Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini penyakit hewan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

INFECTIOUS BOVINE RHINITIS MASIH MENJADI ANCAMAN BAGI PETERNAKAN SAPI

Prof Tri Untari Berorasi Dalam Pengukuhannya Sebagai Guru Besar

Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) merupakan salah satu penyakit hewan menular yang mengancam peternakan sapi di Indonesia. Penyakit IBR yang menyerang sistem pernafasan atas pada sapi ini mengakibatkan penurunan produktivitas, reproduktivitas, terjadinya latensi-reaktivasi virus, yang pada akhirnya  berdampak pada kerugian ekonomi dan efek sosial.

“Kejadian IBR di Indonesia yang meningkat perlu tindakan pencegahan dan strategi pengendalian penyebaran penyakit,” tutur Prof.Dr.drh. Tri Untari, M.Si., saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Selasa (12/12) di Balai Senat UGM.

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Problematika Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis Pada Sapi Di Indonesia, Tri Untari mengatakan pentingnya deteksi dini untuk pengendalian penyakit dan mencegah penularan. Hal tersebut perlu dilakukan mulai dari hulu sampai hilir.

“Pusat bibit penghasil semen perlu terus dipantau secara rutin untuk mencegah penyebaran IBR,”jelasnya.

Tak hanya itu, Tri Untari menyebutkan program eradikasi IBR juga harus dilakukan secara konsisten. Lalu, peran karantina perlu ditingkatkan kapasitas kemampuan deteksi, terutama dalam pengawasan sapi-sapi impor yang masuk.

Ia menambahkan penerapan vaksin marker Differentiating Infected from Vaccinated Animal (DIVA), perlu dipertimbangkan  sehingga dapat dibedakan sapi yang terinfeksi dan sapi yang divaksin untuk kontrol dan eradikasi. Seperti diketahui negara-negara Eropa telah menggunakan vaksin DIVA sehingga monitoring dengan uji serologis ELISA dapat dibedakan antara antibodi hasil  vaksinasi atau infeksi lapangan. Namun, sapi di Indonesia belum menerapkan vaksin DIVA dengan berbagai pertimbangan.

“Implementasi vaksin tersebut dilakukan  dengan analisis ekonomi veteriner sehingga dapat diperhitungkan keuntungan dan kerugiannnya,”ujarnya. (INF)

BEGINI UPAYA PEMPROV DKI JAKARTA MEMASTIKAN KESEHATAN HEWAN KURBAN

Salah Satu Lapak Penjual Hewan Kurban di Jakarta Selatan
(Foto : CR)

Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta Suharini Eliawati terus memonitor kondisi hewan kurban di Jakarta menjelang perayaan Idul Adha 1444 H. Dia menyatakan Dinas KPKP akan memastikan hewan kurban di Jakarta bebas wabah penyakit mulut dan kuku (PMK).

Suharini mengatakan penyebaran wabah penyakit hewan di Indonesia patut diwaspadai menjelang Idul Adha. Ia menjelaskan ada tiga penyakit yaitu PMK, lumpy skin disease (LSD) atau penyakit lato-lato, dan penyakit zoonosis lainnya.

"Saya sebutkan terakhir itu bukan termasuk penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya namun demikian ini sangat merugikan," kata Suharini pada Rabu 14 Juni 2023 saat rapat dengan Komisi B DPRD DKI.

Suharini menyebut Pemda DKI memberlakukan aturan ketat bagi hewan kurban yang didatangkan dari luar kota. Dinas KPKP memberlakukan surat izin bagi hewan kurban yang ingin masuk ke Jakarta.

"Per tanggal 13 Juni itu ada 59 tempat penampungan yang sudah ada di DKI Jakarta. Nah, yang mengantre ada 99 surat rekomendasi yang harus kita keluarkan. Kenapa belum, karena memang kita masih membutuhkan surat keterangan kesehatan hewan dari daerah setempat," ujar dia.

DInas KPKP sudah memberlakukan upaya untuk melacak hewan kurban yang terinfeksi Penyakit Mulut dan Kuku. Salah satunya, dengan memasang anting hewan yang disertai dengan barcode identifikasi.

"Nanti kita bisa baca di Android itu nanti sapi itu berasal dari mana umurnya berapa kemudian sudah divaksin atau belum itu untuk PMK," kata Suharini.

Untuk penyakit LSD, kata Suharini, Dinas KPKP belum mewajibkan vaksinasi pada hewan Namun, ujar dia, pihaknya mewajibkan hewan kurban lolos tes uji PCR agar bisa dikatakan bebas penyakit tersebut. 

"Jadi nanti ada surat keterangan kesehatan hewan jadi di sini bisa saya sampaikan kita selaku konsumen boleh kok menanyakan bahwa sapi yang akan saya beli adalah sudah punya syarat keterangan kesehatan," ujar dia. (INF)

BANTUAN FAO DAN PEMERINTAH AUSTRALIA UNTUK TANGANI WABAH PENYAKIT HEWAN DI INDONESIA

Sapi Yang Terinfeksi LSD 
(Sumber: FAO 2023)

Merespon wabah Penyakit Kulit Berbenjol (Lumpy Skin Disease / LSD) dan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) baru-baru ini pada ternak di Indonesia, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan Pemerintah Australia berkolaborasi untuk mendukung pemerintah Indonesia untuk menghentikan dan mengendalikan penyebaran penyakit ternak berdampak ekonomi tinggi ini.


Pemerintah Australia juga memberikan kontribusinya berupa dana sebesar AUD 1 200 000 (USD 792 000 atau sekitar 12 milyar rupiah). FAO bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia meningkatkan kapasitas para petugas kesehatan hewan di lapangan dan para peternak untuk membantu mencegah dan mengendalikan wabah LSD dan PMK, serta memperkuat komunikasi risiko pada target kelompok-kelompok peternak yang ternaknya berisiko tinggi untuk tertular penyakit tersebut.

“Warga Australia memiliki sejarah yang membanggakan untuk membantu tetangga dekat kami, dan kami sangat senang untuk  membantu menghentikan penyebaran lebih lanjut penyakit kaki dan mulut (PMK) dan LSD di wilayah ini. Upaya ini membutuhkan sumber daya yang signifikan, keahlian teknis dan kolaborasi, dan kami akan terus bekerja sama untuk saling mendukung dan berbagi pengetahuan,” ujar Murray Watt, Menteri Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Australia.

“Kami berharap dengan dukungan tambahan dari Australia ini, melalui rekan-rekan kami di FAO, dapat membantu mengurangi dampak negatif penyakit ini terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian peternak Indonesia, sekaligus melindungi industri peternakan di negara lain, termasuk Australia," tambahnya.

Sangat menular, berakibat fatal, dan sangat merugikan

Meskipun tidak mengancam kesehatan manusia, LSD dan PMK adalah penyakit virus yang sangat menular yang menyerang sapi dan hewan ternak lainnya. Lebih dari 600.000 hewan di Indonesia telah terinfeksi PMK dan lebih dari 11.000 telah mati dan peternak terpaksa memotong  15.000 ternak lainnya. Indonesia telah bebas dari PMK selama lebih dari 30 tahun, tetapi pada September 2022, pemerintah melaporkan bahwa wabah PMK telah terdeteksi di 24 dari 34 Provinsi. Sejak itu, tiga provinsi lainnya telah tertular. Sementara itu, LSD telah menginfeksi lebih dari 22.000 hewan di 13 provinsi di Indonesia, seiring dengan berlanjutnya wabah.

Potensi kerugian ekonomi setiap tahun akibat wabah PMK bisa mencapai 1 triliun Rupiah. Hal ini cukup buruk bagi perekonomian negara secara keseluruhan, dan menghancurkan perekonomian peternak dan keluarganya.

"Peternakan adalah komponen penting dari banyak ekonomi pedesaan, menyediakan makanan, pendapatan, dan mata pencaharian bagi jutaan orang di seluruh dunia. Mengontrol dan memberantas penyakit seperti PMK dan LSD sangat penting untuk melindungi mata pencaharian ini dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan," kata Rajendra Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor-Leste.

“FAO berkomitmen penuh untuk mendukung negara-negara anggota kami dalam mencapai tujuan ini."

Dukungan dari pemerintah Australia terhadap penanganan PMK dan LSD ini dinamai “Mengurangi Dampak Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Penyakit Kulit Berbenjol (LSD) dan Membangun Kapasitas Respon Terhadap Wabah Ini di Indonesia” akan dilaksanakan selama periode satu tahun. (INF)

INDONESIA BIMBING PELATIHAN BIOINFORMATIKA UNTUK TENAGA LABORATORIUM ASEAN

 Lokakarya Bioinformatika se-ASEAN di Yogyakarta

Indonesia berbagi keahlian di bidang bioinformatika dengan melatih personel laboratorium dari sembilan negara ASEAN, 23 laboratorium Indonesia, dan beberapa negara anggota Zoonotic Diseases Action Package (ZDAP), seperti Pakistan dan Bangladesh. ZDAP adalah kolaborasi global untuk menanggapi ancaman penyakit zoonosis (menular dari hewan kepada manusia); serta untuk mengedepankan agenda keamanan kesehatan global. 

Pada tahun 2021, Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates, Yogyakarta disahkan sebagai Pusat Rujukan Regional untuk Bioinformatika Veteriner di Asia Tenggara oleh  Kelompok Kerja Sektor Peternakan ASEAN (Sectoral Working Group on Livestock - SWGL). Dengan pengakuan ini, BBVet Wates telah memantapkan dirinya sebagai laboratorium dengan keahlian di bidang bioinformatika dan telah mendukung dan memberi saran kepada laboratorium lain di negara-negara ASEAN tentang isu-isu terkait bioinformatika. 

Bioinformatika adalah sarana interdisipliner untuk menghitung dan menganalisis data biologis, termasuk agen yang berpotensi menyebabkan penyakit pada hewan, tumbuhan, dan manusia. Dengan menggunakan bioinformatika, karakteristik agen penyakit dapat dipelajari secara komprehensif sehingga meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengendalian penyakit. 

Dalam lokakarya ini, terselenggara serangkaian sesi pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas bioinformatika para petugas laboratorium yang memungkinkan laboratorium di negara-negara ASEAN dan ZDAP untuk memahami evolusi agen virus tertentu agar dapat dengan cepat mendeteksi ancaman penyakit menular baru. Lokakarya ini juga berfungsi sebagai wadah bagi para peserta untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka untuk membangun jaringan bioinformatika yang kuat di wilayah Asia.  

“Lokakarya ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam memperkuat mekanisme regional ASEAN untuk pencegahan, deteksi dini dan penanggulangan penyakit hewan dan zoonosis dengan potensi pandemi, serta penguatan sektor kesehatan hewan melalui pendekatan One Health,” ujar Nuryani Zainuddin selaku Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 

Nuryani menjelaskan, pada lokakarya ini, Indonesia berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas dan jejaring laboratorium di ASEAN untuk bioinformatika. “Sebagai negara pimpinan dalam Global Health Security Agenda dan Zoonotic Diseases Action Package (ZDAP), Indonesia juga melibatkan dan memperkuat laboratorium kesehatan masyarakat dan veteriner di Indonesia, ASEAN, dan negara-negara yang bergabung dalam ZDAP untuk menerapkan bioinformatika menggunakan pendekatan One Health,” imbuh Nuryani. 

“Kerjasama bertahun-tahun antara FAO dan Pemerintah Indonesia telah memperkuat kapasitas balai-balai veteriner untuk meningkatkan deteksi dan pencegahan ancaman zoonosis. Kami berbahagia dapat melihat bahwa peningkatan pengetahuan dan kapasitas tersebut dapat dibagikan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara,” ujar Rajendra Aryal, Kepala Perwakilan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) untuk Indonesia dan Timor Leste, seraya mengapresiasi kegiatan lokakarya ini sebagai tonggak pencapaian di bidang kesehatan hewan. 

Duta Besar Australia untuk ASEAN, H.E. Will Nankervis mengatakan, “Australia sangat senang dapat mendukung lokakarya Bioinformatika ini melalui kemitraan SMART ASEAN kami dengan ASEAN dan FAO. Lokakarya tersebut, bersama dengan penunjukan Disease Investigation Center Wates sebagai ASEAN Regional Reference Center for Bioinformatics, merupakan langkah penting dalam memastikan respons yang terkoordinasi terhadap ancaman penyakit di ASEAN.” 

Seperti disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia David Stanton, “peningkatan Balai Besar Veteriner Wates menjadi Pusat Referensi Bioinformatika Regional ASEAN adalah bukti kerja keras dan layanan luar biasa selama beberapa dekade dari staf BBVet Wates dan tim Kementerian Pertanian. USAID gembira dapat bekerja bersama Kementerian Pertanian dan FAO dalam mendukung pekerjaan ini.”  

Sejak tahun 2006, FAO dengan dukungan dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) telah bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk memberikan pelatihan yang komprehensif kepada sejumlah balai-balai veteriner tentang keselamatan dan keamanan hayati laboratorium, jaminan kualitas, mitigasi risiko dan standarisasi prosedur. Khusus di bidang bioinformatika, inisiatif ini didanai bersama oleh USAID dan Pemerintah Australia melalui proyek bersama FAO-Australia-ASEAN tentang Penguatan Mekanisme Kesehatan Hewan (SMART-ASEAN). (INF)

CIANJUR KLAIM MASIH NEGATIF PMK

Memperketat pengawasan lalu lintas ternak perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran PMK

Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan (Dislutkanak) Kabupaten Cianjur memastikan peternakan diwilayah belum ditemukan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Medik veteriner atau Subkoordinator Pengawasan Pemasukan dan. Pengeluaran Hewan dan Produk Hewan (P3H) Dislutkanak Kabupaten Cianjur Kharisudin mengatakan, semenjak adanya kabar wabah Penyakit Mulut dan Kaki (PMK) pada hewan ternak beberapa upaya langsung dilakukan.

"Semenjak ramainya wabah PMK, kita sudah melakukan koordinasi dan lansung mengumpulkan unit pelaksana unit kita, termasuk RPH sama Balai peternakan milik dinas, kita sosialisasi agar langsung bergerakan untuk melakukan pemantauan," katanya, Rabu (18/5/2022).

Hingga sejauh ini, kata dia, sudah ada sebanyak 1000 ekor hewan yang dilakukan pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan tersebut tidak ada inidkasi kasus yang ditemukan diwilayah Cianjur.

"Selain itu juga, kami telah mengeluarkan surat edaran ke sejumlah peternak di Cianjur untuk tidak memasukan hewan asal Jateng, Jogjakarta dan Jatim, karena dari awal-awal di daerah itu sumbernya," ucapnya.

Selain itu, ia mengatakan, pihak juga telah berkoodinasi dengan Dinas Perhubungan (Dishub) Cianjur dan Mapolres Cianjur unuk membantu pematauan dan pengawasan distribusi hewan dari luar daerah diperbatan.

"Karena distribusi hewan kurban, biasanya hampir 60 persen itu berasal dari Jateng dan Jatim. Oleh karena itu berharap peternak untuk memaksimalkan yang ada di Cianjur," ucapnya.

Ia mengatakan, apabila terjadi kekurangan, dipersilahkan untuk mengambil hewan dari luar, tetapi tetap memenuhi persyatan yang ketat, dan disertai SKH.

"Ketika hewan asal dari luar daerah tersebut, kita juga akan melakukan monitoring selama 14 hari untuk meminimalkan kejadian. Dan kita sarankan agar para peternak menajalankan disinfeksi hingga," jelasnya.

Ia meminta, para peternak untuk segera melapor, apabila hewan ternaknya memiliki ciri-ciri gejala awal demam tinggi, susah makan, keluar air liur berlebihan. Sedangkan khasnya terdapat lesi pada bagian lidah, gusi, hingga kuku. (INF)


PMK DIDUGA MENYEBAR KE INDONESIA MELALUI BEBERAPA HAL INI

Sapi, ternak yang rentan terinfeksi PMK

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak sapi, kerbau, domba, dan kambing kembali terjadi di Indonesia. Bahkan, PMK ini juga dapat menyerang hewan liar, seperti gajah, antelope, bison, menjangan, dan jerapah.

Penyakit yang disebabkan oleh virus tipe A dari keluarga Picornaviridae, genus Apthovirus, yakniAphtaee epizootecae pernah terjadi di Indonesia, yakni sekitar 1887. Beberapa tahun berikutnya, Indonesia berhasil keluar dari wabah PMK dan dinyatakan bebas PMK pada 1990 oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Namun, pada akhir April 2022, kasus PMK kembali menyerang hewan ternak di Indonesia. Sejumlah daerah melaporkan kasus PMK, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Lombok, hingga Aceh.

Dikutip dari jabarprov.go.id, virus penyebab PMK ini dapat bertahan lama di lingkungan dan bertahan hidup pada tulang, kelenjar, susu, serta produk susu. Sementara itu, tingkat penularan PMK cukup tinggi dengan tingkat kematian 1-5 persen. Lantas, melalui apa saja, virus PMK ini menyebar di Indonesia?

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB drh. Supratikno mengatakan, penyebaran virus PMK diduga masuk menginfeksi ternak di Indonesia melalui berbagai perantara.

"Salah satunya adalah kontak langsung dengan hewan penderita atau melalui media pembawa," ujarnya,.

Menurutnya, lalu lintas hewan yang dilakukan secara ilegal dari negara yang belum bebas PMK diduga menjadi penyebab penyebaran kasus di Indonesia.

"Bisa juga melalui media pembawa seperti sampah pesawat yang diberikan kepada ternak dan sampah tersebut teryata tercemar virus dari negara yang belum bebas PMK," imbuh Supratikno.

Selain itu, penyebaran kasus PMK juga diduga menyebar melalui media lain. Sebagai contoh, kegiatan impor yang ilegal produk olahan hewan yang tidak melalui karantina sehingga berpotensi membawa virus.

Pengawasan lalu lintas hewan yang lemah juga pernah disinggung oleh Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh. Dilansir dari KompasTV, Munawaroh mengatakan bahwa kasus PMK kembali terjadi lantaran pengawasan lalu lintas ternak di Indonesia yang lemah.

”Saya heran mengapa ternak, terutama domba. Misalnya dari Malaysia yang belum bebas PMK, bisa masuk dan terdistribusi sampai Wonosobo dan Malang sehingga meningkatkan risiko wabah dan terbukti,” ujarnya. (INF)



AMANKAH MENGONSUMSI PRODUK PETERNAKAN YANG TERINFEKSI PMK?

Talkshow PMK : memberikan edukasi kepada masyarakat


Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Foot and Mouth Disease (FMD) baru - baru ini kembali muncul di Indonesia. Setelahada pernyataan resmi dari pemerintah terkait mewabahnya PMK di Provinsi Jawa Timur, semua stakeholder sudah mempersiapkan diri menghadapinya. 

Selain aspek kesehatan hewan, aspek kesehatan masyarakat tentunya juga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Untuk memberikan info kepada masyarakat terkait penyakit PMK dan hubungannya dengan aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat digelarlah acara talkshow "dadakan" pada Senin (9/5) yang lalu.

Penggagas acara tersebut yakni Drh Deddy F. Kurniawan selaku CEO Dairy Pro, narasumber yang dihadirkan dalam acara tersebut yakni Staff Pengajar sekaligus ahli Kesehatan Masyarakat Veteriner IPB University Drh Denny Widaya Lukman. Acara tersebut dihelat melalui kanal youtube Dairy Pro TV.

Drh Deddy mengatakan bahwa kegaduhan akibat wabah PMK yang juga datang mendadak ini menjadi semakin serius karena dalam waktu dekat umat islam di seluruh dunia juga akan merayakan hari raya Idul Adha. Dikhawatirkan dengan adanya isu ini masyarakat jadi ogah mengonsumsi daging ruminansia karena termakan hoax. 

Lalu kemudian Drh Deddy secara historis menceritakan perjalanan penyakit PMK dari masa ke masa beserta tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mengeliminir PMK. 

"1887 PMK ini mulai meledak di Malang lalu menyebar ke Kalimantan dan Sulawesi, pada tahun 1974 diadakan vaksinasi massal sampai 1982 tidak ada wabah, seolah - olah menghilang namun ternyata muncul lagi 1983 di Semarang dan menyebar kemana - mana. Pemerintah kemudian melakukan upaya lagi sampai kemudian di tahun 1986 Indonesia menyatakan diri bebas PMK, lalu di tahun 1987 diakui oleh ASEAN, dan 1990 diakui oleh OIE," tutur Drh Deddy.

Dan kini tahun 2022 PMK kembali "bangkit dari kubur" dan siap meneror industri peternakan negara ini, dimana bagi sebagian orang tentunya PMK adalah sesuatu yang baru, meskipun nyatanya bukan. Namun begitu dampak ekonomi dari penyakit ini dirasa akan sangat hebat mengingat waktunya yang juga dadakan (menjelang Idul Adha).

Drh Denny Widaya Lukman sendiri mengatakan bahwa banyak beredar di media sosial hoax yang mengatakan bahwa mengonsumsi produk hewani asal hewan yang terinfeksi PMK dapat menularkan PMK ke manusia.

"Ini hoax, PMK ini tidak tergolong zoonosis dan dapat menulari manusia, tetapi yang saya tekankan, perilaku manusia justru dapat menyebarkan virus PMK kepada hewan lain," tutur Denny.

Ia memberi contoh misalnya pedagang daging sapi atau soto yang membeli daging atau jeroan dari hewan terinfeksi PMK. Kemudian sebelum memasak mereka mencuci daging atau jeroan tersebut, lalu kemudian limbahnya masuk ke sungai atau sumber air bagi ternak yang peka, jika terkonsumsi akan menyebabkan infeksi pada hewan tersebut. 

Denny juga menjawab berbagai pertanyaan dan membagikan tips kepada para penanya yang hadir. Mulai dari teknik penanganan produk, prosedur penyembelihan di RPH, serta upaya dan tindakan yang harus dilakukan dalam mencegah penyebarluasan PMK. (CR)


PB PDHI ADAKAN SEMINAR MITIGASI WABAH LSD

Ketum PDHI bersama para pembicara seminar

Lumpy Skin Disease (LSD) merupakan penyakit yang baru - baru ini mewabah di Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Atas kekhawatiran mewabahnya LSD PB PDHI menggelar seminar nasional terkait mitigasi wabah penyakit LSD secara luring di Hotel Grand Whiz Simatupang maupun daring mellaui aplikasi Zoom Meeting pada Jum'at (1/4) yang lalu. 

Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh menyatakan keprihatinannya atas datangnya kembali penyakit baru ke Indonesia. melalui webinar ini diharapkan nantinya PDHI dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait mitigasi wabah LSD. 

"Sebagai partner pemerintah kami ingin berbuat lebih, memberikan rekomendasi bagaimana sebaiknya wabah ini ditangani. Sapi dan daging sapi sudah menjadi bagian penting negara ini, dengan adanya LSD ini juga akan berpotensi mengganggu supply dan demand daging sapi. Nah makanya hal ini harus sgera ditangani supaya tidak seperti ASF kemarin," kata Munawaroh dalam sambutannya.

Hadir sebagai narasumber yakni Drh Arif Wicaksono (Kasubdit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan), Drh Tri Satya Putri Naipospos (Ketua Umum CIVAS), Prof Widya Asmara (Guru Besar FKH UGM), dan Didiek Purwanto (Ketua Umum GAPUSPINDO). 

Drh Arif Wicaksono yang menjadi narasumber pertama mengatakan bahwa hingga kini LSD yang mewabah di Riau telah menginfeksi 381 ekor sapi secara keseluruhan dan sapi yang mati akibat LSD tercatat sebanyak 3 ekor, dan yang dipotong secara terpaksa sebanyak 14 ekor. 

"Kabupaten Indragiri Hulu merupakan kabupaten yang terbanyak terinfeksi LSD, kami masih melakukan mitigasi, dan sudah melakukan vaksinasi kepada sapi - sapi yang masih belum terinfeksi. Pemerintah sendiri sudah menggelontorkan 450.000 dosis vaksin untuk melakukan vaksinasi di sana," tutur Arif.

Sementara itu Drh Tri Satya Putri Naiposos secara mendalam menjelaskan epidemiologi penyakit ini. Ia bialng bahwa LSD menyebar dari benua Afrika yang juga banyak menyerang ruminansia di sana. Penyebarannya paling banyak dikarenakan oleh kontak langsung dan juga melalui vektor serangga seperti nyamuk, lalat pengisap darah, dan caplak.

"Yang juga perlu kita cermati penyakit ini memang tidak begitu mematikan, namun tetap harus dicegah. Terlebih lagi ini merupakan penyakit eksostik di sini, makanya kita harus banyak belajar dari beberapa negara Afrika. Jangan lupakan satwa liar juga, karena satwa liar di sana (Afrika) secara serologis terdeteksi LSD, makanya kalau perlu satwa liar kita dilakukan itu uji serologis biar kita tahu juga keadaanya," tutur wanita yang akrab disapa Ibu Tata tersebut.

Sementara itu Prof Widya asmara menyatakan bahwa LSD bukanlah penyakit yang zoonotik. Ini juga sekaligus mengonfirmasi berita - berita hoax terkait LSD yang beredar di media sosial dan beberapa portal berita.

"Jadi enggak usah takut makan daging atau olahan daging, ini bukan penyakit yang zoonotik. Jadi jangan sampai masyarakat menerima berita - berita hoax mengenai LSD. Daging hewan yang terinfeksi LSD masih boleh dikonsumsi, hanya masalah etika saja," tutur Prof Widya.

Kesiapan pelaku usaha terkait wabah LSD juga dipaparkan oleh Didiek Purwanto. Menurutnya, pelaku usaha terutama feedlot sudah pasti siap dengan hal ini, namun ia menyatakan keraguannya bahwa akan kesiapan peternak mandiri.

"Saya kemarin ke Jawa Timur nanya ke peternak, mereka nggak tahu itu LSD. Di Riau sendiri bahkan saya tanya kalau peternak malah enggak takut LSD, soalnya enggak bikin sapi mati sekaligus banyak kaya penyakit Jembrana, nah ini harus dibenahi," tutur Didiek. (CR)


PROBLEM CORYZA PADA AYAM MODERN

Gejala khas ayam yang menderita infeksi Coryza adalah gangguan sistem pernapasan atas berupa peradangan yang bersifat kataral sampai mukoid pada rongga hidung dan sinus-sinus hidung, terutama sinus supra-orbitalis dan infra-orbitalis. (Sumber: Tony)

Ditulis oleh:
Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant-Jakarta)

Fenomena kasus penyakit Snot alias pilek ayam menular atau Coryza pada peternakan ayam modern ibarat bermain “petak umpet”. Menjengkelkan, bahkan kadang kala dapat membuat peternak kalap, sehingga dalam mengatasinya penggunaan vaksin dan preparat antibiotik kerap tidak rasional lagi. Beberapa informasi dalam tulisan berikut mungkin perlu disimak, agar kasus tidak merupakan langganan yang seolah sulit ditampik.

Sebenarnya ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab berulangnya kasus Coryza di lapangan, yaitu:

• Kelembapan relatif dalam kandang cukup tinggi, biasanya jika itu rata-rata di atas 80%, insiden terjadinya Coryza menjadi sangat besar. Kesalahan setting pada sistem kandang tertutup (closed house), misalnya merupakan suatu fenomena umum terkait kejadian Coryza di lapangan.

• Fluktuasi temperatur di dalam kandang sangat tinggi. Perbedaan temperatur rata-rata antara siang dan malam hari lebih dari 8° C, khususnya pada musim kemarau, akan menjadi faktor pencetus terjadinya Coryza.

• Tingginya kadar amonia, debu dan tantangan virus (ND, IB) atau kuman (Mikoplasma) yang ada di dalam kandang sangat mendukung terjadinya kasus Coryza. Infeksi Mikoplasma yang kronis jelas akan membuat peluang kasus Coryza lebih besar.

• Frekuensi program vaksinasi yang menggunakan vaksin aktif dengan target organ di saluran pernapasan atas yang tinggi, misalnya ND atau IB aktif juga dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya ledakan kasus Coryza.

• Tingginya faktor stres, misalnya kepadatan yang terlalu tinggi.

Untuk mengurangi ledakan kasus Coryza di lapangan, sangat dianjurkan untuk... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2021. (TOE)

SIAGA MENCEGAH WABAH PENYAKIT HEWAN BALITBANGTAN GELAR FGD

Pendekatan one health dibutuhkan dalam menyelesaikan penyakit hewan yang bersifat zoonotik

Selasa 3 Maret 2020 yang lalu, Badan Litbang Pertanian Kementan bersama dengan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) menggelar Focus Group Discussion bertajuk "Kesiapsiagaan Masuk dan Meyebarnya Penyakit Hewan Emerging dan Re-emerging di Indonesia". 

Tujuan dari acara tersebut yakni dalam rangka meningkatkan kewaspadaan semua pihak yang berkecimpung dalam upaya antisipasi, deteksi dini, dan merespon cepat dalam penanggulangan wabah penyakit hewan emerging dan re-emerging

Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 115 orang peserta yang berasal dari berbagai instansi seperti Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Intelijen Negara, Perguruan tinggi, LSM, Organisasi Profesi, dan tentu saja Kementerian Pertanian.

Seperti kita ketahui bersama bahwa beberapa bulan belakangan Indonesia kembali dihantam dengan mewabahnya beberapa penyakit hewan menular berbahaya baik yang bersifat zoonotik dan non-zoonotik. Sebut saja African Swine Fever (ASF) yang meluluhlantahkan sektor peternakan babi di Sumut beberapa waktu yang lalu, Anthraks yang kembali mewabah di Jawa Tengah, leptospirosis yang bergejolak ketika bencana banjir melanda, dan tentu saja yang terbaru yakni infeksi virus Corona (Covid-19) yang baru-baru ini menghebohkan nusantara. 

Balitbangtan punya mandat dalam urusan riset di bidang veteriner dan menjadi laboratorium rujukan nasional dalam bidang penyakit hewan, tetapi kedepanya diharapkan terjadi sinergisme dari pihak lain yang juga berkecimpung, sehingga konsep one health yang sering digaungkan itu benar - benar diaplikasikan dengan baik.

Ditemui oleh Infovet pada saat acara berlangsung, Kepala BBALITVET Bogor, Drh NLP Indi Dharmayanti menuturkan bahwa beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonotik sudah sejak lama menjadi penyakit strategis dan sulit sekali diberantas. Contohnya anthraks, menurutnya hingga kini anthraks walaupun kasusnya sedikit, namun masih kerap terjadi di Indonesia, dan beritanya selalu menghebohkan. 

Indi juga menyinggung wabah Covid-2019 yang baru - baru ini diumumkan oleh presiden RI beberapa waktu yang lalu. Ia mengatakan bahwa sangat penting mempelajari Covid-2019 lebih dalam karena virus ini berpotensi memiliki sifat zoonotik. 

"Yang kita ketahui sejauh ini kan virus corona memang ada pada beberapa jenis hewan seperti kelelawar, trenggiling, anjing, kucing, dan bahkan ikan paus. Sama - sama virus corona, cuma beda genus dan clade saja. Nah yang perlu kita ketahui kan apakah nanti Covid-19 ini berpotensi zoonotik melalui hewan peliharaan atau hewan ternak, oleh karenanya ini juga harus dipelajari lebih dalam," tukas Indi.

Indi juga berharap agar acara ini sedianya dapat menjadi ajang utuk saling tukar informasi dan bersinergi antar instansi dalam penanggulangan wabah. Selain itu kedepannya hasil dari FGD ini nantinya dapat menjadi saran dan masukan bagi pemerintah pusat dalam mengatasi permasalahan penyakit hewan di Indoensia. (CR)

BIOINFORMATIKA SEBAGAI METODE DETEKSI PENYAKIT HEWAN


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor kembali mengadakan pelatihan teknis dalam mendukung program - program pemerintah. Kegiatan tersebut digelar di Hotel Sahira Bogor, Senin 22 April 2019. Kali ini pelatihan teknis yang dilaksanakan mengenai Bioinformatika dalam dunia veteriner.

Bioinformatika sendiri didefinisikan sebagai ilmu yang yang mempelajari teknik komputasional untuk mengelola dan menganalisis informasi biologis suatu mahluk hidup. Bidang ini mencakup penerapan metode matematika, statistika, dan informatika untuk memecahkan masalah-masalah biologis, terutama dengan menggunakan sekuens DNA dan asam amino serta informasi yang berkaitan dengannya. Contoh topik utama bidang ini meliputi basis data untuk mengelola informasi biologis, penyejajaran sekuens (sequence alignment), prediksi struktur untuk meramalkan bentuk struktur protein maupun struktur sekunder RNA, analisis filogenetik, dan analisis ekspresi gen.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pendeteksian penyakit secara molekuler saat ini berkembang dengan pesat, hal ini karena teknik biomloekuler mampu digunakan untuk mendiganosis penyakit  dengan cepat dan spesifik. Selain itu, biomolekuler juga dapat digunakan untuk melakukan karakterisasi organisme secara umum maupun secara khusus untuk agen penyebab penyakit dan juga untuk melakukan rekayasa genetik. Karena keterkaitan inilah alasan mengapa ilmu bioinformatika dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam mendeteksi penyakit pada mahluk hidup, termasuk hewan.

Dalam acara tersebut, Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, Dr. Drh Ni Luh Putu Indi Dharmayanti M.Si. mengatakan bahwa pesatnya perkembangan teknologi termasuk dalam bidang medis semakin memudahkan manusia dalam mendeteksi serta memprediksi sifat dan karakteristik agen infeksius. “Melalui bioinformatika ini, selain dimanfaatkan untuk deteksi penyakit, bisa juga kita manfaatkan sebagai metode untuk memprediksi sifat dan mutasi genetik suatu mikroorganisme terutama pathogen,” tuturnya.

Para peserta berfoto bersama narasumber (Dokumentasi : CR)


Dengan adanya kegiatan ini peserta diharapkan mampu meningkatkan wawasan dan kemampuan bioinformatika, sehingga mampu melakukan analisis data molekuler, karakterisasi mikroorganisme pathogen dan rekayasa genetik, terutama dalam mendeteksi penyakit hewan maupun pengembangan teknologi vaksin

Kegiatan ini dilaksanakan selama 5 hari, yaitu tanggal 22-23 April 2019 untuk teori tentang bioinformatika dan tanggal 24-26 untuk praktek aplikasi bioinformatika yang akan dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, yang diikuti oleh 120 peserta dari berbagai institusi baik dari lingkup maupun dari luar  Kementerian Pertanian.

Tidak tanggung – tanggung, pelatihan teknis ini menghadirkan narasumber dan ahli yang berkompeten dari dalam dan luar negeri, antara lain Dr. Lee McMichael (Queensland University, Australia), Dr. Stanly Pang (Murdoch University, Australia), Prof. drh. Widya Asmara SU Ph.D (Universitas Gadjah Mada), Dr. drh NLP Indi Dharmayanti, M.Si (Balai Besar Penelitian Veteriner), Dr. drh Silvia Triwidyaningtyas, M.Si ( Universitas Indonesia), dan Hidayat Trimarsanto, B.Sc (Lembaga Molekuler Eijkman). (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer