|
Peternak Mandiri Melakukan Unjuk Rasa |
Beberapa minggu yang lalu, peternak mandiri berunjuk rasa pada 11 Oktober yang lalu tidak lepas dari jebloknya
harga ayam hidup (livebird) dan telur
konsumsi dikisaran Rp 14.000 – 17.000/kg ditingkat peternak. Sedangkan
harga sarana produksi ternak seperti DOC FS ayam broiler cenderung
tinggi diatas Rp 6.200/kg diatas harga acuan Permendag No. 07/2020
yakni Rp 5.000 – 6.000 per ekor.
Ketua Koperasi Peternak Milenial Jawa
Barat, Nurul Ikhwan, mengatakan, selama ini, peternak dijepit oleh integrator
dengan harga sapronak tinggi dan broker yang membeli livebird dengan harga yang rendah dibawah
harga acuan Permendag No.07/2020 yaitu Rp 19.000 – 21.000/kg.
“Dominasi dan kontrol harga sekarang masih pihak integrator. Padahal dalam
Permentan 32/2017 disebutkan tentang pembagian untuk budidaya DOC FS 50%:50%
antara integrator dan peternak mandiri,” ujarnya, Jakarta 3/11.
Seharusnya transparansi terkait
kebijakan 50% tersebut harus terbuka datanya kepublik apakah betul diterapkan dengan sungguh-sungguh, faktanya harga DOC FS masih mahal. Pemerintah,
cq Ditjen PKH, Kementan, kata Iwang,
terkesan mengesampingkan dan tak mematuhi aturan yang dibuat sendiri. Padahal
peternak rakyat mandiri yang ingin mandiri dalam hal bibit. Karena itu,
kewajiban pemerintah melepas kuota impor GPS itu kepada semua peternak baik
berbadan hukum koperasi maupun badan hukum lainnya sehingga tercipta persaingan
secara sehat dan efisiensi pun tercapai di tingkat peternak rakyat.
Hal itu, kata Iwang, saat ini hanya
belasan korporasi saja dan bahkan kelompok usaha tertentu saja yg mendapatkan
kuota impor GPS, sedangkan para peternak dihadapi oleh pembelian DOC FS yang
diharuskan membeli dengan sistem bundling dengan Pakan.
“Ini aneh, kok
mereka importir GPS sudah dikasih karpet merah kuota malah tidak ada rasa
tanggung jawabnya kepada rakyat,” cetus Iwang.
Senada akan hal itu menurut Rochadi
Tawaf yang merupakan anggota Komite Pemulihan Ekonomi Jawa Barat yang ditemui terpisah pada (2/11), Pemerintah wajib menegakkan aturan yang sudah ada seperti Permentan
32/2017. Misalnya persoalan distribusi, peran inti plasma, dan pembagian DOC FS 50:50 yg
diberikan kepada peternak rakyat mandiri tanpa ada syarat apapun.
“Disini perlu pengawasan seperti KPPU RI dengan pemerintah berfungsi
untuk mengawasi agak terlaksananya hukum-hukum yang berlaku yang telah
ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri,” ujarnya.
Harga DOC Lebih
Murah
Sementara Pengamat Perunggasan,
Syahrul Bosang (SB) mengatakan, pemerintah memberlakukan kuota impor GPS,
tetapi mempertanyakan pasokan DOC FS tetap berlebihan sehingga pemerintah melakukan
kebijakan cutting di tingkat populasi ayam Parent Stock Broiler (PSB) dan
aborsi di tingkat embrio Final Stock
Broiler (FSB) pada usia inkubasi 19 hari. Sehingga membuat bisnis ayam broiler
ini berdampak pada kenaikan harga DOC FS. Artinya, terjadi diskresi Dirjen PKH
pada impor DOC GPS diketahui telah mendistorsi pasar pada DOC FS dan livebird.
Menurut SB, seharusnya impor GPS sekalian saja dibebaskan sesuai dengan kemampuan porsi masing-masing perusahaan. Ini dilakukan agar tidak terjadi cutting PS dan DOC FS secara Nasional tetapi setiap
Importir GPS melakukan Self Assessment
terhadap produksi DOC FS masing-masing sehingga berdampak pada stabilisasi
harga DOC PS dan FS, bahkan harga nantinya dipastikan terkatrol turun sehingga pelaku bisnis di peternak rakyat maupun peternak mandiri dapat
menumbuh kembangkan bisnisnya kearah up
stream yaitu GPS & PS.
Dengan kebijakan dibebaskan bersyarat
maka Ditjen PKH mendidik para pelaku bisnis ini untuk bersaing dengan dirinya
dengan jalan mengukur kemampuan dirinya baik dalam hal teknis maupun finansial
dan kekuatan untuk diterima di pasar atas dasar kwalitas dan efisiensi sehingga
dalam hal ini peternak dapat bebas memilih untuk mendapatkan DOC FS sesuai
dengan harga dan kualitas pemasok. Karena masing-masing bibit atau induk ayam
ini berbeda-beda, tergantung potensial genetik.
Secara bisnis sungguh sangat jelas kalau
impor GPS dibebaskan dengan bersyarat artinya setiap importir diwajibkan
membangun Hilirisasi degan menyediakan RPHU dan Cold Storage maka sangat jelas Ditjen PKH bertanggungjawab atas
keselamatan peternak rakyat dan industri ayam ras broiler karena masih seasonal
market. Keputusan GPS dikuota artinya Ditjen PKH melakukan kendali di Hulu/GPS
tetapi dilepas- bebaskan kendali di Hilir/LB telah berakibat rusak nya tatanan
bisnis ini sehingga sepertinya tidak pernah guyub pada hal sistem tata kelola
yang belum pas diberlakukan.
Transparansi Data
Sementara itu Ketua PATAKA, Ali Usman mempertanyakan teknis dan mekanisme kebijakan pembagian DOC FS 50%. Dasar pembagian dan cara
kontrol kebijakan tersebut akan seperti apa, dirinya pun menegaskan bahwa hal tersebut harus transparan dan jelas. Mengingat harga DOC
FS masih cukup tinggi diatas acuan Permendag. Ia juga berujar agar jangan sampai dominasi DOC FS masih
dikuasai oleh perusahaan tertentu, lalu peternak selalu ditekan dengan
harga DOC dan seakan dibuat langka karena pemerintah memberlakukan kebijakan
cutting DOC PS dan FS dengan dalih pengendalian over supply. Seharusnya jika terjadi overs tock, harga DOC akan lebih murah bukan sebaliknya. Jangan pula lupakan bahwa pada data impor GPS dua tahun
lalu masih mengalami kelebihan.
Terbukti pada 2019 ada kelebihan impor
GPS sebanyak 53.299 ekor yang berdampak banjirnya DOD FS pada 2021. Impor GPS tahun 2022 akan berdampak pada 2024 nanti, hal ini dikarenakan alur produksi ayam GPS
membutuhkan 2 tahun untuk menghasilkan DOC PS dan produksi DOC FS. Karena itu, menurut Ali Usman, impor GPS masih bersifat kuota untuk tahun 2022 mendatang.
Pemerintah harus transparan dalam menentukan kuota impor GPS dan kebutuhan GPS
harus sesuai dengan prognosa kebutuhan ayam tahun 2024 nanti.
Terlepas sistem kuota dan non kuota
(bebas). Pemerintah harus menghidupkan kembali tim Analisa Supply-Demand untuk menentukan prognosa produksi dan angka
kebutuhan ayam sesuai angka konsumsi ayam masyrakat perkapita pertahun. Dimana
data OECD/Organisation for Economic
Co-operation and Development masa Pandemi Covid-19 2020 menyebutkan angka
konsumsi ayam ras hanya 7.6 kilogram/kap/tahun.
“Seharunya ini menjadi acuan
pemerintah untuk membaca kebutuhan DOC FS, PS hingga importasi ayam GPS
idealnya berapa ekor untuk menghasilkan daging ayam sesuai kebutuhan,” terang
Ali Usman saat dihubungi.
Ali Usman membandingkan beberapa tahun sebelumnya, dimana terdapat Tim Analisa Supply-Demand terbentuk terdiri dari akademisi, pelaku usaha,
peternak dan NGO yang dapat membaca data, berdiskusi, menjaga independensi dan
transparan untuk semua pelaku usaha. Hal ini tertuang dalam Permentan 32/2017
Tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.
Dimana dalam Pasal 4 Ayat (2) Rencana
Poduksi nasional sebagiamana dimaksud ayat (1) sesuai dengan keseimbangan
suplai dan demand. Ayat (3) Rencana Produksi nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lambat Desember tahun sebelumnya. Kemudian pada pasal 5 Ayat
(1) Kesembangan supply dan demand sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dihitung dan dianalisa oleh Tim Analisa Penyediaan dan Kebutuhan Ayam Ras dan
Telur Konsumsi. (INF)