-->

Pentingnya Memilih Insulasi Kandang Ayam

Atap kandang memegang peranan vital dalam menyalurkan panas dari sinar matahari, di samping fungsi utamanya sebagai sarana peneduh dari panas dan hujan. (Sumber: Istimewa)

Suhu lingkungan yang relatif tinggi terutama di dataran rendah dan ketika memasuki musim kemarau rupanya masih menjadi kendala dalam usaha beternak ayam broiler komersil maupun ayam bibit (breeder) di Indonesia. Suhu di daerah tropis berkisar antara 22-39°C dengan rata-rata suhu tahunan 26,5°C.

Permasalahan tersebut jelas merugikan produksi dan perlu diatasi, yaitu dengan menekan suhu panas terutama pada tipe kandang terbuka (open house). Salah satu caranya ialah dengan menambah beberapa peralatan dalam kandang. Peralatan kandang yang perlu dilengkapi antara lain, insulasi atap kandang, kipas angin (blower fan), hujan buatan (roof springklers), hingga kipas kabut (fogger fan).

Insulasi atap (roof insulation) merupakan setiap bahan yang dapat mengurangi kecepatan perpindahan panas dari satu area ke area lain. Semua bahan bangunan memiliki nilai insulasi (insulantion value/R. value/thermal resistance). Saat ini, semua konstruksi bangunan kandang ayam dibuat dari bahan yang memiliki nilai insulasi. Kandang tertutup (closed house) harus memiliki insulasi, setidaknya untuk bagian atap. Hadirnya insulasi di bagian atap memberikan kenyamanan bagi ayam terutama di musim kemarau. Insulator dapat menurunkan suhu panas ekstrim dalam kandang, sebab ayam membutuhkan bantuan dalam menetralisir suhu tubuhnya.

Bahan baku yang memiliki kantong udara di dalamnya memiliki nilai insulasi yang lebih baik, sebagai contoh kayu memiliki nilai insulasi lebih baik dibandingkan dengan bahan dari beton. Standar nilai insulasi untuk iklim panas minimum enam (6), namun nilai ideal untuk atap dan pendingin adalah empat (4), sedangkan nilai insulasi ideal untuk dinding yakni dua (2). Berikut nilai insulasi (R. value) dari berbagai bahan bangunan.

Nilai Insulasi Berbagai Bahan Bangunan Kandang Ayam
Komponen Insulasi
Ketebalan (cm)
Tingkat Ketahanan (Resistance Rating)
Insulasi tiap ketebalan 2,5 cm
Blangket bat
2,5
3,70
Balsam wool
2,5
4,00
Serat sellulosa
2,5
4,15
Expanded polystyrene, molded (bread board)
2,5
3,50
Expanded polystyrene, extruded (styrofoam)
2,5
5,00
Urethane foam
2,5
6,60
Fiberglass (glass wool)
2,5
3,70
Palco wool (redwood fiber)
2,5
3,84
Rock wool (machine blown)
2,5
3,33
Foam glass
2,5
2,50
Glass fiber blanket
2,5
3,33
Mineral wool
2,5
2,37
Insulation board
2,5
2,37
Vermiculate (expanded)
2,5
2,05
Wood fiber
2,5
3,33
Sawdust or Saving
2,5
2,22
Straw
2,5
1,75
Bahan baku
(ketebalan sebagai indikasinya)

Ruang udara, horizontal
1,8+
2,33
Ruang udara, vertikal
1,8+
0,91
Asbes semen
0,3
0,03
Beton
20,3
0,61
Beton blok
20,3
1,11
Papan keras
0,6
0,18
Polywood
0,6
0,32
Polywood
1,2
0,63
Permukaan, dalam
-
0,61
Permukaan, luar
-
0,17
Siding, drop
1,9
0,94
Sheating
1,9
0,92
Methal siding
-
0,09
Glass, tunggal

0,61
Shingles, asbeton

0,18
Shingles, wool

0,78
Roofing (roll, 5,5 lb)

0,15
Vapor barrier

0,15
Sumber: North & Bell, 1990.

Sementara, untuk cara menentukan nilai insulasi pada dinding dan atap kandang berdasarkan tabel di atas, sebagai berikut.

Menentukan Nilai Insulasi Kandang Ayam

Uraian Insulasi
Nilai Insulasi
Permukaan luar
0,17
Methal siding (atap dari logam)
0,09
Ruang udara, vertikal
0,91
Fiberglass, tebal 5 cm
7,40
Polywood, tebal 0,6 cm
0,32
Permukaan dalam
0,61
Total nilai insulasi dinding
9,50

Adapun beberapa fungsi penting insulasi untuk daerah beriklim panas. Pertama, mengurangi tingkat kehilangan panas (the rate of heat loss). Kedua, mengurangi tingkat pemanasan langsung ke kandang selama musim kemarau. Ketiga, mengurangi tingkat penambahan panas pada musim kemarau. Keempat, mengurangi pengumpulan kelembaban di dinding dan permukaan pendingin, karena dinding dan permukaan pendingin tersebut relatif hangat.

Itulah sekilas mengenai pentingnya memperhitungkan peran insulasi dalam awal pembangunan kandang ayam, agar tidak menjadi masalah berkelanjutan yang merugikan. (SA)

Small Animal Acupuncture Class di Rumah Sakit Hewan Pendidikan FKH IPB

Kegiatan Small Animal Acupuncture Class (Foto: Istimewa)

Small Animal Acupuncture Class merupakan program yang dimiliki Chi Institute of Traditional Chinese Veterinary Medicine di Reddick, Florida, USA. Program tersebut merupakan pelatihan pengobatan akupuntur untuk small animal.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan pelayanan kesehatan hewan di wilayah Asia Pasifik, Chi Institute mengembangkan program Small Animal Acupuncture Class di beberapa negara seperti China, Taiwan, Korea, Jepang, dan Indonesia. Program Small Animal Acupuncture Class ini terdiri dari 5 sesi yang dijalankan secara online dan onsite.

Di Indonesia, sesi 1-2 onsite telah dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali. Dilanjutkan dengan sesi 3-4 onsite yang bertempat di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sedangkan sesi 5, yang disertai dengan ujian tertulis dan lisan, bertempat di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Small Animal Acupuncture Class sesi 4 terlaksana di Rumah Sakit Hewan Pendidikan FKH IPB pada  12-14 Desember 2018. Pada sesi ini, diikuti 18 orang peserta dokter hewan yang berasal dari 6 negara yaitu Indonesia (6 orang), Malaysia (6 orang), Singapura (3 orang), Filipina (1 orang), India (1 orang), dan Hong Kong (1 orang).

Foto bersama peserta

Sesi 4 terdiri dari kegiatan seminar (review sesi 1-4 online) dan workshop (canine point lab) yang berlangsung selama 3 hari. Pada hari terakhir, para peserta juga diperkaya dengan beberapa contoh kasus klinis yang dapat ditangani dengan akupuntur maupun modalities yang lain seperti herbal medicine, tui na massage dan food therapy.

Ketua PB PDHI (kiri) beri sambutan

Acara berlangsung dengan lancar dan sukses. Kegiatan hari pertama dibuka oleh Ketua PDHI Cabang Jawa Barat II, Drh Soenarti D. Waspada, MS, MARS dan Direktur Eksekutif RSHP FKH IPB, Prof Drh Deni Noviana, PhD, DAiCVIM. Pada hari ketiga, peserta juga dikunjungi oleh Ketua PB PDHI, Drh M. Munawaroh, MS yang sekaligus memberikan sertifikat kepada para peserta. (INF)

Kementan Targetkan Produksi 119,8 Ton, Asosiasi Petani Jagung Optimis


Target 119,8 ton Pajale (padi, jagung, dan kedelai) pemerintah mendapat dukungan dari Solahudin, Ketua Asosiasi Petani Jagung. Solahudin meyakini target itu akan tercapai pada tahun 2019.

"Pada dasarnya kami sepakat dengan pemerintah bahwa target itu harus jelas dan dicapai. Maasalah nanti di lapangan kurang tercapai karena faktor tikus atau faktor alam, itu kan kondisi alam. Tapi kalau berbicara tahun ini saya yakin tercapai," kata Solahudin, Senin (17/12/2018).

Menurut Solahudin, tidak banyak yang bisa memahami pemikiran Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terkait target pemerintah itu.

"Sebab yang memahami pemikiran pak Amran selaku menteri ini belum banyak. Beliau ini luar biasa, dia single fighter dalam melakukan perlawanan pada serangan musuh, dia masih perang sendirian," kata Solahudin.

Karena itu, dia mengharap masing-masing pihak duduk bersama dan berpikiran dewasa mendiskusikan permasalahan yang ada. Banyaknya kritik yang masih diterima pemerintah, sebaiknya disikapi sesuai dengan motto Presiden Jokowi : Kerja, Kerja, Kerja.

Solahudin berpendapat, keberhasilan dan pencapaian pemerintah bisa dinilai dari luasan pertanaman dengan luasan panen, dikalikan dengan produksi. Adanya luasan panen yang dianggap mark up karena tidak ada lahannya, menjadi tugas BPS sebagai institusi yang mengeluarkan data.

"BPS juga harus bisa mempertanggungjawabkan karena Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementan juga menggunakan data BPS. Kalau saya, selaku petani meyakini 100 persen keberhasilan pemerintah," kata Solahudin.

(Sumber: finance.detik.com)

Gambaran Dinamika Penyakit Unggas 2019

Penanganan penyakit menjadi kunci sukses usaha budidaya unggas. (sumber: Google)

Penyakit merupakan satu dari banyak tantangan yang akan terus merintangi usaha budidaya ternak. Perkembangan penyakit unggas di lapangan sangat dinamis dan terkadang sulit ditebak, bagaimana kira-kira prediksi penyakit unggas di 2019? Tentu akan sangat menarik untuk dicermati.

Hari berlalu tahun berganti, namun penyakit-penyakit unggas tetap terus menghantui. Jika budidaya ternak diibaratkan sebagai perang, penyakit merupakan musuh yang paling pantang menyerah dalam meneror usaha budidaya. Bagaimana tidak?, walaupun di kandang ayam terlihat sehat secara kasat mata, bisa jadi kondisi ayam tidak sepenuhnya sehat, oleh karenanya kewaspadaan diperlukan agar peternak tidak kecolongan.

Ngorok yang Tak Pernah Usai
Ada suatu kutipan dalam bahasa Inggris yang berbunyi, “nothing last forever”. Mungkin kutipan tersebut kurang tepat untuk beberapa jenis penyakit unggas. Pasalnya, beberapa penyakit unggas justru “long lasting forever”. Sebut saja penyakit CRD (Chronic Respiratory Disease), Coryza dan Colibacillosis. Entah bagaimana penyakit-penyakit tadi sangat betah menebar teror kepada para peternak di Indonesia.

“Setiap kandang dengan sistem open house pasti pernah kena CRD atau Coryza apalagi Colibacillosis, saya yakin banget,” ujar Prof I Wayan Teguh Wibawan, dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB sekaligus praktisi perunggasan. Menurutnya, CRD adalah penyakit “langganan” yang sudah mendarah daging di sektor perunggasan Indonesia.

Prof Wayan menegaskan, penyakit-penyakit tadi sangat sulit dieradikasi karena memang bukan hanya terkait dengan si agen infeksi, tetapi juga perkara manajemen pemeliharaan. “Sekarang begini, kita semua tahu bahwa negara ini kondisi iklimnya sangat mendukung untuk siklus hidup mikrobiologi patogen, tapi karena faktor kita yang lengah dan tidak peduli, siklus penyakit jadi sulit diputus, oleh karenanya kita juga harus eling bahwa kita jangan betah diteror penyakit,” ucap dia.

Yang kadang peternak luput adalah, penyakit-penyakit di atas tadi adalah pintu gerbang bagi agen patogen lainnya untuk masuk ke dalam kandang. “Kalau mereka sudah berkolaborasi, baru tuh mereka kalang-kabut kelabakan, saya sering banget ditanya harus seperti apa,” ungkap Prof Wayan.

Berkaitan dengan ketiga penyakit tadi, Prof Wayan merekomendasikan agar peternak tidak memaksakan diri dalam mengisi kandang. Artinya, ketika harga bagus peternak seringkali mengisi kandang overload, sehingga kandang terlalu padat, sirkulasi udara buruk dan kadar amoniak terlalu tinggi. Amoniak tadi akan mengiritasi ayam di dalam kandang terus-menerus dan menyebabkan peradangan pada slauran pernafasan. Dari situ mikroba patogen akan mengambil alih dan memperparah peradangan tersebut.

“Perbaiki cara pemeliharaan juga, ini berpengaruh. Mindset jangan hanya keuntungan saja, selain itu patuhi istirahat kandang. Jangan ketika harga (ayam) sedang oke, kandang dipaksa berproduksi terus, gawat itu,” tukas Prof Wayan. Menurut dia, apabila manajemen pemeliharaan yang buruk tetap dipertahankan, penyakit-penyakit tersebut di atas akan terus eksis sampai kapanpun.

Dampak Pelarangan AGP
Sejak diberlakukannya Permentan No. 14/2017 tentang pelarangan antibiotik sebagai imbuhan pakan, pro dan kontra di lapangan terus terjadi. Beberapa pihak mengklaim bahwa pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor) membuat ayam menjadi rentan terhadap penyakit, namun ada juga yang menganggap pelarangan penggunaan AGP tidak banyak membawa pengaruh pada kesehatan ayam.

Darmawan, peternak kemitraan asal Tuban, ketika ditemui Infovet menyatakan, sejak pelarangan AGP kandangnya sangat sulit untuk perform. “Sekarang beda, enggak pakai antibiotik ayam jadi mudah sekali mencret, sudah begitu tingkat kematiannya juga lumayan kalau enggak kita upayakan,” tutur Darmawan.

Hal senada juga diutarakan Jarwadi, salah satu peternak layer asal Lamongan. “Nyekrek dan mencret-nya jadi lebih sering, produksi telur juga turun entah mengapa, mungkin karena pakan non-AGP, yang jelas sekarang peternak harus punya lebih banyak jurus untuk menghadapi hal-hal seperti itu,” ucap Jarwadi.

Sementara, Pakar Kesehatan Unggas dan Konsultan Perunggasan, Tony Unandar, juga angkat bicara mengenai pelarangan AGP. Menurut Tony, ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman Koksidiosis. “Banyak yang bilang ke saya kalau semenjak pakan tidak diberi AGP, Koksidiosis marak terjadi. Sudah banyak yang konfirmasi juga ke laboratorium, kalau itu benar Koksidiosis,” ujar Tony.

Ia melanjutkan bahwa ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

Sukses Bisnis dan Keluarga (Refleksi Bambang Suharno)



Kalau keluarga rukun dan damai,  pekerjaan  dan usaha apapun (jika ditekuni)  pasti akan jadi maju dan berkembang (Pepatah Tiongkok)

Beberapa waktu lalu, saya menerima sebuah buku yang sangat bagus langsung dari sang tokoh yang ada di dalam buku tersebut. Judulnya “A Photo Story of Jonas & Amalia”. Di bagian bawahnya ada subjudul  “Success is a healthy business owned & guide by a harmonious family”.

Ini adalah buku biografi pendiri Medion, Jonas Jahja, yang bersama istri tercinta Amalia, berhasil membangun sebuah perusahaan yang berangkat dari bawah dan kini menjadi pemain global, menjadi salah satu kebanggaan Indonesia.

Sebuah kehormatan bahwa saya diberi kesempatan ikut memberikan pengantar dalam buku tersebut. Setelah melihat keseluruhan buku yang sudah dicetak, saya merasa kata pengantar yang saya susun kurang mengungkap kesan mendalam yang dapat menjadi pelajaran bagi diri saya dan pembaca.  Itu sebabnya saya tergerak untuk menulis refleksi dari perjalanan sukses Jonas dan Amalia.

Buku setebal 256 yang dicetak full color ini bercerita tentang kisah Jonas dan Amalia sejak kecil hingga buku ini terbit dalam bentuk photostory. Di sini tampak bahwa baik Jonas maupun Amalia adalah dua orang yang tekun dan teliti dalam menyimpan dokumen berupa foto maupun catatan penting.  Pastinya tidak mudah bagi generasinya dengan teknologi yang terbatas mampu menyimpan semua dokumen di momen-momen yang penting dalam perjalanan hidup. Dapat dipastikan bahwa foto-foto itu dipilih dari sekian banyak foto yang terkumpul sepanjang perjalanan hidup.

Liem Gin Hay atau Jonas Jahja dilahirkan dalam keluarga sederhana di kota Indramayu, Jawa Barat, 30 Januari1945. Orang tuanya Liem Seng An dan Oey Loan Kiauw saat itu memiliki toko kelontong dan usaha cor alumunium, sebagai penopang hidup Jonas dan kedua adiknya Liem Gin Houw serta Liem Gin Hap.

Sejak kecil, Jonas mempunyai hobi membaca dan bercita-cita untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Hingga sekarang pun ia masih terus belajar, minimal 2 buku dibaca tiap minggu.  Pelajaran penting bagi kita, belajar semestinya memang tiada henti sepanjang hayat. Amat sangat wajar bahwa Jonas mendapat gelar Doctor Hounoris Causa dari Undip beberapa bulan lalu

Saat mulai berumah tangga, Jonas dan Amalia memulai hidup dengan serba sederhana. Penghasilan dari pekerjaan Jonas sebagai Detailer obat manusia tidaklah memadai.
Maka Jonas merangkap juga menjadi seorang Apoteker di Apotek Kencana Purwakarta. Dan Amalia mencoba memelihara 50 ekor ayam negeri, yaitu ayam telur jenis leghorn dengan telur berwarna putih, di belakang rumah.

Awal usaha memelihara ayam ini cukup menguntungkan.  Suatu hari, ayam peliharaan Amalia terserang berak darah (coccidiosis). Saat itu obat untuk ayam mahal, karena yang tersedia di pasaran adalah obat-obat impor. Obat yang tersedia di toko ayam (Poultry Shop) umumnya dalam kemasan besar.

Berbekal ilmu farmasi yang dimiliki Jonas, timbul ide untuk membuat obat sendiri, dengan mencontoh obat-obatan yang ada di pasaran. Ternyata obat hasil racikan Jonas ini mampu menyembuhkan ayam yang terserang penyakit berak darah (coccidiosis). Keberhasilan ini menjadi inspirasi Jonas untuk memulai usaha obat ayam.

Sekitar tahun 1972, Jonas mulai menitipkan produk ke Poultry Shop di jalan Jamika Bandung. Dua minggu kemudian toko ini memesan kembali obat buatan Jonas.. Hasil positif ini menimbulkan semangat untuk mencoba menjual ke toko-toko lain di kota Bandung.

Inilah awal bisnis Jonas mulai bergerak.   Saat awal merintis semua dilakukan sendiri oleh Jonas, mulai dari membuat obat sampai menjualnya. Kalau ke kota yang dekat, dijangkau dengan Vespa, kalau kota yang lebih jauh dikunjungi dengan bus malam.

Penjualan terus meningkat, sarana produksipun perlu ditingkatkan.

Disebutkan bahwa hal penting yang diterapkan oleh Jonas dan Amalia selama proses merintis bisnis, adalah (1) Kerja keras dan Percaya diri, (2) Hidup sederhana dan hemat, (3) Tidak berhutang ke Bank, (4) Memberikan keteladanan (disiplin dan terus belajar), (5)  Dekat dengan Pekerja, (6) Dekat dengan Pelanggan

Sekitar tahun 1982, Jonas membentuk struktur organisasi yang sederhana, terdiri dari beberapa kepala bagian dan staf.  Ini adalah awal dimulainya sistem manajemen perusahaan.

Pada tahun 1987, Jonas membeli lahan di Cimareme-Padalarang untuk perluasan lokasi industrinya.  Selanjutnya tahun 1993, sudah mampu memproduksi vaksin sendiri.

Tahun 1995, dimulai dengan melakukan survai  ke negara-negara tetangga.  Hingga akhirnya pada tahun 1997 vaksin mulai masuk ke Malaysia, disusul kemudian China, Vietnam dan Filipina.

Memasuki tahun 2000, anak-anak Jonas dan Amalia mulai terlibat dalam pengembangan bisnis. Inilah dimulainya babak baru memasuki era milenial. Masuknya generasi kedua dalam bisnis membawa banyak perubahan dalam sistem management dan teknologi. Antara lain tahun 2007 mendapat sertifikasi ISO 9001 : 2008 tentang Sistem Manajemen Mutu.

Mitos bisnis keluarga bahwa Generasi Pertama membangun, Generasi Kedua menikmati, Generasi Ketiga menghancurkan, tidak dipercaya oleh Jonas dan Amalia. Bagi mereka selama prinsip nilai-nilai yang melandasi dalam hidup bisa diwariskan dengan baik, maka mitos itu bisa dipatahkan.

Pengakuan atas pengabdian dan prestasi Jonas datang dari berbagai penjuru. Universitas Diponegoro awal tahun 2018 memberikan gelar Doctor Honouris Causa, Ikatan Apoteker Indonesia pada kongres dan konferesi ilmiah IAI April 2018 memberikan penghargaan Entreprenership Award, Kementerian Pertanian memberikan penghargaan sebagai perusahaan eksportir dan sebagainya.

Seperti pepatah Tiongkok,  Kalau keluarga rukun dan damai,  pekerjaan  dan usaha apapun (jika ditekuni)  pasti akan jadi maju dan berkembang. ***

Bambang Suharno, Infovet


Pengusaha Pakan Ternak Ganti Jagung dengan Umbi-umbian

Foto: wattagnet


Harga jagung yang masih tinggi, membuat para pengusaha paka ternak mengambil langkah lain dengan menggunakan bahan baku karbohidrat lain seperti singkong dan umbi-umbian.

Hal tersebut dikemukakan Vice President Feedtech PT Charoen Pokpand Indonesia, Dr Desianto Budi Utomo, seperti dilansir dari laman finance.detik.com.

Desianto mengatakan pengurangan jagung untuk bahan baku pakan ternak sudah dilakukan sejak awal tahun. Langkah ini dilakukan seiring harga jagung yang naik dari Rp 3.500/kilogram (kg) menjadi Rp 6.000/kg.

Dia menjelaskan pengurangan jagung tersebut sebesar 35-40%. Sebelumnya jagung digunakan 50% dalam pakan ternak. "Pemakaian terbatas mungkin 35% sampai 40%. Biasanya itu 50% kita pakai," ujarnya di Jakarta, Kamis (13/12/2018).

Pihaknya mengaku akan menggunakan kembali komposisi jagung sebanyak 50%, apabila pasokan dan harga telah kembali normal. (NDV)

Kasus Penyakit Penting di Tahun 2018

Salah satu penyakit CRD kompleks yang diikuti oleh infeksi E. Coli.

Fenomena kejadian penyakit di tahun 2018 relatif meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini dilatarberlakangi juga oleh kondisi challenge penyakit yang tinggi disebabkan bibit penyakit yang semakin berkembang dan kompleks. Penyakit kekinian seperti Inclusion body hepatitis (IBH) mejadi catatan spesial dimana penyakit ini secara valid dan terbukti menyerang pada umumnya ayam broiler dengan diagnosa final melalui histopatologi.

Berdasarkan pengalaman penulis, disini kami akan membagikan beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi di tahun 2018 baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Chronic Respiratory Diseases (CRD)
Mycoplasmosis terutama yang disebabkan oleh Mycoplasma Gallisepticum (MG) merupakan ancaman yang nyata dan sangat berperan dalam gangguan sistem pernapasan ini. Kuman MG yang menempel di silia sel pernafasan akan mengeluarkan endotoksin kemudian melemahkan sistem mukosiliaris. Sumber kontaminasi MG di broiler farm terutama dari burung liar, mobilitas pekerja kandang, kendaraan yang terkontaminasi serta DOC yang terkontaminasi akibat infeksi vertikal dari induknya. Sejatinya Mycoplasma mudah mati dalam lingkungan dengan temperatur tinggi, kadar oksigen yang tinggi, kelembaban yang relatif rendah, dan hampir semua jenis desinfektan mampu membunuhnya. Tetapi kondisi ventilasi kandang yang jelek akan mengakibatkan kelembaban udara dan kadar amonia dalam kandang akan meningkat dan konsekuensinya adalah tekanan oksigen akan menurun. Hal ini yang menyebabkan Mycoplasma yang sudah berada di permukaan sel pernafasan akan berkembang biak dengan cepat dan menggangu sistem mukosiliaris sehingga rentan akan munculnya infeksi sekunder.

Kontrol yang paling tepat untuk meminimalkan munculnya kasus pernafasan yang dipicu oleh MG adalah melalui kedisiplinan pelaksanaan program sanitasi, pemilihan DOC yang minim kontaminasi MG dan didukung dengan pengaturan ventilasi atau tatalaksana kandang yang berhubungan dengan kecukupan oksigen di kandang. Program kontrol di broiler dengan antibiotik khusus untuk MG merupakan pilihan terakhir dan program sebaiknya didasarkan dengan melihat status MG di DOC yang diterima pada saat kedatangan. Untuk memudahkan kontrol, sangat disarankan memilih DOC yang induknya sudah divaksin dengan vaksin MG live.

Infectious Bronchitis
Dari berbagai faktor di atas, ada beberapa faktor pencetus utama yang sering dijumpai dan menyebabkan integritas sistem kekebalan mukosiliaris ini terganggu antara lain kadar amonia dan debu yang berlebih, infeksi kuman Mycoplasma terutama Mycoplasma Gallisepticum, infeksi virus Infectious Bronchitis dan reaksi pasca vaksin pernafasan seperti ND dan IB live.

Inclusion Body Hepatitis (IBH)
IBH menjadi momok yang menakutkan bagi para peternak, hakekat penyakit ini mirip dengan IBD tetapi lebih hebat dampaknya terhadap mortalitas dan perubahan organ kekebalan tubuh. Kematian yang disebabkan oleh IBH bisa terjadi lebih awal di umur 15 hari dan dapat diperparah oleh kondisi ventilasi yang buruk. Manifestasi fase dini IBH biasanya ada pembengkakan ringan organ...


Drh Sumarno
Manager AHS, PT Sierad Produce, TBK


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

Hindari Stres Hewan, Hasilkan Daging Berkualitas Prima

Kegiatan Pelatihan Manajemen dan Sistem Penjaminan Mutu RPH Ruminansia di Fakultas Peternakan IPB.

Status fisiologis hewan yang akan disembelih, sangat berpengaruh pada kualitas daging yang dihasilkan. Oleh karenanya, penanganan yang tidak welfare pada saat sebelum dan selama proses penyembelihan akan menimbulkan stres dan mengaktifasi sistem simpatis.

Menurut pengajar FKH IPB Supratikno, dalam Pelatihan Manajemen dan Sistem Penjaminan Mutu RPH Ruminansia yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) di Bogor, Selasa (11/12/2018) lalu, pada saat stres, darah akan lebih banyak dialirkan ke otak dan otot rangka dan sistem simpatis akan bekerja mengkonstrisikan buluh darah.

“Jika hewan dalam kondisi ini disembelih maka proses kematiannya menjadi lama, hewan meronta-ronta sehingga daging menjadi memar serta darah banyak tertinggal di dalam daging,” kata Supratikno.

Pada hewan yang stres kronis berkepanjangan, maka cadangan glikogen otot sangat sedikit sehingga proses pembentukan asam laktat sangat sedikit dan PH daging tetap tinggi menyebabkan daging menjadi dark, firm dan dry (DFD).

Supratikno menjelaskan, hewan yang stres akut sesaat sebelum disembelih akan terjadi pemecahan glikogen yang tinggi lalu menyebabkan pembentukan asam laktat dan penurunan PH terlalu cepat di jam pertama setelah penyembelihan.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil sembelihan dengan kualitas yang prima, maka prinsip-prinsip kesejahteraan hewan dalam proses penangangan hewan yang akan disembelih harus diterapkan secara benar. Hindari hewan mengalami stres saat sebelum disembelih, sehingga dihasilkan daging yang berkualitas tinggi. (AS)

AFFAVETI Dorong Dokter Hewan Bijak Gunakan Antibiotik

Foto bareng seminar AFFAVETI, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (12/12). (Foto: Infovet/Ridwan)

“Peran Dokter Hewan dalam Membangun Ketangguhan Industri Peternakan Modern” menjadi tema yang diangkat dalam seminar yang dilaksanakan Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia (AFFAVETI), Rabu (12/12), di Bogor, Jawa Barat.

Drh Min Rahminiwati, Ketua Affaveti, mengemukakan, peran AFFAVETI saat ini khususnya di era pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor) guna mendorong kompetitif industri peternakan melalui penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab, gencar melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai bijak antibiotik kepada para kolega dokter hewan di Indonesia.

“Kami berupaya merasionalisasi penggunaan antibiotik dan mendorong dilakukannya eksplorasi bahan berkhasiat atau bahan alam yang bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya sebagai antibiotik baru atau sebagai pengganti untuk AGP,” ujarnya saat memberikan materi presentasi mengenai peran AFFAVETI.

Sebab saat ini, akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dikhawatirkan menimbulkan efek residu antimikroba (AMR) yang kini menjadi isu global. Oleh karena itu, Rahminiwati menekankan, keamanan dan efektivitas antibiotik perlu diperhatikan khususnya oleh dokter hewan.

“Penggunaan antibiotik itu harus aman dalam hal penanganan residu dan efektif, diantaranya sesuai target, tepat dosis dan pemberian, serta cukup dalam waktu pemberiannya. Saya yakin dokter hewan paham sekali dengan prinsip-prinsip ini,” jelas dia. Ia pun menegaskan, AFFAVETI siap terjun membantu memberikan edukasi terkait antibiotik dan penanggulangan AMR.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Pehimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh M. Munawaroh. Menurutnya, dokter hewan memiliki peran penting dalam mensosialisasikan penggunaan antibiotik secara nasional.

“Itu merupakan tugas kita bersama. Kita ajak kolega dokter hewan untuk menggunakan antibiotik secara profesional dan bijak. Sebab pangan asal hewan itu harus bebas dari residu,” kata Munawaroh.

Kendati demikian, menurut Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Drh Ni Made Ria Isriyanthi, penggunaan antibiotik dalam pakan ternak masih diperbolehkan. Aturan tersebut tertuang dalam Petunjuk Teknis Obat Hewan dalam Pakan untuk Tujuan Terapi (medicated feed).

“Aturan tersebut dapat menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan pencampuran obat hewan ke dalam pakan dengan pengawasan ketat oleh dokter hewan di lapangan,” ujar Ria.

Dalam seminar sehari tersebut, Ria juga turut memberikan pemaparan mengenai dasar teknis dan aturan penggunaan antibiotik serta obat hewan. Adapun narasumber lain diantaranya, Dr Iskandarsyah (Fakultas Farmasi UI), Dr Drh Agustina Dwi Wijayanti (FKH UGM), Prof Lazuardi (FKH Unair) dan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan. Di sela-sela acara juga dilakukan pengukuhan pengurus AFFAVETI oleh Ketum PDHI. (RBS)

Menunggu Rekomendasi Terbaru Pakan Broiler Modern: "Tepat dan Semakin Menguntungkan"

Suasana seminar USSEC. (Foto:Infovet/Untung)

Sudah hampir lebih dari 20 tahun, tidak adanya rekomendasi tentang komposisi pakan (ransum) untuk ayam broiler. Rekomendasi terakhir yang sampai saat ini masih banyak menjadi acuan dan bahkan menjadi pedoman adalah hasil National Research Council (NRC) tahun 1994 silam.

Sedangkan beleid tentang hal itu keluar untuk pertama kali pada tahun 1957. Selama ini sebenarnya ada beberapa institusi yang menghasilkan dan mengeluarkannya. Sebut saja, pabrik asam amino, perusahaan bibit ayam, konsultan independen dan NRC. Lembaga NRC adalah yang saat ini paling banyak ditunggu-tunggu.

Jika beberapa waktu yang lalu sampai 2018 ini, referensi sebagai pedoman untuk menyusun ransum pakan oleh pihak pabrikan hampir selalu mengacu terhadap rekomendasi NRC tahun 1998. Maka menurut Budi Tangendjaja, Peneliti Balitnak, kemungkinan besar akhir 2018 atau setidaknya pada awal 2019, NRC akan segera mengeluarkannya. Sebab saat ini ayam broiler modern sudah saatnya juga memiliki dan memakai komposisi ransum yang termutakhir. Demikian inti paparannya saat tampil dalam Konferensi Teknologi Pakan dan Nutrisi Broiler Indonesia, yang dilaksanakan 11-12 Desember 2018, di Hotel Hyatt Regency Yogyakarta.


Kegiatan tersebut memberikan kesempatan kepada para pakar pakan ternak, khususnya konsultan dari USSEC (US Soybean Export Council)Dalam panel diskusi itu dibahas tentang perkembangan dan kemajuan teknologi pakan broiler. Acara yang diselenggarakan oleh USSEC itu diikuti hampir 100 orang, yaitu para nutrisionis lapangan (pengelola farm komersial) hingga nutrisionis feedmill, akademisi dan para peneliti pakan ternak.

Budi Tangendjaja juga menguraikan tentang sejarah ramuan pakan unggas. Ia yang juga Konsultan USSEC Indonesia, mengungkapkan bahwa ayam broiler sangat cepat mengalami perubahan kemajuan. Otomatis, ransumnya harus mengikuti. Memang benar, meskipun faktor dominan terhadap pertumbuhan berat badan ayam broiler adalah "genetik".

"Namun demikian, aspek pakan juga tak bisa bersikap konservatif, artinya harus berada tepat dbelakang perkembangan kemajuan genetik," jelasnya.

Menurut dia, kebutuhan asam amino jenis Lysin pada ayam broiler modern sangat penting. Ini dibuktikan dengan proporsi asam amino itu dalam ransum pakan berpengaruh kuat terhadap kecepatan pertumbuhan.

"Selain itu, pertumbuhan yang cepat mempunyai korelasi positif terhadap efisiensi produksi. Oleh karena itu, di massa milenial ini, broiler modern mutlak butuh ransum baru yang dapat mengikuti kecepatan pertumbuhannya," pungkasnya. (iyo)

Konferensi U.S. Soyben Export Council Kupas Nutrisi Produksi Ayam Broiler

Acara konferensi USSEC

Perkembangan ayam broiler yag sangat cepat mengakibatkan perubahan manajemen dan kebutuhan nutrisi ayam. Manajemen dan pemberian nutrisi pakan ini berpengaruh pada produktivitas dan kesehatan ayam.

“ Produktivitas maksimal pada ayam broiler dapat tercapai apabila segala aspek berjalan dengan bagus seperti manajemen, genetika, kesehatan dan nutrisi ayam,” tutur Dr Gonzalo Mateos, Professor of Animal Science University of Madrid Spain, pada acara “Broiler Nutrition and Feed Technology Conference” di Hyatt Regency Yogyakarta, Selasa (11/12/2018).

Mateos menambahkan bahwa selain memperhatikan kandungan nutrisinya, bentuk partikel pakan penting juga diperhatikan. Hal ini akan berkaitan dengan daya pencernaan ayam. 

Dalam salah satu materinya, Dr Budi Tangendjaja, Technical Consultant U.S. Soyben Export Council (USSEC) Indonesia, juga menjelaskan bahwa rekayasa nutrisi pada ayam broiler baik dalam mengurangi biaya dan peningkatan produksi. 

"Produktivitas yang maksimum dengan biaya yang ekonomis harus diutamakan pada peternakan saat ini,"  tegas Budi.

Konferensi ini diselenggarakan USSEC selama 2 hari dengan rangkaian acara materi dari para pakar serta diskusi panel. Acara diikuti oleh berbagai stakeholder peternakan, baik dari sisi praktisi, perusahaan dan akademisi. (AS)

Desa Susu, Peternakan Sapi Perah Modern Pertama di Indonesia



Peternak di Desa Susu tengah mengerjakan Milking Parlour System dengan mesin modern. (Foto: Istimewa)

Selasa, 11 Desember 2018, Infovet berkesempatan mengunjungi Desa Susu (Dairy Village) yang terletak di kawasan Ciater, Subang Jawa Barat. Lokasi ini merupakan pusat produksi susu sekaligus peternakan sapi perah pertama di Indonesia yang menggunakan sistem modern, serta terintegrasi.

Desa Susu dibangun sebagai pembuktian komitmen Frisian Flag Indonesia (FFI) dalam menjawab tantangan peternakan sapi perah sekaligus untuk memberdayakan peternak sapi perah lokal Indonesia.

Bekerjasama dengan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat, yang lahannya disewakan oleh PTPN VIII, Desa Susu mencerminkan dukungan terhadap perusahaan dari Pemerintah Indonesia dalam memenuhi swasembada susu pada tahun 2025.

Peresmian Desa Susu di Ciater, Selasa (11/12/2018).

Selama ini peternak lokal masih menggunakan teknik sederhana dalam mendorong produksi susu dari sapi yang diternaknya. Alhasil jumlah produksi susu hanya mencapai rata-rata 12,5 liter sehari.

Dedi Setiadi (Foto: Infovet/NDV)
"Saya berharap ketika kita memiliki peternakan modern seperti ini Dairy Village, produksi susu tidak hanya 10-12 liter, tapi bisa 15-20 liter sehingga pendapatan peternak sapi Indonesia meningkat," ujar Ketua Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Dedi Setiadi di sela-sela peresmian Dairy Village.

Dalam kesempatan yang sama, Dairy Development Manager dan FDOV Project Manager FFI, Akhmad Sawaldi mengungkapkan nilai investasi Dairy Village mencapai Rp 16 miliar dimana 40 persen didukung Pemerintah Belanda, sisanya oleh Frisian Flag dan KPSBU Lembang.

Berdiri di atas lahan seluas satu hektar, lanjut Akhmad, Desa Susu memiliki fasilitas berupa kandang sapi, rumah perah untuk 12 ekor sapi, tangki pendingin susu, mesin perah modern, traktor, truk, dan alat pemisah kotoran sapi. Menggunakan teknologi terkini, Desa Susu ditujukan sebagai bisnis di sektor peternakan.

"Nantinya para peternak lokal mendapatkan manfaat ganda dengan bekerja di Desa Susu ini, yakni mendapat gaji dan bagi hasil produksi susu dari sapi perah yang diternaknya di sini dan tiap tahun dievaluasi berapa keuntungannya selanjutnya dibagi sesuai jumlah sapi mereka,” ujarnya.  

Akhmad mengaku, pihaknya menetapkan aturan yang ketat bagi peternak lokal yang ingin bergabung di Desa Susu ini. Beberapa syarat disebutkannya, antara lain terdapat tahap seleksi melalui interview, peternak lokal memiliki pengalaman kurang lebih selama lima tahun, berusia di bawah 30 tahun, dan memiliki sekurang-kurangnya 3-4 sapi.

“Adanya evaluasi tiap tahun, peternak yang bergabung juga menikmati kesejahteraan dengan memberikan kemudahan permodalan sehingga kepemilikan sapi bisa bertambah menjadi delapan ekor sapi dari yang asalnya hanya tiga sapi,” lanjutnya.

Presiden Direktur FFI, Maurits Klavert berharap percontohan produksi susu sapi berbasis peternakan rakyat ini mampu menjadi pemicu bagi gairah dunia peternakan lokal dalam meningkatkan produksi.

“Di Dairy Village, peternak sapi perah akan mempelajari praktik peternakan secara intensif, yng bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi susu perah,” tutup Maurits. (NDV)
                                                                                                                                                                               





Saatnya Menata Industri Perunggasan

Sektor perunggasan butuh regulasi yang tepat agar usaha budidaya yang dilakukan oleh peternak mandiri dan korporasi tidak berbenturan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Lima tahun terakhir, problem utama industri perunggasan Nasional adalah over supply bibit (DOC) broiler. Dampak dari problem tersebut sudah nyata dan mudah dibuktikan, dari hancurnya harga broiler hidup (LB) dan telur ayam ras karena imbas masuknya telur breeding, hutang para peternak yang menumpuk, hingga peternak broiler yang “gulung tikar”. Itu dalam skala usaha UMKM dan UKM. Dalam skala perusahaan besar dan profesional juga terjadi, dari akuisisi aset-aset perusahaan peternakan, hingga kolapsnya perusahaan-perusahaan obat hewan di industri hilir perunggasan Nasional.

Kini, problem over supply bibit sudah mulai terlewati, terlihat dari anjlok dan meroketnya harga broiler dan telur yang sifatnya sangat temporal dan lebih cenderung dipengaruhi faktor permintaan atau konsumsi masyarakat terhadap produk unggas. Saat musim libur dan bulan “baik” permintaan tinggi dan harga terkerek jauh di atas harapan stakeholder. Saat momen akhir bulan, bulan Suro dan Sapar, permintaan ayam dan telur sepi, sehingga harga turun. Jika menelaah historikal data penurunan harga ayam dan telur juga terlihat tidak drastis, cenderung moderat.

Pada 2019 mendatang, problem di industri ini adalah soal in-efesiensi sebagai dampak kenaikan nilai tukar rupiah dan harga jagung dalam negeri yang berkibar di level tinggi, yakni Rp 5.600 per kg. Bagaimana bisa sektor budidaya melakukan efesiensi untuk mengurangi biaya produksi, sementara faktor biaya pakan terus meningkat? Padahal variabel pakan berkontribusi yakni sebesar 70 persen dari biaya produksi. Perlu dipahami, dalam skala tertentu, khususnya ketika harga jual ayam dan telur jatuh, peternak sebagai pembudidaya pasti akan berteriak keras. Seperti terjadi beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh peternak layer di Blitar dan kota-kota lain. Protes terhadap tingginya harga jagung, mereka salurkan dengan berdemonstrasi di daerah masing-masing dan mengancam demo besar-besaran di Istana Negara. Meskipun dalam waktu tidak terlalu lama, tuntutan petenak layer dipenuhi oleh pemerintah dengan penyediaan jagung seharga Rp 4.000 per kg, akan tetapi sampai kapan hal-hal seperti ini terus dilakukan? Karena pada dasarnya jagung tersebut adalah hasil ”pinjaman” dari feedmill-feedmill besar.

Maka, pekerjaan rumah pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk industri perunggasan harus bisa diselesaikan secepatnya saat memasuki awal 2019 nanti. Pelarangan impor jagung dalam jangka panjang malah merugikan industri penyedia protein hewani asal unggas ini. Bahkan beberapa penelusuran telah menyimpulkan bahwa pelarangan ini menimbulkan in-efesiensi devisa negara sebesar Rp 37 triliun per tahun. Artinya, pelarangan impor jagung menjadi salah satu kontributor terhadap defisit perdagangan Indonesia yang sudah beberapa bulan terjadi. Pasalnya, penyetopan impor jagung telah menyebabkan melonjaknya impor tepung gandum untuk pakan oleh feedmill yang harganya lebih mahal daripada jagung. Belum lagi kerugian yang diderita peternak, akibat kualitas pakan yang menurun. Karena pada dasarnya, sebagai bahan baku pakan ayam, kualitas jagung masih lebih baik daripada tepung gandum.

Solusi problem harga jagung yang ditunggu adalah dibukanya keran impor jagung yang harganya di pasar internasional jauh lebih murah dibanding dengan harga jagung lokal. Meskipun dalam catatan tertentu, mungkin dibuka dengan sistem kuota, yang jumlahnya disesuaikan, agar harga jagung di dalam negeri tidak sampai jatuh dan merugikan petani jagung. Jika ini bisa segera dilakukan dalam jangka menengah, problem tingginya harga jagung dan pakan bisa diredam.

Lebih lanjut, masalah serius yang jauh lebih “penting dan genting” adalah bagaimana menata kembali struktur industri perunggasan Nasional. Wacana restrukturisasi industri perunggasan beberapa tahun lalu perlu digaungkan kembali. Tidak dipungkiri, visi industri perunggasan saat ini jauh dari upaya pemerataan distribusi pendapatan dan keadilan ekonomi. Saat ini kita menyaksikan, betapa struktur industri perunggasan sangat tidak sehat bahkan mengancam keberadaan peternak mandiri/rakyat. Persaingan di sektor budidaya antara peternak UMKM/UKM dengan korporasi multinasional nyata-nyata menghancurkan peternak UMKM/UKM. Jadi visi perunggasaan saat ini lebih mendorong jargon “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Tahun 90-an, sektor budidaya masih didominasi oleh peternak mandiri/rakyat, tetapi saat ini malah sebaliknya, penguasaan oleh korporasi yang memiliki perangkat produksi dari hulu hingga hilir semakin kuat dan tanpa dibatasi oleh regulasi. Perusahaan besar yang menguasai industri hilir masuk di sektor budidaya dan dibiarkan menjual ayam hasil panennya ke pasar tradisional yang seharusnya menjadi lahan peternak mandiri/rakyat. Maka khusus di industri perunggasan, negara ini sudah membiarkan dan mempraktekan “mahzdab” ekonomi liberal. Jauh dari semangat Pancasila yang menyuarakan Keadilan Sosial dan Ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan secara kemanusiaan sudah mengusik “nalar kita” sebagai anak bangsa.

Pemerintah sebagai pengemban amanat Negara cq Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, seharusnya mulai merubah haluan pengelolaan sektor budidaya unggas. Apa yang dilakukan oleh “Orde Baru”, dengan Kepres No. 22/1990, yang mengatur sektor budidaya dan memisahkan bagian untuk peternak mandiri/rakyat dan korporasi saat itu sangat tepat. Dan sesungguhnya, pada saat ini semangatnya masih sangat relevan untuk dimunculkan kembali. Dengan begitu industri perunggasan berjalan tidak hanya berorientasi pada perusahaan integrasi saja yang bias menikmati untung besar, tetapi bagaimana lingkungan industri ini nyaman bagi peternak mandiri/rakyat untuk berusaha dan mengembangkan usahanya.

Menata kembali industri perunggasan perlu segera dilakukan agar visi pembangunan industri ini bisa menciptakan keadilan dan mengatasi ketimpangan ekonomi yang saat ini menjadi problem besar pembangunan ekonomi Indonesia. Tidak membiarkan perilaku korporasi yang tidak pernah puas menggali keuntungan besar dari pasar rakyat Indonesia yang sangat besar. Namun, harus memberi kesempatan rakyat Indonesia dalam mengelola potensi ekonominya. Khususnya bagi peternak mandiri/rakyat, usaha peternakannya bisa hidup dan menghidupi sebagai produsen dan juga bisa mencukupi kebutuhan ayam dan telur bagi masyarakat dengan harga terjangkau.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah perlunya menerbitkan regulasi di bawah UU No. 18/2009  tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur pembagian atau pembatasan dari sektor budidaya. Harapannya adalah agar pembudidaya integrator diberi batas yang jelas dengan peternak mandiri/rakyat sebagai pembudidaya berkelas UMKM dan UKM. Argumentasi bahwa saat ini terminologi peternak rakyat telah hilang dalam UU tersebut tidak memungkinkan di keluarkannya regulasi pengganti Kepres No. 22/1990, penulis kira masih bisa diatasi. Bagaimana formatnya, hal ini tentu segera dikerjakan bersama antar asosiasi peternak. Tanpa ada upaya awal, maka tidak mungkin ada hasil yang ingin dicapai dan menjadi wujud cita-cita bersama. (Hadi)

DINAMIKA PENYAKIT AYAM RAS 2018

Pada 2019 kasus IBH masih perlu dicermati selain penyakit-penyakit viral lain pada unggas. (Sumber: Google)

Sepanjang 2018 bagi para praktisi dan ahli kesehatan hewan merupakan tahun tantangan “The Year of Challenge” yang sangat menyita banyak waktu, pikiran, keahlian, keterampilan dan kerjasama dengan berbagai pilar perunggasan Indonesia dalam strategi pengendaliannya. Tiga hal pokok tantangan utamanya adalah tidak diperbolehkannya lagi penggunaan Antibiotic Growth Promotor (AGP) pada pakan, munculnya penyakit baru Avian Influenza (AI) strain H9N2 dan merebaknya penyakit Inclusion Body Hepatitis (IBH) yang sudah lama ditemukan di Indonesia tetapi "hibernasi" dan epidemiologinya tidak termonitor secara seksama.

Merebaknya wabah AI-H9N2 pada peternakan  ayam petelur di Indonesia menjadi topik utama pembicaraan para ahli kesehatan hewan. Industri perunggasan terguncang karena bukan hanya turunnya produksi telur yang fenomenal, bahkan menjadi “Icon” yang disebut sebagai penyakit 90/40 yang gejalanya berupa penurunan produksi telur pada saat puncak produksi yaitu ketika mencapai sekitar 90% dan terjun bebas produksi telurnya menjadi hanya 40% ketika terserang penyakit, tetapi juga karena virus AI-H9N2 merupakan virus donor bagi virus AI yang lain, sehingga dapat terbentuk strain virus baru yang lebih ganas. Berbagai Institusi bekerja sama untuk menangani penyakit ini, bahkan juga kerjasama Internasional dengan beberapanegara yang memiliki masalah serupa serta badan-badan internasional yang terkait dengan masalah ini seperti FAO, OIE dan WHO.

Di 2018 juga mencatat kejadian penting dengan banyak ditemukannya kasus penyakit IBH yang umumnya menyerang ayam broiler. Penyakit yang sudah lama “hibernasi” ini marak pada peternakan ayam broiler muda dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, bahkan menyebabkan angka kematian hingga 50% karena masuknya infeksi sekunder. Penanggulangan masalah penyakit ini menjadi pekerjaan rumah yang terasa berat bagi para konsultan kesehatan hewan karena belum adanya vaksin yang tersedia. Pihak yang berwenang dalam pengambilan kebijakan pengendaliannya belum dapat teryakinkan bahwa IBH merupakan penyakit yang serius, sehingga pengadaan vaksin dari luar negeri bukan merupakan prioritas, apalagi IBH bukan merupakan penyakit zoonosis.

Permasalahan dunia perunggasan di Indonesia mulai tahun 2018 ini juga menjadi semakin kompleks karena tidak siapnya industri dan stakeholder lainnya ketika AGP tidak diperbolehkan lagi digunakan dalam pakan unggas. Untuk masalah ini bukan hanya tantangan bagi para Nutrisionist, tetapi juga  kompetensi Dokter Hewan yang juga dituntut untuk semakin dalam memahami kompleksitas kesehatan ternak, karena pencabutan AGP berdampak pada kualitas kesehatan unggas. Para peternak melaporkan bahwa ayam menjadi sangat rentan terhadap serangan penyakit, berat badan tidak dapat mencapai standar, tingginya angka kematian, dan afkir ayam kerdil meningkat. Situasi ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan hewan semata, tetapi juga menjadi masalah ketersediaan pangan dan keamanannya bagi masyarakat, karena turunnya tingkat produksi dan meningkatnya distribusi ayam sakit sehingga kuman penyakit semakin tersebar ke lingkungan sekitar.

Pendekatan kesehatan hewan memerlukan langkah preventif praproduksi, kendali produksi yang komprehensif, serta biosekuriti yang mengikuti rantai distribusi mulai dari pembibit, distributor, kelompok peternak hingga ke tingkat budi daya akhir. Oleh karena itu, sejalan dengan platform kesehatan unggas, maka mata rantai pencegahan dan biosekuriti menjadi penjaga pintu utama dalam pencegahan penyebaran penyakit unggas.

Langkah pengendalian suatu penyakit memerlukan panduan terpadu yang dimulai dari penetapan keberadaan suatu penyakit di suatu daerah, atau masih bebasnya suatu daerah dari satu penyakit menular, kemudian diikuti dengan penetapan...

Drh Dedi Kusmanagandi, MM
Kontributor Infovet, Praktisi Bisnis Obat Hewan


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer