 |
Ayam petelur ibarat sebuah pabrik biologis yang butuh asupan nutrisi dalam jumlah mencukupi |
FKS
Multi Agro bersama dengan US Soybean Export Council dan US Grain Council
melaksanakan webinar FEEDS (Feed Ingredient Dialouge Series) pada Selasa (21/4)
lalu. Webinar tersebut merupakan seri ke-3 dari FEEDS dimana webinar kali ini
bertemakan “Mencari Alternatif Bahan Baku Pakan Petelur”. Bertindak sebagai
narasumber yakni Prof. Budi Tangendjaja peneliti BALITNAK Ciawi yang sudah melanglangbuana
di dunia formulasi pakan ternak.
Dalam
presentasinya Prof. Budi menyebutkan bahwa dalam budi daya ternak pakan
merupakan komponen biaya terbesar, bahkan dirinya berani menyebut bahwa cost pakan bisa mencapai 80% bahkan
lebih. Lalu Prof. Budi juga menyebut bahwa ketergantungan terhadap jagung dan
bungkil kedelai dalam formulasi pakan sangat tinggi. Rerata di dunia,
penggunaan jagung berada pada kisaran 45% dan bungkil kedelai sekitar 27%.
Sedikit
mengkritik, Budi juga menambahkan bahwa Indonesia dihadapkan dengan
permasalahan lokal dimana Indonesia yang katanya produksi jagungnya surplus,
tetapi sangat sulit bagi peternak layer selfmixing
dan industri pakan untuk mendapatkan jagung dengan kualitas yang baik.
“Artinya
apa?, kita sudah sangat tergantung dengan dua bahan baku tersebut, padahal
sebagaimana kita ketahui bahwa ketersediaan dari keduanya cukup fluktuatif,
sehingga harga dari kedua komoditas tersebut pun ikut pasang surut. Nah,
bagaimana kita bisa lepas dari ketergantungan ini?,” tutur Budi.
Budi
pun menyebut bahwasanya dalam budi daya, efisiensi merupakan suatu harga mati.
Karena persaingan, tentunya para pembudi daya juga akan didorong untuk lebih
efisiensi, terutama dalam hal ini adalah efisiensi dari sisi cost pakan.
Oleh
karena itu untuk para “penganut” sistem selfmixing
harus pandai – pandai mengatur formulasi pakan agar harga tetap murah,
tetapi kualitas dari pakan tetap terjaga sehingga tidak mempengaruhi performa
produksi dari ayam.
“Dalam
formulasi patokannya itu harga, nutirisi (gizi), pengolahan, dan ternaknya.
Kalau harga masuk, kita pakai bahannya, kalau nutrisinya memenuhi, kita pakai
juga, kalau praktis tidak butuh banyak pengolahan, kita ambil, dan terakhir
biarkan ternak bicara apakah formulasi yang kita buat ini cocok apa enggak,”
tutur Budi.
Selanjutnya
kemudian Budi memberikan contoh teknik formulasi ransum hanya dengan
menggunakan software Microsoft Excel.
Dalam formulasi yang ia demonstrasikan, Budi hanya menggunakan 25% jagung dan
sedikit bungkil kedelai, sebagai gantinya ia menggunakan gandum dan DDGS. Di
atas kertas, formulasi yang dibuat olehnya dapat menghasilkan pakan dengan
harga dibawah rerata. Namun begitu tidak sedikit pertanyaan yang masuk kepada
Budi terkait dari kualitas ransum yang barusan ia demonstrasikan.
Dengan
santai ia menjawab bahwa untuk lebih meyakinkan hasil dari demonstrasi
formulasi tersebut, jalan satu – satunya adalah mencoba. Ia menyarankan agar
formulasi tadi diujicobakan kepada peternak yang hadir sebagai peserta di
kandang masing – masing.
“Dicobakan
dulu untuk ayam – ayam tua yang usianya 75 atau 80 minggu, kalau cocok pakai,
kalau enggak naikkan jagungnya dan bungkilnya lagi, turunkan DDGS nya mulai
dari 10%. seharusnya formulasi seperti ini bisa kok,” tukas Budi percaya diri.
Kepercayaan
diri Prof. Budi bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan bahwa formulasi tadi
telah diujicobakan di beberapa peternakan di Jawa Timur dan dapat digunakan
(tidak mempengaruhi performa), sehingga dapat digunakan oleh peternak ketika
harga jagung dan kedelai sedang melambung misalnya seperti saat ini.
Ia
pun memberi contoh lebih ekstrem lagi dimana formulasi tadi juga sudah
diujicobakan di Iowa University, Amerika serikat bahkan penggunaan DDGS nya pun
mencapai 60% tanpa berefek negatif pada performa ayam.
“Ini
hanya satu dari sekian contoh saja, masih banyak formulasi alternatif lain
dengan bahan baku yang lain. Intinya saya mau tegaskan saja bahwa dalam
formulasi kita harus pandai mencari bahan baku dan harganya paling murah, terus
patokan kita itu nutrisi, dan nutrisi itu bukan hanya protein tetapi ME
(Metabolism Energy). Jadi memang gampang – gampang susah, agak tricky deh, tergantung kita mau efisien
apa enggak,” tutup Budi (CR).