-->

GEBRAKAN AFFAVETI: SINERGISME DOKTER HEWAN DAN APOTEKER DI BIDANG OBAT HEWAN

Seminar sinergisme dokter hewan dan apoteker di bidang obat hewan. (Foto: Dok. Infovet)

Diawali pelantikan pengurus AFFAVETI periode 2024-2029, seminar Gebrakan AFFAVETI "Sinergisme Dokter Hewan dan Apoteker di Bidang Obat Hewan" digelar di Gedung Start Up Center IPB Taman Kencana, Sabtu (24/8/2024).

Sesuai tema yang diangkat, Ketua AFFAVETI, Drh Ni Made Ria Isriyanthi, mengatakan bahwa sinergisme ini menjadi suatu ajang ilmiah untuk bisa berbagi pengetahuan terkait farmasi veteriner ke depan.

"Ini menjadi suatu ajang ilmiah bagaimana kita bisa sharing ke depannya antara dokter hewan dan apoteker," katanya.

Seminar yang dipandu oleh Wakil Ketua I AFFAVETI, Dr Drh Andriyanto MSi, menghadirkan pembicara di antaranya Dr Apt Nunung Yuniarti SF MSi (Fakultas Farmasi, Apotek Veteriner UGM), Drh M. Munawaroh (Ketua PDHI), dan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD.

"Dengan beragam isu yang ada seperti AMR, medicated feed, kemudian adanya cara pembuatan obat hewan yang baik, dan cara distribusi obat hewan yang baik, sehingga memunculkan peran sinergisme antara apoteker dan dokter hewan," ujar Nunung Yuniarti.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa apotek veteriner memiliki peran utama, yakni menjamin ketersediaan obat hewan, menjamin penggunaan obat hewan yang benar dan aman, menjamin distribusi obat hewan yang benar dan aman, serta menyediakan kebutuhan terapi veteriner meliputi pelayanan resep veteriner, alat kesehatan, dan sarana penunjang lainnya.

Pada kegiatan tersebut juga ditampilkan pleno pembukaan Prodi Farmasi Veteriner SKHB IPB yang disampaikan oleh Dekan Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis, Dr Drh Amrozi, yang mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak di antaranya pemerintah, asosiasi, perusahaan, dan lain sebagainya. (RBS)

FAO DAN KEMENTAN UNDANG BARA GELAR WORKSHOP AMR

Foto Bersama Para Peserta dan Trainer

Resistensi antimikroba (AMR) tentunya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Isu tersebut bahkan merupakan salah satu topik yang dibahas oleh para pemimpin dunia pada KTT G-20 di bali beberapa waktu yang lalu.

Indonesia sendiri masih berjuang dalam mengendalikan resistensi antimikroba. Dengan tujuan studi banding sekaligus berbagi pengalaman, FAO ECTAD Indonesia bersama Kementan melaksanakan kegiatan workshop mengenai AMR bertemakan MPTF - BARA Traning and Workshop di Hotel Aston Priority, Jakarta Selatan (23/5) lalu. Pesertanya merupakan semua stakeholder baik pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang medis, akuakultur, dan pertanian yang bersinggungan dengan penggunan antimikroba. 

Kasubdit POH Drh Ni Made Ria Isriyanthi yang hadir mewakili Direktur Kesehatan Hewan dalam sambutannya menyatakan rasa terima kasihnya kepada semua pihak yang telah mendukung keberlangsungan acara tersebut. Ia menyebut bahwa pelatihan ini merupakan upaya dari pemerintah dalam mengendalikan resistensi antimikroba.

"Kita berkolaborasi dengan BARA dan FAO juga bukan tanpa alasan, di Bangladesh kampanye AMR ini sangat masif, dan kita bisa mengambil hal - hal positif dari mereka," tutur Ria.

BARA (Bangladesh AMR Response Alliance) sendiri merupakan organisasi independen yang terdiri dari bermacam profesi yang berhubungan dengan medis seprti dokter, dokter hewan dokter gigi, apoteker, dan semua pihak yang berkecimpung di sektor keamanan pangan, akuakultur, dan pertanian secara luas.

Hal tersebut disampaikan oleh Jahidul Hasan selaku fasilitator / trainer dalam acara tersebut Pria yang berprofesi sebagai apoteker tersebut juga merupakan salah satu anggota BARA. Ia mengatakan bahwa BARA terbentuk sejak tahun 2018 atas keresahan mengenai resistensi antimikroba yang terjadi di Bangladesh.

Di negaranya, Jahidul mengatakan bahwa penggunaan antimikroba di berbagai sektor dapat dibilang sangat serampangan. Bahkan ia menyebut bahwa seorang profesor di satu rumah sakit besar di Bangladesh sampai terkaget - kaget bahwa bakteri yang diisolat dari rumah sakit tempatnya bekerja merupakan superbug alias bakteri yang resisten terhadap berbagai macam jenis antibiotik.

"Ini tentu sangat meresahkan, oleh karena itu kami berinisiatif membangun BARA. semua sektor kami rangkul, dokter, dokter gigi, dokter hewan, bahkan dari sektor akuakultur dan pertanian juga boleh, kami tidak membatasi keanggotaan kami, siapapun yang merasa terpanggil akan masalah ini boleh menjadi anggota kami," tuturnya.

Kegiatan yang dilakukan BARA antara lain melakukan penyuluhan, pendampingan, konsultasi, dan pelatihan ke masyarakat, pelajar, mahasiswa, kalangan medis, bahkan petani, peternak, dan pembudidaya ikan. Mereka umumnya melaksanakan kegiatan dengan pendekatan yang persuasif dan menyenangkan sehingga masyarakat menerima kedatangan mereka.

"Kami memulai dari bawah, mengumpulkan data, melihat apa yang terjadi, dan melakukan action sesuai dengan permasalahan yang ada di lapangan. Pemerintah pun ikut andil dalam hal ini, karena kami tahu bahwa data adalah hal yang penting juga bagi mereka dalam mengambil keputusan," kata Jahidul.

Dari data yang terkumpul, BARA kemudian mengolahnya dan menjadikanya aplikasi yang dapat digunakan oleh masyarakat. Dari situlah masyarakat dapat mengakses isu tentang AMR, teredukasi, dan lebih menyadari pentingnya isu tersebut.

Dalam kesempatan yang sama Drh Erianto Nugroho selaku perwakilan FAO ECTAD Indonesia mengatakan bahwa program ini sangat bagus dan esensial bagi Indonesia yang tengah berjuang menghadapi AMR. Ia menilai dari sini Indonesia bisa banyak belajar, membagi dan berbagi pengalaman terutama challenge di lapangan terkait pengendalian AMR.

"Bisa saja kita membuat semacam organisasi kaya BARA, orang yang ikut yang benar - benar independen. Tapi sebagus - bagusnya program yang dibuat kalau masyarakatnya tidak aware akan hal ini juga rasanya percuma, jadi fokus utamanya bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat dulu ya mungkin," tutur dia.

Kegiatan tersebut berlangsung selama 3 hari dimulai dari 23-26 Mei 2023. Diharapkan dengan selesainya kegiatan ini kapasitas Indonesia dalam mengendalikan AMR semakin meningkat dan lebih baik. (CR)


PELATIHAN PJTOH ANGKATAN XXIII SUKSES DIGELAR VIRTUAL

Pelatihan PJTOH angkatan XXIII dibuka oleh Dirkeswan Dr Drh Nuryani Zainudin MSi, Rabu (23/3). (Foto: Dok. ASOHI)


JAKARTA, 23-24 Maret 2022. Melalui fasilitas zoom meeting, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali melaksanakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH) angkatan XXIII mengingat situasi pandemi COVID-19 yang belum usai.

Drh Forlin Tinora selaku Ketua Panitia dalam laporannya menyampaikan, dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan bagi Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan, ASOHI bekerja sama dengan Direktorat Kesehatan Hewan secara berkesinambungan melaksanakan Pelatihan PJTOH Bersertifikat dimana saat ini sudah mencapai angkatan XXIII.

Adapun materi pelatihan PJTOH secara garis besar tidak berubah, meliputi tiga bagian yaitu materi tentang perundang-undangan, materi kajian teknis (biologik, farmasetik feed additive, feed supplement, obat alami) dan materi tentang pemahaman organisasi dan etika profesi.

“Untuk ini kami menghadirkan pihak-pihak yang kompeten untuk menjadi narasumber yaitu Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Pakan, BBPMSOH (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan), Komisi Obat Hewan (KOH), Tim CPOHB (Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik), PB PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia), Pusat Karantina Hewan, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), Ketua Umum ASOHI, beserta Ketua Bidang Peredaran Obat Hewan-ASOHI,” jelas Forlin.

Ia menambahkan, hingga tahun ini minat dokter hewan dan apoteker untuk mengikuti acara pelatihan PJTOH masih cukup tinggi. Peserta angkatan XXIII mencapai 100 orang dari perusahaan obat hewan dan pakan dari berbagai daerah. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran perusahaan dan para penanggungjawab teknis obat hewan/calon penanggungjawab teknis obat hewan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai tugas dan tanggung jawabnya.

Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, dalam sambutannya menjelaskan tugas dari PJTOH. “Yakni memberikan informasi peraturan perundangan bidang obat hewan; memberikan saran dan pertimbangan teknis mengenai jenis obat hewan yang akan diproduksi/diimpor; menolak produksi, penyediaan, peredaran dan repacking obat hewan ilegal; serta menolak peredaran dan repacking obat hewan yang belum mendapat nomor pendaftaran.”

Sementara PJTOH di pabrik pakan, ia menambahkan, memiliki tugas penting menolak penggunaan bahan baku atau obat hewan jadi yang dilarang dicampur dalam pakan ternak dan menyetujui penggunaan bahan baku obat hewan jadi yang dicampur dalam pakan yang memenuhi syarat mutu atau menolak apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang obat hewan.

“Selain pelatihan PJTOH tingkat dasar ini, ASOHI merencanakan akan menyelenggarakan Pelatihan PJTOH Tingkat Lanjutan (advance). Pelatihan PJTOH tingkat lanjutan akan membahas topik-topik yang lebih mendalam, sehingga ilmu yang diperoleh dari pelatihan tingkat dasar ini akan terus berkembang dan bermanfaat sesuai perkembangan zaman,” tukasnya.

Pada hari pertama pelatihan, pembicara pertama diisi oleh Direktur Kesehatan Hewan, Dr Drh Nuryani Zainuddin MSi, yang menyampaikan paparan berjudul Sistem Kesehatan Hewan Nasional. Kemudian dilanjutkan paparan dari Koordinator Substansi Pengawasan Obat Hewan, Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD, yang menyampaikan update seputar peraturan terbaru terkait obat hewan.

Pelatihan PJTOH Angkatan XXIII sangat dirasakan manfaatnya oleh peserta untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, khususnya dalam menjalankan tugas sebagai penanggung jawab teknis obat hewan. (WK)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer