlet) untuk memperoleh data suhu dan kelembaban relatif dari udara luar dan pada posisi keluar (exhaust fan) untuk mengetahui rata-rata parameter dalam kandang.
• Tempatkan alat pada sisa daerah lainnya seperti dekat tempat minum dan jalur tempat makan (feeder), sehingga bisa diketahui apakah sistem ventilasi sudah cukup dan bekerja dengan baik untuk daerah yang seharusnya.
• Bagi area kandang menjadi dua atau tiga blok memanjang sisi kandang. Tempatkan alat diagonal mulai dari dekat tempat minum di posisi inlet dan berakhir di dekat tempat makan (fan). Tempatkan beberapa alat pada aliran udara untuk memperoleh gambaran mengenai perubahan suhu pada sistem ventilasi yang sedang bekerja. Tempatkan beberapa alat antara fan untuk memperoleh gambaran mengenai peningkatan suhu pada saat sistem ventilasi sedang berjalan atau dimatikan. 
• Periksa alat sesering mungkin untuk memastikan tidak terjadi pergeseran, kotor atau rusak dan bersihkan setiap minggu. Apabila periode pemrograman tidak bisa meliput sepanjang periode pemeliharaan, buat catatan di bawah alat untuk melakukan program ulang sebelum kehilangan data. Baca data seminggu sekali untuk menghindari kehilangan data apabila terjadi kerusakan alat. 
• Alat tidak boleh bersentuhan dengan dinding maupun permukaan lainnya.
• Lindungi alat dari ayam dan gangguan luar (sinar matahari dan hujan). Jika ditempatkan di luar lindungi dengan gelas plastik yang dilubangi untuk mempertahankan ventilasi yang cukup di sekeliling alat.

Pemahaman Data dari Alat
Adanya perbedaan antara suhu di luar, sisi keluar/pinggir (fan) dan di dalam kandang akan memberikan informasi berguna tentang apa yang terjadi di dalam kandang. Apabila perbedaan antara suhu luar dan dekat/pinggir fan berkisar 4°C, maka berarti suhu udara luar menyedot panas di dalam tetapi tidak cukup untuk menurunkan suhu ke tingkat yang diinginkan, ataupun pergerakan udara rendah, hingga suhu di dalam akan meningkat sejalan dengan perubahan waktu.

Apabila perbedaan suhu luar dan dekat/pinggir fan kurang dari 2°C, maka bisa berarti udara luar tidak menyedot panas di dalam dan tidak menurunkan suhu di dalam kandang. Situasi ini dapat terjadi pada musim dingin atau malam hari, biasanya udara mengarah langsung ke atap kandang, atau juga karena pergerakan udara tinggi, maupun suhu dan kelembaban relatif di dalam bisa meningkat.

Kemudian apabila terdapat perbedaan yang tinggi antara suhu di dalam dan dekat/pinggir fan maka berarti bagian sisi kandang (pinggir) ini tidak memperoleh udara yang cukup atau ada kemungkinan terjadi peningkatan kadar karbon dioksida, amonia dan suhu.

Lalu, apabila suhu dari salah satu alat yang diletakkan di dalam kandang berubah secara mendadak, ini berarti terjadi suatu perubahan arah udara, juga bisa karena sistem ventilasi pada tahapan yang lebih tinggi/cepat sedang diaktifkan, atau alat menyentuh bagian permukaan yang lebih dingin atau lebih panas.

Daftar Parameter Lingkungan
Selama masa pertumbuhan ayam broiler akan menghasilkan gas dan produk limbah. Produk ini akan berakumulasi sepanjang waktu dan menyebabkan perubahan substansial terhadap kualitas udara dalam kandang. Cemaran utama yang biasa terjadi dalam udara adalah debu, amonia, karbon dioksida, oksigen dan uap air yang dapat menimbulkan efek merugikan.

Pengaruh langsung dari debu dan amonia meliputi kerusakan fisik permukaan lambung, yang menyebabkan menurunnya resistensi terhadap penyakit, berkurangnya konsumsi makan dan pada kondisi yang parah menyebabkan buruknya pertumbuhan.

Kehadiran gas berbahaya akan menekan pengambilan oksigen, mengingat adanya kompetisi antara unsur-unsur kimia secara langsung. Ini penting diperhatikan sebab ascites cenderung terjadi pada tingkat oksigen yang rendah. Kandungan tinggi dari karbon dioksida dan karbon monoksida juga membatasi pengambilan oksigen. Pada kadar konsentrasi yang lebih tinggi, kehadiran kedua gas tersebut bisa berakibat fatal.

Kelembaban Relatif
Tingkat kelembaban lingkungan berpengaruh langsung terhadap kehilangan panas laten tubuh ternak. Tingkat kelembaban juga secara tidak langsung mempengaruhi penampilan ternak akibat konsentrasi debu dan bakteri patogen meskipun masih sedikit dokumentasi ilmiah yang mendukung keterkaitan ini. Meningkatnya kelembaban akan merugikan produksi ternak pada suhu tinggi.

Pada umumnya perubahan kelembaban tidak menimbulkan respon terhadap pertumbuhan ternak pada suhu lingkungan di bawah 24°C. Alat pengukur kelembaban harus diletakkan berdekatan dengan alat suhu. Beberapa sensor suhu mempunyai sensor kelembaban sehingga memungkinkan untuk mengukur kelembaban relatif. (INF)

Cemaran Udara Paling Penting dan Pengaruhnya
Amonia (NH3)
Dapat dideteksi dengan penciuman pada konsentrasi di atas 20 ppm. >10 ppm menyebabkan kerusakan permukaan paru-paru, >20 ppm meningkatkan kepekaan terhadap penyakit pernapasan dan >50 ppm menurunkan laju pertumbuhan. Rekomendasi batas atas adalah 10 ppm
Karbon dioksida (CO2)
>0,35% (3500 ppm) menimbulkan nodul-nodul kartilaginus pada paru-paru yang berkaitan dengan ascites. Fatal pada konsentrasi tinggi. Rekomendasi batas atas 2500 ppm
Debu
Menyebabkan kerusakan permukaan paru-paru. Meningkatkan kepekaaan terhadap serangan penyakit. Gunakan ventilasi untuk mengurangi debu.
Kelembaban
Pengaruhnya bervariasi menurut suhu. Pada 29°C Rh 70% menghambat pertumbuhan karena ayam tidak mampu mendinginkan dirinya sendiri. Kualitas litter memburuk pada kelembaban tinggi menyebabkan poenurunan kualitas produk pada saat prosesing. Rekomendasi dalam kisaran 65-75%.
DR Dhia Alchalabi, Poultry International, 2001.

MEWASPADAI AVIAN ENCEPHALOMYELITIS

Serangan AE kerap memiliki kemiripan dengan ND, karena ayam mengalami kelumpuhan. (Sumber: Istimewa)

Penyakit Avian Encephalomyelitis (AE) atau biasa disebut dengan epidemic tremor mungkin masih terasa asing di telinga. Penyakit AE jelas kalah populer jika dibandingkan dengan penyakit viral lainnya, seperti ND, IBD, maupun IB yang lebih populer di Indonesia.  Ketidakpopuleran AE ini membuatnya masih dipandang sebelah mata oleh para pelaku usaha perunggasan Indonesia, padahal AE merupakan salah satu penyakit viral yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar bagi peternakan ayam petelur dan breeding.

Masih Asing di Telinga
AE disebabkan oleh virus RNA dari genus enterovirus dan termasuk ke dalam famili Picornaviridae. Virus AE dapat menyerang ayam (buras dan ras), kalkun, burung dara dan burung puyuh. Strain virus lapangan yang pernah dikoleksi menunjukkan bahwa virus ini bersifat enterotropik (berkembang biak di dalam tubuh inang) dan memperbanyak diri di saluran pencernaan. Unggas yang terinfeksi menyebarkan virus melalui feses selama beberapa hari sampai beberapa minggu. AE biasanya dicirikan dengan adanya gejala kelainan syaraf seperti tremor, sebagai akibat adanya infeksi di Sistem Syaraf Pusat (SSP).

Transmisi penularan AE terjadi secara vertikal dan horizontal. Transmisi vertikal merupakan penularan infeksi yang terjadi dari induk ayam kepada anak ayam (transovarial).  Transmisi vertikal terjadi jika induk unggas terinfeksi AE pada masa produksi telur, sehingga virus menular pada anak ayam. Transmisi horizontal adalah penularan infeksi yang terjadi dari ayam yang terinfeksi ke ayam yang belum terinfeksi melalui lingkungan, makanan dan air minum yang terkontaminasi feses.  

Gejala Klinis
Masa inkubasi AE bervariasi, mulai dari 5-14 hari tergantung dari rute infeksi. Masa inkubasi melalui rute infeksi transovari berkisar antara 1-7 hari, sedangkan masa inkubasi melalui rute oral mencapai lebih dari 10 hari.

Gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara vertikal biasanya muncul pada minggu pertama setelah menetas, sedangkan gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal muncul setelah anak ayam berumur 2-4 minggu. Gejala klinis utama yang muncul pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal maupun vertikal adalah ataksia dan kelemahan kaki. Kelemahan kaki ini bervariasi, mulai dari duduk di atas persendian tarsus, sampai paresis yang mengarah pada kelumpuhan total maupun parsial, dengan gejala klinis berupa berbaring di salah satu sisi tubuh (recumbency). Tremor (gemetaran) di kepala dan leher juga merupakan gejala klinis yang sering muncul pada kasus AE, sehingga penyakit AE sering disebut dengan epidemic tremor. Tremor di kepala dan leher terlihat jelas pada saat anak ayam terkejut atau pada saat anak ayam ditaruh secara terbalik di atas tangan. Gejala klinis AE ini hanya muncul pada saat ayam berumur kurang dari empat minggu.

Gejala klinis lain yang biasanya muncul antara lain, bobot badan kurang dari standar, sebagian DOC mengalami leher yang terpuntir ke bawah (tortikolis), lemah dan lama-kelamaan ambruk diakhiri dengan kematian. Dari hasil bedah anak ayam yang sakit, ditemukan perdarahan pada otak, peradangan pada laring dan trakea, serta bursa fabricius membengkak. Diagnosis terhadap kasus ini pun akhirnya beragam, antara lain dugaan akibat kualitas DOC yang buruk, serta dugaan serangan penyakit Gumboro, ND , AI, Marek's, serta AE.

Pada ayam dewasa infeksi AE biasanya bersifat subklinis (tidak terlihat secara kasat mata). Infeksi AE pada ayam dewasa menyebabkan penurunan produksi telur serta penurunan daya tetas telur. Penurunan produksi telur akibat infeksi AE terjadi secara mendadak sebesar 5-10%, tetapi setelah dua minggu produksi telur akan kembali normal, serta tidak ditemukan adanya kelainan pada kerabang telur.

Pada ayam breeder, penurunan daya tetas telur dapat mencapai angka 5% sebagai akibat kematian embrio ayam. Pada beberapa kasus, beberapa minggu setelah infeksi, kekeruhan dari lensa mata (katarak) dapat terjadi pada ayam yang bertahan atau selamat dari infeksi. Tingkat kesakitan dan tingkat kematian akan bervariasi tergantung dari jumlah telur yang terinfeksi dan status kekebalan tubuh dari ayam. Pada beberapa kasus outbreak yang pernah terjadi di sebuah breeding farm, tingkat morbiditas dan mortalitas mencapai lebih dari 50%. Artinya, penyakit ini sangat merugikan peternak secara ekonomi. Belum lagi apabila datang penyakit lain yang bersifat oportunistik, tentunya dengan berkurangnya kinerja sistem pertahanan tubuh ayam pada saat terserang AE, ayam akan sangat rentan terserang oleh agen penyakit lain.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof I Wayan Teguh Wibawan, mengatakan bahwa secara praktis, gejala klinis AE pada ayam telah banyak dicurigai dan mirip dengan ND. Namun pada AE ada penekanan respon imun, hal ini terlihat dari penurunan titer antibodi ND, IB atau AI secara cepat dibandingkan biasanya.

“Secara ilmiah, diperlukan peneguhan diagnosa yang kompleks agar benar-benar jelas titik permasalahannya. Karena gejala klinis AE dan ND sangat mirip, sehingga keduanya kerap dikelirukan,” kata Wayan kepada Infovet. Yang paling sering ia soroti yakni adanya gejala klinis berupa gangguan koordinasi, sangat mirip dengan gejala ND tipe syaraf. Perbedaannya adalah derajat kematian pada ayam tidak setinggi pada serangan ND.

Jika titer antibodi ND pada kelompok ayam secara umum masih protektif (nilai HI di atas 64), tetapi ada peningkatan kematian yang signifikan dengan gejala tortikolis, maka penyakit AE perlu dipertimbangkan. Kerugian yang ditimbulkan juga bisa sangat besar, tidak hanya berupa kematian, tetapi juga mengganggu performa produksi dan meningkatkan kepekaan ayam terhadap berbagai macam penyakit.

Teknik Diagnosis
Pada pemeriksaan patologi anatomi ayam yang terinfeksi AE tidak ditemukan adanya kelainan anatomi mencolok yang menjurus kepada penyakit AE. Kelainan anatomi yang mungkin ditemukan adalah titik berwarna abu-abu atau putih pada permukaan otot gizzard (ampela). Pada pemeriksaan histologi, lesio mikroskopik pada SSP ditemukan di otak (cerebellum dan batang otak) dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Lesio ini berupa degenerasi dan nekrosis sel syaraf (neuron), serta gliosis.

Diagnosa pada kasus AE dilakukan berdasarkan sejarah, gejala klinis, serta pemeriksaan histopatologis otak dan batang otak. Cara terbaik dalam melakukan diagnosa AE adalah dengan melakukan isolasi dan indentifikasi virus. Virus diisolasi dari otak dan duodenum beserta pankreas. Pada ayam dewasa atau ayam produksi, diagnosa AE dapat dibantu dengan melakukan pemeriksaan titer antibodi terhadap virus AE. Selain itu, dapat pula digunakan uji serologis berupa uji ELISA dalam mendeteksi “tamu tak diundang” ini.

Diferensial diagnosa dari gejala syaraf yang muncul pada kasus AE di anak ayam adalah encephalitis yang disebabkan oleh bakteri dan jamur. Infectious Bronchitis (IB), lentogenik Newcastle Disease (ND) dan Egg Drop Syndrome 76 (EDS 76), serta defisiensi vitamin A, E dan Riboflavin juga dapat dijadikan diferensial diagnosa dari kasus AE.
  
Oleh karenanya dibutuhkan pengujian lebih lanjut dalam meneguhkan diagnosis AE. Uji yang dapat mendukung peneguhan diagnosis diantaranya Isolasi dan identifikasi virus dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), uji serologis (untuk mengukur titer antibodi AE) berupa ELISA, Virus Neutralization Test, maupun Flourescent Antibody Test.

Pencegahan
Tidak ada tindakan pengobatan yang terbukti efektif untuk mengobati infeksi AE. Apabila ada ayam yang dicurigai terinfeksi AE, ayam segera diisolasi atau dimusnahkan. Ayam yang diisolasi dapat diberikan berupa terapi suportif, seperti pemberian vitamin dan antibiotik tetapi pemberian antibiotik tidak terlalu direkomendasikan, kecuali apabila ditemukan penyakit bakterial lainnya yang juga menginfeksi ayam secara bersamaan.

Namun begitu, AE dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi. Program vaksinasi dilakukan pada saat pullet breeder atau pullet layer berumur 9-15 minggu tergantung kondisi ayam dengan menggunakan vaksin aktif komersial. Vaksin yang seringkali penulis temukan di lapangan adalah kombinasi vaksin fowl pox dan AE. Selain itu, perlu juga diterapkan biosekuriti yang ketat dan konsisten agar tidak menulari ternak yang sehat.

Pemberian immunostimulan seperti vitamin E juga dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh ayam, sehingga dihasilkan titer antibodi yang maksimal setelah vaksinasi dilakukan. Program vaksinansi AE di breeding sangat penting untuk mencegah terjadinya transmisi vertikal dan memastikan anak ayam memiliki maternal antibodi. ***


Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

Penikmatnya Bertambah, Ternak Bebek Pedaging bisa Jadi Usaha Sampingan

Bibit bebek Peking. (Sumber: Istimewa)

((Makin banyaknya restoran dan warung tenda penyedia olahan daging bebek, menjadi indikator bahwa daging unggas ini mulai banyak penggemarnya. Bagi yang jeli, usaha ternak bebek pedaging bisa jadi sumber penghasilan tambahan yang menggiurkan.))

Menikmati daging bebek, ternyata tidak semua orang berani. Ada yang menganggap daging unggas ini mengandung kolesterol tinggi, ada juga yang beralasan kurang suka dengan aroma dagingnya. Bisa jadi, karena itulah restoran atau rumah makan penyedia daging bebek tidak setenar rumah makan yang menyediakan olahan daging ayam.

“Katanya sih kolesterolnya tinggi, karena itu saya ga berani makan daging bebek. Aromanya juga saya kurang suka,” ujar Rio Ardana, saat berbincang dengan Infovet di salah satu rumah makan di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Pria yang bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan farmasi di Jakarta ini mengaku sempat mencicipi daging bebek, namun karena ketidaksukaan dengan aromanya ia pun kembali beralih ke olahan daging ayam.

Lain halnya dengan Kendra Suhanda, atasan Rio Ardana di tempat kerjanya itu, justru tampak lahap menyantap bebek goreng bumbu pedas.

Rio dan Kendra hanyalah dua dari sekian banyak orang yang kurang suka dan suka menyantap daging bebek. Cara mengolah dan menyajikan daging unggas yang satu ini memang menjadi salah satu penentu, orang berminat atau tidak mengonsumsi daging bebek. Seorang chef di rumah makan tempat kami bersantap, mengatakan memang harus ada perlakuan sedikit beda saat mengolah daging bebek dibandingkan dengan mengolah daging ayam.

“Kalau cara masaknya kurang pas, memang kadang masih ada aroma kurang sedap untuk daging bebek. Tapi kami memiliki bumbu spesial sehingga bebek olahan kami jadi spesial,” tuturnya.

Namun, di balik minimnya pamor daging bebek, justru para pengelola restoran kelas atas justru mengolah daging unggas ini sebagai menu andalan. Harga per porsinya pun cukup mahal, bisa mencapai Rp 90.000. Padahal, untuk menu yang tak jauh beda di warung tenda hanya dipatok tak lebih dari Rp 20.000. Tentu saja, dengan teknik pengolahan yang sempurna akan menghasilkan sajian daging bebek yang istimewa.

Saat ini, di Jakarta dan di beberapa kota besar lainnya, penikmat daging bebek cukup banyak. Indikatornya bisa dilihat dari mulai menjamurnya warung makan, khususnya warung tenda, yang menyajikan olahan daging bebek. Bahkan, di Jakarta dan Depok sudah mulai banyak warung-warung makan yang khusus menyediakan menu daging bebek, khas masakan Madura. Tak sedikit pula restoran yang khusus menyediakan olahan daging bebek.

Usaha Sambilan Menguntungkan
Makin menggeliatnya usaha rumah makan yang menyajikan olahan daging bebek ini rupanya memantik sebagian orang untuk menggeluti usaha di sektor hulunya, yakni beternak bebek pedaging.

Salah satunya adalah Purwanto Joko Slameto di Boyolali, Jawa Tengah. Sejatinya, usaha yang ia tekuni itu merupakan sumber penghasilan sampingan. Ia sendiri berprofesi sebagai dosen Jurusan Teknik Arsitektur di Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat.

Usaha sampingan yang ditekuni dosen ini tergolong berani. Maklum, dari lingkungan kerja yang terbiasa serba bersih ia justru tertarik dengan usaha ternak bebek yang harus terbiasa dengan aroma kandang yang kurang sedap. Tapi itulah fakta yang dilakukan oleh pria yang biasa disapa Joko ini. Sekarang, ia sudah menikmati sukses bisnis sambilan bebek muda.
Kisah sukses usaha sambilannya itu diawali pada 2005 silam. Dari kegemarannya menyantap daging bebek, mendorong Joko mendirikan usaha ternak bebek di bawah bendera usaha Anugerah Barokah Gede (ABG). Singkatan ABG memberikan kesan bahwa bebek yang diternak masih muda. Kata Joko, nama ABG digunakan untuk menarik perhatian.

Menurut pengakuannya, saat mengawali usaha ternak bebek, karena tidak berpengalaman, ia memulainya dengan melakukan ujicoba menernakkan bebek lokal. Dari 50 ekor bebek, hanya 30 ekor yang sukses dibesarkan saat itu. Dari sinilah Joko mulai giat mempelajari banyak hal mengenai budidaya bebek.

Pak dosen pun mulai lebih serius, ia merogoh kocek hingga Rp 1,5 juta untuk membeli sebanyak 200 ekor bebek muda dari daerah Solo, Jawa Tengah. Dengan memanfaatkan lahan seluas 100 m2 yang merupakan lahan tidak terpakai miliknya di Boyolali, ia menjalankan peternakan sembari mempelajari sistem usaha yang akan dikembangkan dan membangun jaringan untuk pemasaran.

Ia mengawinkan indukan bebek dengan perbandingan jantan dan betina 1:5. “Hasil bebek dari ternak kedua lumayan dengan tingkat kematiannya lebih kecil dibandingkan sebelumnya,” ujar Joko. 

Usahanya terus berlanjut hingga sekarang. Ia mengungkapkan, kunci sukses usahanya adalah memperkenalkan penjualan itik jantan muda dalam bentuk karkas. Ya, di tahun kedua usaha, Joko mulai mengembangkan bebek potong (karkas) dengan target dapat menyuplai bebek ke beberapa restoran yang menyediakan menu bebek di daerah Solo dan Yogyakarta. Lambat laun, usahanya berkembang dan pemasarannya merambah ke Surabaya pada 2007. 

Di sini, Joko mengetahui bahwa permintaan bebek hidup dan bebek ungkep (prasaji) cukup tinggi. Meski tingkat persaingannya juga cukup tinggi karena banyak peternak bebek dari daerah juga memasok, Joko mengaku ikut meramaikan persaingan itu.

Tahun 2008, ia mengepakan sayap usahanya ke Jakarta. Untuk memulai usahanya di Jakarta, ia mensurvei restoran-restoran yang menghidangkan bebek. Agar bisa lebih memasok untuk kebutuhan restoran, tahun 2008 Joko membuka sistem kemitraan.

Karkas bebek. (Sumber Istimewa)

Harga Cenderung Stabil
Harga daging bebek tergolong sepi dari isu fluktuasi harga seperti yang terjadi pada daging ayam. Harga daging bebek cenderung lebih stabil. Di pasaran, harga bibit bebek untuk jenis Peking KW (persilangan betina hibrida putih dan pejantan Peking) mencapai Rp 8.500 per ekor. Sedangkan untuk bibit jenis Hibrida Rp 7.500 dan jenis Mojosari Rp 9.300 per ekor. Sebagian besar peternak bebek pedaging masih berada di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebab itu, harga bibit bebek ini akan lebih tinggi jika dijual di pasaran luar Jawa.

Seperti halnya harga bibit, harga jual bebek pedaging dewasa juga tergolong stabil. Namun demikian, setiap penyedia daging unggas ini memiliki harga yang berbeda.

Farmbos, misalnya, platform online yang bergerak pada bidang agriculture ini mematok harga bebek pedaging untuk berat 1,5 kg seharga Rp 25.000, berat 2 kg seharga Rp 33.000 dan berat 3 kg seharga Rp 42.000. Sementara Agromart, marketplace yang berkantor di Bogor juga menjual berbagai jenis daging bebek dengan harga bervariasi. Untuk karkas bebek lokal/hibrida berkisar Rp 27.000-45.000 per ekor, bebek Peking beku 1,8-1,7 kg seharga Rp 65.000-67.000 per ekor. Ada juga daging bebek premium yang dihargai Rp 17.000-40.000 per ekor. Sementara di Surabaya, supplier daging bebek Nusantara Jaya Unggul mematok harga Rp 37.000 per ekor.

Perbedaan harga dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah lokasi peternakan. Di sentra peternakan seperti Boyolali dan Mojokerto, harga lebih murah dibanding harga di lokasi lain yang bukan sentra peternakan.

Selain itu, masalah pakan juga menjadi bagian dari penentu harga unggas ini. Bebek pedaging yang diberi pakan berkualitas (pakan pabrikan) tentu akan lebih mahal dibandingkan dengan bebek yang diberi pakan racikan peternak sendiri. Sementara soal rasa daging, sangat tergantung dari cara mengolahnya. (Abdul Kholis)

Aplikasi Bakteriofag Sebagai Pengganti AGP

Gambar 1. Perbandingan ukuran bakteriofag dengan mikroorganisme lain.
((Dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan membuat produsen feed additive berlomba-lomba mencari penggantinya. Dari mulai acidifier, herbal, essential oil, probiotik dan lain sebagainya telah dicoba. Bagaimana dengan bakteriofag?))

Mungkin terdengar asing di telinga ketika berbicara mengenai bakteriofag, namun kalau ditelaah lebih dalam, bakteriofag bisa menjadi alternatif pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang menjanjikan. Di Indo Livestock 2018 yang lalu, penulis berkesempatan berbincang mengenai bakteriofag dengan Max Hwagyun Oh, PhD. Vet Med., peneliti bakteriofag sekaligus Managing Director CTCBio Inc. Korea. 

Bakteriofag
Dalam dunia mikrobiologi, tentu dikenal adanya bakteri, virus, kapang, khamir, protozoa, dan lain sebagainya. Ada satu hal yang mungkin terlewat dan kurang dipelajari, yakni bakteriofag. “Bakteriofag berasal dari kata Bacteria (bakteri) dan Phage (makan), jadi bakteriofag adalah mikroorganisme pemakan bakteri,” ujar pria yang akrab disapa Dr. Max Oh itu.


Dr. Max Hwagyun Oh
Ia melanjutkan, sejatinya bakteriofag adalah entitas umum yang ada di bumi, ukurannya lebih kecil daripada bakteri, sehingga dapat menginfeksi bakteri. Umumnya struktur tubuh bakteriofag terdiri atas selubung kapsid protein yang menyelimuti materi genetiknya.

“Jika dirunut sejarahnya, bakteriofag pertama kali ditemukan tahun 1896, kemudian di tahun 1917 seorang peneliti mikroba dari Kanada, Felix de Herelle, menemukan bahwa bakteriofag memakan bakteri disentri berbentuk bacillus,” katanya. Kemudian penelitian mengenai bakteriofag dilanjutkan sampai tahun 1940-an, namun ketika antibiotik ditemukan, penelitian mengenai bakteriofag sempat “mandek”, yang kemudian dilanjutkan kembali pada 1950-an hingga sekarang.

Sifat dan Cara Kerja Bakteriofag
Bakteriofag memiliki cara kerja yang hampir sama dengan enzim, yakni dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada permukaan tubuh bakteri, seperti peptidoglikan, lipopolisakarida dan lain sebagainya. Selain itu, membran kapsid pada bakteriofag tidak dapat mendegradasi membran sel hewan, sehingga dengan sifat ini bakteriofag hanya menyerang sel bakteri dan tidak berbahaya bagi hewan.

Dalam mengeliminasi bakteri, cara kerja bakteriofag sama seperti virus melisiskan sel, yakni melalui siklus litik dan lisogenik. Bakteriofag subjek penelitian Dr. Max Oh, bekerja melalui siklus litik. Siklus litik (sel lisis) dimulai dengan bakteriofag akan mengenali reseptor pada dinding sel bakteri dan menempel pada bakteri, bakteriofag akan melisiskan dinding sel bakteri (penetrasi) dan men-transfer materi genetiknya ke dalam sel bakteri.

Setelah berhasil menginjeksi materi genetiknya, bakteriofag akan menghasilkan enzim (dikodekan dalam genomnya) untuk menghentikan sintesis molekul bakteri (protein, RNA, DNA). Setelah sintesis protein dan asam nukleat dari sel bakteri berhenti, bakteriofag akan mengambil alih proses metabolisme sel bakteri. DNA dan RNA dari sel bakteri digunakan untuk menggandakan asam nukleat bakteriofag sebanyak mungkin. Selain itu, bakteriofag akan menggunakan protein yang terdapat pada sel inang untuk menggandakan kapsid.

Setelah materi genetik bakteriofag lengkap dan memperbanyak diri, sel bakteri akan dilisiskan oleh bakteriofag dengan bantuan depolimerase, yang diikuti kemunculan bakteriofag baru yang siap menginfeksi bakteri lainnya. Dr. Max Oh juga menjabarkan, kinerja bakteriofag sangat cepat, proses melisiskan sel bakteri hanya 25 menit.

“Bakteriofag sangat istimewa, mereka dapat mengenali bakteri-bakteri patogen yang spesifik, jadi mereka tidak akan menyerang bakteri baik maupun sel hewan itu sendiri,” jelas Alumnus Seoul National University itu. Dalam penelitiannya, bakteriofag yang ia gunakan diklaim dapat mengeliminasi bakteri patogen, seperti Salmonella choleraesius, Salmonella Dublin, Salmonella enteritidis, Salmonella gallinarum, Salmonella pullorum, Salmonella typhimurium, E. colli F4 (K88), E. colli f5  (K99), E. colli f6 (987P), E. colli (f18), E.colli (f41), Staphylococcus aureus dan C. perfringens (tipe A s/d E).


Gambar 2. Cara kerja bakteriofag melisiskan sel bakteri.
Hasil Uji Coba Bakteriofag di Lapangan

Hasil penelitian Dr. Max Oh dan timnya telah diujicobakan baik di laboratorium maupun di lapangan. Pada hasil ujicoba laboratorium (menggunakan metode yang sama dengan uji sensitivitas antibiotik), bakteriofag teruji dapat mengelminiasi bakteri-bakteri patogen, seperti terlihat pada (Gambar 3.) di bawah ini.


Gambar 3. Hasil uji lab aktivitas bakteriofag pada beberapa bakteri patogen.
Hasil trial bakteriofag di lapangan juga telah banyak dipublikasikan oleh Dr. Max Oh dan timnya, hasilnya sebagaimana pada Tabel 1. dan Tabel 2. di bawah ini:


Tabel 1. Pengaruh Pemberian Bakteriofag pada Produksi Telur
Usia
Prouksi Telur (%)
Kontrol
Prouksi Telur (%)
0,02% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,035% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,05% Bakteriofag
0-3 minggu
90,8
91
92
91,8
4-6 minggu
89,9
91,5
92,1
91,6
- Menggunakan 288 ekor Hy-line Brown kormersil (usia 36 minggu).
- Empat kali treatment selama enam minggu.
- Enam kali pengulangan.
      - 0,02 % = 200 gram/ton pakan, 0,035% = 350 gram/ton pakan, 0,05% = 500 gram/ton pakan.

      Tabel 2. Pengaruh pemberian bakteriofag pada performa broiler
   Treatment
       Bobot Badan (g)
     ADG   (g/hari)
       Feed Intake (g)
    FCR
        Mortalitas %
       Market Day
        Produksi (kg/m2)
      Kontrol
   2540
   54,22
   5359
   2,11
   16,86
   46,97
   23,4
     Treatment 1
   2540
   57,13
   4445
  1,75
   6,40
   44,45
   27,4
     Treatment 2
   2900
   60,21
   5191
  1,78
   4,70
   48,19
  29,7
- Menggunakan 744.000 ekor broiler (Ross 308) per kelompok treatment.
      - Selama 48 hari.
      - Treatment 1 dan 2 ditambahkan bakteriofag 0,03% (500 gram/ton pakan).

Dr. Max Oh menambahkan, bahwa hasil-hasil uji trial yang ia dan timnya lakukan telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. “Memang penelitian mengenai bakteriofag ini kurang popular di Amerika, namun di Asia dan Eropa bagian Timur penelitian mengenai bakteriofag sudah sangat maju,” ucap Dr Max Oh.

Kata-kata Dr. Max Oh bukan tanpa alasan, awak Infovet mencoba menelusuri produk-produk bakteriofag di pasaran. Hasilnya, beberapa produk dengan bahan aktif bakteriofag sudah banyak digunakan di dunia, baik di bidang pertanian, peternakan, bahkan manusia.

Ia menegaskan, mengenai aspek keamanan produk bagi hewan dan manusia seharusnya tidak perlu dipertanyakan, sebab produk bakteriofag sudah banyak tersertifikat oleh asosiasi sekelas FDA. “Bakteriofag ini benar-benar natural, berasal dari alam, kami hanya memperbanyak, kami tidak menambahkan atau memodifikasi mereka, sehingga mereka bukan termasuk GMO (Genetic Modified Organism) yang banyak dikhawatirkan oleh masyarakat dunia,” tegas Dr. Max Oh.

Dari segi bisnis ia menyebut, kemungkinan dalam waktu dekat dirinya berniat menghadirkan produk bakteriofag ke Indonesia. “Saya rasa Indonesia merupakan pasar yang potensial dengan iklim seperti ini, ditambah lagi dengan dilarangnya penggunaan AGP, Saya rasa bakteriofag dapat menjadi solusi yang tepat dan natural dalam menggantikan AGP,” pungkasnya. (CR)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer