Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Antibiotic Growth Promoter | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SEDIAAN HERBAL UNTUK MENJAGA KESEHATAN HEWAN

Kunyit, salah satu jenis tanaman obat yang banyak dimanfaatkan sebagai obat hewan. (Foto: Istimewa)

Di masa kini tren penggunaan sediaan herbal kian menjamur. Bukan hanya pada manusia, dunia medis veteriner pun juga sejak lama menggunakan sediaan herbal untuk menjaga kesehatan dan performa hewan, bagaimana lika-likunya?

Seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan dan teknologi pun ikut berkembang termasuk dalam dunia medis veteriner. Berbagai obat-obatan, serta peralatan dan teknologi lain yang mendukung sektor medis veteriner pun ikut berkembang. Namun begitu, isu-isu yang dihadapi juga berbanding lurus dengan perkembangan yang ada.

Sebut saja isu resistensi antimikroba dan larangan penggunaan AGP di peternakan. hingga kini isu resistentsi antimikroba masih menjadi momok menakutkan di dunia medis manusia maupun hewan. Selain itu larangan penggunaan AGP membuat produsen obat hewan berlomba-lomba mencari alternatif untuk menggantikan antibiotik sebagai growth promoter.

Warisan Nenek Moyang
Sejak dulu manusia telah banyak memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang terbukti memiliki khasiat untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit. Sebut saja temulawak, sambiloto, jahe, beras kencur, tentunya masyarakat sudah familiar dengan beberapa jenis tumbuhan tersebut karena khasiatnya.

Nyatanya sebagai Negara Mega Biodiversity, Indonesia memiliki ratusan jenis tanaman obat yang berpotensi digunakan dalam dunia medis manusia maupun hewan. Hal ini dikemukakan oleh Drh Slamet Raharjo, praktisi dokter hewan sekaligus peneliti dan staf pengajar dari FKH UGM.

“Ada ratusan bahkan ribuan jenis tanaman obat yang tersedia di negara ini dan banyak belum termanfaatkan dengan maksimal dalam hal ini pada sektor medis veteriner," tutur Slamet kepada Infovet.

Pria kelahiran Kebumen tersebut kemudian menjelaskan beberapa penelitian sederhananya. Misalnya ketika ia meneliti potensi daun sambiloto pada luka dibeberapa jenis hewan seperti domba dan anjing.

“Ini berawal dari pengalaman pribadi saya, ketika mengalami kecelakaan, saya mencoba pada diri saya. Lalu berpikir bahwa seharusnya pada hewan juga memiliki efek yang sama dan saya mencobanya, ternyata bisa,” tutur dia.

Selain daun binahong, Slamet juga menyebut beberapa jenis tumbuhan obat lain yang telah banyak digunakan sebagai obat pada hewan. Misalnya kunyit dan meniran yang dikombinasikan sebagai imunomodulator pada ayam petelur yang telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan tubuh ayam terhadap AI.

Salah satu peternak yang rajin menmberikan sediaan herbal kepada ayamnya adalah Kusnadi, peternak broiler kemitraan asal Bogor. Kusnadi rutin memberikan jejamuan kepada ayamnya agar tetap prima. “Kalau chick-in biasanya orang pada memberikan air gula, kalau saya air gula itu saya campur lagi sama kunyit dan beras kencur,” ujar Kusnadi.

Kepada Infovet ia mengaku telah melakukan praktik tersebut sebelum AGP dilarang. Bukan hanya sejak chick-in, Kusnadi juga mengatakan rutin memberikan jamu kepada ayam pasca vaksinasi gumboro atau ketika terjadi pergantian musim, bahkan saat cuaca ekstrem. Menariknya setiap fase pemeliharaan ia memberikan racikan yang berbeda.

“Kalau pas cuaca ekstrem, musim hujan, biasanya saya kasih jahe sama temulawak. Biar mereka juga fit dan enggak kedinginan,” pungkasnya. Namun sayang, ketika ditanya mengenai dosis pemberian ia mengakui hanya mengira-ngira berdasarkan pengalaman. Beruntung tidak pernah terjadi efek negatif pada ayamnya.

“Alhamdulillah enggak ada yang aneh-aneh, saya cuma manfaatin yang ada saja, kearifan lokal. Kalau kebanyakan kimia saya takut,” tutup Kusnadi.

Penelitian terkait penggunaan herbal untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap AI telah dilakukan oleh Prof Bambang Pontjo, salah satu staf pengajar FKH IPB. Salah satu penelitian yang beliau lakukan adalah dampak pemberian jamu untuk menangkal serangan AI pada broiler.

Dalam penelitian tersebut, Prof Bambang menggunakan empat jenis tanaman obat yang sudah familiar, di antaranya temulawak (Curcuma xanthorrhiza), meniran (Phyllanthus niruri L), sambiloto (Andrographis paniculata), dan temuireng (Curcuma aeruginosa). Keempat tanaman diekstrak sedemikian rupa lalu diberikan kepada ayam broiler yang diberi perlakuan menjadi empat, perlakukannya adalah sebagai berikut:


Uji tantang dilakukan selama 10 hari, sementara parameter yang digunakan pada penelitian adalah persen proteksi, yaitu persentase ayam yang hidup setelah uji tantang dilakukan. Hasil penelitian dari uji tantang didapatkan jumlah sisa ayam hidup yang berbeda-beda setiap harinya, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini:


Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat diamati bahwa ayam broiler yang dapat bertahan sampai hari terakhir adalah ayam pada kelompok perlakuan formula 3 (F3) dan formula 1 (F1), dimana masing-masing kelompok terdapat sisa satu ekor ayam.

Tingkat kematian ayam yang berbeda-beda pada tiap kelompok perlakuan menandakan adanya aktivitas yang terjadi akibat pemberian formula yang berasal dari temulawak dan temuireng. Menurut Prof Bambang, temulawak dan temuireng merupakan tanaman obat yang memproduksi senyawa fenolik kurkuminoid sebagai hasil metabolit sekunder.

“Kurkuminoid atau kurkumin ini memiliki aktivitas farmakologi berupa anti-inflamasi, anti-imunodefisiensi, antivirus (termasuk virus AI), antibakteri, antijamur, antioksidan, anti-karsinogenik, dan antiinfeksi, kalau dari literatur yang saya baca begitu,” tukasnya.

Dirinya juga menegaskan bahwasanya menggunakan sediaan herbal selain meminimalisir efek samping yang negatif, juga merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari melestarikan warisan nenek moyang.

Perlu Perhatian
Apakah pengunaan sediaan herbal selalu memberikan feedback positif dan memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi? Belum tentu, setidaknya dalam memberikan sediaan herbal untuk terapi medis veteriner, ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan.

Menurut Drh Slamet Rahardjo, yang pertama kali harus diperhatikan adalah spesies atau jenis hewan yang hendak diobati. Ia memberi contoh, hewan karnivora misalnya kucing, secara fisiologis memiliki kemampuan lebih rendah dalam mencerna sediaan herbal ketimbang hewan omnivora seperti anjing dan unggas. Oleh karena itu, pemberian sediaan peroral untuk karnivora sebaiknya tidak dilakukan. Namun begitu, sediaan-sediaan herbal yang pengunaannya topikal masih dapat digunakan.

Selain itu Slamet juga menambahkan bahwa dokter hewan juga harus dapat mengidentifikasi jenis herbal yang harus digunakan sampai ke bagian-bagiannya. Misalnya saja kunyit, bagian dari kunyit yang dipakai untuk terapi yakni bagian rimpang atau umbinya.

“Di bagian tertentu suatu tanaman tentunya ada zat aktif yang dapat dimanfaatkan. Nah bagian-bagian itulah yang kita manfaatkan, salah menggunakan bagian nanti malah enggak ada efeknya, atau malah jadi racun, jadi harus hati-hati,” ungkap Slamet.

Ia menambahkan bahwa setiap zat aktif yang ada pada tanaman obat diperlukan volume tertentu (dosis) yang terukur agar menunjukkan khasiatnya. Oleh karena itu, sebaiknya para dokter hewan yang hendak memberikan sediaan herbal harus mengetahui dosis efektif dari sediaan tersebut. Akan lebih baik lagi apabila menggunakan sediaan herbal yang sudah teruji dan terbukti secara de facto dan de jure memiliki khasiat obat.

“Jadi hewan juga jangan dijadikan objek percobaan. Misalnya kita ketemu tanaman A, terus belum ada penelitian apa-apa langsung kita pakai di pakan ayam, niatnya biar ngurangi nyekrek misalnya, itu salah. Kenapa enggak pakai yang sudah ada literatur dan sudah terbukti saja, kan enak. Jadi yang pasti aja, jangan coba-coba,” ucapnya.

Slamet juga mengingatkan agar sediaan herbal digunakan sesuai rute penggunaan obat. Dokter hewan harus memahami rute pemberian obat herbal yang terbaik, jangan sampai salah rute dan tidak ada efek medis yang dihasilkan. Kombinasi antara sediaan herbal dan konvensional menurut Slamet sebaiknya digunakan.

“Jadi pasien tetap kita kasih obat konvensional, tetapi kita support dengan herbal agar mempercepat kesembuhannya, sekarang banyak yang seperti itu,” pungkasnya. ***

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

KEARIFAN LOKAL UNTUK MENJAGA KESEHATAN & MENCEGAH PENYAKIT HEWAN

Meskipun produk vaksin AI yang beredar masih homolog sekitar 80-90% terhadap clade baru, tetap kewaspadaan agar AI tidak menyerang perlu ditingkatkan. (Sumber: Istimewa)

Avian Influenza (AI) merebak lagi, sejak akhir tahun lalu hingga beberapa bulan di awal tahun ini, sektor perunggasan mancanegara masih disibukkan dengan wabah AI. Pasalnya clade baru dari virus AI H5N1 yakni clade 2.3.4.4.b dinilai meresahkan dan berdampak besar pada sektor ekonomi dan sosial.

Meskipun melalui kajian yang dilakukan berbagai perusahaan dan pakar mengatakan bahwa produk vaksin AI yang beredar masih homolog sekitar 80-90% terhadap clade baru, tetap kewaspadaan agar AI tidak menyerang perlu ditingkatkan.

Kearifan Lokal, Dampak Positif Global
Sejak Antibiotic Growth Promoter (AGP) dilarang digunakan dan kerap menjadi “kambing hitam” turunnya performa ternak unggas dan meningkatnya risiko ayam terserang penyakit infeksi. Sebagaimana diketahui, setiap perusahaan yang berkecimpung di bidang pakan utamanya, kini berlomba mencari pengganti AGP sebagai feed additive. Bermacam cara digunakan agar kesehatan dan performa ayam tetap prima.

Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman budaya, salah satu yang berkembang adalah jamu. Masyarakat Indonesia dikenal gemar mengonsumsi jamu sebagai suplemen dalam menjaga kesehatan. Wajib disyukuri karena Indonesia memliki beragam tanaman obat yang sejak zaman nenek moyang telah dikonsumsi secara turun-temurun oleh masyarakat.

Beruntung juga karena tanaman obat yang sangat beragam ini dapat dimanfaatkan sebagai feed additive yang dapat menjaga kesehatan ternak. Seperti halnya yang dilakukan beberapa peternak di Indonesia yang lebih memilih memberikan jejamuan untuk ternaknya.

Kustadi, peternak broiler kemitraan asal Bogor yang rutin memberikan jamu kepada ayam-ayamnya. Ia rutin mencampurkan racikan beberapa jenis herbal kepada ayamnya agar tetap prima. “Kalau chick-in kan biasanya orang pada ngasih air gula ke ayam, kalau saya air gula itu saya campur lagi sama kunyit dan beras kencur,” kata Kustadi.

Kepada Infovet, ia mengaku... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2023. (CR)

BAHAN HERBAL UNTUK KESEHATAN TERNAK

Pelarangan AGP dalam pakan mendorong banyak penelitian mencari alternatif penggantinya dalam pakan. (Foto: Dok. Infovet)

Pelarangan pemakaian Antibiotic Growth Promotor (AGP) dalam pakan mendorong banyak penelitian untuk mencari alternatif pengganti AGP dalam pakan. Berbagai bahan alternatif seperti probiotik, asam organik, enzim, minyak atsiri banyak dikembangkan termasuk senyawa herbal atau dikenal juga fitogenik. Penggunaan herbal untuk pengobatan manusia sudah banyak dikerjakan di Indonesia, juga negara lain seperti India atau China, malahan herbal digunakan sebagai pengobatan tradisionil (traditional medicine) secara turun-temurun.

Penggunaan herbal untuk ternak mulai berkembang di negara Eropa karena pelarangan AGP pada 2006, malahan sebelumnya ketika Denmark mulai melarang AGP pada 1996. Penelitian di Eropa mencoba menelusuri jenis-jenis tanaman yang sekiranya potensi untuk meningkatkan kesehatan hewan. Ribuan jenis tanaman ditelusuri untuk mencari bahan aktif yang dapat digunakan untuk pengganti AGP.

Jenis-jenis Herbal
Pengalaman membuat jamu untuk manusia berjalan cukup lama di Indonesia dan jamu sudah diproduksi oleh pabrik modern. Beberapa pabrikan jamu mengembangkan sayap usahanya memproduksi jamu untuk hewan, dengan bahan jamu yang juga diambil dari bahan jamu untuk manusia seperti Zingiberis officinale rhizome (jahe), Curcumaxanthorrhiza rhizome (temulawak) dan sebagainya.

Khasiat jamu hewan juga diklaim seperti pada manusia, diantaranya meningkatkan nafsu makan, memperbaiki daya tahan tubuh, bahkan membantu meredakan gejala penyakit tertentu. Ke”benar”an klaim bahan herbal untuk ternak membutuhkan penelitian lama, tidak mudah dan membutuhkan biaya mahal agar dapat dibuktikan secara ilmiah. Bahan baku herbal juga harus dikaitkan dengan bahan aktif yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh temulawak, ditemukan senyawa aktif yang disebut curcumin yang di klaim mempunyai fungsi kesehatan hati dan menambah nafsu makan. Persoalannya untuk jamu hewan adalah apa manfaat untuk manusia dapat langsung diterjemahkan juga untuk hewan? Hal ini membutuhkan penelitian ilmiah dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mengikuti perkembangan di Eropa yang telah menghasilkan berbagai produk herbal, baik bahan baku maupun hasil pemurnian lebih lanjut, penelitian mencari potensi bahan herbal di Indonesia juga mulai dilakukan, akan tetapi... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2023.

Ditulis oleh:
Prof Budi Tangendjaja
Konsultan Nutrisi Ternak Unggas

PILAH-PILIH HERBAL AGAR PERFORMA OPTIMAL

(Foto: Istimewa)

Suplemen pakan juga dikenal sebagai feed aditive atau pemacu pertumbuhan dalam bentuk antibiotik telah digunakan secara tradisional dalam pakan ternak pertanian sejak pertengahan 1940-an untuk menjaga lingkungan usus yang sehat dan meningkatkan kinerja (Dibner dan Richards, 2005). Didorong oleh peraturan yang lebih ketat mengenai perlindungan kesehatan manusia, kesejahteraan hewan dan lingkungan di satu sisi dan peningkatan permintaan protein hewani di sisi lain, membuat adaptasi alternatif diperlukan untuk produksi hewan yang berkelanjutan.

Karena meningkatnya larangan penggunaan Antibiotic Growth Promoters (AGPs) di seluruh dunia pada pakan, sehubungan dengan kekhawatiran perkembangan resistensi antimikroba dan selanjutnya transfer gen resistensi antibiotik dari mikrobiota hewan ke manusia (Castanon, 2007; Steiner dan Syed , 2015), tren saat ini di kalangan produsen unggas adalah beralih dari penggunaan AGP dalam ransum unggas.

Aditif pakan yang berasal dari tumbuhan dikenal sebagai Phytogenic Feed Additives (PFAs), yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah, essential oil (EO), ekstrak tumbuhan dan komponennya telah menjadi kelas aditif pakan yang berkembang untuk pakan hewan, karena preferensi konsumen untuk produk hewani alami dan bebas antibiotik.

Potensi PFA untuk meningkatkan performa dikaitkan dengan kemampuannya menjaga lingkungan usus yang sehat (Windisch et al., 2008). Dalam sejumlah besar studi ilmiah, essential oils yang mengandung sebagian besar zat aktif tanaman telah dilaporkan meningkatkan kesehatan dan meningkatkan kinerja zootechnical dengan meningkatkan ketersediaan nutrisi untuk hewan karena efek antioksidan dan antiinflamasinya, modulasi mikrobiota usus, bermanfaat berdampak pada kualitas usus yang menghasilkan kinerja yang lebih baik (Diaz-Sanchez et al., 2015; Upadhaya dan Kim 2017; Luna et al., 2019), meningkatkan kecernaan nutrisi (Jamroz et al., 2003; Jamroz et al., 2005) dan kesehatan usus (McReynolds et al., 2009) pada broiler dan unggas.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa melengkapi diet broiler dengan PFA menghasilkan efek… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2023.

Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
JL. DR SAHARJO NO. 264, JAKARTA
Tlp: 021-8300300

FUNGSI LAIN MINERAL SEBAGAI ANTIMIKROBA

Pemberian mineral pada ternak yang baru lahir atau masih muda banyak memberikan manfaat. (Foto: Dok. Infovet)

Antimikroba umumnya diperoleh dari jenis antibiotik baik yang digunakan untuk pengobatan (terapeutik) maupun dalam bentuk AGP (Antibiotic Growth Promoter) yang ditambahkan dalam pakan. Dengan dilarangnya pemakaian AGP, maka banyak alternatif yang diusulkan sebagai imbuhan pakan. Berbagai bahan dalam bentuk mikroba (probiotik), maupun ekstrak tanaman (fitogenik), bahkan enzim diklaim sebagai bahan alternatif.

Disamping itu, beberapa mineral juga diperkenalkan sebagai bahan yang mempunyai sifat antibakteri, meskipun pada mulanya mineral dibutuhkan untuk tubuh ternak karena fungsinya dalam metabolisme, pertumbuhan atau fungsi organ. Dalam dekade terakhir, beberapa jenis mineral yang diperoleh dari alam maupun dari hasil sintesis, banyak dikembangkan sebagai antibakteri yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti AGP.

Bentuk dan Jenis Mineral
Berbagai bentuk dan jenis mineral dijual di pasaran dan digunakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi ternak tetapi juga digunakan sebagai fungsi lainnya.

Oksida dan Garam
Penggunaan mineral sebagai antimikroba sudah banyak diketahui cukup lama, misalnya pemakaian Cu (Cuprum/Copper/tembaga) dalam mencegah perkembangan mikroba. Beberapa pabrik pakan sudah lama menambahkan tembaga sulfat (CuSO4) ke dalam pakan dalam jumlah yang melebihi kebutuhan Cu sebagai sumber gizi. CuSO4.5H2O ditambahkan dalam jumlah 500 g/ton makanan atau 200 ppm Cu dalam pakan yang melebihi kebutuhan Cu untuk ayam sebesar 5-8 ppm.

Disamping Cu pada ayam, pemberian ZnO pada babi juga sudah lama dilakukan untuk mencegah babi menceret karena kontaminasi bakteri yang berpengaruh terhadap saluran pencernaan. Pemberian ZnO dalam pakan babi lepas sapih dapat mencapai 2.000-3.000 ppm untuk mencegah timbulnya anteritis akibat bakteri dan mempercepat pertumbuhan. Tetapi,  pada 2022, Uni Eropa mengeluarkan peraturan baru untuk melarang pemakaian ZnO dalam pakan babi karena pencemaran lingkungan dari kotoran babi yang banyak mengandung Zn.

Dengan perkembangan teknologi, bentuk pemberian Cu atau Zn tidak hanya dalam bentuk garam atau oksidanya, tetapi juga dimodifikasi untuk di”masuk”kan ke dalam monmorilonit atau salah satu bentuk zeolit untuk meningkatkan aktivitasnya. Penambahan mineral tersebut tidak hanya masing-masing, tetapi juga dikombinasikan keduanya ke dalam zeolit. Hasil pengujian secara in-vitro menunjukkan bahwa mineral dalam zeolit mampu... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022.

Ditulis oleh:
Prof Budi Tangendjaja
Konsultan Nutrisi Ternak Unggas

SENYAWA FITOGENIK ATAU BAHAN HERBAL

Penggunaan senyawa fitogenik berkembang ke peternakan karena pelarangan penggunaan antibiotika pemacu pertumbuhan (AGP) yang memengaruhi kesehatan ternak. (Foto: Istimewa)

Imbuhan pakan berupa senyawa fitogenik atau botanikal merupakan bahan ekstrak tanaman yang ketika ditambahkan dalam pakan dalam jumlah yang disarankan dapat memperbaiki penampilan ternak. Bahan ini berupa hasil ektraksi tanaman obat dalam berbagai bentuk senyawa, baik minyak atsiri (essential oil), ekstrak jamu-jamuan (herbal) atau dari rempah-rempah (spice).

Penggunaan ekstrak tanaman sudah lama dilakukan manusia, baik untuk pengobatan maupun meningkatkan kesehatan tubuh, seperti menaikkan kekebalan (immunity) atau sebagai tonik. Penggunaan senyawa fitogenik berkembang ke peternakan karena pelarangan penggunaan antibiotika pemacu pertumbuhan (AGP) yang memengaruhi kesehatan ternak. Hal ini dimulai dari negara-negara di Eropa yang lebih dulu melarang penggunaan AGP dan membatasi penggunaan antibiotika dalam pemeliharaan ternak, sehingga mencari alternatif yang dapat diperoleh dari alam. Mereka berpikir bahwa penggunaan bahan alami dianggap lebih aman untuk kesehatan dibanding antibiotika yang dapat menimbulkan resistensi, sehingga dikawatirkan nantinya akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.

Jenis Senyawa Fitogenik
Jenis senyawa fitogenik umumnya dari tanaman herbal yang secara tradisional banyak digunakan untuk meningkatkan kesehatan manusia. Kesehatan dalam hal ini tidak hanya untuk pengobatan terhadap suatu penyakit, tetapi juga untuk meningkatkan kecernaan dari makanan atau meningkatkan nafsu makan atau meningkatkan kekebalan tubuh ketika menghadapi perubahan cuaca maupun penyakit.

Awal mulanya jenis senyawa fitogenik pada ternak ditujukan untuk meningkatkan penerimaan konsumen untuk hasil ternak seperti telur. Konsumen menghendaki warna kuning telur yang cerah berwarna kuning sehingga dibuatlah imbuhan pakan dari tanaman yang berisi senyawa karotenoid berupa xantofil (oxygenated carotene) yang diperoleh dari wortel atau bunga marigold atau dari ganggang chlorella. Jenis xantofil yang digunakan berupa lutein yang juga terdapat dalam jagung kuning.

Kendati demikian konsumen juga menghendaki agar warna telur tidak hanya kuning tetapi juga menjadi jingga (oranye), maka ditambahkanlah senyawa astaxantin yang dapat memberikan warna merah. Penggunaan senyawa astaxantin juga banyak digunakan untuk menghasilkan daging ikan atau uadng yang berwarna merah. Disamping karotenoid diperoleh dari tanaman, beberapa perusahaan kimia juga membuat senyawa sintetisnya yang dapat dimasukkan ke dalam pakan.

Selanjutnya, penelitian terus berkembang untuk memanfaatkan senyawa fitogenik sebagai imbuhan pakan yang dapat memberikan pengaruh positif bagi ternak, termasuk perbaikan kualitas pakan.

Secara umum, imbuhan pakan fitogenik dapat dikelompokkan ke dalam:… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi September 2022.

Ditulis oleh:
Prof Budi Tangendjaja
Konsultan Nutrisi Ternak Unggas

PRODUK ALTERNATIF AGP: MEMAHAMI JEJAK IMUNOMODULASI


Oleh: Tony Unandar
Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta

Pasca pakan tanpa antibiotic growth promoter (AGP), genderang perang terhadap mikroba (bakteri) dalam industri ayam modern mempunyai skala prioritas yang sangat tinggi, baik secara lokal maupun universal. Selain untuk tetap mengoptimalkan potensi genetik ayam, juga untuk kepastian keamanan pangannya. Tulisan ini mencoba menyoroti peranan komponen pakan yang bersifat nutritif maupun non-nutritif beserta interaksi positif yang ditimbulkannya dalam rangka menjaga atau mendukung sistem imunitas ayam agar tetap mentereng.

Sekilas Respon Imunitas Ayam
Sistem imunitas non-spesifik (innate immunity) adalah garis pertahanan pertama suatu makhluk (termasuk ayam) dalam rangka menahan laju invasi mikroorganisme patogen yang menerpanya. Komponen sistem ini berhadapan secara langsung dengan patogen yang menyerang (Medzhitov, 2017).

Pada tataran seluler, respon imunitas non-spesifik difasilitasi oleh sel-sel epitelium selaput lendir dan sel-sel fagosit (sub populasi sel darah putih) baik yang bermukim pada tingkat jaringan tubuh ataupun yang direkrut dari sistem peredaran darah, yakni granulosit (heterofil, asidofil, basofil), monosit dan makrofag.

Pada tataran molekuler, sel-sel dalam innate immunity mendeteksi keberadaan mikroba atau patogen via Pattern Recognition Receptors (PRRs) yang mampu mengenali molekul penciri dari suatu sel pathogen yang berupa suatu senyawa protein, lemak atau asam nukleat, yang selanjutnya disebut sebagai Microbe/Pathogen-Associated Molecular Patterns atau MAMPs/PAMPs (Kumar et al., 2011; Medzhitov, 2017). PRRs juga mampu mengenali banyak molekul penciri yang dihasilkan induk semang yang mengindikasikan adanya serangan patogen ataupun kerusakan sel-sel induk semang.

Patogen via PRRs mampu menginduksi atau mengaktivasi sel-sel dalam innate immunity untuk menghasilkan serta mengekskresikan sejumlah sitokin ataupun molekul mediator radang. Molekul mediator radang ini selanjutnya dapat merekrut dan mengaktivasi sel-sel imunitas lain untuk berada di sekitar infeksi dan menginduksi secara sistemik terkait keberadaan patogen dalam bentuk demam. Patogen via PRRs juga menstimulasi... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2022. (toe)

MANFAAT SENYAWA BUTIRAT

Struktur kimia kalsium butirat (kiri) dan tributirin (kanan).

Senyawa butirat merupakan imbuhan pakan yang banyak dipromosikan sebagai pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) karena keunikannya. Asam butirat sebenarnya termasuk ke dalam kelompok pengasam (acidifier) karena merupakan asam organik rantai pendek yang mudah menguap, tetapi asam butirat mempunyai manfaat lain yang berbeda dengan asam organik lainya seperti asam asetat (cuka) maupun propionat. Penemuan asam butirat yang berperan dalam saluran pencernaan ditemukan pada manusia terlebih dahulu sebelum dikembangkan untuk ternak.

Struktur Kimia
Seperti halnya kelompok asam, asam butirat mempunyai gugus karboksilat (-COOH) dengan rantai karbon sebanyak empat buah, sedangkan untuk rantai karbon 1, 2 dan 3 buah dinamakan asam format, asam asetat dan asam propionat. Karena sifatnya yang mudah menguap dan menimbulkan bau yang tidak sedap, maka asam butirat dibuat dalam bentuk garamnya yaitu direaksikan dengan kalsium (atau natrium) menjadi senyawa yang tidak menguap seperti kalsium butirat (lihat gambar di atas), sehingga lebih mudah dicampur ke dalam ransum.

Disamping dalam bentuk garam, di pasaran juga dijual asam butirat yang direaksikan dengan gliserol seperti senyawa lemak pada umumnya (triacyl glycerol) menjadi senyawa yang disebut tributirin yang akan diuraikan lebih lanjut.

Sifat dan Karakteristik sebagai Antibakteri
Asam butirat pada suhu kamar berupa cairan seperti cuka (asam asetat) dan mudah menguap. Asam butirat menghasilkan bau yang tidak sedap sehingga memerlukan penanganan khusus. Karena senyawa butirat merupakan asam, maka pada mulanya kemampuan butirat dalam menghambat perkembangan bakteri dalam usus ternak dikaitkan dengan ion H+ yang dapat menurunkan pH.

Tetapi kemudian diketahui bahwa kemampuan butirat menghambat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2022.

Ditulis oleh:
Prof Budi Tangendjaja
Konsultan Nutrisi Ternak Unggas

SERI IMBUHAN PAKAN (BAGIAN 3) - ACIDIFIER (PENGASAM): SIFAT, MEKANISME DAN PENGARUHNYA

Asam organik sederhana umumnya berbentuk cairan sehingga larut dalam air dan dapat digunakan dalam air minum ternak. (Foto: Infovet/Ridwan)

Salah satu bahan alternatif pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang banyak dipasarkan adalah acidifier atau pengasam. Bahan yang digunakan umumnya adalah asam organik yang bersifat asam lemah dibanding asam in-organik yang bersifat asam kuat seperti asam sulfat atau asam klorida.

Mekanisme asam organik dalam menghambat pertumbuhan mikroba berbeda dengan asam kuat yang hanya menurunkan pH. Oleh karena itu, perlu dijelaskan mengenai sifat dan mekanisme asam organik, penggunaannya beserta pengaruhnya terhadap terhadap ternak.

Kimia dan Sifatnya
Asam organik umumnya dicirikan dengan adanya gugus karboksilat dalam struktur kimianya. Berdasarkan strukturnya ada asam organik dengan gugus karboksilat sederhana (hanya satu), seperti asam formiat, asetat, propionat dan butirat, atau gugus karboksilat yang dikombinasi dengan gugus hidroksi seperti asam malat, tartarat, sitrat, laktat, atau gugus karboksilat beserta ikatan rangkap seperti asam fumarat dan sorbat.

Asam organik sederhana umumnya berbentuk cairan sehingga larut dalam air dan dapat digunakan dalam air minum ternak. Tetapi karena mudah menguap, sering kali dibuat menjadi garam natrium atau kalsium sehingga menjadi bentuk padatan dan dapat dicampur dalam pakan ternak.

Asam fumarat dan sitrat umumnya berbentuk padatan. Asam sitrat dapat larut dalam air tetapi asam fumarat hanya sedikit larut dalam air. Meskipun demikian, kebanyakan asam-asam ini dibuat garamnya agar meningkatkan kelarutan, seperti asam fumarat dapat ditingkatkan kelarutan dalam air dengan mereaksikan menjadi garam natrium. Apabila direaksikan menjadi garam kalsium, maka kelarutannya jauh lebih rendah. Sifat kelarutan ini penting untuk dipertimbangkan dalam penggunaannya karena pengasam bekerja dalam saluran pencernaan yang sifatnya mesti larut dalam air. Hampir semua enzim pencernaan bersifat hidrolisis yang bekerja dalam larutan. Kelarutan asam organik juga berpengaruh terhadap pH dan konstanta keseimbangan (pKa) sangat berperan dalam aktivitas atau kemampuan asam organik dalam memengaruhi mikroba usus.

Beberapa asam organik berbau juga berpengaruh terhadap ternak dan pekerja yang menggunakannya ketika akan dicampur ke dalam pakan. Oleh karenanya, asam organik jenis ini banyak direaksikan menjadi garamnya untuk mengurangi penguapan. Disamping rekasi kimia dalam bentuk garam. Teknologi lain yang dapat mengurangi penguapan adalah “coating” atau pelingkupan menggunakan minyak, sehingga asam organik seperti molekul yang dilingkupi minyak menjadi tidak mudah menguap.

Mekanisme Kerja
Kesehatan usus memegang peranan penting pada ternak karena usus merupakan tempat penyerapan zat gizi dan juga terbentuknya zat kekebalan untuk menangkal penyakit. Mikroba dalam usus juga berperan dalam kesehatan usus dan jenis maupun jumlah mikroba akan dipengaruhi oleh kondisi dalam usus.

Salah satu faktor lingkungan yang berperan adalah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2022.

Ditulis oleh:
Prof Budi Tangendjaja
Konsultan Nutrisi Ternak Unggas

MENINGKATKAN KESEHATAN DAN PRODUKTIVITAS AYAM TANPA AGP

Direktur Pakan, Agus Sunanto, saat menjadi keynote speaker dalam webinar “Training Formulasi Pakan Tanpa AGP”. (Foto: Infovet/Ridwan)

Dampak penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) pada industri ayam ras menjadi alasan pemerintah melarang AGP yang biasanya digunakan melalui pakan. Walau diketahui penggunaannya dapat membantu menekan bakteri patogen di saluran pencernaan.

Namun dalam jangka panjang pemberian AGP dapat menimbulkan residu antibiotik pada produk unggas yang berbahaya dikonsumsi manusia, yang turut meningkatkan kasus antimicrobial resistant (AMR).

“Survei WHO pada 2014 menyebutkan angka kematian global akibat AMR sebanyak 700 juta jiwa (low estimate) dan diperkirakan meningkat menjadi 10 juta jiwa di tahun 2050 mendatang. Banyak negara di Eropa melarang semua jenis antibiotik sebagai growth promoter,” ujar Direktur Pakan Ditjen PKH Kementerian Pertanian, Agus Sunanto, dalam webinar “Training Formulasi Pakan Tanpa AGP”, Rabu (8/9/2021), yang merupakan rangkaian kegiatan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) dan World Egg Day (WED) 2021 di Provinsi NTT pada Oktober mendatang.

Pelarangan AGP di Indonesia telah diatur melalui berbagai regulasi, diantaranya UU No. 18/2009 jo UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, Permentan No. 22/2017 mengenai Pendaftaran dan Peredaran Pakan dan Permentan No. 65/2007 tentang Pengawasan Mutu dan Keamanan Pakan.

Dipaparkan Agus, tujuan dari pelarangan AGP tersebut untuk mencegah terjadinya residu obat pada ternak dan resitensi mikroba patogen, mencegah gangguan kesehatan pada manusia, serta menjaga kesehatan lingkungan.

Oleh karena itu, kata dia, langkah strategis yang bisa diupayakan untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ayam bisa menggunakan alternatif seperti probiotik, prebiotik, asam organik, minyak esensial, enzim, maupun feed supplement berkualitas.

“Juga dengan penerapan biosekuriti tiga zona, peningkatan kualitas pakan dan pemilihan DOC yang sehat, berkualitas dan bersertifikat,” ungkap Agus.

Hal senada juga disampaikan Direktur Nutricell Pacific, Wira Wisnu, yang menjadi narasumber. Dikatakan di era bebas AGP sekarang ini, pelaku budi daya unggas harus lebih jeli dalam perbaikan pemeliharaan.

Dijelaskan Wira, beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk mengoptimalkan performa ayam yakni dengan memperhatikan kepadatan kandang, kebutuhan air, ketersediaan dan kualitas pakan.

“Serta bagaimana kita mengatur temperatur, kelembapan, oksigen, manajemen pH saluran pencernaan (keseimbangan mikroflora), pengelolaan organ hati dan usus, serta meminimalisir kondisi stres pada ayam,” katanya. (RBS)

MEMAKSIMALKAN FUNGSI SEDIAAN PROBIOTIK

Data Market sediaan probiotik di dunia. (Gambar: Istimewa)

Kini probiotik dan prebiotik bisa dibilang menjamur dan sudah banyak digunakan oleh peternak Indonesia. Rata-rata dari mereka mengharap “tuah” dari sediaan yang mereka gunakan, lalu bagaimanakah agar utilisasinya maksimal?

Probiotik dan prebiotik kini bukan barang asing bagi peternak Indonesia. Kini hampir di seluruh toko ternak, poultry shop, bahkan secara daring, sediaan tersebut dapat diakses oleh masyarakat tanpa terkecuali. Produsen sediaan tersebut pun baik dari dalam maupun luar negeri mulai menginvasi pasar Indonesia.

Kenali Cara Penggunaan
Probiotik dan prebiotik biasanya diberikan pada ternak melalui pakan dan air minum alias peroral. Pastinya perbedaan rute pemberian juga akan berbeda pula trik penanganannya. Misalnya saja pada pakan, selama ini dalam dunia peternakan terutama ayam, pakan diberikan dalam bentuk mash, crumble, maupun pellet. Artinya probiotik dan prebiotik ini harus ada di dalam pakan, akan sedikit merepotkan apabila pakan melewati proses pelleting dengan suhu tinggi, tentunya ini akan menjadi tidak efektif. Sebagaimana diketahui bersama bahwa proses pelleting pakan menggunakan suhu yang tinggi, meskipun waktunya singkat.

Suhu tinggi tentunya merupakan ancaman bagi bakteri, karena beberapa jenis bakteri rata-rata akan mati pada suhu tinggi. Tentunya jika harus melewati proses pelleting (suhu 80-90° C), setidaknya harus ada perlakuan khusus pada probiotik maupun prebiotik yang nantinya akan digunakan di dalam formulasi pakan tersebut.

Drh Agustin Indrawati, peneliti sekaligus staf pengajar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), mengatakan bahwasanya hal ini pasti perlu diperhitungkan. Berdasarkan beberapa literatur yang ia baca, beberapa jenis bakteri asam laktat sangat peka dengan suhu tinggi.

“Betul, harus dipertimbangkan itu, jangan sampai menggunakan probiotik tetapi malah kehilangan bahan aktifnya, ya si bakteri baik itu. Soalnya suhu tinggi itu bakteri kurang suka, saya beri contoh misalnya kalau buat yoghurt, susu yang digunakan setelah dipanaskan itu kan harus ditunggu dulu sampai suhunya pas, kalau enggak kan bakteri starter si yoghurt itu juga mati kepanasan,” tutur Agustin.

Ia menyarankan apabila dirasa sulit menggunakan pakan dan harus melewati suhu pelleting, maka sediaan probiotik dan prebiotik harus… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2021 (CR)

APA ITU PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK

Penggunaan probiotik yang dikombinasikan dengan prebiotik pada pakan unggas merupakan salah satu pilihan tepat untuk mengendalikan kemungkinan kejadian AMR. (Sumber: alibaba.com)

Pemenrintah melalui Kementerian Pertanian menerbitkan peraturan pelarangan penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP)/Antibiotik Pemacu Pertumbuhan, para ahli nutrisi dan kesehatan hewan serentak berusaha mencari penggantinya yang sepadan dengan AGP tersebut.

Berbagai sediaan alternatif disiapkan sebagai penggantinya dan beberapa produk seperti minyak sesnsial, ekstrak rempah tumbuhan, asam organik, probiotik dan prebiotik yang dipersiapkan sebagai alternatif pengganti antibiotik untuk kesehatan saluran cerna pada hewan peliharaan khususnya ayam.

Dari beberapa alternatif tersebut di atas, ternyata para ahli lebih cenderung menggunakan kombinasi probiotik dan prebiotik sebagai alternatif pengganti AGP untuk kesehatan saluran pencernaan ternak ayam.

Apa itu Probiotik?
Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang jika dikonsumsi dalam jumlah cukup, dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Mikroorganisme yang dimaksud sebagian besar merupakan bakteri dari spesies Lactobacillus, Lactococcus, Bacillus, Bifidobacterium, Streptococcus, Yeast (Saccharomyces) atau kombinasi beberapa mikroorganisme tersebut (Bhupinder and Saloni, 2010). 

Cara kerja probiotik adalah bekerja secara antagonis terhadap bakteria patogen di dalam saluran cerna dengan cara memodifikasi pH, mengeluarkan sekresi yang berefek langsung untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen tersebut, seperti menghasilkan bakteriosin, asam organik, hidrogen peroksida, rantai pendek asam lemak, mengatur sistem imun induk semang, menormalkan mikrobiota dalam saluran cerna, mengurangi reaksi peradangan mukosa usus, menurunkan ekskresi amonia dan urea, meningkatkan penyerapan mineral dan secara umum dapat meningkatkan parameter performa dan keuntungan produksi (Vamanu and Vamanu, 2010; Ferreira et al., 2011).

Sedangkan Patterson dan Burkholder (2003), mengatakan bahwa penggunaan probiotik dalam pakan memperlihatkan peningkatan performa pertumbuhan, menurunkan tingkat kematian dan kesakitan, dimana itu semua secara umum akan berpengaruh kepada pertambahan keuntungan secara finansial.

Forlan (2005), berpendapat bahwa cara kerja probiotik bersifat competitive exclusion, dimana bakteri yang difungsikan sebagai probiotik (bakteri baik) bersaing menempati mukosa di saluran cerna dengan bakteri patogen (bakteri jahat), dimana jika bakteri baik terlebih dahulu menempati tempat/menempel di mukosa usus secara tidak langsung akan langsung memblokir proses menempelnya bakteri jahat pada mukosa usus.

Apa itu Prebiotik?
Tidak seperti probiotik, prebiotik bukanlah… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2021. (AHD-MAS)

SELEKTIF DALAM MEMILIH FEED ADDITIVE

Peternak unggas terutama self-mixing harus cerdas dalam memilih imbuhan pakan feed additive maupun feed supplement. (Foto: Dok. Infovet)

Sejak penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP) dilarang oleh pemerintah dua tahun lalu, para produsen pakan dan peternak self-mixing berlomba-lomba mencari imbuhan pakan untuk pengganti antibiotik. Bukan hanya itu saja, banyak faktor lain yang juga membuat mereka memilah imbuhan pakan yang harus digunakan demi efisiensi produksi

Jangan lupa, biaya produksi terbesar dari suatu usaha peternakan berasal dari pakan. Kurang lebih 60-70 % pengeluaran dalam beternak yakni dialokasikan untuk pakan. Berbagai upaya juga dilakukan oleh para ahli yang berkecimpung di bidang nutrisi ternak guna meningkatkan efisiensi pemakaian pakan, dengan menggunakan berbagai jenis bahan baku pakan beserta kompelementernya.

Dalam dunia pakan perlu diingat ada dua jenis imbuhan pakan yakni feed additive dan feed supplement. Imbuhan Pakan (feed additive) merupakan bahan pakan yang ditambahkan ke dalam pakan tetapi bukan merupakan sumber gizi sehingga tidak bisa dipakai untuk menggantikan zat gizi pakan. Contohnya adalah enzim (mannanase, protease dan lain-lain), antibiotik, antioksidan, probiotik, flavouring agent, pewarna dan lain sebagainya.

Sedangkan feed supplement merupakan bahan pakan tambahan yang berupa zat-zat nutrisi, terutama zat nutrisi mikro seperti vitamin, mineral atau asam amino. Penambahan feed supplement dalam ransum berfungsi untuk melengkapi atau meningkatkan ketersedian zat nutrisi mikro yang seringkali kandungannya dalam ransum kurang atau tidak sesuai standar.

Berdasarkan Permentan No. 14/2017 feed additive termasuk dalam sediaan premiks, yang pemberiannya dicampurkan ke dalam pakan atau air minum hewan, dengan dosis dan penggunaan yang harus bermutu, aman dan berkhasiat.

Cerdas Memilih

Prof Budi Tangendjaja salah satu peneliti Balitnak Ciawi yang juga konsultan peternakan unggas, mengatakan bahwa peternak terutama self-mixing harus cerdas memilih imbuhan pakan feed additive maupun feed supplement.

“Ini penting, walaupun penggunaannya sedikit kalau tidak efektif nati boros-boros juga, kasihan peternak juga kalau boros di biaya pakan, sudah bersaing dengan yang besar-besar, tidak efisien, nanti harga produksi melonjak, harga jual jeblok, masalah kan?,” tutur Budi.

Ia sangat concern akan hal ini karena menurutnya peternak mandiri terutama self-mixing rentan “diakali” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, terlebih lagi jika peternaknya sendiri memang “kurang pergaulan” dan tidak mendapatkan pengetahuan di bidang nutrisi dengan baik.

“Saya beri contoh, misalnya probitoik, ada itu peternak pernah saya kunjungi bilangnya buat ganti AGP pakai probiotik merk A, biasa beli di poultry shop. Saya tanya, hasilnya gimana? Ada peningkatan? Dia bilang enggak begitu ada. Nah ini jadinya korban akal-akalan,” jelas dia.

Ia juga menemukan ketidakefisienan pada peternak self-mixing dalam menggunakan feed additive tertentu. Ia memberi contoh, misalnya yang menggunakan komposisi… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi September 2020) (CR)

MENGOPTIMALKAN KERJA SALURAN PENCERNAAN

Kepadatan kandang harus diperhatikan agar meminimalisir stres. (Sumber: Istimewa)

Agar nutrisi yang ada pada ransum dapat diserap sempurna, dibutuhkan sistem pencernaan yang sehat agar performa tetap optimal. Saluran pencernaan yang berfungsi secara optimal akan mampu memaksimalkan nilai pemanfaatan ransum melalui proses pencernaan dan penyerapan nutrisi.

Tantangan yang dihadapi peternak di masa kini amatlah banyak. Masalah pada saluran pencernaan merupakan persoalan klasik, baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Lebih kece lagi ketika keduanya berkomplikasi dan menimbulkan masalah yang epic di lapangan.

Sunardi, peternak broiler kemitraan asal Tegal mengerti betul hal itu. Ketika kebijakan pakan non-AGP (antibiotic growth promoter) dimulai, dirinya merasa performa ayam di kandangnya menurun cukup drastis. Hal ini semakin rumit, karena diperparah dengan cuaca ekstrem.

“Awalnya ayam cuma diare, terus saya kasih obat anti-diare, nah setelah jalan dua hari bukannya sembuh enggak tahunya malah diare berdarah gitu. Gimana enggak panik? saya langsung telepon TS (technical service) obat, besoknya dateng konsultasi dan fix ayam saya kena Koksi,” tutur Sunardi.

Saat itu kata dia, untungnya ayam sudah berusia 25-an hari, walaupun bobot badannya di bawah standar, Sunardi langsung buru-buru melakukan panen dini ketimbang merugi lebih lanjut. Ia pun langsung berbenah, semua aspek yang berkaitan dengan kasus yang ia alami kemudian dibenahi dan cari tahu penyebabnya.

“Pakan dan air minum sih enggak bermasalah, semua aspek saya sudah penuhi. Tetapi memang mungkin saya teledor dari cara pemeliharaan, memang beda ketika AGP sudah enggak boleh lagi digunakan, cara pelihara juga harus berubah,” ucap dia.

Merubah Mindset 
Dilarangnya AGP kerap kali dijadikan kambing hitam oleh peternak di lapangan terkait masalah yang mereka alami. Tidak semua orang seperti Sunardi, memiliki pemikiran positif dan mau merubah tata cara budidayanya. Di luar sana masih banyak peternak yang sangat yakin bahwa AGP adalah “dewa” yang harus hadir disetiap pakan unggasnya.

Drh Akhmad Harris Priyadi dari PT DSM Nutritional Products, mengakui bahwa saat ini mindset dari peternak harus diubah terkait pakan. “Semua produsen pakan pasti berlomba-lomba dengan keadaan yang ada saat ini tentang bagaimana menggantikan AGP dengan formulasi yang terbaik. Masalahnya, mindset peternak ini sulit diubah, mereka pasti akan selalu menganggap pakan merk A, B dan sebagainya sudah tidak sebagus dulu. Ini wajar sih, soalnya tiap formula berbeda, tinggal peternaknya saja gimana,” tutur Harris.

Lebih lanjut ia tuturkan, jika mindset peternak tidak kunjung berubah di era yang memang sudah berubah ini, tentunya akan berakibat... (CR) (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2020)

SEMNAS ASOHI: PETERNAKAN PASCA DUA TAHUN PELARANGAN AGP

Foto bersama seminar nasional ASOHI pasca dua tahun pelarangan AGP di Jakarta. (Foto: Dok. Infovet)

Sejak 2018, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), resmi melarang penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP). Hal ini menjadi tantangan bagi para pelaku usaha budidaya ternak, khususnya unggas, dan perusahaan obat hewan di Indonesia.

Pelarangan tersebut dilakukan untuk menghindari residu antibiotik pada produk asal hewan untuk konsumsi dan menekan kejadian antimicrobial resistance (AMR) pada manusia, seperti yang dilakukan beberapa negara lain. Kendati demikian, pelarangan AGP kerap dijadikan kambing hitam terhadap melorotnya produksi pada ternak, terutama unggas.

Setelah dua tahun aturan tersebut berjalan, masih banyak pro-kontra yang terjadi, terutama dari segi kesehatan ternak dan bisnis obat hewan. Hal tersebut melatarbelakangi Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) menyelenggarakan Seminar Nasional (semnas) bertajuk "Peternakan Indonesia Pasca Dua Tahun Pelarangan AGP" di Menara 165, Jakarta, Kamis (27/2/2020).

"Tak terasa sudah dua tahun pelarangan AGP berjalan, namun apakah sudah berjalan efektif? Apakah terjadi peningkatan atau penurunan terhadap pemakaian antibiotik pada ternak unggas? Itu yg menjadi alasan kami menggelar seminar ini," ujar Ketua Bidang Hubungan antar Lembaga ASOHI, Drh Andi Wijanarko, mewakili ketua panitia dalam sambutannya.

Pemakaian antibiotik dalam pakan memang sudah dilakukan lama di Indonesia dan bisa dibilang menjadi kebiasaan. Sejak aturan mulai diberlakukan, ASOHI tak tinggal diam dengan terus berkoordinasi bersama pemerintah karena menyangkut banyak hal yang harus dibenahi.

"Ini terkait banyak hal, utamanya pada aturan dimana antibiotik dilarang. ASOHI juga banyak mendapat tekanan dari para anggota yang memiliki sediaan AGP, karena itu dampaknya sangat besar pada penggunannya, digunakan berton-ton. Pengaruhnya tidak hanya dari segi bisnis saja, banyak pertimbangan, namun harus kita taati," tambah Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari.

ASOHI, lanjut Ira, pun banyak mengadakan pertemuan bersama pemerintah. "Kita juga banyak pertemuan dengan pemerintah, sehingga banyak lahir aturan, salah satunya Juknis Medicated Feed, pemerintah juga mengakomodir itu. Kita harap ke depan ada program secara nasional untuk lebih menindaklanjuti dan memperjelas aturan yang ada," jelasnya.

Lebih lanjut disampaikan, "Melalui seminar ini setelah dua tahun AGP dilarang, kita lakukan evaluasi terkait penelitian di lapangan dan mengupdatenya, kami harapkan ada national action program yang bisa menjadi salah satu referensi penindaklanjutan program tersebut. Peran semua sangat penting, sehingga ke depannya aturan bisa lebih tepat sasaran dan akurat."

Sementara, Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengemukakan bahwa pemerintah terus melakukan pembinaan terhadap para pelaku usaha, khususnya obat hewan.

"Kita terus lakukan pembinaan, lagipula alternatif AGP juga sudah banyak, ada lebih dari 300 produk (enzim, asam organik, probiotik, prebiotik dan obat alami). Kami juga terus mengupayakan peternak memiliki sertifikat NKV agar produknya aman dan menerapkan good farming practice, dimana di dalamnya ada kompartemen bebas AI, penerapan biosekuriti 3 zona sebagai solusi penekanan penggunaan antibiotik agar tercipta ternak yang sehat," tukas Fadjar.

Dalam kegiatan tersebut dihadiri para pakar terpercaya yang menjadi narasumber untuk memberikan evaluasi mendalam pasca dua tahun AGP dilarang, diantaranya Fadjar Sumping Tjatur Rasa (Diskeswan), Drh Agustin Indrawati (FKH IPB), Ika Puspitasari (UGM), Prof Budi Tangendjaja dan Sri Widayati (Direktur Pakan Kementan). (CR/RBS)

PROBIOTIK ASLI INDONESIA AMPUH GANTIKAN AGP

Ilustrasi. (Istimewa)

Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang biasa berupa Bakteri Asam Laktat (BAL) yang dapat memberikan manfaat kesehatan pada inangnya. Umumnya pemberian probiotik dapat memperbaiki keseimbangan atau memulihkan flora usus. Pada unggas, probiotik bakteri asam laktat ternyata efektif untuk dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP).

Sejak awal 2018 lalu, pemerintah telah secara resmi memberlakukan pelarangan penggunaan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan (AGP). Penggunaan alternatif pengganti AGP pun marak, mulai dari herbal, minyak esensial, asam organik, probiotik, prebiotik, maupun enzim. 

Kali ini pembahasan di fokuskan pada pemberian probiotik, yakni BAL yang diperoleh dari saluran pencernaan ayam kampung asli Indonesia yang sudah dewasa dan memiliki kesehatan yang baik. BAL diambil dari ayam yang dipelihara dengan sistem diumbar, serta pemberian pakan dan air minumnya tidak pernah terpapar antibiotik maupun bahan kimia, juga berbagai obat untuk ayam.

Guru Besar Laboratorium Ilmu Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM) Yogyakarta, Prof Dr Ir Sri Harimurti, mengatakan, dari 100 lebih strain bakteri asam laktat yang ditemukan, terdapat tiga bakteri yang paling unggul digunakan sebagai probiotik pada unggas, yaitu Lactobacillus murinus-Ar3, Streptococcus thermophilus-Kp2 dan Pediococcus acidilactici-Kd6.

Ia telah meneliti ketiga strain bakteri tersebut secara mendalam selama lebih dari 10 tahun, baik sebagai kultur tunggal maupun sebagai kultur campuran.

Bakteri asam laktat tersebut terbukti mampu melekat (adherence) pada sel epitel usus ayam dan ketika diberikan dalam jumlah memadai yakni 107-109 CFU/ekor/hari, akan sangat bermanfaat terhadap respon imum ayam.

“Probiotik BAL asli Indonesia tersebut diisolasi dari saluran pencernaan ayam kampung asli Indonesia, yakni ayam Blorok, ayam Kapas dan ayam Cemani/Kedu Hitam,” kata Sri dalam sebuah seminar tentang peran peternakan dalam menghasilkan produk pangan yang sehat di Kampus Fapet UGM Yogyakarta, Senin (7/1). 

Ketiga bakteri asam laktat tersebut, lanjut dia, memiliki sejumlah keunggulan, antara lain dapat meningkatkan produktivitas unggas, meningkatkan kesehatan saluran pencernaan, meningkatkan imunitas dan memiliki karakterisitik ideal dan unggul sebagai probiotik BAL untuk unggas.

“Mikroen kapsulan probiotik ini kini sudah diproduksi berbasis standar kepentingan industri. Produktivitas dan stabilitasnya pun masih dapat ditingkatkan,” tukasnya. (IN)

KASUS PENYAKIT PENTING DI 2019 DAN PREDIKSINYA DI 2020

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Kejadian penyakit di 2019 pasca pencabutan AGP (Antibiotic Growth Promoter) di dalam pakan masih ditemukan tinggi, terutama untuk penyakit pernapasan dan pencernaan. Tahun ini benar-benar menjadi ujian berat bagi para pelaku insan perunggasan nasional, selain masalah tren harga LB (live bird) yang kerap berada di bawah HPP (harga pokok produksi), juga tantangan penyakit yang semakin kuat.

Berdasarkan pengalaman penulis, di sini akan dijelaskan review beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi sepanjang tahun 2019, baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Newcastle Diseases (ND)
Temuan kasus di lapangan untuk kejadian ND masih menjadi momok menakutkan dan penyebab kerugian utama pada ternak broiler dan layer. Seperti digambarkan dari data berikut pada 2019 ditemukan kejadian kasus ND sebesar 29%, terbanyak dibanding kasus lain. Data dihimpun dari Januari-Juli 2019 dengan total kasus penyakit sebanyak 357 laporan kasus, (sumber: Ceva 2019).

Grafik kematian kejadian ND pada broiler dimulai di umur 17 sudah ada peningkatan kematian dan puncaknya di umur 25 hari. Kerugian yang ditimbulkan dari ND selain kematian juga dari kualitas karkas yang rusak/merah dan kematian waktu tunggu di pemotongan.

Penyakit ND sudah sangat tidak asing bagi peternak, karena sudah sejak 1926 teridentifikasi ada di Indonesia dan virus ND yang bersirkulasi dikategorikan vvND (velogenic viscerotropic Newcastle Disease). Virus ini juga bisa menyerang mulai unggas usia muda hingga masa produksi dengan gejala klinis mulai munculnya kematian yang sering pada ayam muda atau mengakibatkan penurunan produksi telur pada layer.

Gejala yang muncul juga tergantung dari kekebalan ayam dan biasanya tergantung usia tantangan, kepadatan virus yang menantang dan jenis virus ND-nya. Berdasarkan publikasi ilmiah miller et all. (2014), menyebutkan bahwa virus ND yang bersirkulasi di Indonesia didominasi sub genotipe VIIi dan VIIh yang juga teridentifikasi di beberapa negara Asia (Malaysia, China, Kamboja dan Pakistan). Virus sub genotipe VIIi ini masih dekat kekerabatannya dengan virus ND yang bersirkulasi pada 1983-1990.

Virus ND genotipe VII mampu bereplikasi, mengakibatkan reaksi peradangan dan respon cytokine yang hebat di jaringan limfoid (limpa, timus dan bursa) dibandingkan genotipe V (herts 33) berdasarkan laporan Z. Hu et all. (2015).

Jika infeksi terjadi di masa produksi, “Cytokine storm” yang lebih hebat ini akan mengakibatkan ayam yang terinfeksi menunjukkan gejala... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2019).

Drh Sumarno
Head of AHS Central & Outer Island, PT Sierad Produce Tbk

PASCA FREE AGP, KONSEKUENSI REGULASI DAN UPAYA MENJAGA PERFORMA AYAM DENGAN PAKAN TERAPI

Penggunaan antibiotik dalam pakan masih diperbolehkan melalui pakan terapi yang penggunaannya harus sesuai aturan pemerintah. (Foto: Dok. Infovet)

Kebijakan penggunaan antibiotik dalam dunia peternakan dua tahun terakhir ini benar-benar menjadi tema dan trending topik yang selalu seru untuk dikupas lebih rinci dan detail. Tidak hanya berdampak terhadap perubahan pola strategi dalam menyusun formula pakan, namun juga startegi tata cara pemeliharaan termasuk sistem biosekuritinya.

Zaman telah berubah, waktu berganti dan strategi untuk bisa bertahan hidup dengan efisiensi terbaikpun mengalami penyesuaian. Titik-tolak perubahan ini terjadi seiring dengan penegasan implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada bagian kelima. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam Pasal 15 ayat 1. Kebijakan tersebut sesuai amanat Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Secara tersurat, esensi dari Permentan No. 14/2017 mengatur penggunaan antibiotik yang dicampur dalam pakan tidak lagi diperbolehkan. Kendati demikian, pencampuran antibitoik dalam pakan saat ini hanya boleh digunakan dengan resep dokter hewan dan dalam monitoring yang ekstra ketat. Berbeda dengan era sebelumnya dimana antibiotik masih diizinkan sebagai pemicu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP). Namun dengan adanya penegasan pemerintah terkait pelarangan penggunaan antibiotik, menjadi paradigma baru bagi industri peternakan khususnya untuk menyediakan produk-produk peternakan yang lebih ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Konsekuensi yang harus dihadapi dari hal tersebut terjadi tidak hanya di kalangan peternak, namun juga terjadi di semua stakeholder yang berhubungan dengan industri peternakan (feed mill, breeding farm, perusahaan obat hewan dan imbuhan pakan, perusahaan penyedia bahan baku pakan dan sebagainya). Sehingga tantangan kuman penyakit, baik virus ataupun bakteri harus disikapi dengan melakukan antisipasi lebih dini dan lebih serius dibandingkan sebelumnya. Jangan sampai bakteri menjadi kebal (resistant) terhadap berbagai jenis antibiotik, sehingga akan menjadi bom biologis yang membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia.

Isu Resistensi Antimikroba (AMR/Antimicrobial Resistance)
Pada Juli 2014 silam pernah diadakan pertemuan global “The Review on Antimicrobial Resistance” dimana dari hasil pertemuan tersebut menyatakan bahwa kasus infeksi bakteri yang kebal/resisten terhadap antimikroba meningkat sangat signifikan. Di Eropa dan Amerika Serikat saja lebih dari 50.000 nyawa hilang tiap tahunnya karena kasus resistensi ini pada kejadian infeksi sekunder bakteri penyakit malaria, HIV/AIDS dan TBC.

Dari pertemuan itu juga para ahli memperkirakan jumlah korban meninggal secara global di seluruh dunia mencapai sedikitnya 700.000 setiap tahun. Pada 2050, jumlah ini diprediksi naik mencapai 10 juta orang, jauh lebih tinggi dibandingkan korban meninggal akibat kanker, diabetes, kecelakaan lalu lintas, kolera, tetanus, measles, diarea dan kolera.

Dari total jumlah tersebut, korban terbesar sekitar 4 juta orang dari Afrika dan Asia. Bahkan prediksi biaya kesehatan untuk mengatasi kasus resistensi ini mencapai hingga 100 triliun dolar AS per tahun. Selain itu resistensi antibiotik juga turut meningkatkan risiko kematian yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya usia harapan hidup suatu negara.

• Konsekuensi di Kalangan Peternak
Terbukti semua peternak berbenah diri. Bagi para peternak yang mempunyai anggaran cukup, tidak tanggung-tanggung langsung menyulap kandangnya dari open house (kandang terbuka) menjadi semi closed house (tunel) bahkan full closed house (kandang tertutup) dengan evaporative cooling system.

Tantangan kuman dari luar bisa ditekan karena kandang dalam kondisi tertutup 24 jam, dimana hanya area inlet (tempat udara masuk) saja yang dibuka. Harapannya jumlah kontaminan bibit penyakit bisa di tekan seoptimal mungkin. Tidak hanya itu, di kalangan peternak yang masih menggunakan sistem kandang terbuka pun tidak mau kalah. Mereka mencari... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2019.

Oleh: Drh Eko Prasetio
Private Commercial Broiler Farm Consultant

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer