Para perwakilan asosiasi petani dan peternak deklarasikan Mosi Tidak Percaya pada Menteri Pertanian (Foto: Istimewa) |
Sebuah petisi muncul, meminta Presiden Republik Indonesia Jokowi untuk memberhentikan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Petisi ini dinamai Petisi Ragunan, di mana 20 perwakilan organisasi serta asosiasi petani dan peternak membubuhkan tanda tangan.
Para penggiat sekaligus pelaku sektor pertanian dan peternakan tersebut berkumpul di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan dalam kegiatan ‘Refleksi Akhir Tahun’ yang digagas oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka). Acara berlangsung hari ini, Kamis (22/11/2018).
Petisi Ragunan dibacakan Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika. Dalam dasar pertimbangan petisi tersebut, disebutkan bahwa telah terjadi pembohongan data produksi pertanian yang sudah dibuktikan oleh BPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perwakilan berbagai organisasi dan asosiasi petani meminta Presiden Republik Indonesia untuk memberhentikan Mentan.
Berbagai pertimbangan sebagai alasan perlunya pendeklarasian Petisi Ragunan disampaikan para peserta diskusi. Agropreneur Jagung dari Lombok, Dean Novel melihat pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) terlalu asyik sendiri dengan kebijakan yang dibuat.
“Petani justru bingung dengan kebijakan pemerintah. Apa yang petani perlukan tidak diberikan, sebaliknya yang petani tidak perlukan justru pemerintah berikan,” ungkap Dean.
Misalnya, sebut Dean, ketika pemerintah mendorong tanam serentak membuat petani menjadi dilematis. Bahkan ketika panen, harga malah jatuh. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sarana penyimpanan seperti alat pengering (dryer) dan pergudangan.
Ketika tidak ada panen, harga melonjak tinggi, sehingga peternak unggas yang kesulitan mendapatkan bahan baku pakan ternak. Lebih mirisnya, benih jagung bantuan pemerintah juga kualitasnya dipertanyakan. Artinya, ketika pemerintah membuat kebijakan persoalan utama (bottle neck)-nya tidak diselesaikan.
Dean tengah melihat perjagungan Indonesia tengah menghadapi anomali. Satu sisi pemerintah mengklaim surplus jagung dan sudah ekspor, tapi yang terjadi malah ada impor. Bahkan kemudian pemerintah meminjam stok dari pabrik pakan ternak untuk menutupi kebutuhan jagung peternak rakyat.
Karena itu, kalangan petani jagung berharap pemerintah jujur dan kemudian berjanji akan menata pertanian Indonesia dengan lebih baik.
Kadma Wijaya dari PPUN (Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara) Bogor melihat dari sisi peternak rakyat, pemerintah juga tidak berpihak. Di sisi hulu pemerintah memaksa untuk harga mahal dengan berbagai kebijakan, tapi di bagian hilir harga sesuai mekanisme pasar. Kondisi tersebut membuat banyak peternak bangkrut.
Kalangan peternak broiler yang tergabung dalam GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional) juga mengeluhkan kebijakan pemerintah. Pengurus GOPAN, Sigit Prabowo menilai pemerintah memang mengatur kebijakan di hulu, tapi dibagian hilirnya tidak pernah diatur. Menurutnya, kebijakan yang pemerintah buat sepotong-sepotong.
“Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagai acuan, tapi harga jualnya sesuai mekanisme pasar. Akibat kebijakan itu, harga menjadi tinggi DOC, peternak pun terancam gulung tikar,” ujar Sigit.
Stimulan Pemerintah Cuma Lips Service
Keluhan terhadap kebijakan pemerintah juga dirasakan kalangan peternak sapi. Kebijakan yang pemerintah buat dinilai banyak yang kontra produktif.
Seperti dalam penetapan harga daging yang tidak menguntungkan produsen. Bahkan produsen sapi (feedloter) rakyat, banyak yang menutup usahanya. Sementara yang masih bertahan mengurangi kapasitas produksinya. Tapi hal itu berdampak dalam permodalan, karena perbankan tidak lagi berani membiayai.
Agus Warsito dari APSPI (Asosisasi Peternak Sapi Perah Indonesia) mengatakan, tugas pemerintah sebenarnya tidak berat, buat regulasi yang berpihak kepada rakyat.
“Kenyataannya regulasinya tidak berpihak nyata. Stimulan yang pemerintah berikan hanya lips service, gula-gula belaka,” tandas Agus.
Pada awal pemerintahan, Agus mengaku optimis dengan kebijakan persusuan dengan keluarnya Permentan No. 27/ 2016. Tapi kemudian setelah mendapat respon swasta dan ditekan kepentingan asing, Permentan tersebut dicabut diganti Permentan 30, lalu diganti lagi Permentan 33.
“Artinya, Kementan tidak mempunyai kedaulatan di negeri sendiri dan justru tunduk pada kepentingan asing,” lanjutnya.
Selain penandatanganan petisi, dalam kegiatan ini menyepakati dua hal. Pertama, membentuk Agriwatch yang akan berfungsi sebagai lembaga untuk melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan program-program di Kementan.
Lembaga ini nantinya akan memberikan masukan kepada Kementan, baik diminta ataupun tidak diminta. (NDV)
0 Comments:
Posting Komentar