|
Webinar PATAKA Membahas Wabah LSD |
Rabu (20/4) Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) mengadakan webinar yang membahas wabah Lumpy Skin Disease (LSD) yang melanda Indonesia baru - baru ini. Webinar digelar melalui daring Zoom Meeting dan live streaming melalui kanal youtube PATAKA.
Ketua Umum PATAKA Ali Usman dalam sambutannya mengatakan, hadirnya LSD sebagai wabah baru di Indonesia merupakan kekhawatiran baru bagi para peternak dan pengusaha di sektor persapian. Oleh karenanya dibutuhkan respon dan penanganan yang tepat.
"Mungkin dari yang saya tahu penyakit ini kematiannya tidak terlalu tinggi, tetapi tetap saja kalau penularannya cepat, bisa gawat juga," kata Usman.
Lebih lanjut mengenai LSD dijelaskan oleh Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh. Secara rinci ia menjelaskan mengenai aspek - aspek terkait penyakit ini.
"Di Indonesia ini penyakit masuk karena lalu lintas yang kurang terjaga, sebagaimana kita ketahui bahwa di negara lain ini juga terjadi dengan pola yang sama," kata dia.
Munawaroh juga menyoroti fasilitas check point yang kurang dimaksimalkan, padahal peran dari check point yang dimiliki oleh Kementan tersebut merupakan salah satu unsur esensial dalam mengendalikan penyakit hewan lintas batas, termasuk LSD.
Selain itu ia juga menyebut bahwa penyakit LSD dapat menyebar cepat melalui vektor serangga terbang seperti nyamuk, lalat pengisap darah, kutu, dan caplak. Oleh karena itu mengendalikan vektor juga menjadi aspek penting dalam pengendalian LSD.
Yang tak kalah penting menurut Munawaroh yakni vaksinasi. Dengan dilakukannya program vaksinasi, penyakit dapat dicegah sedini mungkin, dan disinilah pemerintah juga harus banyak memfokuskan kegiatannya.
Dalam kesempatan yang sama pemerintah yang diwakili oleh Direktur Kesehatan Hewan Drh Nuryani Zainuddin mengatakan bahwa pemerintah telah mengerahkan segala upaya dalam mencegah LSD masuk ke Indonesia.
Sebelumnya pemerintah telah beberapa kali memberikan notifikasi terkait penyakit ini, upaya lain seperti pelatiahn teknis juga telah dilakukan, namun apa daya ternyata penyakit ini memang tidak terbendung.
Kini pemerintah memfokuskan diri dalam program vaksinasi darurat. Kurang lebih target vaksinasi sebanyak 450.000 dosis, dan baru 100.000 dosis yang baru bisa dilaksanakan karena terkendala dana.
"Sementara ini vaksinasi yang tersedia bagi 100.000 dosis, diharapkan nanti akan diperluas, kami sudah melakukan pengajuan anggaran terkait penanggulangan penyakit ini, namun karena dananya masih terbatas, jadi belum bisa maksimal juga kitanya," tutur dia.
Aspek sosial ekonomi menurut Nuryani juga menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam mengendalikan LSD di Riau.
"Kami merasa ini sangat nyata, peternak dan pemilik hewan terlihat acuh. Mereka lebih takut ternaknya kena Jembrana daripada LSD. Ini bisa jadi duri dalam daging juga, meskipun begitu tetap kami lakukan pendekatan supaya mereka lebih aware dengan penyakit ini," kata dia.
Aspek ekonomi yang dimaksud oleh Nuryani yakni terkait dengan pengendalian lalu lintas ternak vs stok daging sapi. Dengan diperketatnya lalu lintas ternak, otomatis kemungkinan terjadinya kelangkaan daging sapi yang berujung kenaikan harga bisa saja terjadi, dan inilah yang menurutnya juga adalah kendala terbesar.
Sementara itu Drh Nanang Purus Subendro Ketua Umum Pehimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) juga menyoroti aspek lalu lintas ternak terkait mewabahnya LSD.
Menurut dia, dengan banyaknya pulau kecil di sekitar Sumatera memungkinkan tejadi pengiriman sapi secara ilegal dari luar. Sehingga perdagangan ilegal yang tidak terkontrol inilah yang menjadi faktor risiko juga.
Ia juga kerap kali ditanya oleh eksportir sapi asal Australia terkait wabah LSD di Indonesia. Menurutnya ini juga menjadi suatu hal yang cukup mengkhawatirkan.
"Bisa saja nanti teman - teman kami di Australia menyoroti hal ini, jadi nanti mereka bikin kebijakan untuk sementara tidak mengekspor sapi ke Indonesia. Ini kan bahaya, feedlot bisa rugi, lalu peternak juga rugi kalau yang diekspor dari sana dagingnya saja," tutur dia.
Selain itu, menurut Nanang Indonesia sedikit beruntung karena Riau merupakan daerah resipien sapi, bukan produsen. Ia membandingkan bila LSD datang pertama kali di Lampung , Jawa Timur, atau NTB.
"Kita sedikit beruntung, kalau dia sampai duluan di Lampung, Jatim, atau NTB akan lebih gawat. Itu daerah produsen dan kalau sudah ada wabah biasanya nanti akan terjadi panic selling. namun begitu tetap kita semua harus bekerja keras untuk mengendalikan wabah ini," tutur Nanang