Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ayam Layer | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEMBEDAH PENYEBAB STRES PADA AYAM

Kepadatan kandang yang tinggi akan menyebabkan kanibalisme pada ayam, tidak meratanya konsumsi ransum, polusi udara, kualitas litter menurun dan lain-lain, yang berbuntut ayam menjadi stres bahkan berujung kematian. (Sumber: Istimewa)

Dalam pemeliharaan ayam, baik ayam pedaging (broiler), ayam petelur (layer) maupun ayam pembibit (breeder) susah-susah gampang karena berbagai faktor akan menghambat keberhasilan selama perjalanan hidupnya, antara lain salah satunya terpaan stres yang disebabkan berbagai hal. Seringkali peternak menganggap enteng masalah tersebut padahal  fenomena tersebut nyata terlihat secara kasat mata.

Stres adalah sebuah kondisi atau keadaan dimana terjadi ketegangan secara fisik atau psikologis dan stres itu wajar terjadi pada kehidupan, dimana tuntutannya harus menyesuaikan pada situasi/kondisi yang terjadi. Stres ternyata tidak hanya dialami oleh manusia, tetapi sering juga terjadi pada unggas yang kemudian berdampak pada lambatnya pertumbuhan dan penurunan produksi, bahkan kematian. Biasanya stres dibarengi dengan adanya perubahan fisiologis di dalam tubuh ayam, seperti perubahan detak jantung, peredaran darah menjadi lebih cepat, kehausan dan hilangnya rasa lapar.

Ciri dan Cara mengatasi Stres pada Ayam
Ada beberapa ciri-ciri stres pada ayam yang dapat dilihat secara kasat mata oleh peternak, yaitu ayam tampak gelisah di dalam kandang, seringkali membentangkan sayap, lebih banyak minum untuk menurunkan suhu tubuhnya, nafsu makan menurun, kecepatan bernapas lebih tinggi (terlihat megap-megap). Jika ayam menunjukkan hal tersebut, maka perlu segera melakukan penanganan untuk menghindari sesuatu yang tidak diharapkan.

Stres yang terjadi pada ayam dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya tekanan eksternal dan internal, seperti perubahan cuaca/musim secara tiba-tiba, kelelahan, sakit, kegaduhan, transportasi, pemeliharaan rutin, perkandangan, kepadatan ayam, luas kandang, tingkat produksi, perubahan air minum dan pakan secara mendadak. Apabila lambat atau tidak segera ditangani peternak maka stres akan mengundang kerugian.

Sebelum melakukan penanganan terhadap terjadinya stres, peternak harus terlebih dahulu mencari/mendiagnosis penyebab stres yang sebenarnya, baru kemudian melakukan tindakan yang diperlukan sesuai dengan penyebabnya, sehingga tepat sasaran dan tidak mubazir. Beberapa penyebab stres pada ayam dan cara menanganinya sebagai berikut: (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2020) (SA)

JANGAN LENGAH DENGAN PENYAKIT PERNAPASAN

Penyakit pernapasan merupakan penyebab kerugian terbesar secara ekonomi pada komersial layer dan broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Penyakit pernapasan IBV (Infectious bronchitis virus) merupakan penyebab kerugian terbesar secara ekonomi pada komersial layer dan broiler. Penyakit pernapasan IB berdampak kuat terhadap gangguan pertumbuhan, penurunan keseragaman, peningkatan FCR (feed coversion ratio) dan diikuti oleh infeksi sekunder penyebab kematian tinggi.

Pada ayam muda, kerugian akibat infeksi virus IB ini sering terlihat dengan munculnya penyakit pernapasan kronis yang sering diikuti infeksi sekunder E. coli. Di laboratorium dimana lingkungannya bersih dan terkontrol, infeksi virus ini hanya mengakibatkan ciliostatis atau silia yang tidak bergerak. Kondisi silia yang tidak bergerak ini akan menjadi pemicu infeksi lanjutan E. coli yang pada akhirnya juga menyebabkan kematian.

Pada edisi sebelumnya (Infovet edisi 305 Desember 2019), sudah dibahas bagaimana program kontrol untuk meminimalkan kerugian akibat infeksi virus IB, dimana intinya program sanitasi dan vaksinasi yang tepat sangat membantu mengurangi kerugian akibat infeksi virus tersebut.

Ternak yang mengalami infeksi IB, pada saluran pernapasan bagian atas (trachea) mengalami peradangan dan eksudat mukus, sehingga ayam kesulitan dalam bernapas, demam tinggi dan merusak silia trachea yang menyebabkan bakteri dan mycoplasma mudah sekali masuk. 

Untuk mengendalikan kasus pernapasan ini, langkah yang paling penting adalah menjaga integritas sistem pernapasannya dari gangguan berbagai faktor utama pemicunya. Hal ini dapat tercapai jika mampu menjaga sistem mukosiliaris dari saluran pernapasan tersebut. Sistem ini merupakan gabungan dari silia sel epitel pernapasan dan mukus, yang dihasilkan oleh sel mukus yang terdapat di sel epitel trachea. Sistem mukosiliaris ini menjadi benteng pertahanan pertama untuk kekebalan yang bersifat mekanis dan tidak spesifik yang selanjutnya berfungsi mencegah masuknya mikroba sekunder seperti E. coli yang sangat merugikan.

Pada unggas layer dan broiler sangat rentan mengalami penyakit pernapasan meskipun pada sistem kandang tertutup (closed house) sekalipun, hal ini... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2020)

Drh Sumarno
Head of AHS Central & Outer Island PT Sierad Produce

TROUW LAYER ROADSHOW: KENALKAN PROGRAM PRE-PEAK FEEDING LAYER

Trouw gelar Layer Roadshow di Pasuruan (Foto: Istimewa)

PT Trouw Nutrition Indonesia (Trouw), Jumat (7/2) lalu menggelar acara “Layer Roadshow” yang berlangsung di Pasuruan. Kegiatan ini juga sekaligus memperkenalkan program terintegrasi Pre-Peak Feeding Layers untuk seluruh peternak di Indonesia.

Diketahui ayam petelur mengalami transisi dari fase rearing menjadi sangat produktif (yang disebut fase pre-peak). Trouw menawarkan solusi terintegrasi pre-peak yang akan mendorong produksi telur untuk memiliki nilai jual dan menguntungkan dengan meningkatkan produksi telur +2.5 butir per ekor ayam, setelah fase pre-laying hingga fase puncak produksi (sekitar 18-24 minggu).

Solusi ini dilakukan dengan cara memaksimalkan asupan nutrisi pakan pada saat fase pre-peak, secara bersamaan mengurangi biaya pakan.

“Hari ini kami memperkenalkan lebih dalam solusi terintegrasi pre-peak yang dapat meningkatkan produktivitas ayam petelur selama masa pre-peak. Solusi terintegrasi yang didasari penelitian ini, merupakan komitmen kami sebagai perusahaan penyedia nutrisi hewan sejak tahun 2008 di Indonesia untuk mendukung industri peternakan dan feed-to-food industry,” terang Margaretta Ariesta selaku Country Manager PT Trouw Nutrition Indonesia

Ayam petelur mengalami transisi dari fase rearing (ayam muda) hingga fase produksi, dimana dalam fase ini ayam mengalami banyak perubahan termasuk perubahan hormon, lingkungan, dan kebutuhan nutrisi.

Pertumbuhan produksi telur secara cepat tidak selalu sinkron dengan asupan pakan dan asupan nutrisi yang cukup. Penelitian yang dilakukan R&D Poultry Research Center milik Trouw Nutrition di Casarrubios del Monte, Spanyol membuktikan alternatif nutrisi yang kontras mendukung produksi awal pada ayam petelur melalui pemberian pakan secara strategis mendorong total asupan nutrisi selama fase pre-peak. Selain itu, menghasilkan produksi telur yang lebih banyak dengan kualitas lebih baik.

Sementara itu Presiden Direktur PT Trouw Nutrition Indonesia, Ivan Kupin mengatakan pihaknya sangat bersemangat untuk turut meningkatkan pertumbuhan konsumsi telur ayam di Indonesia. Trouw juga berkomitmen mendukung peternak dengan produk nutrisi berkualitas tinggi yang diproduksi dengan fasilitas manufaktur di Pasuruan berkonsep state of the art technology.

Pabrik Trouw di Pasuruan telah memiliki sertifikasi Good Manufacturing Practice (GMP) for Veterinal Drugs refer to Government Regulations dan ISO 22000 Food Safety Management System. (NDV)


MENELISIK PROBLEM AYAM PETELUR MODERN

Perkembangan genetik ayam petelur modern memang sangat spektakuler. Jika diikuti dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan yang sesuai, mampu menghasilkan paling tidak 350 butir telur per hen house selama 75 minggu produksi. (Foto: Dok. Infovet)

Oleh: Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant – Jakarta)

Jargon “more eggs less feed” tampaknya sudah “lengket” dengan  karakteristik umum Ayam Petelur Modern (APM). Sadar atau tidak, sekarang para peternak ayam petelur tengah berhadapan dengan ayam petelur “gaya baru”. Keengganan untuk mengikuti perubahan tata laksana pemeliharaan yang seiring dengan perkembangan genetik APM tersebut tentu saja akan memengaruhi penampilan (performance) akhir ayam yang dipelihara. Ujung-ujungnya, tidak saja menyebabkan keuntungan yang sudah di depan mata melayang, tetapi juga dapat menjadi faktor pencetus masalah baru yang kompleks dan terkesan misterius.  Gangguan produksi telur APM pada sindroma obesitas yang diikuti oleh “yolk peritonitis” misalnya, adalah suatu contoh yang paling representatif dan sering terjadi di lapangan.

Perkembangan genetik APM memang sangat spektakuler. Jika diikuti dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan yang sesuai, maka seekor APM mampu menghasilkan paling tidak 350 butir telur per hen house selama 75 minggu produksi atau sebanyak 429 butir telur per hen house selama 90 minggu produksi. Bandingkan dengan sebelumnya, pada tahun 2000 ke bawah, rata-rata hanya 319 butir telur per hen house selama 75 minggu produksi. Itu saja tidak cukup. Bobot telurnya pun lebih besar, yang tadinya berkisar antara 56-62 gram per butir menjadi 60-65 gram per butir. Perbaikan penampilan fenotip ini tentu saja menuntut kualitas pullet yang baik, dimana perkembangan bobot badan dan keseragaman ayam selama masa pullet harus seiiring berkembang.

Salah satu sifat APM yang sangat menonjol adalah keseimbangan pembentukan dasar konformasi tubuh (antara kerangka dan per-ototan) yang sangat dominan paling telat sampai ayam berumur 6 minggu. Itulah sebabnya, pada saat APM berumur 4 minggu, maka bobot badan harus mencapai bobot minimal yang ditentukan berdasarkan standar strain yang ada dan dengan keseragaman ayam yang harus di atas 80%. Melalui timbang bobot badan dan “grading” seratus persen pada umur 4 minggu tersebut, maka peternak hanya mempunyai kurun waktu dua minggu untuk memperbaikinya, karena puncak pertumbuhan hiperplasia untuk organ-organ visceral terjadi antara 4-6 minggu.

Gangguan pertumbuhan pada fase ini tentu berarti terhambatnya perkembangan tipe hiperplasia (pertambahan jumlah sel) dari sel tulang (osteoblast), sel otot (sarcoplasma) maupun sel-sel sistem tubuh lainnya. Pencapaian bobot badan yang sesuai bobot standar strain merupakan suatu indikator yang baik untuk membaca kecukupan nutrisi yang diperoleh APM selama masa pullet dari minggu ke minggu. Di sisi lain, tatalaksana pemeliharaan yang telaten sesuai dengan “pakem” yang ada dapat memperbaiki keseragaman pullet dari waktu ke waktu.

Pertumbuhan hiperplasia tersebut terus berlanjut sampai ayam berumur 8-10 minggu, tergantung jenis sistem tubuh. Yang jelas, pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh (framing) sudah mendekati jenuh pada saat ayam berumur 8-10 minggu, sedangkan pertumbuhan hiperplasia per-ototan (fleshing) mendekati jenuh ketika pullet berumur 6-8 minggu. Itulah sebabnya, tidak tercapainya bobot badan ayam pada umur 6 minggu akan membawa dampak yang cukup signifikan pada penampilan produksi (% hen day), kualitas telur dan total deplesi dari flok ayam yang bersangkutan pada fase produksi.



Gangguan pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh akan membatasi pertumbuhan matriks tulang, yaitu tempat untuk menyimpan senyawa kalsium yang sangat dibutuhkan pada saat produksi. Kerangka tubuh yang relatif lebih kecil akan mengakibatkan kelebihan nutrisi yang dikonsumsi pada fase-fase selanjutnya dan dengan mudah dideposit menjadi lemak tubuh, khususnya lemak perut (abdomen).  Ini berarti, obesitas lebih mudah terjadi. Pada APM, cadangan energi yang baik adalah otot kerangka, bukan pada lemak tubuh. Itulah sebabnya, pada saat menjelang produksi telur (umur 14 minggu), ketebalan lemak abdomen tidak boleh lebih dari 0,5 cm.

Di samping itu, strain-strain baru dari APM cenderung mempunyai konversi pakan yang sangat baik pada saat umur 8-12 minggu. Keteledoran dalam mengelola pemberian pakan akan memperbesar peluang terjadinya obesitas alias kegemukan. Dalam fase ini juga sering terjadi menurunnya keseragaman ayam. Paling banyak disebabkan karena pola pemberian pakan yang ceroboh. Oleh sebab itu, monitor respon pakan dalam bentuk monitor bobot badan ayam secara mingguan sangat dianjurkan secara ketat pada fase ini.

Pada kejadian obesitas, tingginya deposit lemak abdomen akan mengakibatkan beberapa hal pada masa produksi seperti: a) Meningkatnya kasus prolaps yang diikuti dengan kanibalisme dan kematian ayam. b) Tingginya kejadian mati mendadak akibat terjadinya perlemakan hati (Fatty liver syndrome). c) Meningkatnya kasus “floating eggs” (ovum terlempar ke dalam rongga perut) yang berlanjut dengan yolk peritonitis. Kondisi terakhir ini biasanya berkembang menjadi lebih parah jika terjadi infeksi sekunder oleh kuman Koli.

APM yang umumnya mempunyai kerangka tubuh (body frame) relatif lebih kecil alias ramping dibandingkan dengan ayam petelur klasik tentu akan mempunyai kepekaan yang lebih tinggi terhadap efek obesitas. Menyempitnya liang pubis merupakan suatu contoh yang paling representatif. Kondisi ini jelas akan mengakibatkan gangguan fisiologis saat ayam akan bertelur, yaitu dalam bentuk manifestasi prolaps yang terjadi beberapa saat setelah peletakan telur. Prolaps yang ditemukan akibat adanya obesitas biasanya terjadi beberapa minggu sebelum puncak produksi telur dan terus berlanjut hingga 2-4 minggu setelah puncak produksi tercapai. Keadaan inilah yang mengakibatkan penyusutan (deplesi) ayam selama produksi akan meningkat antara 0,2-0,3% per minggu atau bahkan lebih. Padahal dalam kondisi normal, penyusutan ayam selama produksi adalah maksimal 0,1% per minggu.



Obesitas juga akan mengakibatkan gangguan fisiologis bagian infundibulum dari oviduk (saluran reproduksi). Kondisi ini akan mengakibatkan tidak selarasnya pembukaan ujung infundibulum dengan sel telur (ovum) yang dilemparkan dari indung telur pada saat ovulasi terjadi. Tegasnya, pada ayam yang mengalami obesitas, adanya “floating eggs” yang diikuti dengan yolk peritonitis merupakan suatu hal yang paling sering ditemukan. Itulah sebabnya, mengatasi kasus yolk peritonitis di lapangan sering kali membawa rasa frustasi. Bagaimana tidak, kuman Koli (Escherichia coli) yang sering dituding menjadi penyebabnya seolah tidak bergeming sedikitpun dengan preparat antibiotika. Benarkah kuman Koli sebagai penyebab utama? Atau problem resistensi preparat antibiotika terhadap kuman Koli memang sudah terjadi? Perlu diketahui, ditemukannya kuman Koli pada pemeriksaan di laboratorium merupakan efek lanjutan proses obesitas tersebut di atas. Jadi selama problem obesitas masih dituntaskan pada individu-individu ayam dalam suatu flok, maka kejadian yolk peritonitis seolah-olah terjadi berulang-ulang dan tidak memberikan respon yang baik terhadap program pengobatan dengan antibiotika. Infeksi sekunder jelas terjadi beberapa saat setelah terjadinya “floating eggs”.

Di atas telah disebutkan bahwa obesitas juga akan mempermudah terjadinya Fatty liver syndrome (FLS). Pada kasus yang ringan, adanya FLS jelas akan mengakibatkan terganggunya sintesa albumin di dalam jaringan hati. Dengan demikian, putih telur cenderung akan lebih encer dan/atau rasionya dibandingkan dengan kuning telur cenderung akan menurun. Ujung-ujungnya adalah bobot telur akan menjadi lebih ringan dan/atau telur akan menjadi lebih kecil dari ukuran standar strain. Manifestasi FLS juga akan mengakibatkan menurunnya respon terhadap vaksin, terutama baik terhadap kekebalan humoral maupun terhadap kekebalan sel.



Untuk mengatasi hal tersebut, lakukan beberapa langkah umum seperti berikut:
• Yakinkan konsumsi pakan APM pada awal kehidupannya tercapai. Untuk ini, temperatur indukan buatan (brooder) harus sesuai dengan yang dibutuhkan dan frekuensi pemberian pakan sebanyak 6-9 kali per hari untuk minggu pertama, serta 4-6 kali per hari untuk minggu kedua dan seterusnya sangat dianjurkan. Pakan untuk minggu pertama sebaiknya diberikan ad libitum (secukupnya) dan selanjutnya ditata sesuai dengan respon pertumbuhan ayam pada minggu-minggu berikutnya.
• Lakukan pengecekan kebutuhan energi dan protein yang dapat dicerna dari strain ayam yang dipelihara berdasarkan buku penuntun pemeliharaan ayam. Dengan demikian, pengaturan jumlah pakan yang diberikan per hari tidak menyimpang dari yang dibutuhkan ayam.
• Lakukan seleksi yang ketat terhadap APM yang ada, terutama setelah minggu pertama. APM yang relatif kecil harus dipisahkan dan dikumpulkan menjadi satu kelompok tersendiri atau dibuang.
• Lakukan penimbangan bobot secara berkala, dianjurkan dimulai di minggu pertama dan segera setelah vaksinasi Gumboro atau ND yang kedua. Pada saat ayam berumur 4 minggu dianjurkan ditimbang 100% dari populasi, sedangkan lebih dari 4 minggu, maka penimbangan sebaiknya dilakukan setiap minggu sebanyak 3-5% dari total populasi, tergantung pada keseragaman ayam pada penimbangan sebelumnya.
• Monitor bobot badan APM tersebut sebaiknya juga disertai dengan analisa keseragaman ayam. Pada saat ayam berumur 4 minggu, sebaiknya keseragaman tidak boleh kurang dari 80%. Keseragaman ayam ini diharapkan terus meningkat dan pada saat menjelang produksi telur, keseragaman diharapkan tidak kurang dari 85%.
• Petakan dan bandingkan bobot badan, serta keseragaman aktual ayam dengan kurva standar yang sesuai dengan standar strain.
• Penambahan pakan untuk ayam yang berumur 8-12 minggu harus dengan kehati-hatian yang tinggi. Yang jelas, efek penambahan pakan akan mengakibatkan penambahan bobot badan dalam tempo 7-14 hari. Oleh sebab itu, penambahan pakan yang terlalu agresif tentu saja akan mempermudah terjadinya obesitas. (toe)

KASUS PENYAKIT PENTING DI 2019 DAN PREDIKSINYA DI 2020

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Kejadian penyakit di 2019 pasca pencabutan AGP (Antibiotic Growth Promoter) di dalam pakan masih ditemukan tinggi, terutama untuk penyakit pernapasan dan pencernaan. Tahun ini benar-benar menjadi ujian berat bagi para pelaku insan perunggasan nasional, selain masalah tren harga LB (live bird) yang kerap berada di bawah HPP (harga pokok produksi), juga tantangan penyakit yang semakin kuat.

Berdasarkan pengalaman penulis, di sini akan dijelaskan review beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi sepanjang tahun 2019, baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Newcastle Diseases (ND)
Temuan kasus di lapangan untuk kejadian ND masih menjadi momok menakutkan dan penyebab kerugian utama pada ternak broiler dan layer. Seperti digambarkan dari data berikut pada 2019 ditemukan kejadian kasus ND sebesar 29%, terbanyak dibanding kasus lain. Data dihimpun dari Januari-Juli 2019 dengan total kasus penyakit sebanyak 357 laporan kasus, (sumber: Ceva 2019).

Grafik kematian kejadian ND pada broiler dimulai di umur 17 sudah ada peningkatan kematian dan puncaknya di umur 25 hari. Kerugian yang ditimbulkan dari ND selain kematian juga dari kualitas karkas yang rusak/merah dan kematian waktu tunggu di pemotongan.

Penyakit ND sudah sangat tidak asing bagi peternak, karena sudah sejak 1926 teridentifikasi ada di Indonesia dan virus ND yang bersirkulasi dikategorikan vvND (velogenic viscerotropic Newcastle Disease). Virus ini juga bisa menyerang mulai unggas usia muda hingga masa produksi dengan gejala klinis mulai munculnya kematian yang sering pada ayam muda atau mengakibatkan penurunan produksi telur pada layer.

Gejala yang muncul juga tergantung dari kekebalan ayam dan biasanya tergantung usia tantangan, kepadatan virus yang menantang dan jenis virus ND-nya. Berdasarkan publikasi ilmiah miller et all. (2014), menyebutkan bahwa virus ND yang bersirkulasi di Indonesia didominasi sub genotipe VIIi dan VIIh yang juga teridentifikasi di beberapa negara Asia (Malaysia, China, Kamboja dan Pakistan). Virus sub genotipe VIIi ini masih dekat kekerabatannya dengan virus ND yang bersirkulasi pada 1983-1990.

Virus ND genotipe VII mampu bereplikasi, mengakibatkan reaksi peradangan dan respon cytokine yang hebat di jaringan limfoid (limpa, timus dan bursa) dibandingkan genotipe V (herts 33) berdasarkan laporan Z. Hu et all. (2015).

Jika infeksi terjadi di masa produksi, “Cytokine storm” yang lebih hebat ini akan mengakibatkan ayam yang terinfeksi menunjukkan gejala... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2019).

Drh Sumarno
Head of AHS Central & Outer Island, PT Sierad Produce Tbk

JANGAN REMEHKAN BIOSEKURITI

Desinfeksi sebelum masuk dan keluar kandang. (Foto: Infovet/CR)

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, manajemen pemeliharaan ayam juga ikut berkembang. Apalagi sejak diberlakukannya larangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dalam pakan, semua yang berkecimpung di sektor budidaya berlomba-lomba mengakali manajemen pemeliharaan agar performa ayam tetap terjaga.

Budidaya ayam layer maupun broiler di zaman now bisa dibilang susah-susah gampang. Peternak kini dihadapkan pada pesatnya pertumbuhan ayam, namun lebih rentan terhadap faktor eksternal, seperti iklim, penyakit dan lain sebagainya. Ditambah lagi AGP yang selama ini menjadi andalan untuk memacu pertumbuhan telah dilarang pemerintah. Tentunya hal ini semakin menjadi tantangan bagi para peternak dan stakeholder di sektor perunggasan.

Padahal, sejak dulu sudah ada “obat” alami agar usaha budidaya lancar tanpa adanya gangguan penyakit. Namun begitu tidak semua peternak mau dan mampu mengaplikasikannya, yakni program biosekuriti.

Dipandang Sebelah Mata
Sering didapati bahwa peternak tidak mengindahkan biosekuriti, misalnya saja masih bebasnya lalu lintas keluar-masuk suatu peternakan tanpa adanya treatment khusus. Padahal, treatment khusus semacam dipping atau semprot desinfektan merupakan salah satu aspek biosekuriti, dalam hal ini menjaga lalu lintas manusia.

Mengingatkan kembali bahwa ada beberapa aspek dasar dalam biosekuriti misalnya kontrol lalu lintas, vaksinasi, recording flok, menjaga kebersihan kandang, kontrol kualitas pakan, kontrol air dan kontrol limbah peternakan.

Dengan semakin berkembangnya zaman, ada juga peternak yang semakin sadar bahwa biosekuriti ini penting diaplikasikan. Misalnya saja yang dilakukan oleh Jenny Soelistiyani, peternak layer asal Lampung. Wanita yang juga merupakan Ketua Pinsar Petelur Nasional (PPN) ini sedang giat-giatnya menggalakkan penerapan biosekuriti di peternakan layer.

“Penerapan biosekuriti yang baik mutlak harus dimiliki, enggak bisa disepelkan. Peternak harus mau berubah, lah wong zaman berubah masa tata cara beternak gitu-gitu aja?,” tutur Jenny. 

Apa yang diutarakan Jenny bukannya tanpa alasan, terlebih lagi ketika AGP dilarang, otomatis untuk mencegah meledaknya wabah penyakit yang tak terkendali dibutuhkan upaya lain, menurut Jenny yang paling masuk akal adalah penerapan biosekuriti.

Jenny dan para peternak di Lampung kini sedang getol-getolnya mengajak para peternak layer di Lampung untuk mengaplikasikan biosekuriti tiga zona. Ia dibantu oleh FAO ECTAD, akademisi dari UNILA, pemerintah dan juga perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan.

“Semua turun tangan, FAO memberi penyuluhan dan teknis aplikasi, UNILA juga mendampingi peternak, dinas juga aktif, perusahaan obat hewan juga jadi auditor internal kami, peternaknya jadi semangat dan rata-rata di sini peternak sudah mau mengaplikasikan biosekuriti tiga zona,” jelasnya.

Menuai Hasil Manis
Ketika biosekuriti diterapkan dengan baik, hasil manis dituai oleh peternak. Misalnya saja yang dirasakan oleh Subadio, peternak layer asal Kecamatan Purbolinggo, Lampung, yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona di peternakannya.

Subadio mengaku tertarik mengaplikasikan biosekuriti tiga zona karena dinilai menguntungkan. “Di Lampung ada pendampingan dan penyuluhan bagi peternak yang ingin mengaplikasikan sistem ini, kami dibimbing langsung oleh dinas peternakan setempat, FAO ECTAD, UNILA, technical service produsen pakan dan PPN Lampung,” tutur Subadio.

Tanpa pikir panjang Subadio membangun fasilitas seperti yang disarankan oleh para mentornya. Walhasil, kandang layer-nya yang baru setahun enam bulan berdiri mengalami banyak kemajuan. Tidak lupa ia mengajak para karyawannya untuk berkomitmen menjalankan SOP yang berlaku di peternakannya untuk dipatuhi. Subadio menerapkan sistem reward and punishment agar karyawan lebih berkomitmen dalam menerapkan SOP di peternakannya.

“Kandang saya awalnya kacau mas, sampai saya mulai tertarik ikut menjajal biosekuriti tiga zona, baru deh kandang ini produksi dan performanya benar. Sudah gitu ternyata nilai rupiah yang didapat Alhamdulillah bertambah,” tukas Subadio kepada Infovet. Pernyataan Subadio tadi didukung oleh data yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Misalnya saja kini disaat ayam di kandangnya menginjak usia sekitar 29 minggu produksinya stabil di angka 90% lebih. Selain itu, dalam data juga disebutkan bahwa tingkat kematian ayam di peternakannya sangat rendah, hanya 1% dari 30.000 ekor populasi. “Di farm sini per hari enggak melulu ada yang mati mas, enggak kaya di farm saya yang satunya yang belum saya bangun biosekuriti tiga zona,” ucap dia.

Ketika ditanya mengenai penyakit dan wabah AI, Subadio juga mengatakan bahwa belum pernah kandang tersebut terjangkit wabah mematikan seperti AI. “Paling penyakit cuma nyekrek-nyekrek (CRD) saja mas, kalau AI enggak pernah, kalau bisa jangan sampai kena AI deh,” kata Subadio.

Ia juga mengaku bahwa ketika terjadi penyakit, petugas kesehatan di farm-nya hanya memberikan terapi suportif berupa pemberian vitamin beserta suplemen pemacu sistem imun. “Kasus yang agak parah kemarin sih ada beberapa ekor yang kena fowl pox, sudah dibakar yang mati, terus sisanya kita pisahkan, isolasi dan kita vaksin ulang sambil diberikan terapi suportif,” kata Subadio.

Perihal dana yang dikeluarkan, Subadio enggan menyebut nominal angka yang ia gelontorkan untuk membangun sistem tersebut. “Yang jelas enggak sampai seratus juta untuk sistemnya saja, kurang dari itu. Tapi hasil yang saya dapatkan Alhamdulillah sudah balik modal itu biaya pembuatan sistemnya dalam dua bulanan,” tukasnya.

Hal serupa juga dirasakan Bambang Sutrisno, peternak layer asal Ungaran, Kabupaten Semarang. Bambang mengaku telah menerapkan biosekuriti tiga zona secara menyeluruh sejak 2015. Kini, Bambang merasakan hasilnya berupa keuntungan yang lebih baik ketimbang sebelum penerapan biosekuriti.

“Saya setelah mengadopsi sistem ini enggak nyangka bisa naik pendapatannya. Darimana? Pertama dari produksi yang bagus mas, per seribu ekor kini produksi telurnya stabil di 55-60 kg, padahal tadinya enggak segitu,” tutur Bambang berapi-api.

Selain itu dengan diterapkannya biosekuriti tiga zona, ia juga dapat menghemat penggunaan antibiotik di kandang sekitar 40%, begitu pula penggunaan obat-obatan lain yang dikurangi sampai 30% karena ayam jarang terserang penyakit.

“Dari penghematan itu kira-kira saya bisa kantongi 10 juta rupiah, yang tadinya buat beli antibiotik, obat-obatan dan lainnya, sekarang jadi masuk ke kantong saya. Lumayan banget,” ucap Bambang.

Menurutnya, menerapkan biosekuriti dengan baik itu mudah, modalnya hanya satu yakni niat. Jika niat sudah bulat otomatis komitmen akan terbangun, dengan terbangunnya komitmen akan timbul kebiasaan baik yang konsisten dan mengakar.

Efek Samping
Penerapan biosekuriti yang baik dan konsisten juga akan menghasilkan efek samping. Bukan efek samping yang negatif melainkan sebaliknya. Jenny Soelistiyani menerangkan, kini di Lampung animo peternak dalam menjalankan biosekuriti tiga zona meningkat pesat. Hal ini karena peternak yang menerapkan biosekuriti tiga zona dapat memperoleh Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dari Dinas Peternakan Provinsi.

“Ini juga jadi kerjasama kami dengan pemerintah, kemajuannya juga luar biasa. Tahu sendiri lah kalau sudah dapat NKV otomatis nilai produk yang dihasilkan juga meningkat. Tentu saja ini akan meningkatkan pendapatan peternak,” kata Jenny.

Yang lebih luar biasa, beberapa waktu lalu di Lampung, sekitar 14 peternak layer memperoleh sertifikat NKV dalam kurun waktu sembilan bulan. Ini merupakan salah satu capaian luar biasa bagi peternak di Lampung. Atas pencapaian itu, Provinsi Lampung mendapat ganjaran rekor MURI sebagai Pemprov yang menerima sertifikat NKV terbanyak dalam kurun waktu setahun. Selain menguntungkan peternak, tentunya ini juga dapat mengharumkan nama daerah.

Kepala Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung, Drh Anwar Fuadi, sangat bangga dengan pencapaian ini. Menurutnya, ini adalah hasil kerja nyata dari semua stakeholder peternakan layer yang ada di Lampung.
“Kami bangga, ini menunjukkan bahwa peternak rakyat juga mampu bersaing, selain menguntungkan peternak. Saya harap nantinya kedepan makin banyak peternak yang sadar akan hal ini,” tukas Anwar.

Tidak lupa Anwar juga mengingatkan bahwa penghargaan ini bukanlah titik akhir. Lampung memiliki program menjadi zona bebas AI di 2021 mendatang. Melalui penerapan biosekuriti yang baik, konsisten dan berkelanjutan, ia berharap bahwa program itu dapat tercapai. (CR)

REVISI PERMENTAN No.32 TAHUN 2017 SIAP DISAHKAN

Senyum lega Dirjen PKH setelah public hearing selesai
Setelah melalui proses yang alot dalam diskusi dan public hearing yang berlangsung Senin (7/10) yag lalu, Permentan No. 32/2017 yang telah direvisi siap disahkan oleh Menteri Pertanian. Peraturan tersebut mengatur tentang Penyediaan Peredaraan Pengawasan Ayam Ras dan Telur konsumsi.

Ditemui setelah public hearing selesai, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita berharap agar Permentan tersebut dapat menyelesaikan semua persoalan yang ada di lapangan selama ini. 

"Saya lega, sudah berkali - kali rapat akhirnya kini bisa dibilang kita satu tahap lebih maju agar ini bisa di tandatangani Pak Menteri, setelah review dari Itjen, baru nanti kita undangkan ke Menkumham" tuturnya.Sebelumnya memang Permentan 32/2017 ini dibuat untuk mengakomodir penyediaan ayam ras dilakukan berdasarkan rencana produksi nasional sesuai keseimbangan supply dan demand. Namun begitu memang ada beberapa poin yang harus direvisi agar terjadi keseimbangan antara perusahaan besar dan peternak mandiri.

Salah satu poin yang dimaksud misalnya tentang RPHU, pelaku usaha, diwajibkan memiliki RPHU dalam tempo 3 tahun. Lalu pelaku usaha juga wajib melakukan pemotongan ayam hidup (livebird) di RPHU dengan fasilitas rantai dingin yang memenuhi persyaratan. Khusus untuk perusahaan besar, RPHU harus memiliki kapasitas sebesar 100% produksi livebird Internal, yang harus dipenuhi secara bertahap. Pada tahun pertama paling rendah 20%, tahun kedua paling rendah 60% dan tahun ketiga 100%.

Dalam Revisi Permentan ini juga terdapat perbaikan pengaturan untuk distribusi Parent Stock (PS). Nantinya 25% dialokasikan untuk perusahaan PS eksternal dan tidak terafiliasi. DOC PS yang beredar juga wajib memiliki sertifikat benih/bibit yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk dan sertifikat SNI untuk DOC FS.

Terdapat juga hal yang berkaitan dengan penambahan dan pengurangan produksi ayam ras dalam revisi Permentan tersebut. Dimana nantinya tindakan tadi dapat dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan supply dan demand. Penambahan dan pengurangan dilakukan oleh tim analisa penyediaan dan kebutuhan ayam ras berdasarkan SK Menteri Pertanian. 

Pelaku usaha atau perusahaan dalam melakukan kegiatan penyediaan dan peredaran ayam ras wajib pula melaporkan produksi dan peredarannya kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, hal tadi dilakukan paling tidak satu bulan sekali setelah selesai kegiatan penyediaan dan peredaran ayam ras.Namun jika terjadi ketidak seimbangan supply dan demand laporan tadi juga dapat diminta sewaktu-waktu.

Anggota Tim Ahli Kementan, Trioso Purnawarman meminta kepada seluruh perusahaan agar jujur dalam pelaporan. “Jika ada perusahaan yang tidak jujur dalam laporannya Pemerintah, dalam hal ini Ditjen PKH dan Kementan akan memberikan sanksi, mungkin bisa berupa pemberhentian izin impor atau bahkan penutupan usaha, oleh karenanya mari kita saling jujur agar data yang kita miliki vaild dan tercipta iklim usaha yang baik,” tukasnya.

Selain  distribusi PS dan FS ayam ras, revisi rancangan Permentan ini juga akan mengatur tentang Industri pakan. Produsen pakan juga wajib menyediakan pakan yang sesuai persyaratan mutu dan keamanan pakan untuk kepentingan peternak. Mudah – mudahan, dengan direvisinya Permentan ini menjadi angina segar bagi industri perunggasan yang selama ini carut – marut karena adanya ketidakseimbangan supply dan demand. (CR)

AGAR AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. (Foto: Dok. Infovet)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas, baik broiler maupun layer, dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar.

Ancaman Tak Terlihat
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh dimana saja dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan bagi mereka (lembab). Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase penggunaan jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia sangat tinggi. Jagung dapat digunakan sampai 50-60%, sedangkan kedelai bisa sampai 20%. Bayangkan ketika keduanya terkontaminasi mikotoksin?

Sayangnya, kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin pada 2017, menununjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat terkontaminasi Deoksinivalenol/DON (Vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi dengan FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai dari Amerika Selatan terkontaminasi DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan, apalagi pakan jadi, tentunya akan sangat merugikan, baik produsen pakan maupun peternak. Menurut Poultry Health Division PT Kerta Mulya Saripakan, Drh Jumintarto, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan. Namun mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan di lapangan.

Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain, misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk dan pertumbuhan yang tidak merata, juga kesuburan dan daya tetas telur yang menurun. “Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita tidak kepikiran seperti itu,” ujarnya.

Jumintarto juga menyarankan, agar setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan dan lain sebagainya. “Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek ada apa di dalam jaringan atau pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” jelas dia.

Manajemen Risiko, Wajib Hukumnya
Apa yang pertama kali terpikirkan ketika dihadapkan dengan mikotoksin? Pasti adalah toksin binder. Toksin binder memang sudah lama digunakan dalam industri pakan ternak. Berbagai macam... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019

Jagung Masih Mencemaskan, Harga Telur Ayam Bisa Naik?

Harga jagung yang mahal berdampak ke harga telur.

Masalah jagung masih saja mencemaskan kalangan peternak. Presiden Peternak Layer Nasional (PLN) Musbar Mesdi mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah suplai jagung.

Harga jagung yang masih mahal bakal berdampak ke harga telur dan daging ayam. Dikutip dari www.cnbcindonesia.com, Musbar mengatakan apabila suplai jagung masih langka dan harganya terus mahal, harga telur di tingkat farm gate (peternak) akan mengalami kenaikan hingga Rp 2.000/kg dari harga yang diatur pemerintah.

Pasalnya, biaya produksi telur peternak dengan harga jagung saat ini telah mencapai Rp 20.800 - 22.000 per kilogram. Sementara Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2018 mengatur harga acuan pembelian telur dan daging ayam di tingkat peternak seharga Rp 18.000 - 20.000/kg.

"Pemakaian jagung itu 50% dalam adukan pakan, artinya ada kenaikan harga Rp 1.000 per 1 kg pakan," imbuhnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa umumnya bahan pangan dari unggas seperti daging dan telur ayam harganya mengikuti tren "bulan Jawa", atau tren kenaikan permintaan saat ada hari-hari besar keagamaan seperti puasa, Lebaran atau Natal.

"Trennya Januari-Februari permintaan telur memang sedang menurun, sehingga harga telur jatuh. Sementara harga pakannya naik," keluhnya

Jika pemerintah tidak segera turun tangan menambah impor jagung, permintaan telur yang naik di
akhir Februari- Maret akan membuat harga telur melonjak.

“Saat ini banyak peternak memilih memotong dan menjual daging ayam petelurnya dibandingkan merugi,” pungkas Musbar. **

El Nino & Pelarangan AGP, Ujian Berat Bagi Peternakan Indonesia

Usaha peternakan broiler yang masih menggunakan kandang tradisional. (Sumber: rri.co.id)

Tahun 2018 lalu menjadi salah satu ujian berat bagi sektor peternakan Indonesia. Selain karena cuaca yang tak menentu akibat El Nino, para peternak juga “diuji” ketahanannya dengan pakan tanpa AGP, bagaimana mereka menghadapinya?

“Untuk menjadi pelaut yang andal, harus mengetahui cuaca”. Kutipan tersebut juga berlaku di dunia peternakan. Karena untuk menjadi peternak yang andal, juga harus bisa bersahabat dengan alam. Selain faktor internal, kesuksesan dalam usaha peternakan juga didukung faktor eksternal, salah satunya iklim dan cuaca. Khususnya bagi peternak yang menerapkan sistem kandang terbuka, mereka benar-benar harus bisa bersahabat dengan alam agar performa ternaknya terjaga.

Fenomena El Nino
El Nino merupakan fenomena penurunan curah hujan di wilayah Indonesia terutama di selatan khatulistiwa. Penyebabnya adalah menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik area khatulistiwa, akibatnya musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Fenomena ini juga melanda negara-negara lain di dunia. Lahan pertanian menjadi yang paling berisiko terdampak kekeringan akibat El Nino.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa Indonesia bakal mengalami El Nino pada akhir September hingga awal Oktober 2018. Prediksi tersebut ternyata benar adanya, peternak merasakan bahkan sampai bisa dibilang “merindukan” datangnya hujan.

Dampak dari musim kemarau yang panjang bagi sektor peternakan tentunya tidak main-main, suhu tinggi pada siang hari dapat menyebabkan ternak stres, yang juga lebih penting adalah ketersediaan bahan baku pakan misalnya jagung.

Musim kemarau panjang tentunya menyebabkan suhu tinggi pada siang hari, terkadang suhu naik sangat ekstrem, sehingga menyebabkan cekaman pada ternak. Menurut Prof Agik Suprayogi, guru besar Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), iklim memegang peranan besar bagi produktivitas ternak dan kadang peternak sering acuh terhadap hal ini.

“Selain manajemen peternakan, jangan sekali-kali melupakan hal ini (iklim) apalagi ketika musim-musim yang sulit ditebak seperti itu, salah-salah nanti peforma ternak kita turun,” tutur Prof Agik.

Salah satu contoh iklim dapat memengaruhi maksud Prof Agik, yakni terhadap spesies hewan, misalnya sapi perah. “Sapi perah kan cocoknya di iklim dengan suhu sejuk dan dingin misalnya pegunungan, gimana coba kalau dipindahkan ke tengah kota? Produksinya turun toh,” ucapnya.

Ia melanjutkan, bahwa cekaman akibat suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah, selain dapat menyebabkan stres dan penurunan performa ternak, juga merupakan pelanggaran terhadap animal welfare.

“Bebas dari rasa ketidaknyamanan juga masuk dalam five freedom of animal welfare, oleh karenanya kalau peternak santai-santai saja menghadapi iklim ekstrem dan ternaknya dirawat “biasa-biasa saja” ruginya dua kali, sudah performa turun, dosa pula,” pungkasnya sambil berkelakar.

Mengapa rasa tidak nyaman pada ternak dapat menurunkan performa?, menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamel (2016) pada ayam broiler, cekaman suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Keluar Kandang, Begini Tips Simpan Telur Sebelum Didistribusikan

Foto: Pixabay

Produk peternakan biasanya mempunyai sifat yang mudah rusak, apalagi jika tidak diproses dengan pengendalian mutu yang baik. Beberapa produk peternakan seperti telur memang mempunyai daya tahan yang lebih baik jika dibandingkan daging dan ikan.

Meskipun demikian, telur pun harus disimpan dengan pengelolaan yang tepat agar kualitas telur tetap terjaga. Biasanya telur akan rusak karena air dan zat-zat makan dalam telur menguap, dan bisa juga karena kontaminasi bakteri dari luar yang masuk melalui pori-pori kulit telur.

Soeyanto, peternak ayam layer Cikupa, Tangerang berbagi beberapa tips cara menyimpan telur yang baik usai diambil dari kandang. Dalam proses pengumpulan telur dan  penyimpanan telur, ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya:

1. Kandang ayam harus diupayakan selalu bersih dan tidak lembab

2. Setelah diambil dari kandang, telur biasanya dipilih berdasarkan ukuran, kondisi cangkang, bentuk normal telur, dan kebersihannya

3. Telur  dicuci terlebih dahulu untuk menghindari kotoran maupun bakteri dari kandang yang menempel pada cangkang telur

4. Simpan telur yang sudah bersih di cool storage

5. Telur juga bisa disimpan dalam periuk tanah yang dilapisi dengan jerami atau daun pisang kering

6. Kantong plastik juga bisa menjadi tempat yang praktis untuk menyimpan telur. Telur bisa disimpan dalam kantong plastik yang tertutup rapat, supaya tidak ada pertukaran udara yang merusak kelembaban telur

7. Sesuai SOP, telur yang terkumpul langsung didistribusikan ke agen, jika masih berniat menyimpan maksimal 3 hari

Semoga bermanfaat.


Sisi Lain dari Mycoplasma “Penyakit Menahun yang Selalu Ada”

Air sacculitis yang ditemukan pada DOC yang menggambarkan penyebaran vertikal dari induk. (Sumber: Istimewa)

Penyakit saluran pernafasan mendapat perhatian ekstra, baik pada ternak layer, breeder sampai broiler. Penanganan dan antisipasi di layer farm dan breeder farm bisa diantisipasi dengan vaksinasi menggunakan beberapa penyakit yang menyerang saluran pernafasan, baik vaksin live ataupun vaksin killed, namun di broiler vaksinasi tidak selengkap di layer farm karena siklusnya yang pendek.

Ada satu link yang saling berhubungan erat baik di layer, breeder dan broiler, dan hampir semua sepakat mengatakan pengobatannya sangat sulit, berulang dan cost-nya cukup tinggi hanya untuk membebaskan farm dari penyakit ini. Peternak biasanya menyebutnya dengan CRD atau Chronic Respiratory Diseases yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum (MG).

Mycoplasma gallisepticum akan ditransferkan dari induk ke anak (DOC), sehingga akan mengakibatkan penyebaran 100% di kandang yang diakibatkan oleh bawaan induk. Hal ini tidak mengenal pengecualian, baik di layer, breeder maupun broiler. Ditambah lagi dengan penyebaran yang terjadi pada ayam di bawah empat minggu, akan menghasilkan gejala klinis lebih berat dibanding dengan ayam di atas empat minggu. Apabila tidak ditangani dengan sempurna, infeksi sekunder akan lebih mudah masuk dari awal, baik viral maupun bakterial, maka penanganan MG ini ketika terserang diumur di atas empat minggu.

Tidak seperti bakteri pada umumnya yang bersifat ektraseluler, bakteri ini dapat menginfeksi makrofag dan sel darah putih, sehingga dikategorikan sebagai intraseluler patogen dan dengan sifat inilah yang menyebabkan pengobatan terhadap mycoplasma seakan-akan tidak efektif dan cenderung berulang-ulang, hampir mirip dengan Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC yang memerlukan pengobatan intensif, dan karena sifat menginfeksi makrofag inilah beberapa ahli ada yang mengatakan MG sebagai salah satu penyakit imunosupresi.

Banyak yang ingin membunuh bakteri ini baik dengan antibiotik atau dengan sistem kekebalan tubuh berupa makrofag, namun bakteri ini justru bisa bersembunyi di dalam makrofag. Sudah tentu dengan sifat bakteri seperti ini, opsi untuk membuat kandang bebas mycoplasma hanya ada dua, antara lain DOC harus benar-benar free mycoplasma ditambah single age farm atau culling semua flok yang positif mycoplasma seperti yang dilakukan di beberapa negara lain. Karena pilihan tersebut sulit dilakukan, maka yang bisa dilakukan adalah berdamai dengan mycoplasma lewat tiga pilihan, yakni vaksinasi, antibiotik rutin dan berkala, serta kombinasi antara vaksin dengan antibiotik.

Antibiotik terhadap mycoplasma umum diberikan terutama saat DOC, baik layer, breeder maupun broiler, apabila mencurigai ada vertikal transmisi dari induk dan mencegah gejala klinis yang berat di awal pertumbuhan. Untuk mengetahui hal ini...

Drh Agus Prastowo
Technical Manager PT Elanco

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

PAKAN ALTERNATIF UNTUK UNGGAS

Bahan baku pakan yang berbentuk bijian untuk Pakan Alternatif dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling menjadi ukuran lebih kecil atau tepung (mash). (Sumber: Google)

Mendefinisikan Pakan Alternatif sebagai pakan unggas yang dibuat bukan dari dominasi bahan baku pakan utama seperti jagung dan bungkil kedelai. Namun Pakan Alternatif diformulasikan menggunakan bahan baku pakan lokal bersumber dari daerah setempat, baik sebagian dan/atau seluruhnya. Namun formula Pakan Alternatif ini tetap bisa memenuhi syarat-syarat, seperti standar spesifikasi pakan yang sesuai jenis dan fase hidup ternak, harga lebih murah, performa bisa setara dibanding pakan konvensional pabrikan.

Pakan Alternatif disini harus bisa dipahami menurut kaidah SNI (Standar Nasional Indonesia) pakan unggas. Untuk itu dilampirkan beberapa tabulasi data pendukung, diantaranya tabel standar spesifikasi pakan ayam KUB yang merupakan hasil riset Balitnak (Balai Penelitian Ternak), tabel SNI pakan layer dan broiler sebagai pembanding yang terdekat, tabel SNI pakan ternak bebek dan tabel SNI pakan ternak puyuh, serta tabel persyaratan mutu SNI pakan layer.

Guna memformulasikan Pakan Alternatif, maka diperlukan 11 Jurus Keseimbangan Formulasi Pakan Unggas yang terdiri dari: 1) Kebutuhan vs Pasokan. 2) Harga vs Kualitas Bahan. 3) Sumber Protein Hewani vs Nabati. 4) Metabolisme Energi vs Protein Kasar (Crude Protein). 5) Makro Mineral (kalsium vs fosfor). 6) Mikro Mineral. 7) Asam Amino Essensial. 8) Asam Lemak. 9) Feed Intake vs Bobot Badan. 10) Feed Intake vs Karkas. 11) Feed Intake vs Feed Conversion Ratio.

Pakan Alternatif yang dimaksudkan di sini untuk digunakan pada peternakan skala kecil dengan populasi berkisar 1.000-2.000 ekor. Tujuan membuat Pakan Alternatif agar biaya operasional peternak kecil lebih efisien dan mandiri, serta memiliki patokan dari kandungan nutrisi maupun hal lainnya, terutama harga setelah menjadi pakan siap saji.

Faktor ekonomi terkait biaya pakan ini menjadi sangat penting mengingat semakin  terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar US yang mengakibatkan harga pakan konvensional dari pabrikan semakin mahal. Dan pembelian pakan pabrikan dalam kuantitas sedikit tentu menyebabkan harganya lebih tinggi dan menjadi tidak efisien daripada pembelian pakan konvensional dalam jumlah besar pada peternak skala jumbo, sehingga peternak berpopulasi besar masih bisa efisien dan bertahan dengan naiknya harga pakan pabrikan.

Situasi sulit naiknya harga pakan jadi ini bisa saja dimanfaatkan pihak-pihak tertentu dengan mengatakan bahwa penggunaan Pakan Alternatif hanya untuk mendapat keuntungan sepihak, bahkan sesaat saja. Untuk itu mari bersama-sama pahami apa yang dimaksud Pakan Alternatif sebagaimana definisi awal tersebut. Yakni bukan asal pakan mandiri yang harganya murah disebut sebagai Pakan Alternatif.

Tujuan dari pembuatan Pakan Alternatif antara lain adalah Pertama, menciptakan kemandirian terhadap sumber bahan baku pakan baik sebagain dan/atau keseluruhan. Kedua, peternak dapat menikmati harga pakan komplitnya yang diharapkan bisa lebih murah 5-20% dibanding pakan konvensional buatan pabrikan. Kalau harga Pakan Alternatif bisa lebih murah 50% dibanding pakan pabrikan, itu sesuatu yang hampir mustahil. Jangan-jangan pakan abal-abal. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah spesifikasinya dalam kualitas dan performanya bisa setara dengan pakan pabrikan? Maka jawaban pastinya dengan cara menunjukkan Sertifikat Hasil Uji Laboratorium yang kredibel dari Pakan Alternatif tersebut. Untuk itu pembuat dan/atau penjual Pakan Alternatif harus paham apa itu analisa proksimat. Ketiga, pembuat Pakan Alternatif harus bisa membuat pakan spesifik untuk tujuan tertentu, misal pembuatan pakan organik bebas antibiotika, kemudian pakan dengan tujuan untuk warna kulit telur lebih coklat, pucat atau lebih biru, warna ovum bisa lebih oranye, ukuran telur menjadi lebih kecil atau lebih besar, memproduksi telur organik, rendah kolestrol, bebas kuman dan untuk tujuan lainnya.

Langkah Membuat Pakan Alternatif
Pertama, lakukan survei sejauh radius maksimum 15 km dari lokasi peternakan, apakah ada bahan baku lokal yang masih layak pakai dengan jumlah yang cukup dan kontinyu. Bila sumber bahan baku pakan lokal jaraknya terlalu jauh >15 km, maka ongkos transportnya relatif mahal, tidak efisien dan pakan akhirnya tidak menjadi murah.

Berikutnya, tersedia sumber bahan baku pakan lokal. Bisa dari limbah industri, pertanian, perkebunan, peternakan, rumah makan, hotel dan lain-lain. Tentu saja harganya harus lebih murah atau bahkan gratis.

Tahapan lain untuk mendukung tersedianya sumber bahan baku bisa juga diperoleh melalui pembiakkan tanaman dan hewan tertentu (Azolla, cacing Lumbricus rubelus dan lain-lain), di mana nilai gizinya sangat baik dan cepat perkembang-biakannya, serta relatif mudah pengelolaannya.

Bahan baku pakan lokal seperti ini bisa saja keberadaannya musiman, tetapi dengan proses fermentasi tertutup, bisa disimpan relatif lama >1-24 bulan. Artinya semua bahan baku pakan lokal harus diperiksa untuk diketahui isi nutrisinya yang harus lengkap, seperti kadar air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kadar abu dan makro mineralnya (kalsium dan fosfor).

Bila tidak didukung database yang lengkap, maka hasil akhir formula Pakan Alternatif akan menjadi bias dan tidak memenuhi SNI, serta bijaknya usahakan untuk mencari referensi tentang kadar gizi dan isi detail bahan baku lokal (asam amino, asam lemak, vitamin dan mikro mineral) atau melalui hasil penelitian riset.

Proses Persiapan Bahan Baku Pakan Lokal
Bahan baku pakan lokal perlu diproses terlebih dahulu sebelum digunakan dalam pembuatan Pakan Alternatif. Bahan baku pakan yang basah atau kadar airnya tinggi lebih dari 15% perlu dikeringkan dahulu (ampas tahu, onggok singkong, limbah pabrik udang, limbah rumah makan/hotel, limbah pasar) sampai kadar airnya menjadi 10-14%, agar bila diformulasi pakan komplitnya berkadar air tidak lebih dari 14%. Batas maksimum kadar air pakan komplit tersebut itulah yang sesuai rekomendasi SNI.

Bahan baku pakan yang berbentuk bijian (biji nangka, biji durian, biji rambutan dan lain sebagainya), dikeringkan kemudian digiling menjadi ukuran lebih kecil atau tepung, mash 5-20 agar bisa merata saat dicampur. Seyogianya difermentasi dahulu agar zat-zat anti-nutrisinya terurai.

Bahan baku pakan yang berkualitas rendah dan berserat kasar tinggi >10% (dedak, ampas kelapa, ampas tahu, ampas singkong dan lain-lain), mesti difermentasi agar kualitasnya meningkat dengan menurunkan kadar serat sangat kasar (lignin) dan sarat kasar (selulosa, hemiselulosa) dan menaikkan Total Digestible Nutrien (TDN). Untuk fermentasi ini, diperlukan probiotika yang kerjanya lignolitik dan selulolitik, supaya secara nyata kadar serat kasarnya turun dan kadar proteinnya meningkat secara signifikan.

Apabila semua bahan lokal sudah siap digunakan, maka dengan pertimbangan dan berpatokan pada 11 Jurus Keseimbangan Formulasi Pakan Unggas, kemudian formulasikan bahan baku pakan lokal dengan bahan baku pakan nasional dan/atau internasional mengacu pada SNI pakan, sehingga Pakan Alternatif siap saji sesuai dengan jenis dan fase hidup ternaknya.

Apabila tujuan penggunaan Pakan Alternatif ini bisa tercapai, yaitu mandiri dan efisiensi dengan harga jauh lebih murah dibanding pakan pabrikan dan dengan performa ternak setara dengan pakan pabrikan, tentu lebih menguntungkan bagi peternak unggas. Memang seperti menjadi repot sedikit, mengapa tidak? Karena semua tenaga yang dicurahkan pun bisa dihitung dan dikonversikan dalam biaya total pembuatan Pakan Alternatif untuk dibandingkan sebagai pembeda dengan pakan konvensional.

Semua peternak khususnya pelaku bisnis penyedia Pakan Alternatif boleh berharap dan berdoa agar tidak ada pihak-pihak yang dengan mudah mengatakan bahwa pakannya Pakan Alternatif tetapi memiliki kualitas yang jauh dari SNI. Efeknya bisa dipastikan akan merugikan pembelinya.

Bagi peternak, jangan mudah tergiur dengan pakan yang diklaim sebagai Pakan Alternatif hanya karena murah harganya. Namun, tanyakan kepada produsen, apakah pakannya sudah memenuhi SNI Pakan Ternak dan Unggas. Serta agar produsen mampu menunjukkan sertifikat hasil uji analisa proksimat-nya. Apabila semua data tersebut terbukti ada, peternak bisa mencoba menggunakannya dengan jumlah sesuai kebutuhan untuk melihat performanya.

Demikian artikel ini disajikan penulis yang bertujuan memberikan pencerahan kepada peternak skala kecil, sehingga tidak salah dalam membeli atau menggunakan Pakan Alternatif untuk menghindari kerugian yang cukup besar. ***

Ditulis oleh Drh Djarot Winarno
Praktisi dan konsultan peternakan
Tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur






ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer