-->

DPR RI Ketok Palu Anggaran Kementan 2019, Bagaimana Nasib Jagung?

Ilustrasi jagung (Foto: Unsplash)


Polemik harga jagung masih belum tuntas. Sebagai gambaran, saat ini harga jagung di pasaran mencapai Rp 5.200 – Rp 5.500 per kilogram. Situasi ini membuat para peternak sekaligus pelaku industri pakan ternak terpukul.

Di sisi lain, pada rapat Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL), Komisi IV DPR RI telah mengabulkan pagu/alokasi anggaran 2019 Kementerian Pertanian (Kementan).

“Komisi IV DPR RI menyetujui pagu RAPBN Kementan Tahun 2019, berdasarkan hasil pembahasan Badan Anggaran DPR-RI sebesar Rp  21,6 Triliun," kata Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (22/10/2018).

Andi Amran Sulaiman (Foto: Infovet)
Usai disetujuinya anggaran tersebut, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menanggapi pihaknya akan segera bekerja di awal Januari ketika anggaran 2019 dipercepat.

Selama periode kepemimpinan Amran, Kementan merilis data perkembangan produksi jagung dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Data tersebut menunjukkan terjadi peningkatan berarti diawali dari tahun 2014 hingga tahun 2018.

Produksi jagung di tahun 2014 yaitu 19.008.426 ton, tahun 2015 19.612.453 ton, tahun 2016 merangkak naik menjadi 23.578.413 ton, dan pada tahun 2017 melejit hingga 28.924.009 ton. Tahun 2018, produksi jagung Indonesia mencapai angka 30.043.218 ton.

Kementan juga mengeluarkan statement solusi jangka panjang agar peternak mendapatkan pakan dengan harga murah. Diantaranya mengimbau peternak untuk membeli bibit ayam/DOC dan jagung sebagai bahan baku pakan secara bersama-sama guna memperoleh harga  murah.

Para petani di sentra-sentra jagung pun diberikan bantuan seperti 3 unit combine harvester, 5 unit traktor, benih jagung untuk 50 ribu hektar. Selain itu, kelompok petani dan peternak diberi 2 unit alat pengering jagung serta diberi subsidi pembelian jagung sebesar Rp 100 juta.

“Subsidi dilakukan guna menutupi selisih harga pasar dengan kemampuan para peternak untuk membeli jagung di harga Rp 4.600/kg,” kata Dirjen Tanaman Pangan, Sumardjo Gatot Irianto.

Sentra produksi jagung Tanah Air tersebar di 10 Provinsi yakni Jatim, Jateng, Sulsel, Lampung, Sumut, NTB, Jabar, Gorontalo, Sulut, dan Sumba.

Nasib Jagung

Terkait harga jagung untuk pakan ternak, Gatot menjelaskan bahwa bahwa kebutuhan jagung untuk pabrik pakan saat ini sebesar 50 persen dari total kebutuhan nasional sehingga sensitif terhadap gejolak.

“Kendalanya yang terjadi adalah karena beberapa pabrik pakan tidak berada di sentra produksi jagung. Penting sekali dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah,” terang Gatot saat jumpa awak media, September lalu.

Saat ini tercatat ada 93 pabrik pakan di Indonesia yang tersebar di Sumut 11 unit, Sumbar 1 unit, Lampung 5 unit, Banten 16 unit, Jabar 11 unit, DKI Jakarta 6 unit, Jateng 12 unit, Jatim 21 unit, Kalbar 1 unit, Kalsel 2 unit, dan Sulsel 7 unit.

Beberapa pabrik pakan di daerah seperti Banten, DKI Jakarta, Kalbar dan Kalsel, tidak berada di sentra produksi jagung," kata Gatot.

Tahun 2018, pemerintah bertekad memenuhi kebutuhan jagung sepenuhnya dari produksi dalam negeri tanpa impor jagung sama sekali.

Dalam rangka mencapai target tersebut, Kementan mengalokasikan bantuan benih jagung seluas 2,8 juta hektare yang tersebar di 33 provinsi sesuai dengan potensi lahan, lokasi pabrik pakan, dan ekspor. Dampak dari kebijakan ini sudah dirasakan dengan adanya peningkatan produksi.

Selain bantuan benih, tahun ini Kementan juga telah menganggarkan pembangunan pengering jagung (dryer) sebanyak 1.000 unit untuk petani. Hal ini dilakukan karena sebagian besar petani jagung tidak memiliki alat pengering, sehingga menyebabkan timbulnya persoalan kualitas jagung yang dipanen pada musim hujan kurang baik dan cenderung basah.

"Pemerintah Provinsi juga didorong untuk berperan dengan membangun buffer storage yaitu menyerap surplus produksi pada waktu puncak panen dan menyimpannya untuk dilepas kembali pada waktu produksi menurun," jelas Gatot.

Gatot juga menerangkan bahwa persoalan lain yang juga perlu diselesaikan adalah menyederhanakan rantai pasok. Menurutnya, alur perdagangan jagung saat ini umumnya masih panjang dan menyebabkan harga cenderung tinggi.

Jagung dari petani biasanya dijual ke pedagang pengumpul, dan selanjutnya dijual lagi ke pedagang besar. Dari pedagang besar ini, barulah dipasarkan ke industri. (NDV)
   


















Harga Jagung Saat ini di Tingkat Industri Pakan Ternak

Harga jagung mencapai Rp 5.000 di tingkat industri pakan ternak (Foto: Google)


Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI), Sholahuddin mengatakan harga jagung saat ini masih stabil tinggi. Pasokan yang relatif terbatas jadi pemicunya. Harga jagung saat ini sekitar Rp 4.300-Rp 4.700 per kg di tingkat petani dan sekitar Rp 4.500-Rp 5.000 per kg di tingkat industri pakan ternak.

"Harga jagung yang ideal sekitar Rp 3.700-Rp 4.000 per kg, paling mahal Rp 4.500 per kg. Tapi sekarang di Jakarta harga jagung sudah mencapai diatas Rp 5.000 per kg untuk pakan ternak," ungkapnya.

Kenaikan harga jagung disebabkan suplai yang berkurang karena saat ini di bulan Oktober-Desember sudah memasuki bulan untuk tanam jagung.

"Memang bulan ini kita baru persiapan tanam dan panen raya sekitar Februari-Maret 2019. Tapi saat ini masih ada panen di lahan-lahan yang kemarin di bulan Juli di tanam. Sekarang panen ada tapi tidak banyak," ujar Sholahuddin.

Untuk mengatasi suplai yang kurang saat ini, industri pakan ternak seharusnya memiliki kapasitas persediaan jagung minimal 3 bulan. Karena Indonesia rata-rata 60% lahan jagung berada di lahan kering.

"Tanpa adanya sistem persediaan yang dimiliki industri pada bulan-bulan seperti ini, dimana musim tanam baru dimulai dan harga pasti akan naik. Suplai juga sedikit karena baru tanam dan jagung baru panen sekitar 4 bulan lagi," ujar Sholahuddin.

Imbuh Sholahuddin, diperkirakan harga jagung stabil tinggi akan terjadi sampai akhir tahun karena suplainya sedikit dan akan mulai turun sekitar bulan Januari.

Sementara itu, Ketua Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit menjelaskan, kenaikan harga jagung mempengaruhi industri perunggasan. Pasalnya, sekitar 50% komponen bahan baku pakan ternak dari jagung, sehingga berpengaruh kepada harga jual unggas termasuk ayam.

"Saat ini harga ayam lagi belum baik, karena suplainya banyak, tapi bahan bakunya kurang. Sangat riskan kalau industri sebesar ini di mana produksi ayam secara nasional sekitar 60 juta ekor per minggu harus menunggu panen," lanjutnya.

Anton berpendapat, untuk mengatasi hal tersebut bisa dengan menambah suplai jagung. Bisa dengan impor jagung untuk memenuhi kebutuhan, kalau produksi di dalam negeri tidak mencukupi.(Sumber:kontan.co.id)


Ribuan Peserta Ramaikan Jalan Sehat HATN 2018

Peserta memadati Manado Town Square memeriahkan HATN (Foto: Istimewa)

Puncak Peringatan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) dan Hari Telur Sedunia digelar, Sabtu 20 Oktober 2018. Acara yang dipusatkan di  Manado Town Square tepatnya di Parkiran Mantos 1 diawali dengan jalan sehat dan karnaval jam 06.00 Wita, dilanjutkan dengan senam poco-poco bersama dan penarikan doorprize dengan berbagai hadiah menarik.

Ribuan peserta meramaikan jalan sehat ini. Di lokasi yang sama, panitia menggelar Bazaar berbagai produk ayam dan telur serta bazaar aneka produk da nada juga kegiatan donor darah PMI.

Ketua Panitia Daerah HATN, Tommy Waworundeng mengajak para siswa, mahasiswa,TNI Polri, ASN, karyawan dan masyarakat Manado dan sekitarnya untuk ikut hadir mengikuti jalan sehat dan senam  bersama ini.

“Semoga dengan HATN dan berbagai rangkaian kegiatan yang digelar ini, bisa mengedukasi masyarakat tentang gizi di telur dan daging ayam untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat,” kata Wakil Ketua Pinsar Indonesia, Ir Eddy Wahyudin MBA yang didampingi Tommy Waworundeng.

Berbagai rangkaian acara HATN ini dilaksanakan oleh Charoen Pokphan Indonesia, Majalah Infovet, FAO Indonesia, Manado Post dan didukung Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut, Pinsar Sulut, Fakultas Peternakan  Unsrat, Japfa, Honda Daya Adicipta Wisesa, CV Mmanguni Sejahtera, PT Pandu Karya Aksara, Saka Farma-Xon Ce, Komix Herbal, ASOHI. Dukungan media partner seperti Kawanua TV, Radio Montini dan Radio Cosmo Fem. (Sumber: Manado Post)

Ekspor Obat Hewan Datangkan Devisa 20 Triliun

Pertemuan Dirjen PKH dengan para produsen obat hewan se-Indonesia (Foto: Humas Kementan RI) 


“Saya memberikan apresiasi kepada seluruh produsen obat hewan di Indonesia. Nilai ekspor obat hewan periode Januari hingga Agustus 2018 ini saja meningkat 7,8 persen dari posisi nilai ekspor tahun 2017.” Demikian pernyataan Direktur Jenderal PKH, I Ketut Diarmita dalam pertemuan dengan para produsen obat hewan se-Indonesia, Jumat (19/10/2018) di kantor pusat Kementerian Pertanian.

Dalam kurun waktu 3,5 tahun, ekspor obat hewan telah signifikan mendatangkan devisa negara yang cukup besar. Berdasarkan data Direktorat Jenderal  Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), nilai ekspor obat hewan dari tahun 2015 sampai dengan bulan Juni 2018 telah mencapai Rp 20,16 Triliun.

Ketut menambahkan ekspor obat hewan asal Indonesia telah menembus lebih dari 80 negara di dunia yang tersebar di Benua Amerika, Asia, Afrika, Australia, dan Eropa. Obat hewan yang diekspor tersebut ada 3 tiga jenis sediaan, yaitu biologik, farmasetik, dan premiks.

Kementan meyakini ekspor ini masih terus dapat ditingkatkan, baik dari segi volume ekspor, jenis produk maupun tujuan pasar baru negara-negara di luar negeri. Untuk membuka pasar baru, perusahaan harus jeli melihat dan mengatasi hambatan teknis ke negara tujuan, serta menyampaikannya kepada Ditjen PKH.

"Kami akan fasilitasi dalam akselerasi ekspor dengan menjalin harmonisasi persyaratan ekspor dengan berbagai negara tujuan," terang Ketut dalam keterangan resminya.

Upaya Percepatan dan Daya Saing

Saat ini, Ditjen PKH telah membentuk Tim Percepatan Ekspor komoditas bidang peternakan dan kesehatan hewan, termasuk obat hewan untuk membantu pelaku usaha dalam mengatasi berbagai kendala. 

Pihaknya telah menerbitkan Surat Edaran kepada pimpinan perusahaan ekspor obat hewan dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) bahwa obat hewan produksi dalam negeri yang didaftarkan untuk orientasi ekspor, akan mendapat prioritas dalam proses penerbitan SK Nomor Pendaftaran dengan tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku.

"Ditjen PKH juga sedang melakukan pemutakhiran Peraturan Menteri Pertanian tentang Pendaftaran Obat Hewan, sehingga diharapkan penerbitan nomor pendaftaran obat hewan dapat diterbitkan dalam waktu yang lebih cepat dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis terkait mutu, khasiat dan keamanan obat hewan," jelas Ketut.

Pada era pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promoter) seperti saat ini, sangat diperlukan inovasi-inovasi baru di bidang obat maupun pakan ternak, dengan cara membuat pilot-pilot project pembuatan pakan yang melibatkan para ahli dari perguruan tinggi.

“Tingkatkan produksi dan kualitas obat hewan, serta buat bagaimana agar dapat berdaya saing,” kata Ketut penuh semangat.

Untuk meningkatkan daya saing, Kementan mendorong para produsen obat hewan untuk menerapkan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB). Penerapan CPOHB, pendaftaran obat hewan dan pengujian mutu obat hewan merupakan penjaminan terhadap mutu, khasiat dan keamanan obat hewan.

Asisten Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) Christina Agustin pada acara tersebut juga menyampaikan bahwa pihaknya telah memberikan fasilitasi kemitraan produksi dan pemasaran bagi usaha obat hewan skala kecil maupun menengah.

 Selain itu, Kementerian KUKM juga dapat memberikan pendampingan/pelatihan vocational bagi produsen obat hewan skala menengah. (NDV)

DSM Seminar: Era Pasca AGP, Hadapi Bersama-sama

Foto bersama seluruh panitia dan peserta seminar DSM, di Tangerang, Kamis (18/10). (Foto: Infovet/Ridwan)

Seiring dengan berjalannya era tanpa Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang diresmikan pemerintah awal Januari kemarin, membuat banyak pihak terus memberikan edukasi dan informasi penting akan budidaya ternak tanpa AGP yang tadinya menjadi andalan banyak peternak dalam menunjang pertumbuhan unggas.

Melihat hal itu, PT DSM Indonesia turut menghadirkan seminar Review of Post-AGP Era Implementation bertajuk “Optimizing Gastrointestinal Functionality: A Collaboration of the Public and Private Sectors” yang diselenggarakan pada Kamis (18/10), di Serpong, Tangerang.

General Manager DSM Indonesia, Jason Park, dalam sambutannya menyatakan, untuk menghadapi era pasca AGP saat ini harus diupayakan bersama oleh seluruh stakeholder dan pelaku usaha. “Di era implementasi pasca AGP di industri peternakan saat ini harus dihadapi bersama-sama, seperti halnya film superhero Avengers,” ujar Jason, Kamis (18/10).

Berbagai negara di dunia pun sudah meninggalkan penggunaan AGP dalam meningkatkan produktivitas ternak, walau perubahan pasca AGP memerlukan waktu yang cukup lama. Direktur Kesehatan Hewan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengungkapkan, kegiatan seperti ini sangat penting dilakukan dalam rangka meng-update perbaikan dalam budidaya ternak unggas.

“Penggunaan AGP di dunia sudah dihentikan, banyak alternatif yang bisa digunakan sebagai pengganti AGP. Namun, antibiotik masih boleh digunakan di peternakan hanya untuk tujuan terapi (medicated feed) melalui resep dokter hewan,” kata Fadjar. Peraturan penggunaan medicated feed pun sudah diterbitkan pemerintah melalui Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 09111/KPTS/PK.350/F/09/2018 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Obat Hewan dalam Pakan untuk Tujuan Terapi.

Ia pun berharap, lewat seminar ini masyarakat di industri perunggasan bisa lebih menambah wawasan mengenai pelarangan dan alternatif AGP, seperti probiotik, prebiotik, enzim, acidifer bahkan herbal. “Dengan pemakaian AGP itu justru keuntungannya jauh lebih sedikit dibanding risikonya, jadi banyak ruginya lah,” tegas Fadjar.

Tim DSM Indonesia bersama narasumber seminar. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pada kegiatan tersebut, Fadjar juga turut menjadi narasumber menampilkan pemaparan mengenai peraturan terkait pelarangan AGP, selain menghadirkan narasumber lain, diantaranya Philippe Becquet, Global Regulatory Affairs Director ANH Representative DSM in European Food Safety Authority (EFSA), Dr Farshad Goodarzi Boroojeni, Freie Universitat Berlin, Departement of Veterinary Medicine, Institute of Animal Nutrition, Tony Unandar, Private Poultry Farm Consultant dan Antoine Meuter, DSM Nutritional Products. (RBS)

Seminar Gizi: Pengurus PKK Diharapkan Berperan Tingkatkan Konsumsi Ayam dan Telur



(Dari kiri ke kanan) Alfred Kompudu, Drh Hanna Olly Tioho, Drh Desianto B Utomo  (Foto: Infovet/Bams)

Para pengurus PKK dari seluruh wilayah Sulawesi Utara (Sulut) diharapkan ikut berperan meningkatkan kesadaran akan pentingnya gizi ayam dan telur baik ke lingkungan sekitar maupun di lingkungan keluarganya. Demikian harapan Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Sulut yang diwakili Sekretaris Tim Penggerak PKK Provinsi Sulut, Ellen Tirayoh Jacob SPt di ruang pertemuan kantor Gubernur Sulut, Manado. 

Ellen Tirayoh membuka acara Seminar Gizi Ayam dan Telur yang diadakan hari ini, Jumat (19/10/2018 ) sebagai salah satu agenda menyemarakkan peringatan Hari Ayam dan Telur (HATN) serta World Egg Day 2018.

Seminar menghadirkan pembicara Alfred Kompudu dari FAO Indonesia dan Drh Desianto Budi Utomo PhD yang dikenal sebagai Ahli Perunggasan Nasional. Lebih dari 200 orang yang terdiri dari para pengurus PKK dari kabupaten wilayah Provinsi Sulut, Darma Wanita Provinsi Sulut, kelompok ibu-ibu pengajian, ibu-ibu aktivis gereja dan para tamu undangan lainnya datang di seminar ini.

Peserta seminar diantaranya pengurus PKK Provinsi Sulut. (Foto: Infovet/Bams)

Hadir juga wakil Ketua Umum Pinsar Indonesia Ir Eddy Wahyudin MBA, Ketua Panitia Pusat HATN Ricky Bangsaratoe, Wakil Direktur Manado Post Tommy Waworundeng, dan perwakilan FAO Indonesia Drh Eri Setiawan.

Dalam sambutannya, Ketua Tim Pengerak PKK menyampaikan keprihatinannya bahwa konsumsi ayam dan telur masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Mengutip data Pinsar Indonesia, ia mengatakan konsumsi ayam dan telur hanya sepertiga dari konsumsi masyarakat Malaysia.

"Sementara itu konsumsi rokok masyakarat Indonesia termasuk tertinggi di dunia, sekitar 1200 batang rokok per orang per tahun. Oleh karena itu, para ibu sangat berperan dalam meningkatkan status gizi masyakarat," ujarnya.

Ia berharap pengetahuan yang diperoleh dari seminar ini dapat ditularkan kepada anggota PKK di daerah masing masing.

"Sesuai tema HATN tahun ini yaitu ayam dan telur untuk Indonesia cerdas, mari kita berperan meningkatkan konsumsi ayam dan telur menuju masyarakat Sulut yang cerdas dan Sulut hebat," tegas ketua PKK mengakhiri sambutannya.

Sementara itu, Ketua Panitia Daerah HATN yang juga wakil Direktur Manado Post Tommy Waworundeng dalam sambutannya menyampaikan penghargaannya kepada semua pihak khususnya ibu ibu Tim Penggerak PKK yang bekerjasama untuk acara seminar ini.

Tommy menjelaskan rangkaian acara HATN sudah dimulai sejak September dengan kegiatan seminar di Gedung Rektorat Unsrat,  dilanjutkan dengan kegiatan talkshow ayam dan telur di beberapa radio dan TV, perlombaan untuk anak dan ibu, serta festival ayam dan telur.

"Hari ini ada dua acara yaitu seminar gizi dan nanti sore seminar biosekuriti untuk peternak unggas se-Sulut di Graha Pena Manado Post.  Besok, 20 oktober acara puncak di kawasan Manado Town Square yang akan diisi dengan karnaval ayam dan telur, senam poco poco, bazar ayam dan telur, pengumuman pemenang lomba, aneka doorprize dan lain lain," ujar Tommy. (Bams)


Kajian Peternakan Indonesia: Importasi Daging Beku, Haruskah?

Foto bareng pembicara dan peserta KPI, Minggu (14/10). (Foto: Infovet/Sadarman)

Importasi daging beku, haruskah dilakukan oleh Indonesia yang notabene-nya tergolong negara yang kaya dengan ternaknya? Dapatkah Indonesia memenuhi kebutuhan konsumen untuk ketersediaan daging sapi itu sendiri? Dua dari sekian banyak pertanyaan yang muncul di kegiatan Kajian Peternakan Indonesia (KPI) yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-D) Fapet IPB, di Auditorium Jannes Humuntal Hutasoit, Minggu, (14/10)..

Acara yang dihadiri oleh dekan Fapet yang diwakili oleh Iyep Komala, menghadirkan narasumber, Guru Besar Fakultas Peternakan (Faept) IPB, Prof Dr Ir Muladno, dari Dinas Ketahanan Pangan Kota Bogor, Ir Soni Gumilar dan Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Yeka Hendra Fatika, dimoderatori alumni Fapet IPB, Yahya.

Dalam sambutannya, Iyep Komala mengapresiasi terselenggaranya kegiatan ini. “Kegiatan seperti ini harus diberikan tempat, karena pada dasarnya goal yang didapat adalah mengedukasi mahasiswa, terutama dalam hal berdiskusi yang baik dan menyampaikan gagasan, masukkan terkait dengan tema yang diangkat oleh panitia,” ujar Iyep.

Kegiatan kali ini, Ketua Pelaksana KPI, Bagus Aji Sutrisno, menyebut bahwa KPI didesain layaknya acara Indonesia Lawyer Club (ILC) ala Fapet IPB. Adapun tujuan penyelenggaraan KPI untuk menggali seberapa pentingkah importasi daging beku di Indonesia dan berdampakkah terhadap peternak Indonesia.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM D) Fapet IPB, Moh. Galih Prasetya Nugroho, menyebut bahwa soal importasi daging berdampak buruk terhadap usaha peternakan Indonesia, khususnya peternak rakyat yang minim permodalan. Maka apabila memungkinkan importasi daging dihentikan, karena budidaya ternak dapat dinikmati oleh peternak itu sendiri, khususnya peternak lokal.

“Kita maunya importasi dikurangi atau kalau bisa dihentikan, perkuat saja sistem peternakan rakyatnya, seperti kita bisa perkuat dipermodalan dan ditatanan budidaya sapinya,” kata Galih. Namun demikian, terkait dengan importasi daging beku itu sendiri, pemerintah ibarat memakan buah simalakama, dimakan ataupun tidak, dampaknya sama.

Sementara menurut Muladno, yang dikenal sebagai pendiri Sekolah Peternakan Rakyat (SPR), Indonesia masih memerlukan importasi daging, terutama daging beku. “Kebijakkan importasi daging beku sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, khususnya untuk industri pengolahan, itu ada aturannya. Namun di lapangan, daging beku masih ditemukan di pasar, artinya masih belum sesuai dengan peruntukkannya. Penikmatnya hanya importir, distributor, pedagang dan pemerintah, dengan dalih memuaskan konsumen, padahal sesungguhnya adalah mematikan kegiatan peternakan rakyat secara perlahan,” ungkap Prof Muladno.

Di sisi lain, ia mengimbau untuk membangun sistem peternakan rakyat yang baik sesuai tatanan budidaya ternak yang dipersyaratkan, tersedianya alat dan bahan yang dibutuhkan peternak dan pendidikan peternak, maka ke depan peternak-peternak lokal dapat hidup layak dengan usaha ternaknya.

“Kita bisa kok meng-create peternak kita layaknya peternak Australia atau negara lain, asalkan kegiatan pemerintah harus berorientasi pada peternak, bukan pada ternak dan produknya. Pemerintah harus meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintah harus menyejahterakan peternak rakyat, harus ada upaya pemerintah untuk industrialisasi usaha peternakan jika peternak rakyat belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat,” kata Prof Muladno.

Terkait dengan kebijakkan impor daging, Soni Gumilar menyebut itu harus dilakukan pemerintah karena kecukupan daging dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen (industri). Menurut dia, saat ini produksi daging sapi lokal baru sekitar 60,9%. Produksi 2018 hanya sebesar 403.668 ton, sedangkan perkiraan kebutuhan 663.290 ton, selisihnya itu, mau tidak mau harus ditempuh impor.

“Pengaturan importasi yang perlu dibenahi, harus ada kejelasan kemana produk daging impor akan didistribusikan, jangan didistribusikan ke pasar rakyat, tidak baik karena dapat memengaruhi harga daging yang bersumber dari peternak lokal,” kata Soni.

Sementara itu, Yeka Hendra Fatika menyebut perlu mendidik peternak menjadi mandiri dan berwawasan luas. Ia mengupayakan dengan mendirikan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) dan Akademi Sapi untuk Rakyat (Aksara).

“Di Pataka dan Aksara, kami bekerja bersama peternak, individu, dengan bimbingan menyeluruh, bersifat teknis atau non-teknis. Intinya memutus mata rantai ketergantungan peternak, sehingga mereka dapat menikmati usaha tersebut,” kata Yeka. (Sadarman)

1.000 Itik Alabio Meriahkan HPS ke-38

Itik Alabio (Foto: Istimewa)


Pemandangan menawan terlihat ketika 1.000 ekor itik Alabio bergerombol menyusuri kolam di kawasan Desa Jejangkit Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Itik Alabio ini rupanya tengah turut meramaikan momen Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-38, Kamis (18/10/2018).

Kepala Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Pelaihari, Gigih Tri Pambudi mengungkapkan penyebaran bibit itik Alabio sebanyak 1.000 ekor dibagikan untuk beberapa kelompok peternak.

Dalam keterangan resmi yang diterima Infovet, Gigih mengemukakan itik Alabio merupakan salah satu rumpun itik lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Provinsi Kalimantan Selatan, dan telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2921/Kpts/OT.140/6/2011 tanggal 17 Juni 2011.

Ciri khas Itik Alabio postur tubuh tegak membentuk sudut 70 derajat, paruh dan kaki berwarna kuning terang hingga jingga kemudian warna bulu kombinasi cokelat, abu-abu dan putih. Ciri khas yang paling nampak adalah adanya bulu putih membentuk garis seperti alis mulai dari pangkal paruh sampai ke bagian belakang kepala.

Hebatnya lagi itik Alabio tergolong jenis itik unggul, karena memiliki kemampuan bertelur 220-250 butir/ekor/tahun. Puncak produksi telur diatas 90 %, bobot telur berkisar 58-65 gram/butir dan kemampuan produksi sampai berumur 3 tahun serta memiliki kemampuan pertumbuhan cukup baik dengan bobot badan dewasa berkisar 1,6-1,7 kg.

Itik Alabio merupakan sumber daya genetik ternak Indonesia yang perlu dijaga dan dipelihara kelestariannya, sehingga dapat memberikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Gigih berharap itik alabio dapat dilestarikan sehingga jauh dari ancaman kepunahan.

Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Batola, Alfian Noor, menyatakan bahwa bibit itik alabio sebanyak 1.000 ekor  diterima oleh Kelompok Tani Maju Bersama untuk 20 kepala keluarga. (NDV)

Pemerintah Respon Aspirasi Peternak Ayam Petelur

Pertemuan Dirjen PKH dan tim dengan para peternak di Blitar (Foto: Dok. Humas Kementan RI)

Menanggapi keluhan dan aspirasi para petani peternak ayam petelur mengenai harga jagung untuk pakan, Kementan RI melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) I Ketut Diarmita dan Dirjen Tanaman Pangan (TP) Sumardjo Gatot Irianto bertemu langsung dengan peternak di Kabupaten Blitar, Selasa (16/10/2018).

Sebelumnya, Dirjen PKH dan tim telah melakukan dialog dengan peternak ayam petelur mandiri di Kendal pada Minggu (14/10/2018) dan Cepu Senin (15/10).

Dalam pertemuan tersebut para peternak menyampaikan harapan bisa mendapatkan jagung dengan harga terjangkau, yakni maksimal Rp 4.600 per kilo gram (kg). Peternak juga meminta subsidi jika harga jagung tersebut di atas Rp. 4.600 per kg.

Sebagai langkah cepat jangka pendek, Dirjen PKH mengimbau para perusahaan pabrik pakan ternak (feedmill) untuk membantu para peternak mandiri mendapatkan jagung dengan harga terjangkau, yaitu Rp. 4.500-4.600 per kg dari harga pasar saat ini sebesar Rp. 5.000-5.200.

"Sehingga ada subsidi Rp. 500 - 600 per kg. Subsidi ini kan bisa disisihkan dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan pabrik feedmill," kata Ketut dalam keterangan resminya yang diterima Infovet, Kamis (18/10/2018).

Tambah Ketut, keterlibatan sejumlah perusahaan ini penting untuk saling membantu sesama peternak sehingga bisa sama-sama tumbuh. Kebutuhan jagung untuk para peternak ayam petelur mandiri di Kabupaten Blitar mencapai 1.000 - 1.500 ton per hari.

Merespon hal tersebut, beberapa perusahaan telah dan akan memberikan bantuan jagung dengan harga subsidi.

Contohnya PT Sido Agung yang memberikan jagung subsidi sebanyak 100 ton ke Kabupaten Kendal. Jagung bersubsidi dengan kadar air 15 persen itu dihargai Rp 4.500 per kg.

Sementara itu, untuk Kabupaten Blitar bantuan datang dari PT Charoen Pokhphand sebesar 50 ton, PT. Japfa Comfeed 40 ton, PT. Panca Patriot 100 ton, PT Malindo 20 ton, BISI 2 ton, dan CV Purnama Sari 10 ton.

Untuk jangka panjang, Dirjen PKH I Ketut Diarmita menyarankan agar dalam pembelian Day Old Chiken (DOC) dan jagung sebagai bahan baku pakan dilakukan secara bersamaan. Tujuannya supaya bisa mendapatkan harga lebih murah.

Adapun Dirjen TP Sumardjo Gatot Irianto menyatakan akan membantu petani jagung di sentra jagung setempat dengan memberikan 3 unit combine harvester, 5 unit traktor, dan bantuan benih jagung untuk 50 ribu hektar (ha).

Kelompok petani dan peternak juga diberikan 2 unit alat pengering jagung. Dirjen TP memberikan pula mereka subsidi pembelian jagung sebesar Rp 100 juta.

"Subsidi ini dilakukan untuk menutupi selisih harga pasar dengan kemampuan para peternak untuk membeli jagung yaitu diharga Rp. 4.600 per kg," kata Gatot.

Sebelumnya, Direktur Seralia Ditjen Tanaman Pangan Bambang Sugiharto mengusulkan adanya keterlibatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam pembelian jagung untuk para peternak mandiri.

Dalam pertemuan di Cepu, diputuskan tim Kementan bersama perwakilan peternak dan BUMD akan mengecek dan sekaligus membeli jagung di PT Segar Agro di Cepu, serta Tuban dan Blitar. ***

Simposium Alumni the Partnership, Hadirkan Inovasi Kreatif

Suasana peserta simposium alumni the Partnership saat mendengar sambutan George Hughes, Selasa (16/10). (Foto: Infovet/Ridwan)

Selama kurun 2017-2018, Indonesia Australia Partnership on Food Security in The Red Meat and Cattle Sector (the Partnership) telah melatih 80 orang melalui program “Pelatihan Pembiakan dan Manajemen Sapi Komersial” yang diperuntukan bagi pekerja perusahaan peternakan maupun petani/peternak rakyat, serta “NTCA Indonesia Australia Pastoral Program” untuk mahasiswa peternakan.

Pada Selasa (16/10), the partnership menggelar acara simposium alumni program pelatihan Indonesia-Australia Red Meat and Cattle Partnership, yang berlangsung di Cikini, Jakarta. Pada kegiatan tersebut ditampilkan banyak inovasi hasil karya anak bangsa yang dapat mendorong peningkatan industri sapi potong.

“Kita di sini kolaborasi mencari ide-ide baru untuk membantu mengembangkan cattle breeding di Indonesia,” ujar George Hughes , Counsellor (Agriculture), Australian Embassy in Jakarta, dalam sambutannya.

Kegiatan tersebut menghadirkan banyak inovator yang menyajikan inovasi berbasis aplikasi yang dapat membantu mengelola, mendata, hingga memasarkan produksi daging sapi di Indonesia. Dikemas dalam sesi inspirasi, turut mengundang pembicara Badrut Tamam Himawan Fauzi (CEO Karapan), Dalu Nazlul Kirom (CEO Ternaknesia), Andri Yadi (CEO SmarTernak) dan Muhsin Al Anas (Project Leader Gama Sapi 4.0).

Salah satu contoh inovasi tersebut, yakni aplikasi Karapan yang sudah berjalan sejak 2016 lalu. Dikatakan Tamam, sapaan akrabnya, aplikasi yang dibuat mampu mengakomodasi kebutuhan mitra petani/peternak yang tergabung di dalamnya.

“Di sini kita coba akomodasi dari hulu dan hilirnya. Dari peternak kita hubungkan ke RPH modern, kemudian kami sediakan distribusi channel-nya dan kita bantu jual harga daging dengan harga Rp 80 ribu kepada konsumen,” ujar Tamam.

Kepada Infovet, Tamam menyebut, aplikasi yang diluncurkannya diharapkan dapat membantu membangun manajemen peternakan sapi menjadi lebih baik sekaligus meningkatkan profit yang didapatkan peternak.

 Sementara, Wisnu Wijaya Soedibjo, Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang turut bekerjasama dengan the Partnership, mengemukakan, di era digital saat ini pemanfaatan terknologi memberi kemudahan.

“Perkembangan teknologi saat ini sudah mempermudah, sektor peternakan harus kuat dari berbagai gejolak, karena manusia butuh makan daging sapi setiap hari. Apalagi dengan adanya ekonomi digital diharapkan bisa menunjang Indonesia-Australia Red Meat and Cattle Partnership ini, selain memperkuat hubungan antara Indonesia dan Australia,” katanya.

Pada simposium tersebut, juga turut ditampilkan sesi workshop design thinking dan workshop pengembangan ide terkait pembangunan cattle breeding di Indonesia. (RBS)

Digitalisasi Peternakan di Era Industri 4.0

Platform digital Ternaknesia. 

Deputi Kerja Sama Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Wisnu Wijaya Soedibjo mengapresiasi upaya digitalisasi bidang peternakan yang dilakukan ketiga perusahaan diantaranya Ternaknesia, Karapan, dan SmarTernak.

Wisnu bahkan menyebut ketiganya sebagai pionir digitalisasi dalam sektor peternakan. Menurutnya, digitalisasi ekonomi bisa memberikan nilai tambah kepada sistem peternakan  tradisional.

BKPM memperkirakan ada lebih dari Rp 30 triliun investasi akan masuk lewat digitalisasi ekonomi, terutama yang mengarah pada perangkat aplikasi dan sumber daya manusia. Meski begitu, dia belum dapat merinci  seberapa besar  investasi yang terserap khusus untuk sektor peternakan berbasis digital.

Agribisnis merupakan investasi menarik bagi para pemain asing. Namun, pemerintah masih belum akan memberlakukan aturan ketat bagi penanaman modal pada sektor digital. "Kita buka pintu selebar-lebarnya untuk tahu siklus bisnisnya seperti apa, sehingga kita bisa beradaptasi," kata Wisnu di Jakarta, Selasa (16/10/2018).

Pengamat Pertanian Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf menyatakan industri 4.0 adalah wajah baru pada sektor peternakan Indonesia. Era digital pun mengharuskan peternak rakyat turut serta dalam perkembangan zaman, jika tak mau tertinggal oleh perusahaan besar yang terus berinovasi dengan teknologi.

Rochadi menyebutkan ada 4 kewajiban peternak rakyat untuk bertahan di era bisnis digital. Pertama, infrastruktur informasi dan teknologi dalam bentuk jaringan internet. Kedua, klasterisasi wilayah sesuai spesialisasi dalam peternakan sapi seperti pembagian pembibitan, penggemukan, pemotongan, atau penghasil susu.

Ketiga, penggunaan teknologi finansial sebagai inovasi dalam akses permodalan. Terakhir, jejaring bisnis lewat sistem aplikasi. "Efisiensi bisa tercapai dalam transportasi, logistik, komunikasi, serta produksi lewat jejaring," ujar Rochadi.

Dia menjelaskan, disrupsi teknologi akan memaksa para peternak rakyat di perdesaan untuk beradaptasi. Pemerintah harus terus mendukung masyarakat supaya memiliki daya saing dengan penyediaan infrastruktur dan kebutuhan untuk menuju digitalisasi. Salah satu program yang disorot adalah Desa Model Digital sesuai Program Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. (Sumber: katadata.co.id)










Jagung Masih Mahal, Peternak Rugi

Ilustrasi kandang ayam petelur (Foto: Google)


Harga jagung mahal menyebabkan kerugian yang dialami semakin tinggi. Pasalnya, jagung merupakan bahan dasar utama pakan ternak. Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar), Atung.  

Saat ini harga jagung berada di angka Rp 5.400 per kg. Padahal harga jagung normalnya dipatok Rp 4.500 hingga Rp 4.600 per kg.

"Ini jagung tinggi banget dari awal dan berpengaruh. Sekarang harganya sudah di luar nalar kita, jagung sekarang Rp 5.400 per kg itu biasanya Rp 4.500 sampai Rp 4.600 per kg," kata dia, Senin (15/10/2018).  

Lebih lanjut, dia mengungkapkan kenaikan harga jagung tersebut dikarenakan kurangnya pasokan di dalam negeri. Kekosongan pasokan tersebut telah terjadi sejak 2 minggu ke belakang ini.

Seperti dikutip dari detik.com, peternak juga mengaku merugi hingga Rp 3 juta per hari, karena harga telur yang terus merosot. Bahkan tercatat harga jual telur ayam ada Rp 15.000 per kilogram.

Dia mencontohkan, kerugian yang mesti ditanggung peternak untuk biaya produksi sebesar Rp 3.000 per telur per hari. Sedangkan telur yang dihasilkan per harinya mencapai 1 juta ton. Artinya ada kerugian sebesar Rp 3 juta per harinya.

“Misalnya, produksi 1 ton dan kalau biaya produksi itu Rp 3.000 kan itu jadi Rp 3 juta per hari," jelasnya.

Lebih lanjut, Atung mengungkapkan akan melakukan afkir dini atau memotong ayam yang masih produktif. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi angka kerugian tersebut. (Sumber: detik.com)

SEGERA DAPATKAN STOK TERBATAS! KAMUS & RUMUS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN




Telah terbit Buku Kamus dan Rumus Peternakan dan Kesehatan Hewan. Buku ini adalah satu-satunya di Indonesia yang berisi kamus istilah-istilah bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang dilengkapi dengan berbagai rumus terapan.

Buku Kamus & Rumus PKH ini diolah oleh Tim Penyusun dan dipimpin langsung oleh seorang tenaga senior bidang peternakan & kesehatan hewan (Drh M. Chairul Arifin) dari berbagai kumpulan sumber referensi. Berbagai referensi ini telah diolah, dianalisa serta diedit dan sangat bermanfaat untuk perumusan kebijakan bagi para perencana, panduan operasional untuk kegiatan-kegiatan penting Penyelenggaraan Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Di dalam buku Kamus dan Rumus ini termuat istilah gabungan biologi, ekonomi, perencanaan, statistik dan teknis yang berhubungan dengan Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dapat dipakai dalam proses perumusan kebijakan, perencanaan, penelitian dan langkah-langkah operasional oleh para perumus kebijakan maupun praktisi dan mereka yang awam sekalipun dalam bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Melalui pengumpulan istilah, pengolahan, dan penyuntingan yang mempertimbangkan aspek sosial ekonomis maupun aspek teknis peternakan dan kesehatan hewan, tim penyusun yang diketuai Drh. M. Chairul Arifin (Kepala Bagian Perencanaan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan periode 1999-2005) telah berhasil mendokumentasikan semua istilah dalam bentuk dokumen di atas secara baik.

Selain itu pada buku ini juga dilengkapi dengan berbagai rumus teknis Peternakan dan Kesehatan hewan yang biasa dipakai sehari-hari dalam menyusun berbagai perhitungannya, serta parameter penyelenggaraan Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Buku setebal 410 halaman ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian Pertama berisi daftar istilah Peternakan & Kesehatan Hewan, dan bagian kedua berisi rumus dengan contoh penerapan di bidang Peternakan & Kesehatan Hewan yang sangat penting diketahui oleh para perumus kebijakan, peneliti, akademisi dan mahasiswa dari perguruan tinggi, maupun para praktisi yang berminat di dalam mencari istilah yang tepat untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Salah satu kekuatan lainnya, terletak pada bagian kedua yaitu pada rumus contoh penerapan yang menyertai buku ini untuk penyelenggaraan pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sangat penting diketahui. Buku ini juga dilengkapi dengan Contoh & Penerapan Suatu Kasus.

Buku ini dipasarkan dengan harga Rp 100.000,- (belum termasuk ongkir). Segera dapatkan buku ini dengan pemesanan langsung ke Tim GITA Pustaka ke no WA 08568800752 (Wawan), 081806597525 (Aidah), 08561555433 (Aris), dan 089617484158 (Ahmad). ***

Demo Peternak Blitar Tuntut Mentan Hal Ini

Tuntutan peternak salah satunya agar Presiden Jokowi mengganti Menteri Pertanian (Foto: Istimewa)


Hari ini, Senin (15/10/2018) Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) menggelar aksi demonstrasi di Pendopo Pemerintah Kabupaten Blitar, Kanigoro. Tuntutan peternak diantaranya agar Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman turun dari jabatannya dan protes mereka terkait harga jagung yang mahal.

Aksi demo yang diikuti peternak layer Blitar raya ini mempertanyakan mengapa Mentan menyatakan stok jagung melimpah, namun pada kenyataannya peternak kesultan memperoleh jagung untuk pakan dan bahkan harganya selangit.

Peternak meneriakkan perihal jagung yang diekspor ke Filipina dan Malaysia, padahal peternak rakyat amat membutuhkan. PPRN menuntut pemerintah menyediakan jagung yang cukup dengan harga yang wajar sesuai aturan Kemendag yaitu Rp 3.150  di tingkat petani dan Rp 4.000 di tingkat peternak.

Sukarman selaku Ketua PPRN mengkritisi Kementerian Pertanian yang selalu berujar jika produksi jagung sudah swasembada, sehingga tidak memerlukan lagi impor.



“Fakta di lapangan, jagung ternyata sebagian besar  diserap perusahaan feed mill lewat pedagang saat panen di sentra-sentra produksi sehingga peternak kesulitan memperoleh jagung dengan harga yang wajar,” ungkapnya.

PPRN juga mendesak pemerintah untuk menstabilkan harga telur di tengah melambungnya harga bahan pakan ternak yang menembus Rp5.300/kg itu.

Harga telur terus anjlok, menurut Sukarman. Sumber yang dirangkum dari surabaya.bisnis.com, data pada Selasa (9/10/2018), harga telur ayam menembus Rp16.000-Rp16.300/kg, jauh bila dibandingkan harga acuan yang baru yakni Rp18.000-Rp20.000/kg di tingkat peternak.

Jika permasalahan harga telur dan pasokan jagung tidak segera diatasi pemerintah, peternak Blitar berencana melakukan demo ke Jakarta. (NDV)

Bahan Baku Pakan Berkualitas, Produktivitas Ternak Optimal (Bag. I)

Bahan baku pakan ternak. (Foto: Infovet/Wawan)

Tidak dapat dipungkiri bahwa produksi ternak optimal harus sejalan dengan ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas. Bicara soal kecukupan pakan, sudah dimaklumi bersama bahwa ada perbedaan pemberiannya berdasarkan umur pemeliharaan ternak per ekor per hari. Hal ini berarti bahwa pemberian pakan harus didasarkan pada kondisi fisiologi ternak yang disesuaikan dengan umurnya masing-masing.

Pakan tidak hanya dimaknai dengan cukup jumlahnya saja, namun kualitas pakan juga harus diperhatikan. Pentingnya pemberian pakan yang cukup jumlah dan bagus kualitasnya, menurut Apriadi Pasaribu, Supervisor Farm PT Peternakan Ayam Manggis Farm 4 Cianjur, Jawa Barat, ayam yang diberi pakan berkualitas dapat berproduksi optimal dengan bobot telur sesuai standar yang diharapkan. Hal serupa juga dikatakan Reski Susanto, Supervisor Hatchery di perusahaan yang sama. “Jika bobot rata-rata telur sesuai standar, dipastikan persentase telur menetas juga optimal.”

Pakan sendiri diartikan sebagai suatu bahan atau campuran dari berbagai macam bahan yang diformulasikan berdasarkan ISO protein dan ISO energi, sumber nutrien, seperti air, energi, protein, lemak, serat kasar, vitamin dan mineral.

Menurut Dr Roni Ridwan, Peneliti Madya Nutrisi Ternak dan Mikrobiologi Terapan di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong, kualitas pakan yang diberikan pada ternak harus mengikuti aturan, seperti bahan baku pakan tersedia sepanjang waktu, memiliki kandungan nutrien mencukupi, murah harganya dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Selain itu, kata dia, bahan baku pakan juga harus bebas dari toksin, sehingga tidak membahayakan, baik bagi ternak maupun konsumen yang mengonsumsi produk ternak tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa ada persyaratan lain yang diperlukan, yakni kadar air dan kecernaan masing-masing bahan baku pakan.

“Kadar airnya perlu diketahui dan diperhatikan, karena terkait dengan penggudangan, soal kecernaan juga sangat penting. Artinya, jika punya bahan pakan melimpah, tapi kecernaan dari bahan pakan itu rendah, percuma karena tidak dapat dimanfaatkan ternak sesuai fungsinya, ternak mengonsumsi pakan namun tidak tumbuh dengan baik, peternak rugi,” ujar Dr Roni kepada Infovet.

Kebaikan bahan baku pakan sampai saat ini masih menjadi perdebatan, terutama terkait dengan bahan baku yang ketersediaannya minim di pasaran, seperti bahan baku pakan sumber protein, energi dan mineral yang masih harus diimpor. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudirman, Dewan Pembina Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), bahwa sekitar 35% bahan baku pakan ternak masih impor. “Benar bahwa Indonesia masih importasi bahan baku pakan ternak sumber protein, yakni bungkil kedelai dan nilai impor tertinggi itu ada di bahan baku pakan tepung daging dan tulang (Meat Bone Meal/MBM),” kata Sudirman, seperti dikutip detik.com.

Mengacu pada pernyataan Sudirman, nilai impor yang 35% dipandang cukup besar jika dikalkulasikan dalam bentuk rupiah. Namun, kebijakan impor tetaplah dilakukan, hal ini mengingat bahwa kebutuhan kedua bahan baku pakan tersebut cukup tinggi, apalagi adanya efek domino penggunaannya, terutama kedelai yang juga harus memenuhi kebutuhan manusia.

“Ketersediaan kedelai dan/atau bungkil kedelai itu sendiri untuk bahan baku pakan jelas tidak memungkinkan, mengingat adanya kompetisi dengan manusia yang mengonsumsi dalam bentuk pangan olahan, seperti tahu, tempe dan kecap,” kata Sudirman.

Terkait itu, ada baiknya mengingat kembali jenis dan fungsi bahan baku pakan ternak itu sendiri. Hal ini sedikit memberikan edukasi kepada peternak, terutama self mixing.

Jenis dan Fungsi Bahan Baku Pakan 
Pengelompokan bahan baku pakan ternak setidaknya didasarkan atas empat kelompok. Hal ini karena untuk menspesifikasi bahan pakan ternak dimaksud agar dalam penggunaan tidak menimbulkan over penggunaan atau hal lain yang tidak diinginkan. Dalam buku Principles of Animal Nutrition karya Guoyao Wu (2018), menyebutkan jika didasarkan atas asalnya, maka bahan baku pakan itu sendiri ada yang nabati dan hewani.

Bahan baku pakan asal nabati merupakan bahan baku pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan pakan ini biasanya memiliki serat kasar tinggi. “Benar, jika tumbuh-tumbuhan dijadikan bahan pakan ternak, khususnya untuk ruminansia, maka itu sudah tepat. Bahan pakan asal tumbuhan, seperti rumput dan lainnya, mengadung serat kasar tinggi, di atas 18-20%, ini cocok untuk ruminansia, mereka punya mikroba rumen yang cukup untuk mengolah serat kasar untuk pertumbuhan dan fungsi tubuh lainnya,” kata Dosen Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB, Dr Ir Muhammad Ridla kepada awak Infovet.

Bahan baku pakan seperti itu tidak hanya didominasi oleh jenis rumput-rumputan saja, namun juga dedaunan, dedak halus, bahkan pelepah daun sawit dapat dikelompokkan ke dalam bahan baku asal nabati.

Di samping itu, bahan baku pakan nabati sebagian juga ada yang mengandung protein tinggi, seperti bungkil kelapa, bungkil kedelai dan bahan asal kacang-kacangan atau leguminosa, sedangkan untuk jagung, disebut sebagai bahan pakan asal nabati tinggi energi.

Selanjutnya bahan baku pakan asal hewani, yakni bahan pakan yang umumnya berasal dari limbah industri, sehingga penggolongannya dapat disebut sebagai bahan baku pakan yang memanfaatkan limbah atau produk samping industri pengolahan pangan asal hewan. Menurut Dr Ridla, bahan baku pakan ini mengandung protein cukup tinggi, sehingga disebut juga sebagai bahan pakan tunggal atau untuk penyusun konsentrat.

“Bahan pakan dari produk samping industri pengolahan ikan, sapi, kambing, domba dan ayam, serta jenis ternak lainnya, biasanya dikelompokkan ke dalam bahan pakan tinggi protein, dengan kandungan protein di atas 20%,” ucap dia.

Namun demikian, dalam memformulasikannya ke dalam pakan ternak, bahan pakan ini memiliki keterbatasan, karena adanya batas maksimum protein di dalam pakan, misalnya untuk ruminansia sekitar 16,20% dan unggas kisaran 18-23%, baik broiler maupun layer. “Batasan ini diperlukan mengingat nilai ekonomi dari pakan itu sendiri, artinya ketika pakan tinggi protein, maka kaitannya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan itu sendiri juga tinggi,” kata Dr Ridla.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika dikelompokkan berdasarkan bentuk, dibedakan atas empat golongan. Pertama, bentuk butiran, disukai oleh unggas dengan nilai ekonomis sampai 25%. Bahan baku pakan ini adalah jagung, gandum, sorgum, kedelai dan lainnya. Kedua, bentuk tepung, biasanya digunakan untuk unggas fase awal pemeliharaan. Bentuk bahan baku pakan ini memiliki nilai ekonomis 25-35%. Ketiga, bentuk pilih, tidak jauh berbeda dengan bentuk butiran, hanya saja nilai ekonomis mencapai 10-25%. Keempat, bentuk cairan, berupa minyak ikan, minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil/VCO) dan minyak kedelai, dengan nilai ekonomis 0,5% yang berfungsi untuk pembentukkan asam lemak bebas.

Sementara itu, jika dilihat dari sumbernya, bahan baku pakan dimasukkan ke dalam tiga kelompok. Pertama, bahan baku pakan sumber energi, yakni semua bahan baku pakan ternak yang kandungan protein kasarnya tidak lebih dari 20% dan kandungan serat kasar di bawah 18%. Bahan pakan ini pun dibedakan lagi atas empat golongan, yakni kelompok serealia atau biji-bijian, kelompok produk samping dari penggilingan biji-bijian, kelompok umbi-umbian dan kelompok hijauan.

“Bahan baku pakan sumber energi secara umum dapat digunakan untuk semua ternak, namun perlu dibatasi penggunaannya terutama untuk unggas, ini terkait dengan efeknya, misalnya pada pakan ayam broiler, biasanya pakan sumber energi yang berlebihan dapat dimobilisasi untuk pembentukkan lemak abdomen,” kata Randi Mulianda, Mahasiswa Program Doktoral di Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fapet IPB.

Kedua, bahan baku pakan sumber protein, biasanya dari bahan pakan yang kandungan proteinnya di atas 20%, dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Menurut Randi, bahan baku pakan sumber protein dapat berasal dari kelompok hijauan, produk samping industri pertanian dan perkebunan, serta kelompok bahan yang diproduksi dari hewan (peternakan dan perikanan) berupa MBM, tepung darah, tepung ikan dan lainnya, baik yang didapat dari RPH, RPU maupun produk samping industri pangan berbahan dasar produk perikanan dan peternakan.

Ketiga, bahan baku pakan sumber vitamin dan mineral, keberadaan dua jenis nutrien ini sangat umum, dapat dijumpai dihampir seluruh bahan baku pakan, baik dari tumbuhan maupun hewan. Perlu diingat, bahwa bahan baku pakan yang diperuntukkan sebagai sumber vitamin dan mineral perlu diperhatikan dalam pemanenan, umur panen, pengolahan dan penyimpanan, serta jenis dan bagian-bagiannya yang akan diberikan kepada ternak, seperti yang ditulis McDonald et al. (2011), dalam bukunya Animal Nutrition, perlakuan apapun yang diberikan kepada bahan baku pakan dapat berpengaruh terhadap nilai nutrien yang dikandungnya, terutama vitamin dan mineral.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika kelompokkan menurut kelaziman penggunaannya dibedakan atas bahan baku pakan konvensional dan non-konvensional. Menurut Guoyao Wu (2018), bahan baku pakan konvensional adalah bahan pakan umum dan sering digunakan untuk ternak. Bahan baku pakan ini memiliki kandungan nutrien lengkap, terutama protein dan energi sebagai dasar formulasi pakan.

Sedangkan bahan baku pakan non-konvensional disebut belum umum dipakai untuk bahan pakan tunggal atau dijadikan bahan pakan dalam formulasi pakan. Biasanya bahan pakan non-konvensional lebih banyak digunakan untuk unggas, karena nilai nutriennya mumpuni untuk kebutuhan unggas selama periode pemeliharaan.

“Pakan non-konvensional lebih disarankan penggunaannya karena tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, namun perlu kajian-kajian spesifik, misalnya kandungan nutrien atau non-nutriennya yang dapat dieksplorasi untuk bahan pakan kaya nutrien dimasa depan,” kata Ketua Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia, Prof Nahrowi.

Terkait dengan fungsi dari bahan-bahan baku pakan, banyak informasi yang dipublikasikan, yakni secara umum, fungsi bahan pakan dan pakan untuk semua makluk hidup adalah untuk pemeliharaan tubuh, pertumbuhan, produksi dan perkembangbiakkan atau reproduksi. Namun perlu diingat, pemberian pakan yang tidak sesuai dengan tujuan pemeliharaan, umur dan kondisi fisiologi ternak, dampaknya dapat berupa ternak rentan terhadap penyakit, sehingga dengan sendirinya dapat menurunkan produktivitas ternak, bobot badan panen menurun dan akhirnya keuntungan yang didapat juga ikut menurun. Bersambung... (Sadarman)

Harga Sapi Lokal per Oktober Stabil

Ilustrasi (sumber: unsplash)

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), I Ketut Diarmita mengemukakan saat ini harga sapi lokal di tingkat peternak cukup stabil, per 8 Oktober 2018 sebesar Rp 44.123 per kg berat hidup. Harga pada minggu pertama Oktober 2018 sebesar Rp 44.237 per kg berat hidup.

Ketut menjelaskan untuk harga daging sapi lokal di tingkat konsumen juga cenderung stabil. Rata-rata saat ini sebesar Rp 112.963 per kg, dibandingkan pekan pertama Oktober 2018 sebesar Rp 112.968 per kg.

Pemerintah melakukan impor daging sapi dan kerbau dikarenakan kebutuhan konsumsi daging di Indonesia cukup besar sekitar 662.540 ton untuk tahun ini.

Seperti dikutip dari laman kontan.co.id, Ketut menyatakan impor dilakukan dengan merujuk berdasarkan konsumsi per kapita untuk daging sapi atau kerbau sebesar 2,5 kg per tahun dengan jumlah penduduk tahun 2018 sebesar 265.015 ribu jiwa.

Menurut Ketut, produksi dalam negeri belum dapat mencukupi kebutuhan konsumsi tersebut. Produksi daging dalam negeri tahun 2018 sekitar 2.785.193 ekor setara dengan 429.410 ton daging sapi, sehingga terdapat kekurangan suplai sebesar 233.130 ton.

Kekurangan pasokan tersebut dipenuhi dari impor sapi bakalan sebanyak 600.000 ekor setara dengan 119.620 ton dan impor daging sapi atau kerbau sekitar 113.510 ton.

“Harga daging sapi dan kerbau impor sesuai dengan Permendag 96 tahun 2018 sampai saat ini Rp 80.000 per kg. Harga tersebut sebagai harga acuan tertinggi penjualan di tingkat konsumen,” kata Ketut.(Sumber: kontan.co.id)


FLPI: Tingkatkan Kesejahteraan Ternak Saat Proses Transportasi

Foto bersama peserta workshop FLPI, Jumat (12/10). (Foto: Infovet/Sadarman)

Transportasi ternak merupakan kunci utama dalam mendistribusikan hal terkait dengan produk peternakan. Kegiatan mendistribusikan ternak dalam kondisi hidup ini memerlukan teknik-teknik khusus, hal ini bertujuan agar ternak yang ditransportasikan merasa nyaman dan aman selama dalam perjalanan.

Merujuk pada pentingnya memperhatikan proses transportasi ternak, Forum Logistik dan Peternakan Indonesia (FLPI) menyelenggarakan workshop bertajuk “Meningkatkan Kesejahteraan Hewan pada Transportasi Ternak di Indonesia”, yang diselenggarakan di Ruang Sidang Fakultas Peternakan (Fapet), Institut Pertanian Bogor (IPB), Jumat (12/10).

Kegiatan ini dihadiri Deny Kusdyana perwakilan Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Ahmad Wiroi dari Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Drh Afriani dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Workshop kali ini menghadirkan empat narasumber, diantaranya Edy Wijayanto (PT Sapibagus), Tri Nugrahwanto (PT Tanjung Unggul Mandiri), Soedarno (Logistics Foods PT Sierad Produce Tbk) dan Dr Ross Ainsworth (Australian Veterinary). Acara dimoderatori oleh Dr Rudi Afnan, Wakil Dekan Bidang Sumberdaya Kerjasama dan Pengembangan Fapet IPB.

Dekan Fapet IPB, Dr Ir Mohamad Yamin, dalam sambutannya menegaskan, FLPI merupakan wadah baru yang memfasilitasi hal terkait dengan logistik peternakan di Indonesia.

“Keberadaan FLPI dipandang sangat perlu karena fungsinya dapat memberikan masukkan mengenai cara mentransportasikan ternak dari satu tempat ke tempat lain. Transportasi tidak hanya terkait memasukkan ternak ke media angkut, namun lebih intens lagi adalah perlakuan yang perlu diberikan atau yang diterima ternak selama dalam perjalanan hingga sampai tujuan,” ujar Dr Yamin. 

Sementara itu, Prof Dr Ir Luki Abdullah, Chairman FLPI, turut menyampaikan, sejak didirikan tiga tahun lalu, FLPI telah memberikan warna baru dalam ranah logistik peternakan yang menghasilkan produk pangan Indonesia.

“FLPI telah mengakomodasi dan merekomendasi berbagai hal yang berhubungan dengan logistik peternakan itu sendiri kepada pemangku kepentingan, sehingga sampai saat ini FLPI telah berkontribusi nyata dan bermanfaat bagi kemajuan logistik peternakan di Indonesia,” kata Prof Luki.

Acara yang didukung oleh IPB, Animal Logistics (ALIN), Nuffic MSM, Wageningen UR dan Aeres Groep, mendapat perhatian khusus dari perwakilan Kementerian Perhubungan.

“Banyak hal menarik yang perlu diungkap dan dijadikan bahan agar ranah transportasi ternak ke depannya lebih baik, misal perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tata-cara mentransportasikan ternak itu sendiri,” kata Deny Kusdyana.

Sedangkan dikatakan Dr Ross dalam paparannya, bahwa kesejahteraan ternak selama ditransportasikan berkorelasi positif dengan keuntungan yang diterima oleh para pelaku usaha. Ini artinya jika ternak sejahtera selama proses transportasi, maka keuntungan yang diperoleh pun akan meningkat. (Sadarman)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer