-->

BENARKAH KONSUMSI ROKOK MASYARAKAT KELAS BAWAH MELEBIHI KONSUMSI TELUR?

Daging dan telur ayam, sumber protein hewani. (Foto: Istimewa)

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, menyebutkan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang. Sekitar 7,4% di antaranya masih berusia 10-18 tahun. Di sisi lain, mereka hanya sedikit mengonsumsi telur dan daging ayam.

Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi para perokok, tetapi didasarkan untuk mengungkap fakta dan data bahwa uang masyarakat Indonesia yang dibelikan “candu” berupa rokok jauh lebih besar dibandingkan untuk kebutuhan konsumsi telur maupun daging ayam.

Yang membuat miris, jumlah perokok yang cukup besar berasal dari kalangan masyarakat yang notabene termasuk kelompok masyarakat miskin. Kok, bisa?

Data Badan Pusat Statistik (BPS), per 2023, proporsi perokok Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas adalah sebanyak 28,62%. Jumlah tersebut diproyeksi akan terus bertumbuh.

Mengutip dari GoodStats, World Health Organization (WHO) membuat proyeksi ini berdasarkan data prevalensi merokok yang tersedia di 165 negara. WHO menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia diprediksi mencapai 38,7% dari total penduduk pada 2025. Adapun angka tersebut hanya menghitung jumlah perokok berusia 15 tahun ke atas.

Data ini mengungkapkan, Indonesia menduduki urutan kelima negara dengan proporsi perokok terbanyak di dunia, di bawah Nauru, Myanmar, Serbia, dan Bulgaria. Namun WHO hanya menghitung data perokok yang menggunakan produk dengan kandungan tembakau, baik yang berasap atau tidak, dengan frekuensi pemakaian setiap hari atau hanya kadang-kadang.

Di sisi lain, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai sekitar 70 juta orang dan 7,4% di antaranya masih berusia 10-18 tahun.

Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).

Sekarang bandingkan dengan tingkat konsumsi makanan sehat, seperti konsumsi telur dan daging ayam. Berdasarkan data BPS Maret 2024 (data terakhir yang dirilis BPS, red), terdapat perbandingan yang membuat prihatin antara konsumsi telur dan daging ayam dengan konsumsi rokok.

Menurut data BPS tersebut, komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan di dalam negeri, baik di perkotaan maupun di perdesaan, pada umumnya hampir sama.

Pertama adalah beras yang memberi sumbangan terbesar, yakni 21,84% di perkotaan dan 25,93% di perdesaan. Kemudian rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua, yakni 11,56% di perkotaan dan 10,90% di perdesaan. Sementara untuk komoditas daging ayam ras hanya 4,25% di perkotaan dan 2,86% di perdesaan, serta telur ayam ras sebesar 4,21% di perkotaan dan 3,36% di perdesaan.

Candu Rokok Sudah “Bersemayam”
Dari sisi gizi, data BPS di atas sungguh miris. Bagaimana bisa kelompok masyarakat miskin justru lebih mementingkan “membakar uang” (baca: merokok) ketimbang memberi makanan bergizi untuk keluarganya?

Fenomena konsumsi rokok jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging ayam mendapat perhatian dari para pakar. Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto PhD, menyebutkan bahwa fenomena semacam ini sulit diterima akal sehat. Kebutuhan asupan gizi untuk keluarga dikalahkan kebutuhan rokok yang hanya jadi candu.

“Bisa dibayangkan kalau dalam sehari orang menghabiskan Rp 20 ribu untuk membeli rokok, maka dalam sebulan Rp 600 ribu dibakar begitu saja. Kalau dibelikan telur, dengan asmusi Rp 30 ribu, maka sebulan dia bisa beli 20 kilogram telur. Keluarga sehat, gizi terpenuhi, rumah juga bersih tanpa asap rokok,” jelas Yuny.

Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini berpendapat, perputaran uang untuk membeli rokok hanya akan berputar pada pabrik rokok dan cukai ke negara saja. Mereka yang menikmati keuntungan sangat besar, sementara para perokok mendapat titipan zat berbahaya yang bersarang di dalam tubuhnya.

Berbeda dengan itu, untuk konsumsi telur atau daging ayam perputaran uangnya sangat luas. Mulai dari petani jagung dan bahan pakan lain, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha restoran, usaha pemotongan hewan beserta jalur pasar yang mereka lewati melibatkan banyak pelaku usaha.

“Artinya kalau semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk telur atau daging ayam akan mempunyai daya ungkit bagi usaha yang terlibat dan akan membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan uang yang berputar untuk membeli rokok,” ungkapnya.

Yuny tak sependapat dengan anggapan peningkatan daya beli rokok masyarakat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. “Sederhananya, masyarakat yang konsumsi rokok atau yang makan telur yang akan meningkatkan produktivitas? Jadi tidak ada hubungannya antara biaya pulsa yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan,” tambahnya.

Ia berargumen, kalangan perokok sangat sulit untuk mengurangi jatah rokoknya, apalagi untuk berhenti total. Karena candu rokok sudah “bersemayam” dalam tubuh, maka ada orang yang berpinsip “tidak apa tidak sarapan, asal tiap pagi bisa merokok.”

Bahkan sampai yang tidak punya uang sekalipun, para perokok berat akan mencari jalan lain untuk bisa mendapatkan rokok, entah dengan meminta ke teman, utang ke warung, bahkan ada yang nekat mengambil tanpa izin alias mencuri.

“Artinya pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan kebiasaan sebagian masyarakat kita yang memang lebih memilih untuk tetap merokok, bagaimanapun kondisinya,” ucap dia.

Risiko SIDS
Sebagai peringatan untuk orang tua yang perokok, meski sudah sering diperingatkan, merokok di dalam rumah yang terdapat anak kecil sangat besar risikonya. Kementerian Kesehatan dalam rilisnya menyebutkan, pada anak-anak paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko Sudden Infant Death Syndromes (SIDS) hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan anak-anak yang tidak merokok.

Risiko SIDS ini bisa berakibat fungsi paru menurun, penyakit pernapasan, kanker, gangguan ginjal, hingga infeksi telinga. “Kebiasaan merokok juga menyebabkan stunting. Karena nilai nutrisi keluarga itu bisa teralihkan akibat pembelian rokok oleh bapaknya,” tulisnya dalam rilis tersebut.

Anak-anak mempunyai hak untuk tumbuh di lingkungan yang bebas dari dampak berbahaya tembakau. Upaya tanpa henti dari industri tembakau untuk memikat generasi muda pada produk mereka merupakan serangan langsung terhadap hal ini.

Keluarga dengan kepala rumah tangga perokok aktif, pemenuhan kebutuhan nutrisi cenderung harus berlomba dengan pemenuhan konsumsi rokok. Sering kali kebutuhan nutrisi menjadi tersingkir, mengingat harga rokok saat ini mahal dan kebutuhan beberapa bahan makanan pokok dan lauk pauk juga bisa naik turun.

Secara perhitungan bila harga rokok mahal tentu akan dapat mengurangi pengeluaran yang ditujukan untuk konsumsi makanan sehat. Padahal tubuh membutuhkan asupan nutrisi seimbang guna mempertahankan imunitas, kesehatan, dan kebugaran.

Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang berkurang pada anak dapat menganggu tumbuh kembangnya. Jika itu terganggu, bisa mengakibatkan stunting. Selain itu juga dapat mengganggu kesehatan anggota keluarga yang lain.

Dampak lebih lanjut adalah ketika anak-anak mengalami gangguan tumbuh kembang, tentu berdampak pada masa depan mereka. Kualitas generasi penerus salah satunya berasal dari nutrisi seimbang. Bila tumbuh kembang terganggu, kualitas generasi penerus menjadi turun. Kemampuan intelektual, kemampuan kerja, dan produktivitas menjadi faktor penting yang perlu dikawatirkan, ketika asupan nutrisi kurang.

Selanjutnya, kondisi ini dapat mendorong munculnya kasus-kasus kemiskinan baik di perdesaan maupun perkotaan. Dampak kurangnya asupan nutrisi juga dapat menyebabkan tingginya risiko kematian pada bayi dan anak.

Kepala rumah tangga yang seorang perokok, kesehatannya juga sedikit demi sedikit akan digerogoti oleh racun rokok. Bila akhirnya sakit, akan menjadi beban keluarganya yang tentunya mengancam perekonomian hingga pemenuhan asupan makan bernutrisi untuk keluarga. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

GEMAR KONSUMSI KULIT AYAM? COBA PERTIMBANGKAN LAGI

Olahan kulit goreng krispi yang banyak dijadikan camilan. (Foto: shutterstock/kohuku)

Harus diakui, gurih dan nikmatnya kulit ayam yang digoreng krispi bisa menggoda selera makan siapapun. Anak-anak hingga orang dewasa suka menikmatinya. Tetapi bagi penggemarnya dan sering mengonsumsinya, cobalah pertimbangkan lagi.

Karyoto, fotografer media online di Jakarta, mendadak berhenti mengunyah sepiring kulit ayam tepung yang digoreng kering. Gara-garanya, bersamaan ngemil camilan krispi itu, ia membaca ulasan artikel tulisan seorang dokter sekaligus ahli nutrisi yang menjadi kontributor di media tempat ia bekerja. Artikel tersebut berjudul “Jika Ingin Sehat, STOP Konsumsi Kulit Ayam Goreng!

Lelaki berambut ikal ini tercengang membaca artikel yang mengulas bahaya keseringan mengonsumsi kulit ayam goreng. Bisa dimaklumi, saat ini umur fotografer sudah menginjak 54 tahun. Berat badannya lebih dari 85 kg. Artinya umur sudah setengah abad dan bobot badannya tergolong tambun.

Separo camilan kesukaannya itu ia geser sedikit menjauh dari jangkauan tangannya. Camilan kesukaan itu ia beli dari warung makan tak jauh dari kantornya. Siang itu ia masih duduk di meja kerjanya. Ia masukan kembali ke dalam kertas bungkus, lalu diberikan kepada temannya.

“Dari dulu memang suka banget sama kulit ayam goreng krispi. Gurih banget, kalau di rumah buat lauk sama sambel,” tutur Karyoto kepada Infovet, saat berkunjung ke kantornya.

Fotografer senior ini mengaku sebenarnya sudah pernah membaca artikel yang mengulas kandungan nutrisi pada kulit ayam, plus bahaya jika dikonsumsi berlebihan. Tetapi Karyoto berpikiran, yang namanya berlebihan itu kalau dirinya makan satu baskom sekaligus. Tapi sejak membaca artikel yang ditulis seorang dokter tadi, Karyoto mengaku berhenti konsumsi kulit ayam goreng. Tidak berhenti total, hanya sesekali saja.

“Aku ini termasuk bandel kalau urusan makanan. Sudah ada yang ingetin, tapi karena kulit ayam itu gurih, jadi keterusan,” ungkapnya.

Renyah dan rasa gurih olahan kulit ayam goreng kering memang menjadikan olahannya disukai banyak orang. Andai saja kandungan lemak kulit ayam tak tinggi, bisa jadi camilan favorit banyak orang.

Seberapa bahaya konsumsi kulit ayam bagi kesehatan? Sudah banyak platform dan media online yang mengulas tentang kandungan bagian dari ayam ini. Salah satunya portal FatsecretIndonesia.id, platform yang khusus mengulas tentang kandungan nutrisi ini menyebutkan kulit ayam dalam 100 gram mengandung 454 kalori dengan rincian kalori: 82% lemak, 0% karbohidrat, dan 18% protein.

Menurut Akromah SGz RD selaku Dietisien di Rumah Sakit Umum Pemerintah Fatmawati (RSUP Fatmawati), hampir semua olahan kulit hewani memiliki kandungan lemak, termasuk kulit ayam dan kulit sapi. Dietsien ini menyebutkan, kandungan lemak pada kulit ayam memang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit sapi.

“Tapi masih aman-aman saja sih dikonsumsi, asal porsinya yang wajar. Sumber pangan hewani itu memang mengandung kolesterol. Termasuk kulit ayam,” ujarnya kepada Infovet.

Kekhawatiran sebagian orang mengonsumsi olahan kulit ayam karena takut terkena kolesterol, menurut ahli nutrisi ini, dianggap wajar. Akibat kekurangtahuan mereka akan kandungan nutrisinya. “Pokoknya, selama tidak terlalu sering dan dalam porsi yang wajar, itu tidak masalah,” imbuhnya.

Tak Bahayakan Jantung
Menurut Akromah, sampai kapanpun kolesterol menjadi momok semua kalangan, baik anak muda, apalagi yang sudah menjelang lansia. Padahal, tak semua kolesterol itu buruk untuk kesehatan. Sudah banyak media yang mengulas tentang dua jenis kolesterol di dalam tubuh manusia, yakni LDL (Low Density Lipoprotein) atau yang biasa disebut sebagai kolesterol jahat dan HDL (High Density Lipoprotein) atau yang biasa disebut kolesterol baik.

“Kondisi tubuh akan tidak bagus jika prosentase koleterol LDL lebih banyak di dalam tubuh dibandingkan kolesterol HDL,” ujarnya.

Dua jenis koleterol tersebut (HDL dan LDL) sama-sama dibutuhkan tubuh. Namun kondisi tubuh akan baik jika perbandingan antara keduanya sesuai kebutuhan di dalam tubuh. Hanya saja, jika konsumsi sumber lemak hewani terlalu banyak, maka jumlah kolesterol jahatnya pun akan banyak juga.

Dalam artikel tentang kandungan kulit ayam yang sudah di-review dr Andreas Wilson Setiawan Mkes, di platform Hellosehat.com, jumlah lemak total mencapai 44,2 gram dalam setiap 100 gram kulit ayam mentah. Jika dikonsumsi secara berlebihan kulit ayam bisa meningkatkan kolesterol atau menambah lemak tubuh. Meski demikian, ada manfaat yang bisa didapatkan dari mengonsumsi kulit ayam, asalkan tidak berlebihan dan dimasak dengan tepat.

Pertama, lemak baik. Lemak dalam kulit ayam lebih banyak terkandung dalam jenis lemak baik (lemak tak jenuh) dibandingkan lemak jahat (lemak jenuh). Departemen Pertanian Amerika Serikat melaporkan bahwa 100 gram kulit ayam mengandung sekitar 12 gram lemak jenuh dan mengandung 19 gram lemak tak jenuh. Artinya, kulit ayam mungkin tidak membahayakan kesehatan jantung jika dimakan dalam jumlah yang tidak berlebihan. Karena kandungan lemak tak jenuh dalam kulit ayam yang lebih besar mungkin dapat mencegah penyakit jantung. Lemak tak jenuh berpotensi membantu menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol.

Kedua, mengurangi penyerapan minyak pada daging. Memasak ayam dengan kulitnya dapat membantu menjaga kelembapan daging ayam. Saat memasak ayam dengan suhu tinggi, kulitnya berfungsi sebagai penghalang minyak. Dengan begitu, minyak tidak diserap berlebihan ke dalam daging sehingga kelembapan daging ayam terjaga. Jika memasak ayam tanpa kulit, minyak bisa langsung terserap pada daging dan menyebabkan daging ayam kering.

Ketiga, mengurangi asupan garam. Karena rasa kulit ayam sudah gurih, maka tidak perlu menambahkan terlalu banyak garam lagi. Penambahan sedikit garam dalam masakan ayam sudah cukup membuat masakan tersebut lezat. Kebanyakan garam justru dapat memicu berbagai gangguan kesehatan. Mengurangi asupan garam membantu menurunkan tingkat tekanan darah, terutama pada orang dengan tekanan darah tinggi.

Keempat, tinggi protein. Kulit ayam mengandung protein. Jika mengonsumsinya dalam porsi sewajarnya, makanan ini bisa membantu menurunkan berat badan. Meningkatkan asupan protein dapat memberikan rasa kenyang. Hal ini bisa mengurangi keinginan untuk makan lebih banyak. Jika mampu mengontrol nafsu makan, berat badan bisa terjaga, apalagi jika rutin berolahraga.

Agar Sehat Makan Kulit Ayam
Bagi penggemarnya, mungkin tidak perlu menghindari memakan ayam dengan kulitnya lagi. Tetapi yang harus diingat, mengonsumsi kulit ayam dalam jumlah banyak juga berbahaya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat makan kulit ayam.

Pertama, jangan mengonsumsinya secara berlebihan. Meski lebih banyak mengandung lemak baik daripada lemak jahat, tetapi tetap saja kulit ayam mengandung lemak. Makan berlebihan dapat menambah kalori berlebih pada tubuh.

Kedua, usahakan jangan masak kulit ayam sampai kering. Memasak kulit ayam terlalu kering dapat menghilangkan zat gizi yang terkandung di dalamnya. Bahkan, justru bisa meningkatkan kandungan lemaknya. Cara terbaik memasak kulit ayam mungkin dengan menggorengnya agak renyah atau direbus bersama sop.

Ketiga, usahakan tidak melapisi kulit ayam dengan tepung. Tepung hanya akan membuat lebih banyak minyak terserap dalam kulit ayam. Hal ini bisa menambah kandungan lemak dan kalori kulit ayam. Setelah diberi bumbu, sebaiknya langsung masak ayam dengan minyak rendah kolesterol seperti minyak jagung atau kanola.

Keempat, pilih cara memasak kulit ayam seperti memanggang, menumis, mengukus, atau menggoreng dengan minyak yang tidak terlalu banyak. Jika mengonsumsi dalam batas wajar dan memasaknya dengan mengurangi minyak, makan kulit ayam bisa memberikan keuntungan tersendiri.

Itulah dua sisi kelebihan dan kekurangan tentang olahan kulit ayam. Bagi para penggemarnya, ada baiknya menimbang secara bijak saat konsumsi kulit ayam dalam bentuk olahan apapun. Tetap nikmat, tetap sehat. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

MENYIASATI TRAUMA KONSUMSI DAGING AYAM

Daging ayam bukan hanya murah, tetapi banyak kandungan gizinya yang menyehatkan, salah satunya bisa dibuat menjadi sup. (Foto: Shutterstock)

Ibu rumah tangga yang pintar masak, bisa jadi “terapis” andal untuk menghilangkan trauma konsumsi daging ayam pada keluarga. Bagaimana caranya?

Tak semua orang suka mengonsumsi daging ayam karena alasan tertentu. Ada yang lebih memilih makanan yang bersumber dari tumbuhan dengan asumsi lebih rendah lemak atau karena vegetarian. Namun ada juga yang sudah tidak mau sama sekali mengonsumsi daging ayam lantaran “trauma”.

Untuk alasan trauma rasanya perlu dicari tahu penyebabnya. Umumnya, bukan karena tersedak tulang ayam di tenggorokan, namun karena adanya kejadian tak mengenakkan yang dilihatnya sendiri saat akan mengonsumsinya.

Akibat kejadian tersebut bisa menimbulkan seseorang tak mau lagi mengonsumsi daging ayam. Bisa hanya sementara waktu, bahkan bisa juga ada yang selamanya. Inilah yang disebut trauma dalam tulisan ini.

Hal tersebut seperti dialami oleh Isfahani, warga Perumahan Bumi Sawangan Indah, Kota Depok, Jawa Barat, yang sudah hampir lima tahun lebih tidak mau makan daging ayam. Apapun jenis olahannya, ia akan menolak saat disuguhi. “Pokoknya walaupun kata orang lain olahan ayam di restoran enak banget, saya tetap enggak mau makan,” tuturnya kepada Infovet.

Pensiunan ASN di Kementerian Perhubungan ini mengaku, setiap kali istrinya memasak olahan daging ayam, ia tak pernah menyentuh sama sekali. Sang istri pun memahami kondisi suaminya, maka itu sajiannya hanya untuk anak-anaknya saja. Pun di saat mengikuti acara jamuan makan-makan di manapun, ia menghindari menu makanan yang sebenarnya sangat sehat dan lezat ini.

Apa gerangan yang terjadi sampai-sampai pria berumur 59 tahun ini antipati dengan olahan daging ayam? Apakah karena sedang menjalani ritual tertentu dan berpantangan makan daging ayam?

Ternyata ada kejadian kurang mengenakkan yang pernah ia lihat sendiri, terkait proses pemotongan ayam di pasar tradisonal tempat istrinya biasa berbelanja. Isfahani menuturkan, waktu itu ayam-ayam pedaging hidup yang baru saja diturunkan dari mobil boks, tak semua dalam kondisi hidup. Ada juga yang sudah mati dan bau menyengat. Ayam-ayam yang sudah mati itu dijadikan satu di tempat pemotongan di pasar itu. Rupanya, ayam yang sudah mati dan banyak mengundang lalat pun dipotong juga oleh juru sembelih di rumah pemotongan ayam tersebut.

“Aduh, saya lihat sendiri kok begini mereka jualannya. Ayam yang sudah mati juga dipotong dan dicampur dengan ayam-ayam yang tadinya masih hidup,” ujarnya.

Gara-gara kejadian tersebut, Isfahani langsung mengajak istrinya pergi dan tidak jadi membeli ayam di tempat itu dan memutuskan membeli bahan makanan lain. Sejak saat itu, dia benar-benar trauma mengonsumsi daging ayam. Padahal, sebelumnya orang ini gemar makan ayam goreng.

Tapi itu kejadian setahun lalu. Dalam beberapa bulan, Isfahani perlahan sudah mulai mau mengonsumsi daging ayam. Hanya saja bukan daging ayam yang disajikan secara utuh, seperti ayam goreng atau olahan gulai.

“Saya mau makan kalau sudah dalam bentuk olahan campuran dengan bahan lain, misalnya jadi risoles atau makanan bentuk lainnya. Pokoknya asal jangan masih bentuk utuh paha ayam atau bagian dada,” tukasnya.

Ngibuli Suami untuk Asupan Gizi
Apa yang menjadi penyebab Isfahani akhirnya mau “come back” konsumsi daging ayam? Ternyata semua itu berkat kelihaian sang istri, Mintarsih, dalam memasak. Setelah hampir lima tahun tak pernah menyuguhkan masakan daging ayam untuk suaminya, ia mulai mencari cara agar Isfahani mau kembali mengonsumsi daging ayam.

Dengan berbagai cara sang istri mencampurkan daging ayam yang sudah digiling halus ke dalam olahan lauk seperti bakwan, nasi goreng, tahu atau tempe goreng yang dibalut dengan tempung.

“Kadang juga saya bikin kue yang bisa dicampur pakai daging ayam giling. Ternyata suami saya suka karena ternyata jadi lebih gurih. Awalnya tanya ke saya, ini tumben bikin lauknya enak? Nah, setelah selesai makan baru saya jawab, itu dicampur daging ayam,” tutur Mintarsih sembari tertawa.

Ngibuli suami tapi untuk asupan gizi yang baik, begitu Mintarsih mengibaratkan. Upaya ibu rumah tangga yang satu ini tergolong smart dan bijak dalam menjaga asupan gizi keluarganya. Ternyata mengonsumsi daging ayam tak selalu dengan sajian ayam utuh, tetapi bisa diolah menjadi beragam menu makanan yang menggoda selera.

“Buat saya daging ayam atau telur itu lauk yang harganya cukup terjangkau, tapi kandungan gizinya sangat baik untuk keluarga. Enggak perlu setiap hari, biar enggak bosan,” ucapnya.

Nalar Kesehatan
Contoh lain kasus trauma terhadap olahan daging ayam juga terjadi pada Hadi Rahman, seorang jurnalis sebuah media online di Jakarta. Hanya saja tidak separah Isfahani. Hadi, hanya enggan menyantap daging ayam yang diolah menjadi sup ayam kuah bening.

Tampilan daging ayam yang masih tampak putih, mirip dengan daging ayam mentah membuat ia langsung menggeser mangkuk supnya yang tersaji di meja makan. Hadi hanya mau memakan ayam yang sudah digoreng agak kering atau daging ayam yang berbalut tepung krispi.

“Dulu gara-garanya waktu makan di warung dekat stasiun kereta di Jakarta, waktu pesan sup ayam begitu digigit ternyata daging ayamnya masih ada darahnya. Saya enggak jadi makan. Selera makan jadi hilang, geli banget,” tuturnya kepada Infovet.

Sejak itu, baik di rumah atau kemana pun tugas kerja, ia menghindari menu sup ayam. Kendati demikian, Hadi tetap mengonsumsinya jika dalam bentuk ayam goreng atau menu lainnya. Menurutnya, daging ayam bukan hanya murah, tetapi banyak kandungan gizinya yang menyehatkan orang yang mengonsumsinya.

Apa yang dialami oleh Isfahani dan Hadi hanyalah sebagian kecil persoalan konsumsi daging ayam. Masih banyak hal lain yang menjadi penyebab orang enggan mengonsumsi daging ayam. Bukan karena persoalan daya beli masyarakat yang rendah. Tetapi bisa juga dipengaruhi nalar kesehatan sebagian masyarakat yang masih rendah.

Sebagai contoh, ada orang yang pengeluarannya di luar urusan makan mencapai Rp 300 ribu per bulan hanya untuk membeli rokok. Per hari para perokok bisa menghabiskan uang Rp 10 ribu untuk urusan bakar-bakar keretek. Gaya hidup merokok sangat sulit untuk dihentikan, karena sudah candu.

Andai saja pengeluaran uang tersebut dibelanjakan dengan nalar yang sehat, bisa untuk membeli 10 ekor daging ayam dalam sebulan. Artinya, dalam tiga hari sekali satu keluarga bisa makan olahan daging ayam. Sementara jika dibelikan rokok, hanya dinikmati seorang diri.

Ibu Terapis Jitu
Kembali ke topik awal, tentang menghapus trauma konsumsi daging ayam. Memang bukan hal mudah untuk dipraktikkan menghilangkan trauma terhadap konsumsi daging. Apalagi jika penyebab trauma adalah kejadian menjijikan yang dilihatnya sendiri. Sungguh akan menyayat jiwa dan butuh waktu untuk memulihkan dan mau “bersahabat” lagi dengan daging ayam.

Terapis yang paling pas untuk mengatasi trauma ini adalah istri (jika yang trauma adalah suami) dan ibu (jika yang trauma adalah anak-anak). Ibu rumah tangga yang pintar memasak akan menjadi “dokter” keluarga dalam urusan makanan.

Sajian daging ayam panggang yang menggugah selera. (Foto: Food Network)

Dia harus pintar membuat olahan apapun untuk keluarganya, dengan bahan daging ayam yang tersembunyi. Artinya, daging ayam tak harus dimasak dalam bentuk sajian daging utuh. Namun bisa diolah dengan berbagai bentuk yang menggugah selera.

Selain itu, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yakni bagaimana mengolah daging ayam secara baik dan sehat. Sebab, daging ayam yang dibeli di pasar atau bakul sayur, tetap harus dicermati kebersihannya. Cegah potensi bahaya. Setelah mengetahui ada potensi tersebut, tak perlu panik apalagi sampai menghindari makan ayam pedaging.

Yang harus dilakukan hanya memastikan ayam tersebut diolah dengan baik, agar kandungan bakteri dan zat berbahaya lainnya yang ada di dalamnya hilang atau berkurang ke level aman bagi kesehatan manusia.

Simpanlah daging ayam yang belum dimasak dalam wadah tertutup dan masukkan ke dalam kulkas. Masak daging ayam hingga benar-benar matang. Salah satu tanda kematangan adalah tidak ada lagi darah yang merembes maupun tersisa pada daging.

Masaklah ayam dengan cara merebusnya, sebagai cara terbaik untuk mengurangi risiko yang menyangkut kesehatan. Jangan letakkan ayam matang ke wadah yang sama dengan wadah bekas ayam mentah. Selain itu, hindari penggunaan talenan serta pisau bekas memotong ayam mentah untuk mengiris daging ayam yang sudah dimasak.

Pastikan pula mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan setelah mengolah daging ayam. Dan dengan memasak hingga matang seluruhnya sebelum menyantapnya, bisa meminimalisir rasa khawatir dalam mengonsumsi daging ayam. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

MALINDO MERAMBAH BISNIS AYAM GORENG

Seremoni opening resto Sunny’chick Fatmawati Jakarta. (Foto: Istimewa)

PT Malindo Feedmill Tbk melalui anak perusahaan PT Malindo Food Delight telah menambah bisnis baru, yaitu di bidang restoran ayam goreng dengan mendirikan resto Sunny’chick, yang dimulai dengan store pertamanya di Tambun Bekasi, Jawa Barat, pada November 2021.

Saat ini resto Sunny’chick sudah tersebar di berbagai lokasi di Jabodetabek dan Karawang. Direktur PT Malindo Feedmill Tbk, Lau Joo Hwa, dalam opening resto Sunny’chick Fatmawati Jakarta, Selasa (10/5), mengatakan bahwa bisnis ayam goreng Sunny’chick merupakan salah satu strategi Malindo dalam memperkuat posisinya di sektor hilir, disamping strategi lainnya seperti memperkuat pasar dipenjualan makanan olahan.

“Pilihan membuka bisnis ayam goreng karena makanan tersebut disukai oleh semua lapisan masyarakat dan dapat dibeli dengan harga terjangkau,” kata Lau melalui keterangan tertulisnya.

Ia menambahkan, “Dengan demikian diharapkan semua masyarakat Indonesia dapat menikmati ayam goreng yang enak, sehat, halal, bergizi dan pas di kantong mereka.”

Ayam goreng Sunny’ Chick memiliki cita rasa istimewa dengan berbagai pilihan menu, seperti crispy fried chicken yang tersedia dalam rasa original dan pedas dengan tambahan saus dan sambal geprek yang menggugah selera. Adapun menu lainnya yakni ayam bakar Sunny’chick. Ini menjadi menu andalan, dimana crispy fried chicken dibakar dan dioles saus rasa pedas atau barbeku. (INF)

POTENSI RUPIAH DIBALIK TREN KEKINIAN KULINER DAGING AYAM

Olahan fried chicken. (Foto: Pixabay)

Inovasi olahan daging ayam sangat berkembang di dunia kuliner. Masyarakat Indonesia pasti sudah tidak asing dengan olahan daging ayam goreng yang begitu populer.

Beragamnya varian olahan daging ayam baik yang digoreng maupun dimasak dengan teknik lain di pasaran bukan saja memberi kontribusi ekonomi, namun sudah menjadi tren atau gaya hidup masa kini.

Mulai dari ayam goreng tepung, ayam geprek, ayam penyet dan segala ayam goreng dengan varian topping saus yang tidak hanya saus pedas saja melainkan pilihan saus kekinian lainnya seperti barbeque, teriyaki, black pepper, asam manis, keju mozzarella dan sebagainya.

Menurut Country Manager Hubbard Indonesia, Ir Suryo Suryanta, tren di bidang kuliner ini berkembang terlihat dari semakin banyaknya warung makan ataupun resto yang menyajikan perpaduan ayam goreng tepung dan topping kekinian.

“Kita lihat bermunculan sajian hidangan ayam geprek bukan saja dipadukan dengan sambal pedas, namun ada keju leleh, mie dan lainnya yang memang menarik perhatian konsumen,” kata Suryo dalam petikan wawancara dengan Infovet, Senin (2/3/2020).

Fun Fact 
Daging ayam memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang penting untuk kelancaran proses metabolisme di dalam tubuh.

Ayam broiler merupakan salah satu ternak penghasil daging yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat asal protein hewani. Merangkum dari berbagai sumber, kebutuhan daging ayam mengalami peningkatan yang cukup pesat karena empat alasan di bawah ini:
1. Daging ayam harganya relatif terjangkau
2. Daging ayam lebih baik dari segi kesehatan karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein
3. Daging ayam mempunyai rasa yang dapat diterima semua golongan masyarakat dan segala usia
4. Daging ayam cukup mudah diolah menjadi produk bernilai tinggi, mudah disimpan dan mudah dikonsumsi

Perbaikan Sektor Hulu ke Hilir 
Seiring dengan berkembangnya zaman, diikuti meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini mendorong pertumbuhan rupa dan industri pengolahan daging unggas.
Dalam waktu beberapa tahun terakhir, industri perunggasan di indonesia telah tumbuh pesat sepertinya halnya dengan peningkatan konsumsi daging ayam.

Kendati demikian menurut Suryo, pertumbuhan industri perunggasan di sektor hulu yang begitu pesat belum bisa diikuti dengan pertumbuhan yang seimbang di struktur bagian hilir. “Kondisi sektor hilir yaitu rumah pemotongan ayam (RPA) masih banyak yang ala kadarnya,” kata Suryo.

Kondisi ini menyebabkan sejumlah produksi unggas hidup dan telur melebihi permintaan RPA dan industri pengolahan daging unggas, sehingga memicu terjadinya over supply. Kemudian berdampak pada rendahnya harga jual, bahkan seringkali terjadi berada di bawah biaya produksi (HPP).

Suryo berpendapat bahwa kebiasaan dari masyarakat indonesia yang lebih menginginkan daging unggas dalam bentuk hangat (hot carcass), memicu munculnya lokasi-lokasi pemotongan ayam dengan kondisi yang ala kadarnya.

Sementara RPA di skala besar sudah dilengkapi dengan fasilitas rantai dingin dan bisa menghasilkan daging unggas dingin (chilled chicken) maupun beku (frozen chicken). “RPA  yang tidak memenuhi standar maupun di lokasi pemotongan di pasar yang kurang higienis dalam konteks segi proses pengeluaran darah, harus ditertibkan,” saran Suryo.

Lanjutnya, bahwa sangat pentingnya edukasi mengenai teknik pemotongan ayam di Indonesia, khususnya dari konteks kehalalan. “Berapa banyak darah yang keluar salah satunya menjadi faktor penentu kualitas ayam negara kita,” tandasnya.

Tentunya, semua berharap pelaku usaha industri perunggasan ini mampu bersaing dan berkembang secara maksimal.

Gaya Hidup
Saat ini telah banyak produsen-produsen, baik skala menengah maupun rumahan, yang turut meramaikan industri pengolahan daging. Salah satu pemicunya adalah untuk mengefisienkan sumber daya di tengah fluktuatifnya harga ayam di indonesia.

Disamping itu, dari segi permintaan juga menunjukkan peningkatan. Kenaikan tersebut  disebabkan perubahan tren atau gaya hidup. 

Ima (29), karyawati di sebuah apotik kawasan Depok sekaligus ibu rumah tangga ini mengatakan pada era globalisasi dan emansipasi dimana sebagian besar ibu rumah tangga juga bekerja, membuat waktu mereka untuk memasak terkadang terbatas.

“Saya sebagai pekerja dan ibu dua anak, membutuhkan bahan pangan yang bisa disiapkan dengan cepat tanpa proses memasak yang lama dan rumit,” tutur Ima, ditemui Infovet, Rabu (4/3/2020).

Selain itu, imbuh Ima terkait dengan masalah daya beli, produk ayam olahan seperti nugget selain mudah dimasak, harganya pun masih dapat dijangkau. “Daging ayam masih terbeli ketimbang daging sapi sih,” ujarnya sembari tertawa.

Semestinya harga ayam bisa murah jika dinilai dari aspek pasar, menurut Suryo. Dilihat secara kacamata internasional, harga ayam di Indonesia tergolong sangat tinggi. Gejolak harga ayam yang belakangan naik-turun hingga terjadi demo peternak menuntut kestabilan adalah realita yang terelak.

Harga yang tinggi di pasar tidak memberikan keuntungan bagi peternak, sehingga terjadi keterbatasan pembeli. “Produsen juga turut memprotes kebijakan pemerintah soal ketentuan harga ayam. Dari sini kita simpulkan bahwa peternak dan produsen harus sama-sama untung,” tukas Suryo menutup perbincangan. (NDV)

SIERAD - WAHYOO KEMBANGKAN BISNIS AYAM GORENG EKONOMIS KUALITAS FANTASTIS

Seiring dengan kenaikan taraf hidup dan pendapatan masyarakat Indonesia, konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia pun mengalami kenaikan, terutama tingkat konsumsi kelas menengah.

Bisnis restoran cepat saji berbasis daging ayam pun tumbuh sangat cepat, bukan hanya yang berafiliasi dengan merek global, tetapi juga tumbuh dengan pesat merek-merek lokal asli Indonesia. Cara pemasarannya pun beragam, mulai dari yang berbentuk restoran mewah dengan sasaran pasar kelas atas, hingga yang menjual di pinggir jalan.

Sesuai dengan misi perusahaan, yakni menyediakan sumber protein yang terjangkau bagi masyarakat dan dalam rangka penetrasi ke pasar ayam goreng tersebut, PT Sierad Produce Tbk sebagai salah satu produsen ayam terbesar di Indonesia, menjalin kerjasama dengan Wahyoo, untuk membuka outlet penjualan ayam goreng di Mitra warung Wahyoo di area Jabodetabek.

Sierad - Wahyoo Akan Bangun 1000 Outlet Ayam Goreng di Jabodetabek


Wahyoo sendiri adalah perusahaan start up berbasis teknologi yang mempunyai anggota ribuan mitra warung yang tersebar di Jabodetabek. Model bisnis Wahyoo yakni sebagai pemasok segala kebutuhan warung anggotanya, sangat mendukung model bisnis ayam goreng kios ini. Jumlah Mitra Wahyoo hingga kini mencapai 5000 anggota dan akan terus tumbuh secara eksponensial dan mendukung pengembangan bisnis ayam goreng ini.

Dengan didukung oleh Rumah Pemotongan Ayam yang modern, berpengalaman dan bersertifikasi halal membuat ayam goreng kios ini akan terjamin keamanan pasokannya, kualitasnya dan kehalalannya. tiga faktor ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat Indonesia.Sierad Produce juga memiliki ahli nutrisi produk yang sangat berkompeten di bidangnya, sehingga mampu memformulasikan resep ayam goreng yang tidak hanya lezat tetapi juga terjamin dan keamanan pangannya.

Dengan dibangunnya 100 outlet awal di wilayah Jabodetabek pada tahap pertama, bisnis kios ayam goreng ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan bisnis Sierad secara keseluruhan. (CR)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer