-->

RESMI!, INDONESIA LUNCURKAN PROGRAM KETAHANAN KESEHATAN GLOBAL UNTUK CEGAH PANDEMI BERIKUTNYA

Peluncuran Program Ketahanan Kesehatan Global, kolaborasi Kementerian Pertanian, FAO, dan USAID dilakukan secara virtual, Selasa (29/6)

Pandemi COVID-19 menunjukkan bagaimana wabah penyakit menular memiliki dampak kesehatan, ekonomi, politik, dan sosial yang sangat signifikan. COVID-19 menyebar di hampir seluruh negara di dunia dan tidak ada negara yang sepenuhnya siap menghadapi pandemi berikutnya. 

Berbagai ancaman pandemi berkaitan dengan penyakit “zoonosis”, penyakit hewan  yang menjangkit pada manusia. Artinya, perhatian terhadap penyakit pada hewan dan ancaman munculnya penyakit zoonosis menjadi prioritas pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 


Indonesia, bersama 70 negara lainnya, bekerja untuk mempercepat dukungan politik dan multi sektoral untuk kesiapan ketahanan kesehatan melalui inisiasi global, yang disebut Global Health Security Agenda (GHSA) – untuk menjaga dunia aman dari ancaman penyakit menular. 


Untuk mendukung GHSA ini, Kementerian Pertanian bersama dengan  Badan Pangan dan Pertanian Dunia melalui Emergency Center for Transboundary Animal Diseases (FAO ECTAD) dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) resmi meluncurkan Program Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Security Programme / GHSP) hari ini secara daring. 


Kasdi Subagyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian mengatakan “Saya berharap agar sinergi dan harmonisasi pelaksanaan proyek GHSP dengan proyek lainnya di Kementerian Pertanian dapat berjalan dengan tetap memastikan aspek administrasi yang baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku, dengan mengambil best practices dan lesson learned dari pengalaman implementasi proyek-proyek sebelumnya. 


Saya juga ingin menyampaikan penghargaan kepada semua mitra kerja Kementerian Pertanian baik dari kementerian/lembaga, asosiasi serta mitra pembangunan internasional, khususnya FAO Indonesia dan USAID, yang selama ini telah mendukung dan secara bersama-sama bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam upaya penguatan layanan kesehatan hewan nasional yang berkelanjutan. Harapannya upaya yang kita lakukan juga dapat berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).” ujar Kasdi. 


Selain itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian, Nasrullah menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pelopor GHSA dan telah aktif berkontribusi sebagai anggota tetap Tim Pengarah sejak tahun 2016 – 2024. Kontribusi besar Indonesia dalam inisiatif global ini juga mendapat perhatian besar dari presiden. 

"Kerja sama ini diharapkan bisa melakukan pencegahan, deteksi dini dan pengendalian penyakit-penyakit menular baru, terutama yang berpotensi mengancam kesehatan dan ekonomi Indonesia. Selain itu, semoga bisa berkontribusi pada peningkatan kesehatan manusia, ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat," papar Nasrullah. 

Nasrullah menambahkan, program ini juga selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah, terutama terkait keamanan pangan dan kesehatan. Ia berharap program ini bisa menjadi kesempatan untuk meningkatkan komitmen bersama dalam melangkah ke depan. 

GHSP adalah program baru dari kolaborasi panjang Kementerian Pertanian dan FAO ECTAD-USAID dalam mencegah pandemi. Kerja sama ini berawal saat  pandemi Avian Influenza pada tahun 2006, dimana Indonesia merupakan negara dengan kasus flu burung H5N1 dengan kematian manusia terbanyak hingga tahun 2014. 


Sementara jumlah kasus flu burung pada manusia telah menurun secara signifikan, situasi endemik virus H5N1 masih menjadi ancaman bagi industri perunggasan dan kesehatan manusia. Selain flu burung, banyak daerah di Indonesia yang masih endemik penyakit zoonosis seperti rabies dan antraks. 


Program GHS yang akan berjalan selama empat tahun ke depan berfokus pada dukungan teknis di empat area: a) Kolaborasi multi sektor dan pengembangan kebijakan; b) Surveilans, laboratorium dan identifikasi risiko; c) Kesiapsiagaan dan respons penyakit dengan One Health; d) Kesehatan unggas nasional dan pengendalian resistansi antimikroba. 


Dukungan FAO dan USAID untuk program ini 


FAO dan USAID bekerja sama dengan pemerintah membangun kapasitas untuk mencegah ancaman pandemi yang berasal dari Zoonosis di Indonesia, sehingga negara dapat dengan cepat merespons dan mengendalikan wabah zoonosis.  


Bersama dengan Pemerintah Indonesia, FAO memperkuat kapasitas kesehatan hewan di berbagai daerah dan memberikan pelatihan dan dukungan teknis pada surveilans penyakit, diagnostik laboratorium, pelaporan dan investigasi wabah, serta kesiapsiagaan dan respons melalui pendekatan One Health. 


“Selain dampak kesehatan yang luar biasa, COVID-19 telah mengganggu ketahanan pangan dan ekonomi dunia. Secara global, setidaknya lebih dari 132 juta orang diprediksi menderita sebagai akibat dari COVID-19. Kita tidak ingin keadaan darurat kesehatan global seperti ini terjadi lagi. Kita perlu mendeteksi potensi wabah sedini mungkin dan FAO selalu siap bekerja sama dengan Indonesia untuk merespons lebih awal dan secara efektif.” kata Richard Trenchard, Perwakilan ad interim FAO untuk Indonesia. 


“Merupakan suatu kehormatan untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menangani penyakit menular yang muncul,” kata Pelaksana Tugas Wakil Direktur Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Indonesia Laura Gonzales. “Melalui pendekatan One Health, Program Ketahanan Kesehatan Global USAID akan menurunkan risiko zoonosis dan penyakit infeksi, resistansi antimikroba, serta ancaman biologis lainnya dengan memperkuat sistem kesehatan hewan Indonesia. GHS akan melanjutkan keberhasilan sebelumnya - dan pembelajaran yang kita dapatkan dari respons COVID-19 - untuk lebih mengasah kemampuan deteksi, kesiapsiagaan, serta respons zoonosis dan penyakit infeksi di Indonesia.”

DARURAT SAPI PEDAGING


Presiden Joko Widodo mengingatkan para pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian terkait munculnya ancaman krisis pangan di tengah pandemi COVID-19. Mungkin ini akan menjadi kenyataan jika pemerintah tidak segera menanganinya dengan baik.

Protokol kesehatan di era pandemi ternyata telah berdampak terhadap kegiatan lalu lintas barang dan komoditas antar negara. Akibatnya tentu berdampak pula pada penyediaan pangan, terutama pada komoditas yang masih banyak di impor, diantaranya komoditas pangan strategis dan hasil peternakan, seperti daging sapi, susu, beras, kedelai, bawang putih, jagung, gandum dan lainnya.

Bencana di Australia
Australia sebagai Negara pengekspor sapi terbesar bagi Indonesia, dalam dua tahun terakhir dilanda banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan di 2020. Dua peristiwa bencana alam tersebut telah memorak-porandakan kegiatan industri peternakan di Negeri Kanguru itu.

Penurunan populasi sapi yang sangat signifan (24,1%) telah terjadi dari populasi sapi sebesar 27,8 Juta ekor di 2002, kini hanya tinggal 21,1 juta ekor. Semua kondisi ini telah mengakibatkan meningkatnya harga sapi impor di Indonesia, karena kelangkaan pasokan dari Australia.

Dalam sejarah importasi sapi Australia di awal 1990-an, baru kali ini terjadi harga sapi impor sekitar Rp 56 ribuan/kg berat hidup (landed cost) lebih mahal daripada harga sapi lokal (sekitar Rp 47 ribuan/kg berat hidup). Kondisi ini membuat para pengusaha feedlot tidak mungkin lagi menggunakan sapi bakalan impor. Bagi perusahaan feedlot yang masih bertahan, mereka mulai beralih dalam penyediaan sapi bakalannya dengan memanfaatkan sapi-sapi lokal. Akibat dari kondisi ini, dikhawatirkan akan terjadi dampak yang serius dan merugikan bagi pengembangan peternakan sapi dalam negeri. Pasalnya, permintaan akan daging sapi selalu lebih tinggi ketimbang kemampuan pasokannya. Sementara itu, pemerintah melalui program yang ada (SIKOMANDAN dan SIWAB) masih memanfaatkan kemampuan penyediaan sapi kepada peternakan rakyat secara konvensioanal. Program ini selama puluhan tahun masih belum mampu membuktikan bahwa peningkatan pasokan akan melebihi dari permintaannya.

Depopulasi
Kondisi saat ini mengingatkan kita pada 2012-2013 lalu, pasca dilakukannya pendataan sapi potong dan kerbau (PSPK) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kala itu, kebijakan pemerintah menurunkan importasi dari 53% ke 17,5%. Lantaran, hasil PSPK menunjukan bahwa populasi sapi telah memenuhi kondisi swasembada berdasarkan blue print. Namun realita sebaliknya, yaitu terjadi kelangkaan pasokan sapi di pasar yang menyebabkan harga melangit dan berakibat terhadap depopulasi sapi perah mencapai sekitar 30%. Hingga kini, ketergantungan industri persusuan terhadap impor meningkat menjadi sekitar 80%, padahal sebelum krisis ekonomi lalu kontribusi produksi susu dalam negeri pernah mencapai 50%. Jika tidak segera ditangani, diduga akan terjadi kembali depopulasi terhadap sapi di dalam negeri (pedaging maupun perah). Hal ini karena kondisi usaha sapi perah yang faktanya masih belum mampu memberikan kesejahteraan bagi peternak. Sehingga peternak merasa lebih menguntungkan jika sapinya dijual sebagai sapi pedaging, daripada dipelihara sebagai sapi perah.

Darurat Sapi
Keadaan bisnis sapi pedaging, pada dua-tiga tahun ke depan dihadapkan pada kondisi titik nadir, yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini disebabkan, Australia masih membenahi industrinya untuk meningkatkan populasi ternak sapinya. Idealnya populasi ternak sapi di Australia sekitar 25 juta ekor untuk mampu melakukan ekspor ke Indonesia. Semantara itu impor dari Negara lain seperti Brasil masih belum siap infrastrukturnya. Jika saja dalam dua-tiga tahun ke depan (2021-2023), pemerintah melalui Kementerian Pertanian tidak mengubah strategi mendasarnya dalam pembangunan peternakan sapi, dipastikan akan terjadi pengurasan sapi di dalam negeri dan untuk selamanya negeri ini akan tergantung impor komoditas daging sapi. Pantasnya, kondisi dua-tiga tahun ke depan kita sebut “sebagai darurat sapi pedaging.”

Ubah Strategi 
Perubahan strategi yang dimaksud adalah Pertama, mengubah mindset bahwa untuk meningkatkan permintaan daging sapi dengan mengintroduksi sapi-sapi premium (Belgian Blue/BB dan Glacian Blond/GB) dan importasi daging kerbau yang menyita biaya sangat besar dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Kebijakan tersebut segera dialihkan dengan mengoptimalkan peningkatan produktivitas sapi-sapi lokal, melalui intensifikasi pola breeding dan pemanfaatan lahan-lahan terluang.

Kedua, mengubah sentra produksi sapi yang selama ini ditujukan ke wilayah-wilayah konvensional seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan, beralih ke sentra-sentra perkebunan besar di Sumatra, Kalimantan dan Papua, serta lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan, juga ke pulau-pulau kosong di wilayah Timur.

Sentra-sentra perkebunan ini menghasilkan limbah atau hasil ikutan industri perkebunan sebagai pakan ternak yang murah harganya. Lahan-lahan perkebunan (sawit, karet dan sebagainya), serta lahan bekas tambang yang luasnya ribuan mungkin juga jutaan hektar, selama ini dibiarkan tidak termanfaatkan secara optimal. Banyak pelajaran yang telah dan tengah dilakukan oleh para pihak, terutama swasta yang melakukan upaya ini, namun minim proteksi dan insentif pemerintah terhadap upaya tersebut. Terutama mengenai berbagai kebijakan kontra produktif bagi pengembangan usaha ternak sapi selama ini. Misalnya, kebijakan importasi daging kerbau, introduksi sapi BB/GB, kebijakan ekspor bungkil sawit ataupun insentif permodalan yang tidak merangsang  terhadap pengembangan peternakan sapi dalam negeri.

Kiranya kebijakan pemerintah menjadikan negeri ini sebagai lumbung ternak Asia di 2045 mendatang tidak akan dapat terwujud, jika tidak melakukan perubahan mendasar kebijakan importasi daging dan intervensi sapi premium, serta pemanfaatan lahan-lahan terluang dan integrasinya dengan perkebunan. ***

Oleh: Rochadi Tawaf
Dewan Pakar PB ISPI dan Komite Pendayagunaan Petani

TELUR DAN MANFAAT GIZI DI MASA PANDEMI DIBAHAS DI ILC

Webinar ILC edisi ke-16 membahas mengenai Telur dan Manfaat Gizi di Masa Pandemi. (Foto: Dok. Infovet)

“Telur merupakan sumber protein hewani paling murah yang mudah terjangkau masyarakat. Protein hewani sangat penting, terutama untuk anak dalam masa pertumbuhan. Telur adalah protein hewani termurah, kaya akan gizi, serta mengandung banyak vitamin. Karena sangat lengkap zat gizi yang terkandung, telur sering kali disebut Kapsul Ajaib,” ujar panitia Indonesia Livestock Club (ILC), Andang S. Indartono dalam webinar ILC edisi ke-16 bertajuk “Telur dan Manfaat Gizi di Masa Pandemi”, Senin (1/2/2021).

Khususnya di era pandemi saat ini selain penerapan protokol kesehatan yang ketat, juga dibutuhkan asupan sumber pangan yang bergizi untuk membangun sistem pertahanan tubuh dalam melawan penyakit, salah satunya melalui telur ini.

Menurut Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, DR Dhian Probhoyekti Dipo MA, Indonesia masih mengalami kendala kekurangan dan kelebihan gizi bagi anak maupun balita, serta permasalahan kekurangan energi kronis bagi ibu hamil. Hal ini diakibatkan asupan pangan yang kurang bergizi dan tidak beragam.

“Untuk itu sesuai arahan presiden, kita harus melakukan perbaikan pola konsumsi makanan sesuai gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses terhadap sumber gizi dan lain sebagainya,” tutur Dhian yang menjadi pembicara pertama.

Salah satu sumber pangan bergizi, lanjut dia, adalah telur yang memiliki gizi lengkap, ketersediaan melimpah, harga murah, daya terima baik, pengolahannya mudah, hingga diterima oleh semua agama.

“Telur menjadi prioritas pilihan yang paling layak sebagai sumber protein hewani keluarga. Data dari BPS 2018, konsumsi telur kita baru hanya 20,58%, untuk itulah edukasi dan pemahaman mengenai manfaat telur sangat diperlukan, apalagi di era pandemi. Perlu upaya bersama untuk meningkatkan konsumsi telur ini,” katanya dihadapan 300 peserta yang hadir.

Alasan mengapa pentingnya telur dikonsumsi, dipaparkan Dhian adalah karena di dalam telur terkandung nilai gizi yang sangat baik, diantaranya energi (154 kkal), protein (12,4 g), lemak (10,8 g), zat besi (3,0 mg), kalsium (86 mg), fosfor (258 mg), zinc (1,5 mg), vitamin (A, B1, B2, B3) dan lain sebagainya. Sehingga konsumsi satu butir telur sangat disarankan, khususnya bagi anak dalam masa pertumbuhan dan ibu hamil (perkembangan dan pertumbuhan sel otak janin dan anak).

Kendati demikian, lanjut dia, saat ini masih banyak mitos yang terjadi di masyarakat mengenai konsumsi telur, yakni mitos alergi, kolesterol, bahkan ibu hamil tidak disarankan mengonsumsi telur.

“Padahal faktanya tidak semua anak alergi akibat konsumsi telur, memperkenalkan telur sejak dini justru membantu mengurangi reaksi alergi. Kemudian telur mengandung protein dan 11 vitamin dan mineral yang sangat baik dalam memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil,” ungkapnya.

“Konsumsi satu butir telur juga tidak akan meningkatkan kolesterol, itu sudah dilakukan penelitian. Karena satu butir telur setiap hari, gizi keluarga terpenuhi, bebas stunting dan Indonesia kuat,” pungkas Dhian.

Webinar yang dilaksanakan pada pukul 13:00 WIB ini juga menghadirkan pembicara lain yakni Penasehat Pinsar Petelur Nasional, Yoseph Setiabudi dan Guru Besar FKH Unair, Prof Dr Ir Sri Hidanah MS. Webinar diselenggarakan atas kerja sama Indonesia Livestock Alliance (ILA) dan Badan Pengembangan Peternakan Indonesia (BPPI). (RBS)

SEMINAR ONLINE II: PANDEMI VS BIOSEKURITI, PERLU DICERMATI PETERNAK UNGGAS

Seminar Pandemi vs Biosekuriti yang dihadiri oleh akademisi, pemerintah, swasta dan asosiasi bidang peternakan. (Foto: Dok. Infovet)

PT Gallus Indonesia Utama melalui GITA Organizer dan Infovet kembali menyelenggarakan Seminar Online Kedua mengenai “Pandemi vs Biosekuriti pada Peternakan Unggas”. Seminar yang diselenggarakan Kamis (18/6/2020) diikuti oleh akademisi, pemerintah, swasta dan asosiasi peternakan.

Serupa dengan seminar pertamanya, kegiatan yang kedua kalinya ini kembali menghadirkan National Technical Advisor FAO ECTAD Indonesia, Alfred Kompudu dan Poultry Technical Consultant, Baskoro Tri Caroko, serta dimoderatori langsung oleh Pemimpin Redaksi Majalah Infovet, Bambang Suharno.

Dalam sesi pertama, Alfred Kompudu menyampaikan mengenai implementasi biosekuriti tiga zona di usaha peternakan unggas. Dalam paparannya, ia memaknai biosekuriti sebagai tindakan atau pengamanan hidup yang perlu dicermati oleh peternak.

“Sebagai pengamanan hidup karena prinsip dari biosekuriti itu sendiri adalah mencegah mikroba masuk, berinteraksi, tumbuh dan berkembang, serta menyebar ke seluruh area kandang. Adapun elemen dari biosekuriti tersebut adalah isolasi, kontrol lalu lintas dan sanitasi,” kata Alfred.

Manisfestasi dari biosekuriti dimaksud Alfred adalah dengan mengimplementasikan biosekuriti tiga zona, yakni dengan cara membagi areal kandang dalam tiga zona, yakni zona merah, kuning dan hijau, dengan tujuan memberi keuntungan pada peternak.

“Keuntungan dari mencegah mikroba menginfeksi unggas, menyaring mikroba hingga tiga lapisan perlakuan, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat bagi anak kandang, memiliki daya saing perunggasan dari sisi kualitas produk yang dihasilkan, menurunkan ancaman resistensi antibiotik (AMR) bagi konsumen dan yang pasti telah sesuai dengan Good Farming Practices,” jelasnya. 

Terkait dengan bagaimana cara mengimplementasikan biosekuriti tiga zona tersebut, dijelaskan Alfred secara rinci, yaitu dimulai dari membuat layout (denah) kandang, penentuan areal mana saja yang dimasukkan ke dalam zona merah (areal kotor), kuning (areal perantara) dan hijau (areal bersih), kemudian membuat daftar risiko dari orang, benda dan hewan (OBH), lalu urutkan daftar risiko tersebut dari yang tertinggi, pikirkan bagaimana pengendalian daftar risiko dapat dilakukan dengan elemen biosekuriti, serta terakhir sosialisasikan dan berkomitmen untuk intens menerapkannya.

“Jika telah diimplementasikan, hal yang perlu dilakukan adalah monitoring dan evaluasi kegiatannya, mulai dari anak kandang, ternak dan produksinya, serta kesehatan dari ternak yang dipelihara,” ucap dia.

Pembicara seminar Baskoro dan Alfred, bersama Moderator Bambang Suharno. (Foto: Dok. Infovet)

Sementara pada sesi kedua, Baskoro Tri Caroko menyampaikan hal berkaitan dengan pentingnya disinfeksi pada peternakan unggas. Menurut dia, disinfeksi pada dasarnya adalah kegiatan pembasmian hama. Pelaksanaannya ditujukan untuk menonaktifkan virus dan mikroba lain pada berbagai karakteristik hidup yang dimilikinya.

“Fakta lapangan, vaksinasi saja tidak cukup atau tidak mampu memproteksi unggas hingga 100%, padahal risiko penularan penyakit sangat tinggi dari berbagai macam sumber penularan, sehingga upaya disinfeksi diperlukan agar ayam tetap sehat, serta dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal,” kata Baskoro.

Ia pun mengimbau kepada peternak untuk dapat menerapkan One Health, yakni mengendalikan penyakit lebih dini untuk kesehatan manusia, hewan dan lingkungan yang optimal.

“Implementasinya dapat dilakukan dengan cara menerapkan biosekuriti tiga zona, melakukan disinfeksi dengan baik dan tepat guna, amankan unggas dari sumber penularan penyakit, serta istirahatkan kandang selama 14 hari sebelum diisi kembali,” imbuhnya.

Ia juga mengajak peternak untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit menular di usaha peternakan unggas semasa pandemi COVID-19 melalui penerapan biosekuriti tersebut.

Upgrade manajemen pemeliharaan dan kesehatan, serta lakukan vaksinasi tepat guna, tepat waktu, tepat aplikasi dan terprogram dengan baik,” tandasnya. (Sadarman)

PENUTUPAN PROGRAM EPT-2 : CEGAH PANDEMI PENYAKIT JADI LEBIH SIGAP



Kerjasama yang apik antara USAID dan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi pandemi

Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan Pemerintah Indonesia telah lama bekerjasama dalam peningkatan kapasitas kesiapsiagaan dan respon terhadap ancaman Penyakit Infeksi Emerging (PIE) dan pandemi. Kerja sama ini dimulai sejak proyek Avian and Pandemic Influenza (API) di Indonesia pada tahun 2006, yang dilanjutkan dengan proyek Emerging Pandemic Threats (EPT) yang terdiri dari dua fase, yakni EPT-1 (2011 – 2015) dan EPT-2 (2015 – 2019).

Rangkaian proyek ini dinilai berhasil memberikan kontribusi terhadap upaya pencegahan, deteksi dini, dan respon terhadap PIE dan pandemi melalui penguatan kapasitas inti dan penerapan Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) 2005 yang berfokus pada surveilans, peningkatan kapasitas laboratorium, dan koordinasi multi-sektoral.

Sejalan dengan hal tersebut, bentuk dukungan nyata dari Pemerintah Indonesia dalam kerja sama ini adalah dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia, yang ditetapkan pada bulan Juni lalu.

                                              
Memperkuat pernyataan tersebut, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan bahwa Kementan telah aktif bekerjasama dengan USAID melalui FAO untuk peningkatan kapasitas di bidang peternakan dan kesehatan hewan melalui pendekatan One Health.

"Telah banyak kemajuan di bidang pembangunan peternakan dan kesehatan hewan, dan kita juga sangat aktif dalam membangun kerja sama lintas sektor dalam rangka meningkatkan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan melalui implementasi One Health,” ucap Fadjar.

Tepat di tahun 2019 ini, Indonesia dan Amerika Serikat memperingati 70 tahun hubungan diplomatiknya.  Demikian pula, kerja sama Pemerintah RI dan Amerika Serikat melalui USAID telah berjalan lebih dari satu dekade. Dengan adanya kerja sama tersebut, berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka meningkatkan keamanan dan ketahanan kesehatan melalui berbagai program multisektoral. Dalam sambutannya, Ryan Washburn selaku Direktur USAID Indonesia mengatakan bahwa Amerika Serikat melalui USAID bangga dapat bermitra dengan Pemerintah Indonesia.

“Pemerintah AS melalui USAID telah bermitra selama lebih dari 13 tahun untuk memajukan kemandirian Indonesia dalam pengendalian dan pencegahan penyakit. Meskipun Indonesia terus menghadapi ancaman penyakit di kawasan ini, komitmennya untuk menerapkan pendekatan One Health menjadi acuan untuk peningkatan kemampuan pencegahan, deteksi, dan respons kawasan ini untuk mencapai ketahanan kesehatan. Kami bangga melihat kesuksesan kemitraan selama lima tahun terakhir yang menjadi bagian dari peringatan 70 tahun hubungan AS-Indonesia,” kata Direktur USAID Indonesia Ryan Washburn pada saat pembukaan acara Closing Ceremony EPT-2 yang diselenggarakan di Hotel Sari Pacific, Jakarta.  

Acep Somantri, selaku Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Kesehatan sangat mengapresiasi kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Menurut dia, kerjasama semacam ini dapat terus dilakukan secara berkesinambungan dan kontinu. “Sebuah progress yang patut kita apresiasi. Dukungan lintas sektor telah banyak membantu program-program nasional di bidang kesehatan, khususnya program kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap ancaman PIE dan pandemi. Kami pastikan kapasitas para tenaga kesehatan di Indonesia terutama dalam menangani ancaman wabah sehingga Instruksi Presiden dapat kita tanggapi secara positif untuk dapat kita laksanakan secara bersama-sama dengan berbagai sektor," pungkas Acep. (CR)


ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer