Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Mikotoksin | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PT CAHAYA SAKTI KIMIA GELAR SEMINAR EDUKASI MIKOTOKSIN

Yuana Saputra, Teritory Manager Olmix Indonesia memaparkan materi seminar (Foto: Istimewa)


Mini seminar mengangkat topik “How to Eliminate Mycotoxin Challenge in Various Raw Materials" yang diselenggarakan PT Cahaya Sakti Kimia dan PT Olmix Indonesia Nutrition (Olmix), Maret lalu berlangsung sukses. Kegiatan digelar selama dua hari pada 18 Maret 2024 di Kayu Arum Resort, Salatiga dan 19 Maret 2024 di Hotel POP, Solo.

Ronald Paulus selaku Direktur PT Cahaya Sakti Kimia saat dihubungi Infovet melalui WhatsApp mengatakan latar belakang diadakannya seminar tersebut sebagai pengingat bahwa kondisi bahan baku pakan ternak utama yaitu jagung masih rentan terhadap kontaminasi, mikotoksin baik field mycotoxin maupun storage mycotoxin.

“Kegiatan ini juga sebagai salah satu wujud peran serta kami dalam mendukung kesehatan hewan di Indonesia dengan memberikan edukasi dan informasi kepada peternak dan feedmiller. Khususnya tentang mikotoksin, global tren mikotoksin, mycotoxin management and strategy, metode sampling yang benar untuk mendukung analisa mikotoksin, efikasi beberapa bahan toxin binder, serta teknologi dari Olmix Perancis di dalam MTX+ untuk mengikat semua jenis mikotoksin,” terang Ronald.

Acara dibuka dengan opening speech dari Endri Yoga Laksana selaku Technical Manager Olmix dan Yuana Saputra selaku Teritory Manager Olmix Indonesia.

Paparan materi berjudul “How to Eliminate Mycotoxin Challenge in Various Raw MaterialProduct Specialist Olmix untuk Asia, Mike Lin. Disusul dengan presentasi produk MTX+ , Solusi dari Olmix oleh Endri Yoga Laksana dan Yuana Saputra.

Toxin binder wide spectrum dari Olmix yaitu MTX+ dengan nanoteknologi interspaced montmorillonite yang telah dipatenkan dengan kemampuan mengikat segala jenis mikotoksin. Selain itu terdapat kandungan Yeast Cell walls, Diatomaceous earth, dan ekstrak alga untuk memaksimalkan kinerja dari toxin binder ini. Produk ini telah melewati uji invitro dynamics trial dengan efikasi tinggi terhadap FUM dan DON.

Foto betsama customer yang hadir dalam seminar (Foto: Istimewa)

Usai sesi tanya jawab, tim Olmix dan Aziz selaku Sales PT Cahaya Sakti Kimia area Jawa Tengah menyampaikan promo program dilanjutkan dengan buka puasa bersama dan lucky draw. Seminar ini dihadiri customer yang diantaranya para peternak layer, babi, serta local feedmill. (NDV)

BEGINI AGAR AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN

kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan salah satunya jagung. (Foto: Dok. Infovet)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa di peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas dapat menyebabkan kerugian sangat besar.

Ancaman Serius
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh dimana saja dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan mereka. Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, sebut saja jagung dan kacang kedelai.

Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase penggunaan jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia pun sangat tinggi. Jagung dapat digunakan sampai dengan 50-60%, sedangkan kedelai bisa 20%. Bayangkan jika keduanya terkontaminasi mikotoksin.

Sayangnya, kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin 2017, menununjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat terkontaminasi Deoksinivalenol/DON (Vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi dengan FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai dari Amerika Selatan terkontaminasi dengan DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut di atas sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan, apalagi pakan jadi, tentunya akan sangat merugikan produsen pakan maupun peternak. Menurut konsultan perunggasan sekaligus anggota Dewan Pakar ASOHI, Tony Unandar, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan. Kasus mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan di lapangan. Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk dan pertumbuhan yang tidak merata. Kesuburan dan daya tetas telur yang menurun.

“Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita enggak kepikiran begitu,” ujar Tony.

Dirinya menyarankan agar jika bisa setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel, baik berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan dan lain sebagainya.

“Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek itu ada apa di dalam jaringan, di dalam pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” tegasnya.

Meminimalisir Risiko
Beragam alasan mendasari mengapa mikotoksin harus dan wajib diwaspadai. Menurut Technical Manager PT Elanco Animal Health Indonesia, Drh Agus Prastowo, mikotoksin dapat merusak performa secara diam-diam. Hal ini tentu saja karena mikotoksin selalu ditemukan dalam pakan (dengan kadar berbeda), tidak memiliki simtom spesifik dan semakin panjang periode pmeliharaannya akan semakin berbahaya.

“Membunuh diam-diam dan tanpa gejala itu lebih berbahaya, mungkin untuk kematian mikotoksin ini kurang, tetapi kalau sudah kena jadinya imunosupresif. Pas kita yakin ayam sehat ternyata imunnya enggak bagus, pas ada masuk penyakit, kena, matinya banyak, pasti rugi. Makanya ini bahaya banget,” tutur Agus.

Lebih lanjut dikatakan, sangat sulit mendeteksi keberadaan mikotoksin pada bahan baku pakan karena tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berasa. Ia juga memberi contoh misalnya toksin dari jenis zearalenone yang dapat berikatan dengan komponen nutrisi yang berbeda-beda. Jika zearalenone berikatan, misalnya dengan glikosida, (ikatan zearalenone-glikosida), maka toksin zearalenone ini akan sulit terdeteksi dengan metode konvensional.

“Itu namanya masked mikotoksin, kalau ikatan itu sampai terurai setelah tercampur dengan empedu di duodenum, maka sifat toksik zearalenone itu akan keluar dan membahayakan yang memakannya. Selain zearaleone, beberapa toksin seperti fumonisin dan okratoksin juga bisa membentuk ikatan tadi,” ungkap Agus.

Jadi apa yang harus dilakukan dalam menghadapi toksin? Sebagian besar orang pasti akan terpikirkan tentang toxin binder ketika dihadapkan dengan mikotoksin. Toxin binder memang sudah lama digunakan utamanya dalam industri pakan ternak. Berbagai macam toxin binder dengan beragam kandungan zat aktif beredar dan saling klaim menjadi yang terbaik.

Padahal tidak semua mikotoksin dapat diikat dengan jenis toxin binder yang sama. Misalnya saja mikotoksin Fusarium sp. yang strukturnya tidak bisa diikat dengan toxin binder biasa. Butuh trik lain dalam menghadapinya. Daripada repot menggunakan banyak produk, akan lebih baik jika dilakukan upaya pencegahan.

Menurut Direktur PT Farma Sevaka Nusantara, Drh I Wayan Wiryawan, permasalahan mikotoksin memang bisa dibilang kompleks dan menyeluruh. Maksudnya, penanganan mikotoksin tidak hanya harus dicegah di hilir dalam produk jadi (pakan), tetapi juga harus dicegah di hulu (tanaman bahan baku pakan).

“Sekarang begini, kalau kita hanya fokus di satu sektor, hilir saja misalnya, apa yang bisa kita lakukan selain pemberian toxin binder atau mould inhibitor saja kan? Karena sifatnya toksin ini juga tahan panas, jadi sulit untuk diurai. Makanya ini harus diminimalisir juga di sektor hulunya,” kata Wayan.

Ia mencontohkan bahwa petani jagung atau bahan baku pakan lainnya juga harus diedukasi, mau tidak mau harus dilakukan karena menurut dia jagung lokal banyak yang memiliki kadar air di bawah standar yang ditentukan pabrik pakan. Sehingga keadaan ini membuat jagung menjadi rentan terkontaminasi mikotoksin pada saat penyimpanan.

“Saya bukannya bilang kita harus impor jagung karena jagung lokal banyak toksinnya ya, maksud saya, petani kita harus dibantu. Selama ini banyak yang mengandalkan matahari saja untuk menjemur jagungnya, coba diberi corn dryer, dibantu dan disubsidi juga begitu. Saya yakin mereka bisa menghasilkan jagung yang memenuhi standar pabrik pakan,” ungkapnya.

Beberapa upaya pencegahan yang secara aktif dapat dilakukan bagi produsen pakan maupun peternak self-mixing di antaranya: 

• Rutin memeriksakan kualitas bahan baku, terutama saat kedatangan bahan baku atau ransum. Jangan segan-segan untuk melakukan reject kalau ditemukan bahan baku ransum yang terkontaminasi jamur, mengingat fenomena jamur ini seperti fenomena gunung es. Selain itu, pastikan kadar airnya tidak terlalu tinggi, >14% sehingga bisa menekan pertumbuhan jamur.

• Pengaturan manajemen penyimpanan bahan baku ransum. Setidaknya berikan alas (palet) pada bahan baku yang ditumpuk dan diatur posisi penyimpanannya sesuai dengan waktu kedatangannya (first in first out/FIFO). Suhu dan kelembapan tempat penyimpanan harus diperhatikan. Hindari penggunaan karung tempat ransum secara berulang dan lakukan pembersihan gudang secara rutin. Saat ditemukan serangga, segera atasi mengingat serangga mampu merusak lapisan pelindung biji-bijian sehingga bisa memicu tumbuhnya jamur.

• Saat kondisi cuaca tidak baik, apalagi musim penghujan, tambahkan mold inhibitors (penghambat pertumbuhan jamur), seperti asam organik atau garam dari asam organik tersebut. Salah satu bahan aktif mold inhibitor yang umum ditemui yakni Asam propionat.

Apabila kondisi memburuk dan ternyata memang ditemukan ada kontaminan mikotoksin dalam jumlah di atas standar, upaya yang dapat dilakukan yakni:

• Membuang pakan yang terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi, mengingat mikotoksin bersifat sangat stabil.

• Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau ransum yang belum terkontaminasi. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan konsentrasi mikotoksin. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahan baku ini hendaknya segera diberikan ke ayam agar konsentrasi mikotoksin tidak meningkat.

• Penambahan toxin binder (pengikat mikotoksin), seperti zeolit, bentonit, hydrate sodium calcium aluminosilicate (HSCAS) atau ekstrak dinding sel jamur. Antioksidan, seperti butyrated hidroxy toluene (BHT), vitamin E dan selenium juga bisa ditambahkan untuk mengurangi efek mikotoksin, terutama aflatoksin, DON dan T-2 toksin. Meskipun tidak 100% dapat mengikat, tetapi risiko harus tetap dipertimbangkan.

• Suplementasi vitamin, terutama vitamin larut lemak (A, D, E, K), asam amino (methionin dan penilalanin) maupun meningkatkan kadar protein dan lemak dalam ransum juga mampu menekan kerugian akibat mikotoksin. ***

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

MEMAKSIMALKAN UPAYA PENGAMANAN DAN KUALITAS PAKAN

Jagung, bahan baku pakan yang rentan tercemar mikotoksin. (Foto: Istimewa)

Pakan merupakan faktor utama dalam budi daya perunggasan, 70 sampai 80% biaya budi daya dalam beternak berasal dari pakan. Dalam menghasilkan pakan yang berkualitas tentu didukung penggunaan bahan baku berkualitas dan serangkaian proses tertentu.

Apalagi dikala kondisi saat ini yang bisa dibilang harus lebih efisien dikarenakan kenaikan harga berbagai bahan baku yang secara langsung mendongkrak harga pakan. Kualitas pakan menjadi harga mati para produsen pakan agar produk tetap digemari penggunanya.

Risiko di Dalam Pakan
Pakan yang baik dan berkualitas harus memenuhi persyaratan mutu mencakup kualitas nutrisi, kualitas teknis, keamanan pakan dan nilai bioekonomis penggunaan pakan. Keamanan pakan adalah bagian dari keamanan pangan, karena pakan merupakan salah satu mata rantai awal dari keseluruhan mata rantai makanan.

Dalam sebuah seminar perunggasan, Tony Unandar selaku konsultan perunggasan berujar bahwa selain udara dan lingkungan, pakan juga dapat menjadi pintu masuk bagi mikroba patogen ke dalam tubuh ayam. Artinya, pakan yang tercemar mikroba patogen atau kualitasnya buruk akan membawa dampak buruk bagi pertumbuhan, kesehatan dan performa ayam.

Menurut Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, Prof Dewi Apri Astuti, kualitas pakan berbanding lurus dengan kualitas bahan bakunya. Dalam menjaga kualitas bahan baku, produsen terkendala dari bahan pakan yang bersifat sensitif dan rentan kerusakan akibat perubahan kondisi lingkungan. Ada beberapa kerusakan sering terjadi akibat kesalahan penanganan dan penyimpanan, antara lain:… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023. (CR)

MENJAGA KEAMANAN DAN KUALITAS PAKAN

Ancaman mikotoksin dari bahan baku biji-bijian. (Foto: Istimewa)

Sebagaimana dipahami bersama bahwa pakan memegang peranan penting mendukung pertumbuhan dan produksi ternak. Oleh sebab itu, pakan yang diberikan harus senantiasa dijaga kualitasnya. Hal-hal yang berkaitan dengan manajemen pengadaan, penanganan dan penyimpanan bahan baku serta pakan jadi dan cara pemberian pakannya, memegang peran penting untuk memastikan pakan yang diberikan pada ternak tetap terjaga kualitasnya.

Di lapangan, banyak jenis bahan baku pakan yang dapat digunakan. Bahan baku pakan yang umum digunakan berasal dari tumbuhan dan produk asal hewan, baik dalam bentuk olahan maupun produk sampingannya (by products). Beberapa bahan baku yang bersifat umum digunakan dalam formulasi pakan merupakan sumber dari berbagai komponen nutrein yang dibutuhkan ternak. Dimana antara bahan baku pakan yang satu dengan yang lain saling melengkapi dan digunakan dalam komposisi ideal untuk memperoleh keseimbangan nutrisi yang dibutuhkan ternak.

Penanganan bahan baku pakan yang kurang baik, terutama bahan baku pakan asal biji-bijian seperti jagung, mulai dari panen sampai penyimpanannya, sering ada masalah terkait pencemaran mikotoksin. Pada ternak, kejadian toksikosis yang bersifat akut atau kronis dapat terjadi dari pencemaran pakan oleh toksin yang diproduksi berbagai saprophytic atau phytopathogenic jamur selama masa pertumbuhannya pada biji-bijian, jerami, rumput atau pada beberapa jenis bahan baku pakan lainnya.

Mikotoksikosis sendiri disebabkan oleh zat beracun dari hasil metabolit jamur atau fungi yang umum tumbuh dalam bahan baku atau pakan jadi. Mikotoksin akan sangat cepat dihasilkan jamur atau fungi, bila kelembapan dan temperatur lingkungan serta kadar air bahan baku atau dalam pakan, mendukung tumbuh dan berkembangnya jamur penghasil mikotoksin. Jamur penghasil mikotoksin mudah tumbuh pada kelembapan lebih dari 75% dan temperatur di atas 20° C dan dengan kadar air bahan baku pakan di atas 16%, terutama pada bahan baku pakan asal biji-bijian.

Untuk kondisi Indonesia saat ini terutama pada saat musim hujan, masih cukup banyak ditemukan adanya jagung yang tercemar mikotoksin. Hal ini berkaitan dengan kelemahan pada sistem penanganan pasca panen. Bila panen jagung bertepatan dengan musim hujan, dimana umumnya petani hanya mengandalkan sinar matahari untuk mengeringkan jagung, membuat petani kesulitan mengeringkan jagungnya, sehingga jagung menjadi mudah ditumbuhi jamur penghasil mikotoksin.

Permasalahan yang ada di lapangan, peternak kerap… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2023.

Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
JL. DR SAHARJO NO. 264, JAKARTA
Tlp: 021-8300300

SELKO SELENGGARAKAN WEBINAR REVIEW MIKOTOKSIN TAHUNAN

Selko Berbagi Informasi dan Solusi Untuk Stakeholder Melalui Webinar


Selko sebagai salah satu merk dagang feed additive dibawah naungan Nutreco menyelenggarakan webinar review mikotoksin 2022 pada (31/1) yang lalu. Dalam webinar tersebut Selko menjabarkan berbagai macam mikotoksin yang mereka temukan pada lebih dari 50.000 sampel bahan baku dan pakan jadi yang memang rutin mereka lakukan setiap tahunnya. 

Pedro Caramona selaku Global Business Director Feed Safety & Quality Selko mengatakan bahwa setiap tahunnya kondisi di pasar global saat ini memiliki masalah besar pada kualitas biji-bijian dan durasi penyimpanan, yang diakibatkan oleh mikotoksin. Selain itu mikotoksin juga merupakan ancaman utama bagi kesehatan dan performa hewan. 

"Oleh sebab itu kami hendak berbagi informasi kepada para produsen pakan, supplier, serta para stakehloder lain untuk lebih memahami kondisi ini. Setidaknya ini dapat membantu kita dalam mengambil keputusan apa yang akan kita lakukan dengan kondisi yang sekarang, kami juga beharap agar ini dapat meningkatkan kewaspadaan kita semua," tuturnya.

Pembicara utama dalam webinar tersebut yakni Dr Swamy Haladi yang merupakan Commercial Technical Manager - Mycotoxin Risk Management, Selko. Dalam presentasinya ia menjabarkan beberapa hal terkait cemaran mikotoksin yang terdapat pada bahan baku serta pakan jadi.

"Berdasarkan temuan kami dari lebih 50.000 sampel terkontaminasi mikotoksin dengan derajat konsentrasi yang bervariasi antara 31-69%. Aflatoksin masih menjadi mikotoksin utama yang paling banyak ditemukan di Asia, sedangkan fumonisin mengontaminasi sampel yang berasal dari Amerika latin secara dominan," tuturnya.

Yang mengejutkan menurut Dr Swamy yakni perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun belakangan ini meningkatkan tingkat kecemaran dari sampel. Rerata semua jenis toksin yang diperiksa mengalami peningkatan konsentrasi.

Ia juga memberi perhatian lebih kepada para produsen untuk lebih waspada dengan meningkatnya konsentrasi cemaran fumonisin dan T-2HT2 yang cukup signifikan dibandingkan tahun - tahun sebelumnya. Tak lupa ia menghimbau kepada para produsen, supplier, dan stakeholder lainnya agar lebih selektif dalam mencari solusi agar dapat mengendalikan mikotoksin. (CR)

MELACAK GERAK-GERIK TOKSIN T-2

Jagung berjamur. (Sumber: Istimewa)

Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh beberapa kapang beracun dari tiga genus utama, yaitu Aspergillus, Fusarium dan Penicilium. Bersifat “ubiquitous” alias mudah ditemukan di alam bebas, sangat tahan pada suhu tinggi dan cenderung mempunyai karakter lipofilik serta sangat beracun bagi manusia ataupun hewan. Spektrum toksikologisnya sangat luas, sehingga bentuk manifestasi klinis dan patologi-anatomisnya sangat variatif, baik pada hewan secara umum, maupun pada unggas khususnya. Toksisitasnya bisa bersifat akut atau kronis, dengan bentuk gangguan bersifat karsinogenik, genotoksisitas, imunotoksisitas, mutagenisitas, maupun teratogenisitas. Selain itu, dampak sinergistik antar beberapa jenis mikotoksin sudah dibuktikan secara in-vitro maupun in-vivo oleh para ahli toksikologi. Tulisan singkat ini mencoba meneropong mikotoksin dari kelompok Trikotesen, khususnya toksin T-2 yang juga jamak ditemukan pada ayam modern.

Sekilas Mikotoksin
Di atas telah disebutkan secara biologis mikotoksin adalah senyawa toksik yang merupakan metabolit sekunder kapang Aspergillus, Fusarium dan Penicilium yang menginvasi biji-bijian ketika masih dalam fase pertumbuhan di ladang dan/atau bahan baku/pakan selama penyimpanan, terutama jika suhu dan kelembapan sangat ideal untuk pertumbuhan kapang tersebut (Shamsudeen et al., 2013).

Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2012, memperkirakan kurang lebih 25% dari makanan manusia dan hewan terkontaminasi satu atau beberapa jenis mikotoksin. Usaha-usaha untuk membuat dekontaminasi secara fisik maupun dengan adsorben kimiawi sejauh ini masih terbatas (Huwig et al., 2001; Shetty dan Jesperson, 2006).

Gambar 1: Toksisitas relatif beberapa jenis mikotoksin terhadap hewan ternak (food producing animals). Di lapangan kasus keracunan Aflatoksin-B1 (AFB1), toksin T-2 dan Okratoksin-A pada ayam modern mempunyai prevalensi cukup tinggi sepanjang tahun, baik pada level ayam bibit (parent stock) maupun ayam komersil (final stock).

Hampir sama dengan polutan lingkungan lainnya, mikotoksin sangat mengganggu kesehatan dan produktivitas hewan, unggas khususnya (Zain, 2011; Katole et al., 2013). Lebih dari 350 jenis mikotoksin sudah diidentifikasi di alam, misalnya kelompok Aflatoksin (AF), Okratoksin (OT), Fumonisin (F) dan kelompok Trikotesen (Patil, 2014).

Gambar 2: Dampak metabolik pada kasus keracunan mikotoksin umumnya sudah dimulai dari saluran cerna (gastrointestinal tract) yang ujung-ujungnya akan mengakibatkan gangguan asupan nutrisi bagi induk semang, baik makro-nutrisi maupun mikro-nutrisi. Selanjutnya, mikotoksin yang terabsorpsi dapat mengganggu atau bahkan merusak kedua organ yang berfungsi untuk detoksikasi bagi induk semang, yaitu hati dan ginjal. Bagan ini menunjukkan patogenesis dampak metabolik mikotoksin pada umumnya terhadap ayam modern tipe petelur, baik ayam bibit (grand parent ataupun parent stock) atau ayam petelur komersil, yaitu gangguan produksi telur (% hen day) serta kualitas kerabang telur.

Mengenal Kelompok Trikotesen
Trikotesen (TCT) adalah sekelompok mikotoksin yang dihasilkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022. (toe)

Ditulis Oleh:
Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

MUSIM PENGHUJAN MIKOTOKSIN TETAP JADI ANCAMAN

Mekanisme kerja mikotoksin. (Sumber: Hosam El-Din, 2013)

Pakan merupakan komponen biaya terbesar dari suatu usaha budi daya peternakan maupun perikanan. Oleh karena itu, kualitas pakan harus terjamin dan aman dikonsumsi untuk ternak, apalagi dari ancaman mikotoksin.

Data dari Badan Pusat Statistik terkit survei struktur ongkos peternakan pada 2017, menunjukkan bahwa persentase terbesar dari komponen biaya peternakan adalah pakan. Untuk ayam pedaging sekitar 57% biaya berasal dari pakan, sedangkan ayam petelur jauh lebih tinggi yakni diangka 70%. Pada ternak ruminansia rata-rata ongkos pakan berkisar 51-67%.

Tentunya dengan biaya sebesar itu pakan diharapkan dapat menjadi sumber nutrisi dalam menunjang performa ternak agar tetap sehat. Namun, bagaimana jika ternyata dalam pakan malah terdapat cemaran mikotoksin yang merugikan kesehatan ternak yang berujung pada kerugian ekonomi peternak akibat ternakya sakit?. Oleh karenanya hal tersebut perlu dicermati peternak agar pakan yang dikonsumsi aman dan menyehatkan ternak.

Sekilas Mikotoksin
Sebagaimana diketahui mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang alias jamur pada kondisi lingkungan yang ideal, mikotoksin bisa tumbuh pada hampir semua jenis komoditi hasil pertanian di seluruh dunia, tentunya yang disoroti dalam pakan yakni jagung. Hingga kini, lebih dari 300 jenis toksin telah teridentifikasi yang berasal lebih dari 100.000 spesies kapang/jamur.

Menurut Regional Technical & Marketing Director Biomin, Justin Tan, dalam sebuah webinar mengatakan masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas di seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis.

“Banyak faktor yang memengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pemanenan, pengolahan dan bahkan penyimpanan bahan baku pakan yang salah,” tuturnya.

Justin memberi contoh... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022. (CR)

KESIAGAAN HADAPI MIKOTOKSIN DI MUSIM PENGHUJAN


Saat ini mikotoksin semakin mendapat perhatian serius dan harus diwaspadai karena mikotoksin hampir selalu ditemukan di setiap bahan baku pakan. Mikotoksin meski dalam jumlah rendah namun terus-menerus ada dalam bahan baku pakan, akan menyebabkan penurunan efisiensi produksi dan meningkatkan kepekaan ayam terhadap berbagai jenis infeksi penyakit yang disebabkan melemahnya sistem pertahanan tubuh.

Mikotoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh mikotoksin dan penyakit tersebut timbul jika unggas mengonsumsi pakan atau bahan yang mengandung mikotoksin. Berdasarkan tempat proses tumbuhnya jamur yang memproduksi toksin dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

1. Field Fungi. Jamur yang tumbuh pada masa tanam di ladang/lahan pertanian (contoh: Fusarium).

2. Storage Fungi. Jamur yang tumbuh pada masa penyimpanan di gudang (contoh: Aspergillus sp. dan Penicillium sp.). Pada masa tanam tanaman jagung, kandungan jamur semakin meningkat seiring pertumbuhan tanaman tersebut. Toksin yang dihasilkan jamur semakin meningkat. Pada masa penyimpanan, kandungan jamur meningkat seiring masa penyimpanan dan kondisi yang ideal bagi pertumbuhannya.

Gejala klinis mikotoksikosis biasanya tergantung dari jenis dan kadar mikotoksin. Variasi gejala klinis tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan, gangguan produksi telur, gangguan daya tetas telur, gangguan pencernaan, perdarahan pada kulit, kerusakan jaringan pada paruh, rongga mulut dan gangguan akibat efek imunosupresi.

Mikotoksin akan menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022.

Ditulis oleh: Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, Jakarta
Telp: 021-8300300

SEKILAS TENTANG MIKOTOKSIN

Mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk pertanian seperti jagung untuk pakan ternak. (Foto: Thinkstock)

Mikotoksin adalah metabolit sekunder produk dari kapang berfilamen, dimana dalam beberapa situasi dapat berkembang pada makanan yang berasal dari tumbuhan maupun dari hewan. Fusarium sp, Aspergillus sp dan Penicillium sp merupakan jenis kapang paling umum menghasilkan racun mikotoksin dan sering mencemari pakan ternak. Kapang tersebut tumbuh pada bahan pangan atau pakan, baik sebelum dan selama panen atau saat penyimpanan yang tidak tepat (Binder 2007; Zinedine & Manes 2009).

Kata mikotoksin berasal dari dua kata, mukes yang berarti kapang (Yunani) dan toxicum yang mengacu pada racun (Latin). Mikotoksin tidak terlihat, tidak berbau dan tidak dapat dideteksi oleh penciuman atau rasa, tetapi dapat mengurangi kinerja produksi ternak secara signifikan (Binder 2007).

Sebagai produk metabolisme jamur atau kapang, mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk pertanian seperti kacang tanah, jagung dan sebagainya. Beberapa toksin/racun jamur ini diproduksi pada kelembapan lebih dari 75% dan temperatur di atas 20° C, dengan kadar air bahan baku pakan di atas 16%.

Beberapa jamur/fungi yang diketahui dapat menghasilkan mikotoksin yang sangat berbahaya di peternakan adalah Aspergillus flavus (Aflatoksin B1) dan A. Ochraceus (Okratoksin), Fusarium (Zearalenone/F2, Fumonisin, DON/Dioksinivalenol/Vomitoksin, T2/Trichothecenes dan Penicillium viridicatum atau P. palitans (Okratoksin).

Beberapa jenis kapang dapat memproduksi lebih dari satu jenis mikotoksin dan beberapa mikotoksin diproduksi oleh lebih dari satu spesies kapang (Zain, 2011).  Kapang merupakan bagian normal dari mikroflora.

Ternak dapat terpapar mikotoksin setelah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022. (AHD-MAS)

DISKUSI VIRTUAL BIOMIN : FOKUS PADA REDUKSI PENGGUNAAN ANTIMIKROBIAL PADA PAKAN


Biomin menggelar diskusi daring secara interaktif untuk menyelesaikan permasalahan terkait

Jumat (10/12) yang lalu Biomin menggelar diskusi virtual yang bertajuk "Antimicrobial Reduction in Feed, Your Question Answered". Sebelumnya, dalam diskusi tersebut peserta undangan diminta mengirimkan pertanyaan terkait masalah peternakan terutama yang berkaitan dengan penggunaan antimikroba dalam pakan, yang kemudian dijawab oleh para expert dari Biomin.

Hadir sebagai narasumber nama - nama seperti Neil Gannon Regional Product Manager Gut Health, Maia Segura Wang dari divisi R&D Biomin, dan Lorran Gabrado selaku Global Product Manager Mycotoxin Risk Management. Acara tersebut dimoderatori oleh Michele Muccio Regional Product Manager Mycotoxin Management dari Biomin.

Dalam presentasinya yang singkat, Neil Gannon mengatakan bahwa dunia menghadapi permasalahan terkait penggunaan antimikroba yang berlebihan, khususnya di bidang peternakan. Ia menjelaskan bahwasanya residu antimikroba pada produk hewan merupakan masalah yang serius. Hal tersebut berkaitan dengan kualitas produk. Selain itu masalah lain yang ditimbulkan adalah menyebarnya bakteri yang resisten terhadap antimikroba yang menyebar melalui produk hewani yang dikonsumsi oleh manusia, 

"Dengan begitu apabila ada mikroba yang menginfeksi manusia tentunya akan menjadi sulit disembuhkan karena mikroba tersebut resisten terhadap antimikroba, ini masalah yang serius bagi peternakan kita," tutur Neil.

Meneruskan pendapat Neil, Maia Segura mengatakan bahwasanya masalah diperparah dengan performa dan produksi hewan. Menurutnya di era dimana antimikroba sudah tak lagi digunakan, tentunya performa dan produksi dari ternak harus "diakali" sedemikian rupa dan peternak maupun stakeholder yang berkecimpung harus pandai - pandai dalam meracik formulasi pakan baik secara komposisi hingga feed additive yang digunakan.

"Banyak sekali hal yang harus diganti, tadinya kita bisa menggunakan antikoksidia seperti diclazuril, atau Zinc Basitrasin untuk menjaga performa, sekarang mereka tidak dapat lagi digunakan, karenanya dibutuhkan alternatif lain pengganti sediaan tersebut agar performa tetap terjaga," tuturnya.

Sementara itu, Lorran Gabardo memaparkan akan bahaya mikotoksin ditengah isu penggunaan antimikroba tersebut. Menurutnya stakeholder banyak yang "lalai" dan terkesan mengesampingkan keberadaan mikotoksin, padahal mikotoksin dalam pakan juga dapat mempengaruhi performa ternak, bahkan mengganggu program kesehatan yang diterapkan di farm.

"Contohnya DON (Dioxynivalenol) alias vomitoksin yang dihasilkan kapang Fusarium sp. mereka terbukti dapat menghambat efektivitas program vaksinasi pada ternak unggas. Ini juga merupakan masalah yang cukup serius," tutur Lorran.

Dalam sesi tanya jawab secara live, baik Lorran, Neil, dan Maia menjawab berbagai pertanyaan dari para audience terkait mikotoksin, kesehatan saluran pencernaan, serta tips dan trik terkait pemilihan dan penggunaan feed additive pada pakan agar performa lebih maksimal (CR)


MEWASPADAI ANCAMAN BIOTOKSIN PADA AYAM

Webinar relaunch Calibrin Z. (Foto: Istimewa)

Toksin atau racun merupakan hal yang kerap didengar oleh manusia, dalam terminologi dunia peternakan toksin diidentikkan dengan mikotoksin. Pada kenyataannya, peternak belum menyadari betul bahwa toksin baik yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri menyebabkan kerugian yang berdampak negatif pada performa ternak terutama unggas.

PT Novindo Agritech Hutama selaku salah satu perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan melakukan edukasi lebih lanjut kepada masyarakat terutama peternak terkait dampak buruk toksin pada ternak. Kegiatan tersebut berupa webinar yang dilakukan pada Selasa (28/9) melalui daring zoom meeting.

Tony Unandar praktisi senior perunggaan sekaligus anggota dewan pakar ASOHI hadir sebagai narasumber utama. Dalam presentasinya Tony menjelaskan secara mendetail mengenai toksin dan dampak negatifnya pada ternak.

"Toksin tidak hanya dihasilkan oleh jamur saja (mikotoksin) tetapi juga bakteri, banyak peternak yang sering terlambat mendeteksi keberadaan toksin, dan bahkan kadang dokter hewan pun bisa "tertipu" dengan hal ini," kata Tony.

Ia menambahkan bahwa di Indonesia mindset peternak dan dokter hewan terpaku pada mikotoksin saja, sementara toksin bakterial masih luput dari perhatian. Terkait toksin bakteri, Tony menjelaskan mengenai endotoksin dan eksotoksin.

"Toksin bakteri ini bisa jadi lebih berbahaya, misalnya saja yang dihasilkan oleh C. perfringens, dimana ketika bakteri tersebut mati akibat pengobatan dengan antibiotik, toksinnya akan keluar dan memberikan dampak negatif di saluran pencernaan. Celakanya, produk pengikat toksin yang ada rerata belum banyak yang memiliki kapasitas untuk mengikat toksin bakteri ini," papar Tony.

Di sesi kedua, Dr. Kim Huang yang merupakan Regional Technical Service Manager Amlan International lebih lanjut membahas mengenai zat yang dapat mengikat berbagai jenis toksin baik dari jamur maupun bakteri.

"Sebuah unsur mineral yang bernama monmorilonite yang diaktivasi terbukti secara klinis dapat mengikat berbagai jenis toksin dari jamur maupun bakteri. Hal ini tentunya menjadi inovasi yang bagus dalam mengatasi permasalahan ini," tutur Kim Huang.

Kim juga menjelaskan bahwa mineral tersebut merupakan alternatif yang baik dalam substitusi antibiotik growth promoter yang tentunya juga ramah lingkungan. Oleh karenanya dengan penggunaan mineral tersebut, peternak tidak perlu khawatir lagi terkait performa ternaknya. (CR)

PENTINGNYA KENDALIKAN MIKOTOKSIN PADA JAGUNG PAKAN

Webinar pentingnya pengendalian mikotoksin pada jagung pakan. (Foto: Dok. Infovet)

“Pentingnya Pengendalian Mikotoksin pada Jagung Pakan” menjadi bahasan dalam Webinar Suara Agrina yang dilaksanakan pada Rabu (31/3/2021).

Ahli Nutrisi Ternak dan Pakan, Prof Budi Tangendjaja, yang bertindak sebagai narasumber mengemukakan bahwa pemakaian jagung merupakan hal yang utama dalam pembuatan ransum pakan ternak, sehingga kuantitas dan kualitasnya harus sangat diperhatikan.

“Komposisi jagung dan penggantinya dalam ransum pakan ayam maupun babi sebanyak 40-60%. Kualitas jagung harus diperhatikan dari kadar air, berat jenisnya, hingga kandungan aflatoksin di dalamnya. Rusaknya jagung akan berpengaruh pada pakan ternak maupun pangan manusia, karena jagung yang jamuran akan turun nilai gizinya akibat digunakan untuk pertumbuhan jamur,” ujar Budi dalam paparannya.

Ia menjelaskan, ada beberapa tanda-tanda bahwa jagung terserang jamur. Diantaranya bau tidak enak, timbul panas karena metabolisme, jagung menjadi hitam/hijau, peningkatan kadar air selama penyimpanan dan jagung menggumpal.

“Perkembangan jamur bisa terjadi sejak penanaman jagung. Jangan harap jagung yang terkena jamur itu kadar airnya kecil, justru tinggi. Akibat jamur jadi berpengaruh terhadap nutrisi, diantaranya menurunkan kandungan vitamin, asam amino, energi, hingga munculnya mikotoksin,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelaskan, mikotoksin sendiri merupakan senyawa sekunder yang dihasilkan oleh jamur dan beracun bagi ternak. Munculnya mikotoksin tergantung dari stres jagung dan dipengaruhi oleh oksigen dan CO2, suhu, kadar air dan kandungan gizi/substrat.

Adapun beberapa mikotoksin yang banyak diteliti pada pakan ternak yakni aflatoksin, zaeralenone, fumonisin, T2 toksin, vomitoksin, DON, fusarochromanone dan okratoksin.

“Contohnya alfatoksin ini ketika racun tersebut termakan oleh ternak ayam, itu organ hati akan rusak dan mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh, sehingga ayam jadi mudah terserang penyakit. Begitu juga terjadi kerusakan pada organ-organ lainnya,” terang dia.

Oleh karena itu, pengedalian jamur pada jagung menjadi hal utama dan harus dilakukan secara komprehensif mulai dari memilih bibit jagung dan sistem penanaman, panen, hingga pasca panen (penyimpanan, mitigasi mikotoksin, seleksi).

Good Agriculture Practice (GAP) mutlak dilakukan di Indonesia. Kemudian penggunaan teknologi pada saat panen, dryer jagung khususnya di musim hujan, penyimpanan gudang dengan pengapuran dinding untuk mengurangi jamur, maupun penyimpanan menggunakan karung (pakai pallet),” paparnya. Juga mitigasi ketika ada mikotoksin melalui cara fisik dengan pencucian, pengupasan kulit dan pemolesan jagung, kemudian pemisahan jagung, perlakuan heat treatment (autoclaving, roasting, microwave heating) dan lain sebagainya.

“Saya menyarankan setelah jagung dikeringkan langsung masukin silo biar awet dan lakukan pembersihan jagung ketika akan dibuat ransum. Kemudian untuk pengeringan jagung kalau mau lebih lama, kadar airnya harus di bawah 14%, itu kira-kira bisa sampai tiga bulan masa simpannya,” pungkasnya.

Webinar yang dihadiri sebanyak 100 orang peserta juga menghadirkan narasumber lain dari US Grains Council SEA & Oceania Region, Celeb Wurth, yang membahas mengenai produksi, teknologi, panen, pasca panen, penyimpanan, ekspor, program keamanan pakan di Amerika Serikat, hingga jagung sampai ke tangan konsumen. (RBS)

BAGAIMANA AGAR AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN?

Menjaga gudang tidak lembap agar jamur tidak tumbuh. (Foto: Istimewa)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa di peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas dapat menyebabkan kerugian sangat besar.

Ancaman Serius
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh dimana saja dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan mereka. Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, sebut saja jagung dan kacang kedelai.

Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase penggunaan jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia pun sangat tinggi. Jagung dapat digunakan sampai dengan 50-60%, sedangkan kedelai bisa 20%. Bayangkan jika keduanya terkontaminasi mikotoksin.

Sayangnya, kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin 2017, menununjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat terkontaminasi Deoksinivalenol/DON (Vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi dengan FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai dari Amerika Selatan terkontaminasi dengan DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut di atas sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan, apalagi pakan jadi, tentunya akan sangat merugikan produsen pakan maupun peternak. Menurut konsultan perunggasan sekaligus anggota Dewan Pakar ASOHI, Tony Unandar, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan. Kasus mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan di lapangan. Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk dan pertumbuhan yang tidak merata. Kesuburan dan daya tetas telur yang menurun.

“Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita enggak kepikiran begitu,” ujar Tony.

Dirinya menyarankan agar jika bisa setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel, baik berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan dan lain sebagainya.

“Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek itu ada apa di dalam jaringan, di dalam pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” tegasnya.

Meminimalisir Risiko
Beragam alasan mendasari mengapa mikotoksin harus dan wajib diwaspadai. Menurut Technical Manager PT Elanco Animal Health Indonesia, Drh Agus Prastowo, mikotoksin dapat merusak… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2021. (CR)

STRATEGI TERBAIK PENGENDALIAN TOKSIN PADA PAKAN UNGGAS

Mikotoksin adalah komponen yang diproduksi oleh jamur yang telah terbukti bersifat toksik dan karsinogenik terhadap manusia dan hewan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Tahun 2020 ditutup dengan kondisi curah hujan tinggi terutama di wilayah Jawa dan Sumatra. Dari pantaun BMKG, untuk Januari dan Februari 2021, akan masih didominasi curah hujan menengah dan tinggi.

Kondisi tersebut berpengaruh terhadap kejadian penyakit lebih tinggi yang bukan hanya didominasi oleh penyakit viral saja, tetapi kejadian Mikotoksikosis juga mengalami tren kenaikan karena kondisi lingkungan yang lebih lembap.

Dari data yang dihimpun tim Ceva, prediksi penyakit di Januari dan Februari 2021menunjukan bahwa mikotoksikosis menduduki peringkat ketiga setelah kejadian penyakit ND dan IBD, seperti diagram di bawah ini:

Prediksi penyakit pada ternak unggas. (Sumber: Ceva)

Fenomena ancaman terhadap bahaya mikotoksin masih menjadi momok menakutkan seiring kondisi lingkungan di atas yang menunjang untuk pertumbuhan jamur yang memproduksi toksin tersebut. Imunitas atau kekebalan ayam adalah hal yang paling fundamental terkait pengendalian tantangan mikotoksin dan patogen lainnya.

Mikotoksin merupakan kontaminan alami yang memiliki dampak negatif tehadap keamanan pangan dan pakan secara global. Mikotoksin adalah komponen yang diproduksi oleh jamur yang telah terbukti bersifat toksik dan karsinogenik terhadap manusia dan hewan. Kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembapan yang tinggi, infestasi serangga, proses produksi, panen dan penyimpanan yang kurang baik akan menyebabkan tingginya konsentrasi mikotoksin pada bahan baku pangan/pakan yang dapat menyebabkan timbulnya wabah penyakit.

Hati yang terpapar mikotoksin. (Sumber: Istimewa)

Melihat fenomena di atas, mikotoksin perlu menjadi perhatian peternak unggas karena faktor sebagai berikut:… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2021.

Ditulis oleh: 
Drh Sumarno, Senior Manager AHS PT Sreeya Sewu Indonesia
Han, Praktisi Peternak Layer

MEMBEBASKAN PAKAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Baku pakan harus diperhatikan kualitasnya. (Foto: Istimewa)

Toksin atau lazim disebut dengan mikotoksin dalam dunia peternakan. Permasalahan klasik ini kerap kali mengintai semua unit usaha yang bergerak di bidang perunggasan dari hulu maupun hilir.

Toksin dapat diartikan sebagai senyawa beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dalam dunia veteriner disepakati terminologi biotoksin dalam menyebut mikotoksin maupun toksin lainnya, karena toksin diproduksi secara biologis oleh mahluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan).

Dalam industri pakan ternak seringkali didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh cendawan/kapang/jamur). Sampai saat ini cemaran dan kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih membayangi tiap unit usaha peternakan, tidak hanya di Negeri ini tetapi juga seluruh dunia.

Mikotoksin Selalu Menjadi Momok
Dalam dunia peternakan setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang menjadi tokoh “protagonis”, ketujuhnya seringkali mengontaminasi pakan dan menyebabkan masalah pada ternak. Terkadang dalam satu kasus, tidak hanya satu mikotoksin yang terdapat dalam sebuah sampel. Peternak pun dibuat kerepotan oleh ulah mereka. Jenis toksin yang penting untuk diketahui dijabarkan pada Tabel 1 berikut: 

Tabel 1.  Ragam Jenis Mikotoksin

Jenis Toksin

Organisme Penghasil Toksin

Efek Terhadap Ternak & Manusia

Aflatoksin

Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus

Penurunan produksi, imunosupresi, bersifat karsinogen, hepatotoksik

Ochratoksin

Aspergillus ochraceus

Penurunan produksi, kerusakan saraf dan hati

Fumonisin

Fusarium spp.

Penurunan produksi, kerusakan ginjal dan hati, gangguan pernapasan

Zearalenon

Fusarium graminearum, Fusarium tricinctum, Fusarium moniliforme

Mengikat reseptor estrogen (feminisasi), menurunkan fertilitas

Ergot Alkaloid

Claviseps purpurea

Penurunan produksi pertumbuhan, penurunan produksi susu, penurunan fertilitas

Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin

Fusarium spp.

Penurunan produksi, kerusakan kulit

T-2 Toksin

Fusarium spp.

Penurunan produksi, gastroenteritis hebat

Sumber: Mulyana, 2013.


Menurut Drh Asri Rizky, dari PT Charoen Pokphand Indonesia, masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas.

“Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pengolahan jagung yang salah,” tutur pria alumnus FKH Universitas Syiah Kuala.

Maksudnya adalah, di Indonesia kebanyakan petani jagung hanya mengandalkan iklim dalam mengeringkan jagungnya, dengan bantuan sinar matahari/manual biasanya petani menjemur jagung hasil panennya. Mungkin ketika musim panas hasil pengeringan akan baik, namun pada musim basah (penghujan), sinar matahari tentu tidak bisa diandalkan.

“Jika pengeringan tidak sempurna, kadar air dalam jagung akan tinggi, sehingga disukai oleh kapang. Lalu kapang akan berkembang di situ dan menghasilkan toksin,” jelas dia.

Masih masalah iklim menurut Asri, Indonesia yang beriklim tropis merupakan wadah alamiah bagi mikroba termasuk kapang dalam berkembang biak.

“Penyimpanan juga harus diperhatikan, salah dalam menyimpan jagung artinya membiarkan kapang berkembang dan meracuni bahan baku kita,” ucapnya.

Menurut data FAO 2017, sekitar 25% tanaman biji-bijian di seluruh dunia tercemar oleh mikotoksin setiap tahunnya. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tercemarnya bahan baku pakan dan pangan oleh mikotoksin berupa penurunan produksi daging dan telur unggas, penurunan produksi bahan pakan dan pangan, penurunan performa ternak, serta meningkatnya biaya kesehatan akibat mikotoksikosis pada hewan dan manusia.

Commercial Lead PT Cargill Indonesia, Drh Sudarno Wiryasentika, mengatakan bahwa bukan Indonesia saja, seluruh dunia kini dihadapkan pada problem mikotoksin yang semakin parah.

“Di Amerika dan Kanada saja kerugian akibat tercemarnya mikotoksin mencapai USD 225 miliar, bayangkan betapa merugikannya mikotoksin ini, oleh karenanya kita harus selalu waspada,” tutur Sudarno.

Tak lupa ia mengingatkan kembali bahwa sifat alamiah mikotoksin adalah tahan terhadap suhu tinggi, sehingga “awet” pada kondisi pelleting pada proses pembuatan pakan dan sangat sulit untuk dieradikasi.

Sudarno juga menilai bahwa pemerintah harus serius dalam menangani hal ini, karena tidak hanya berbahaya bagi hewan, tetapi juga bagi manusia.

“Saya ingin mengingatkan pemerintah, stakeholder, serta pihak terkait mengenai masalah ini, please jangan dianggap remeh, efeknya seperti gunung es dan berkesinambungan pada kesehatan hewan maupun manusia,” tutur pria yang pernah menjadi manajer formulasi tersebut.

Waspada Toksin Bakteri
Mikroorganisme yang dapat menghasilkan toksin bukan hanya jamur atau cendawan, beberapa... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2021 (CR)

PENGENDALIAN CEMARAN METABOLIT JAMUR ATAU TOKSIN PADA PAKAN AYAM

Pada umumnya unggas yang berusia muda sangat rentan terhadap Aflatoksin dibandingkan dengan unggas yang lebih dewasa. (Foto: Jurnalpeternakan.com)

Beberapa strain jamur (kapang) dapat tumbuh pada pakan ternak, bahan baku pakan dan litter yang menghasilkan toksin/racun, yang bila termakan oleh hewan khususnya ayam dapat menyebabkan kematian. Kematian yang disebabkan racun tadi umumnya disebut sebagai kematian karena terjadinya Mikotoksikosis (keracunan dari toksin/racun yang berasal dari metabolit jamur). Metabolit jamur itu (toksin/racun) merupakan toksin yang sangat kuat bahkan ada yang mensejajarkannya dengan racun botulinum.

Beberapa tipe jamur menghasilkan toksin yang menyebabkan masalah pada peternakan, tetapi yang perlu menjadi perhatian pada industri peternakan adalah toksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus, dimana racun yang dihasilkannya adalah Alfatoksin. Aspergillus flavus adalah jamur yang biasanya tumbuh pada beberapa media, khususnya tumbuh baik pada biji-bijian atau kacang-kacangan.

Pada saat ini diketahui ada empat jenis Aflatoksin ang dapat dikatakan sangat berpengaruh besar pada industri peternakan, yaitu Aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Dimana toksin B1 merupakan yang paling kuat dan penyebab gangguan yang tinggi pada industri peternakan.

Toksin yang berasal dari jamur ini menyebabkan berbagai gejala klinis yang sangat bervariasi dan sulit untuk dikenali. Beberapa Aflatoksin umumnya menyebabkan kematian, pertumbuhan terhambat, penurunan produksi telur, penurunan daya tetas (breeder) dan menyebabkan imunosupresif. Diagnosis sangat sulit karena lesi yang khas biasanya tidak terlihat dan mendeteksi toksin tidak meyakinkan.

Bagaimana Aflatoksin Dapat Berada pada Pakan 
Jamur dapat saja mengontaminasi dan memproduksi Aflatoksin pada saat sebelum dan sesudah panen bahan baku (biji-bijian dan kacang-kacangan), selama penyimpanan dan transportasi pakan serta di gudang penyimpanan farm. Suhu, kelembapan dan curah hujan tinggi merupakan faktor kondusif di daerah tropis dan memacu pertumbuhan jamur, sekaligus memproduksi Aflatoksin. Kandungan air yang aman pada bahan baku pakan agar tidak dapat ditumbuhi jamur dan sekaligus tidak terkontaminasi Aflatoksin adalah pada kisaran 8-12%.

Aflatoksin dihasilkan oleh bahan baku pakan terutama pada bungkil kacang tanah, tepung jagung, bungkil biji kapas dan bungkil kelapa. Pada umumnya ekstrak biji bunga matahari, ekstraksi rapeseed, bungkil kedelai dan dedak mengandung sedikit kandungan Aflatoksin.

Kerentanan Unggas Terserang Aflatoksin
Diantara unggas... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2021. (MAS-AHD)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer