Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PB PDHI ADAKAN SEMINAR MITIGASI WABAH LSD

Ketum PDHI bersama para pembicara seminar

Lumpy Skin Disease (LSD) merupakan penyakit yang baru - baru ini mewabah di Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Atas kekhawatiran mewabahnya LSD PB PDHI menggelar seminar nasional terkait mitigasi wabah penyakit LSD secara luring di Hotel Grand Whiz Simatupang maupun daring mellaui aplikasi Zoom Meeting pada Jum'at (1/4) yang lalu. 

Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh menyatakan keprihatinannya atas datangnya kembali penyakit baru ke Indonesia. melalui webinar ini diharapkan nantinya PDHI dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait mitigasi wabah LSD. 

"Sebagai partner pemerintah kami ingin berbuat lebih, memberikan rekomendasi bagaimana sebaiknya wabah ini ditangani. Sapi dan daging sapi sudah menjadi bagian penting negara ini, dengan adanya LSD ini juga akan berpotensi mengganggu supply dan demand daging sapi. Nah makanya hal ini harus sgera ditangani supaya tidak seperti ASF kemarin," kata Munawaroh dalam sambutannya.

Hadir sebagai narasumber yakni Drh Arif Wicaksono (Kasubdit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan), Drh Tri Satya Putri Naipospos (Ketua Umum CIVAS), Prof Widya Asmara (Guru Besar FKH UGM), dan Didiek Purwanto (Ketua Umum GAPUSPINDO). 

Drh Arif Wicaksono yang menjadi narasumber pertama mengatakan bahwa hingga kini LSD yang mewabah di Riau telah menginfeksi 381 ekor sapi secara keseluruhan dan sapi yang mati akibat LSD tercatat sebanyak 3 ekor, dan yang dipotong secara terpaksa sebanyak 14 ekor. 

"Kabupaten Indragiri Hulu merupakan kabupaten yang terbanyak terinfeksi LSD, kami masih melakukan mitigasi, dan sudah melakukan vaksinasi kepada sapi - sapi yang masih belum terinfeksi. Pemerintah sendiri sudah menggelontorkan 450.000 dosis vaksin untuk melakukan vaksinasi di sana," tutur Arif.

Sementara itu Drh Tri Satya Putri Naiposos secara mendalam menjelaskan epidemiologi penyakit ini. Ia bialng bahwa LSD menyebar dari benua Afrika yang juga banyak menyerang ruminansia di sana. Penyebarannya paling banyak dikarenakan oleh kontak langsung dan juga melalui vektor serangga seperti nyamuk, lalat pengisap darah, dan caplak.

"Yang juga perlu kita cermati penyakit ini memang tidak begitu mematikan, namun tetap harus dicegah. Terlebih lagi ini merupakan penyakit eksostik di sini, makanya kita harus banyak belajar dari beberapa negara Afrika. Jangan lupakan satwa liar juga, karena satwa liar di sana (Afrika) secara serologis terdeteksi LSD, makanya kalau perlu satwa liar kita dilakukan itu uji serologis biar kita tahu juga keadaanya," tutur wanita yang akrab disapa Ibu Tata tersebut.

Sementara itu Prof Widya asmara menyatakan bahwa LSD bukanlah penyakit yang zoonotik. Ini juga sekaligus mengonfirmasi berita - berita hoax terkait LSD yang beredar di media sosial dan beberapa portal berita.

"Jadi enggak usah takut makan daging atau olahan daging, ini bukan penyakit yang zoonotik. Jadi jangan sampai masyarakat menerima berita - berita hoax mengenai LSD. Daging hewan yang terinfeksi LSD masih boleh dikonsumsi, hanya masalah etika saja," tutur Prof Widya.

Kesiapan pelaku usaha terkait wabah LSD juga dipaparkan oleh Didiek Purwanto. Menurutnya, pelaku usaha terutama feedlot sudah pasti siap dengan hal ini, namun ia menyatakan keraguannya bahwa akan kesiapan peternak mandiri.

"Saya kemarin ke Jawa Timur nanya ke peternak, mereka nggak tahu itu LSD. Di Riau sendiri bahkan saya tanya kalau peternak malah enggak takut LSD, soalnya enggak bikin sapi mati sekaligus banyak kaya penyakit Jembrana, nah ini harus dibenahi," tutur Didiek. (CR)


SAPI BANTUAN PEMPROV RIAU MATI KELELAHAN AKIBAT TERTAHAN DI KARANTINA

Sapi mati akibat kelelahan

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menyayangkan sikap Badan Karantina Pertanian, Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Bangkalan, Jawa Timur (Jatim) yang menahan pengiriman sapi bantuan Pemprov Riau untuk masyarakat.

Atas kondisi itu, sebanyak 5 ekor sapi bantuan masyarakat mati karena kelelahan. Padahal pengiriman sapi tersebut sudah dilengkapi surat kesehatan dan syarat-syarat lainnya.

Bahkan Pemprov Riau telah melakukan koordinasi dengan Direktur Kesehatan Hewan, Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan, Kementerian Pertanian terkait pengiriman bantuan sapi tersebut.

Untuk tahap awal sapi bantuan Pemprov Riau dikirim sebanyak 567 ekor, atau 30 persen dari total bantuan sebanyak 1.883 ekor sapi. Namun, saat ini 567 sapi tersebut masih ditahan di Badan Karantina Pertanian, Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Bangkalan, Jawa Timur.

"Kami sedikit kecewa sapi bantuan masyarakat ditahan di Karantina Bangkalan," ungkap Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Riau, Herman, Jumat (1/4/2022) dikutip dari Media Center Riau.

Herman mengatakan, jika pihaknya telah melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Kepala Pusat Karantina Hewan, bahwa sapi bantuan Pemprov Riau dari Jatim boleh masuk Riau, meskipun saat ini Riau terkena wabah LSD.

"Tapi hari ini sapi bantuan kita tertahan di Karantina Bangkalan. Alasan mereka masih menunggu instruksi dari pusat, makanya kita bingung juga pusat yang mana lagi. Padahal kita sudah koordinasi Kementan, baik itu Direktur Kesehatan Hewan dan Kepala Pusat Karantina Hewan. Termasuk kita koordinasi dengan Kepala Biro Hukum Kementan," terangnya.

"Jadi sampai hari ini sudah lima hari sapi ditahan di Karantina Bangkalan, dan sudah lima ekor sapi yang mati. Semua sapi yang mati itu sudah dilakukan visum, dan hasilnya semuanya mati karena kelelahan. Sebab kapasitas karantina di sana tidak memadai," sambungnya.

Terkait persoalan itu, Herman mengaku telah melakukan koordinasi dengan anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Sianipar yang intens melakukan memperhatikan hewan ternak masuk ke Riau.

"Beliau minta kronologis kejadian, dan sudah kita sampaikan, termasuk hasil visum sapi. Nanti beliau akan me-sounding-kan dengan Kepala Pusat Karantina Kementan," ujarnya.

Selain itu, pihaknya juga sudah melakukan rapat dengan pihak pendamping pengadaan sapi dari Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau guna mencari solusi terkait persoalan ini.

"Jadi nanti kita akan membuat surat Gubernur yang disampaikan ke Kementan, yang ditembuskan ke Dirjen Kesehatan Hewan, dan lainnya," bebernya.

Sebab menurut Herman, atas kondisi ini pihak rekanan pengadaan sapi bantuan Pemprov Riau mengelukan biaya yang harus diluarkan untuk pembelian rumput makan sapi.

"Jadi satu hari itu mereka mengeluarkan biaya 20 juta untuk pengadaan rumput. Jadi selama lima hari sapi tertahan, selain sapi mati, juga biaya ekstra yang harus dikeluarkan," keluhnya.

"Makanya kita ingin mempertahankan dasar apa Karantina Bangkalan menahan sapi kita. Kalau karena Riau kena wabah LSD, Gubernur Riau sudah mengeluarkan surat edaran yang dilarang itu sapi keluar dari Riau, bukan sapi masuk. Bahkan sapi bantuan yang sekarang tertahan itu akan kita masukan ke daerah yang tidak kena wabah, seperti Rokan Hilir (Rohil) dan Kuantan Singingi (Kuansing)," tutupnya. (INF)

BABI BELGIAN LANDRACE

Belgian Landrace, juga dikenal sebagai Belgian Lop-eared dan Improved Belgia, berasal dari Belgia utara pada akhir 1920-an. Tujuannya adalah untuk memperbaiki babi Landrace asli yang pendek dan gemuk tanpa banyak otot. Landrace Jerman (yang juga mengandung genetika British Large White) diimpor dan disilangkan dengan Landrace asli pada 1930-an. Persilangan lebih lanjut dilakukan dengan breed tambahan untuk meningkatkan karakteristiknya.

Landrace Belgia digambarkan sebagai babi putih yang kuat dan berotot dengan telinga yang jatuh. Tubuhnya memanjang, dan punggungnya cukup besar dan agak membulat. Bagian belakang sangat berotot, dan kakinya pendek dan padat.

Belgian Landrace memiliki kesuburan tinggi, menghasilkan 10-12 anak babi per litter dan dapat menghasilkan hingga 7 litter seumur hidup mereka. Babi betina menjadi induk yang baik dan menghasilkan susu dalam jumlah besar.

Belgian Landraces memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah, tetapi daging yang dihasilkan memiliki persentase daging tanpa lemak yang tinggi. Mereka sensitif terhadap perubahan lingkungan tetapi beradaptasi dengan baik dengan unit dalam ruangan.

Foto: wikipedia

BABI BELARUS BLACK PIED

Babi ini berasal dari Minsk yang merupakan ibu kota Belarusia, bekas anggota Uni Soviet. Adalah hasil persilangan babi Belarusia asli dengan Large Whites, Large Blacks, Middle Whites dan Berkshires pada abad ke-19.

Ini adalah jenis berukuran sedang dengan bulu putih yang sebagian besar tertutup bintik-bintik hitam. Tubuh lebar dan dalam, dan bagian belakang tubuh relatif lurus. Kepalanya lurus, telinganya berukuran sedang, dan moncongnya berwarna merah muda cerah.

Babi Belarus Black Pied adalah jenis yang tumbuh cepat dan induknya menghasilkan hingga 2 litter per tahun sekitar 10-12 anak babi per litter. Mereka beradaptasi dengan berbagai iklim dan tahan terhadap lingkungan yang penuh tekanan. Mereka juga cukup tahan terhadap penyakit.

Dibiakkan untuk daging dan lemak babi. Kehilangan popularitas setelah tahun 1950-an ketika permintaan daging tanpa lemak mulai meningkat.

Foto: wikipedia

BABI BEIJING BLACK

Beijing Black, juga dikenal sebagai Peking Black, berasal dari Cina. Beijing Black diproduksi pada tahun 1962 dengan menyilangkan babi Berkshire dengan keturunan babi asli Cina. Kemudian Yorkshires dan Soviet Whites juga dimasukkan dalam pembiakan. Beijing Black adalah ras sedang hingga besar yang secara fisik kuat dan kokoh.

Trah ini didominasi warna hitam, dengan beberapa tanda putih. Moncong mereka khas, dengan bagian luar yang fleksibel dan bagian dalam yang menempel kuat ke kepala melalui pelat pelindung yang keras, memberi mereka kemampuan mencari makan yang unggul. Mereka sangat kuat dan mudah beradaptasi, membuatnya sangat cocok untuk kondisi pertanian intensif.

Beijing Black memiliki tingkat perkembangbiakan yang tinggi, dengan induk babi menghasilkan 6-10 anak babi per litter dan 2-3 liter per tahun. Mereka adalah babi dengan efisiensi pakan yang tinggi. Jenis yang populer, dibudidayakan secara ekstensif untuk dagingnya di seluruh China dan Asia Tenggara.

Foto: wikipedia

BABI BAZNA

Babi Bazna awalnya diproduksi di Transylvania tengah, Rumania pada tahun 1972 dari persilangan Berkshires dan Mangalitsas. Babi Bazna lebih ditingkatkan antara tahun 1885 dan 1900 dengan menyilangkan babi jantan Berkshire (diimpor dari Inggris) dengan babi betina. Setelah itu, perbaikan telah dilakukan dengan membiakkan Baznas dengan breed Yorkshire, Sattelschwein, Wessex dan Hampshire. Bazna sekarang lebih tersebar luas di sekitar wilayah Transylvania lainnya.

Bazna berwarna hitam dengan sabuk putih (lebar 30 sampai 40 cm) yang mengelilingi tubuh, mulai dari bahu hingga kaki depan. Garis abu-abu terlihat jelas di mana warna hitam dan putih bertemu, menunjukkan bulu tidak berpigmen yang tumbuh melalui kulit berpigmen. Baznas adalah jenis berukuran sedang bertubuh kekar.

Kepala agak cekung, telinga berukuran sedang dan menghadap ke depan. Betina menghasilkan sekitar 9 anak babi sekali melahirkan.

Mereka dibesarkan secara lokal dan memiliki daging berlemak. Bazna belum dibudidayakan secara intensif dibandingkan dengan banyak breed lainnya, mereka tidak memiliki sifat yang sangat produktif.

Foto: fondazioneslowfood.com

BABI BAYEAUX

Juga dikenal sebagai Porc Bayeaux, breed ini berasal dari Normandia, Prancis disilangkan dari breed Normandia dan British Berkshire pada abad ke-19. Babi Bayeaux hampir mati karena invasi Normandia dalam Perang Dunia II tetapi beberapa peternak yang berkomitmen membuat mereka terus bertahan.

Warnanya putih dengan tanda hitam, jenis besar dengan berat sekitar 350 kg saat dewasa. Ia memiliki tubuh yang panjang dan lebar dengan kaki pendek, dan kepala serta moncong yang lebar dengan telinga yang kecil dan melengkung. Temperamennya tenang.

Ini terutama dibiakkan untuk daging pork karena merupakan jenis yang kuat yang tahan terhadap metode pertanian intensif. Babi Bayeaux berat badannya naik dengan cepat dan induk yang baik.

Foto: lespetitstresseaux.fr

AGAR AIR MINUM SENANTIASA AMAN

Ketersediaan dan kualitas air penting bagi kelangsungan hidup dan performa ayam. (Foto: Istimewa)

Konsumsi air minum ayam sebenarnya dapat menjadi indikasi kondisi kesehatan serta indikasi baik/buruknya manajemen pemeliharaan. Ketika konsumsi air minum menurun, maka harus segera dievaluasi kemungkinan penyebabnya. Banyak faktor yang dapat menyebabkan itu, misalnya ayam sedang terinfeksi suatu penyakit, kondisi lingkungan kandang terlalu dingin, jumlah dan distribusi tempat minum tidak merata, tempat minum kotor, kualitas air buruk terutama terlihat dari fisik air dan lain sebagainya.

Masalah Kuantitas dan Sumber Air Minum
Pada musim penghujan mungkin peternak akan menghadapi masalah yang sama terkait air minum, yakni kualitasnya. Seperti dirasakan peternak layer asal Tigaraksa, Rahmat Hidayat, kandangnya mengalami krisis kualitas air hingga harus mengakali air untuk kebutuhan minum ayamnya.

“Sebenarnya air ada, tetapi kualitasnya jelek, warnanya sangat keruh dan berbau lumpur menyengat. Dari sini saja kita sudah tau bagaimana kualitas kimiawinya, tentunya ini bukan air minum yang layak sekalipun untuk ayam,” tutur Rahmat.

Selama ini Rahmat harus menambah biaya dengan menambahkan beberapa substrat untuk memperbaiki kualitas air minum untuk ayamnya dan menjadi tambahan biaya produksi. Ia sendiri hanya bisa pasrah, karena sumber air di peternakannya berasal dari air permukaan (sungai) yang sewaktu-waktu bisa berubah kualitasnya karena perubahan musim.

Ketersediaan air sejatinya penting bagi kelangsungan hidup dan performa ayam. Air bisa didapat dari berbagai sumber, yang paling mudah misalnya berasal dari air permukaan (sungai, danau, rawa dan lain-lain).

Kendati demikian, dengan kondisi seperti sekarang maka pemanfaatan air sungai dalam aktivitas peternakan, baik sebagai air minum maupun proses pembersihan kandang dan peralatan sebaiknya… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2022. (CR)

BABI BA XUYEN

Babi Ba Xuyen berasal dari Vietnam dari persilangan antara babi Berkshire (diimpor dari Inggris dari tahun 1932-1958) dan babi Bo Xu (yang merupakan persilangan antara babi Craonnais dan babi Cina, diimpor oleh orang Prancis dan Cina antara tahun 1900 dan 1920). Mereka ditemukan di sepanjang Delta Sungai Mekong di mana mereka sangat beradaptasi dengan lingkungan air asin.

Ba Xuyen adalah jenis kecil, dengan berat sekitar 100 kg pada saat dewasa. Tubuh dan kaki pendek, pinggul lebar, dan perut besar. Wajahnya pendek dengan moncong sedikit melengkung dan telinga berukuran sedang menghadap ke depan.

Betina melahirkan hingga 3 kali setahun menghasilkan sekitar 8 anak babi per litter. Mereka mudah dilatih dan dijinakkan. Mereka memiliki indera penciuman yang kuat sehingga pandai mencabut makanan yang sulit ditemukan di rawa Delta Mekong. Babi Ba Xuyen sangat tahan terhadap penyakit.

Babi Ba Xuyen terutama diternakkan secara lokal untuk produksi daging. Mereka tidak diternakkan secara intensif karena ukuran litter dan laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan jenis lainnya. Mereka mudah dijinakkan dan umumnya dipelihara sebagai hewan peliharaan di Asia Tenggara. Mereka akan makan apa saja, jadi sebagian besar digunakan untuk membersihkan sisa makanan.

Foto: breedslist.com

BABI AUSTRALIAN YORKSHIRE

Jenis ini berasal dari Yorkshire, Inggris dan diperkenalkan ke Australia dan juga Amerika Utara.

Memiliki tubuh yang besar dengan bulu yang sangat halus dan punggung yang lurus. Baik babi jantan maupun babi betina beratnya bisa mencapai hingga 300 kg.

Babi Australian Yorkshire berwarna merah muda hingga putih. Telinganya tegak dan moncongnya panjang, ekornya pendek dan bengkok. Secara umum mudah dilatih dan merupakan jenis yang cerdas.

Dibudidayakan untuk daging berkualitas tinggi. Digunakan untuk bacon, daging tanpa lemak, dan ham.

Foto: wikipedia

BABI BASQUE

Babi Basque berasal dari Perancis dan Spanyol, dan cukup langka. Digunakan untuk memproduksi pork.

Tubuh, kepala dan anggota badannya kokoh. Bulunya halus berwarna pink hingga putih dengan bintik-bintik hitam besar. Kepala dan bokong umumnya berwarna hitam.

Telinganya besar dan melengkung ke depan di atas mata. Karakternya tenang, mereka umumnya berkembang biak dengan baik, memiliki berat sekitar 160 kg saat dewasa.

Foto: wikipedia

DITJEN PKH GELAR WEBINAR BUILDING INDONESIAN DAIRY INDUSTRY

Webinar Building Indonesian Dairy Industry. (Foto: Infovet/Sjamsirul)

Selasa (29/3), dimulai pukul 09:00 WIB, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, bersama US Dairy Industry’s Experience menggelar webinar “Building Indonesian Dairy Industry”.

Dalam sambutannya, Direktur Pemasaran dan Pengolahan Hasil Peternakan, Ditjen PKH, Tri Melasari, mengemukakan bahwa hambatan pengembangan sapi perah di Indonesia karena kepemilikan rata-rata hanya 2-3 ekor sapi perah/keluarga. 

“Dengan rata-rata produksi susu hanya 12 liter/ekor/hari. Selain itu, regenerasi peternak yang juga berjalan lambat,” kata Tri.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah telah membuat pilot project sapi perah di Pasuruan, Jawa Timur sebagai percontohan bagi generasi milenial.

“Juga dirintis untuk mempelajari pengalaman pemeliharaan sapi perah peternak di Amerika Serikat dengan bentuk berbagai kerja sama,” tambahnya.

Dalam webinar tersebut turut menghadirkan narasumber diantaranya DR Sophie Eaglen PhD (National Association of Animal Breeders Inc), Paul Thomas (American Breeders Service), Sidney Anders (American Jersey Cattle Association), Timothy Anderson (Wisconsin Departement of Agriculture Trade and Consumer Protection) dan DR Deddy Fachruddin Kurniawan DVM (Dairy Pro Indonesia), dengan moderator Epi Taufik SPt MVPH MSi IPM PhD. (SA)

MENGENAL BIOFILM: WUJUD GAYA HIDUP BAKTERIA

Bakteria secara umum mampu mengekspresikan dua bentuk fenotip yang terkait dengan gaya hidupnya (life style), yaitu Planktonic phenotype dan Biofilm phenotype. Bisa terjadi baik secara in-vitro (air, tanah) maupun secara in-vivo (dalam tubuh induk semang).

Gaya hidup ternyata tidak hanya dijumpai dalam peradaban umat manusia, tetapi juga dalam dunia bakteria. Tulisan ini berusaha meneropong satu gaya hidup bakteria dalam wujud biofilm yang menjadi sumber kontaminasi mikroba patogen dalam sistem distribusi air minum ayam modern.

Seyogianya, pasca pakan non-AGP (Antibiotic Growth Promoter) cemaran mikroba patogen bagi ayam modern, termasuk via air minum, secara holistik harus direduksi semaksimal mungkin, dengan demikian performa akhir tetap optimal dan stabil.

Kenangan tentang Bakteria
Bakteria adalah mikroorganisme prokariotik (tidak mempunyai membran inti sel), dengan ukuran berkisar 0,5-5,0 µm dan berbentuk bacili, cocci, spirilia atau seperti koil. Kebanyakan bakteria berada dalam rupa sel-sel tunggal, tapi ada juga yang cenderung berada dalam kelompok, misalnya streptococcus berbentuk seperti rantai atau staphylococcus akan tampak seperti serumpun buah anggur (Hermans et al., 2010; Timoney, 2010).

Selain secara in-vivo (di dalam tubuh induk semang), bakteria juga mampu untuk berkembang biak secara in-vitro (di luar tubuh induk semang), selama kondisi media atau substrat ideal dan cukup nutrisi yang dibutuhkan (Garret et al., 2008).

Hans Christian Gram pada 1884, membagi bakteria menjadi dua kelompok besar berdasarkan teknik pewarnaan yang ditemukannya. Dengan pewarnaan gram, dinding sel bakteria gram positif yang kaya akan senyawa peptidoglikan dan lipoprotein akan menyerap warna biru-keunguan, sedangkan dinding sel bakteria gram negatif yang terdiri dari peptidoglikan dan lipopolisakarida (LPS) akan menyerap warna merah jambu.

Perbedaan komposisi kimiawi dinding sel juga yang menyebabkan perbedaan sensitivitas bakteria terhadap sediaan antimikroba maupun preparat logam berat seperti perak (Ag) dan tembaga alias Cu (Azam et al., 2012; Chernousova et al., 2013).

Gaya Hidup dan Biofilm
Secara alamiah, baik in-vivo maupun in-vitro, bakteria mengekspresikan dua buah bentuk fenotip yang terkait erat dengan model gaya hidupnya yang saling berlawanan satu sama lain (Hall-Stoodley et al., 2004; Römling, 2005; Garret et al., 2008), yaitu:… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2022.

Ditulis oleh:
Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

PELATIHAN PJTOH ANGKATAN XXIII SUKSES DIGELAR VIRTUAL

Pelatihan PJTOH angkatan XXIII dibuka oleh Dirkeswan Dr Drh Nuryani Zainudin MSi, Rabu (23/3). (Foto: Dok. ASOHI)


JAKARTA, 23-24 Maret 2022. Melalui fasilitas zoom meeting, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali melaksanakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH) angkatan XXIII mengingat situasi pandemi COVID-19 yang belum usai.

Drh Forlin Tinora selaku Ketua Panitia dalam laporannya menyampaikan, dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan bagi Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan, ASOHI bekerja sama dengan Direktorat Kesehatan Hewan secara berkesinambungan melaksanakan Pelatihan PJTOH Bersertifikat dimana saat ini sudah mencapai angkatan XXIII.

Adapun materi pelatihan PJTOH secara garis besar tidak berubah, meliputi tiga bagian yaitu materi tentang perundang-undangan, materi kajian teknis (biologik, farmasetik feed additive, feed supplement, obat alami) dan materi tentang pemahaman organisasi dan etika profesi.

“Untuk ini kami menghadirkan pihak-pihak yang kompeten untuk menjadi narasumber yaitu Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Pakan, BBPMSOH (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan), Komisi Obat Hewan (KOH), Tim CPOHB (Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik), PB PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia), Pusat Karantina Hewan, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), Ketua Umum ASOHI, beserta Ketua Bidang Peredaran Obat Hewan-ASOHI,” jelas Forlin.

Ia menambahkan, hingga tahun ini minat dokter hewan dan apoteker untuk mengikuti acara pelatihan PJTOH masih cukup tinggi. Peserta angkatan XXIII mencapai 100 orang dari perusahaan obat hewan dan pakan dari berbagai daerah. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran perusahaan dan para penanggungjawab teknis obat hewan/calon penanggungjawab teknis obat hewan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai tugas dan tanggung jawabnya.

Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, dalam sambutannya menjelaskan tugas dari PJTOH. “Yakni memberikan informasi peraturan perundangan bidang obat hewan; memberikan saran dan pertimbangan teknis mengenai jenis obat hewan yang akan diproduksi/diimpor; menolak produksi, penyediaan, peredaran dan repacking obat hewan ilegal; serta menolak peredaran dan repacking obat hewan yang belum mendapat nomor pendaftaran.”

Sementara PJTOH di pabrik pakan, ia menambahkan, memiliki tugas penting menolak penggunaan bahan baku atau obat hewan jadi yang dilarang dicampur dalam pakan ternak dan menyetujui penggunaan bahan baku obat hewan jadi yang dicampur dalam pakan yang memenuhi syarat mutu atau menolak apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang obat hewan.

“Selain pelatihan PJTOH tingkat dasar ini, ASOHI merencanakan akan menyelenggarakan Pelatihan PJTOH Tingkat Lanjutan (advance). Pelatihan PJTOH tingkat lanjutan akan membahas topik-topik yang lebih mendalam, sehingga ilmu yang diperoleh dari pelatihan tingkat dasar ini akan terus berkembang dan bermanfaat sesuai perkembangan zaman,” tukasnya.

Pada hari pertama pelatihan, pembicara pertama diisi oleh Direktur Kesehatan Hewan, Dr Drh Nuryani Zainuddin MSi, yang menyampaikan paparan berjudul Sistem Kesehatan Hewan Nasional. Kemudian dilanjutkan paparan dari Koordinator Substansi Pengawasan Obat Hewan, Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD, yang menyampaikan update seputar peraturan terbaru terkait obat hewan.

Pelatihan PJTOH Angkatan XXIII sangat dirasakan manfaatnya oleh peserta untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, khususnya dalam menjalankan tugas sebagai penanggung jawab teknis obat hewan. (WK)

PENYAKIT TERNAK SAPI LUMPY SKIN DISEASE (LSD)

Lumpy Skin Disease (LSD) adalah penyakit pada ternak sapi yang disebabkan oleh virus dari famili Poxviridae genus Capripoxvirus. Virus ini dapat bertahan lama di lingkungan, terutama saat berada dalam keropeng kulit yang mengering. Penularan Virus LSD paling utama disebarkan oleh vektor serangga berupa nyamuk, lalat dan kutu. Tingkat kejadian penyakit (morbiditas) berkisar pada 10-20% sedangkan tingkat kematian (mortalitas) pada rentang 1-5%.

Penulis: drh Muhammad Munawaroh, MM

Penyakit ini tergolong sebagai Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan I serta Penyakit Hewan Menular Strategis yang belum ada di Indonesia. Namun, pada awal Tahun 2022 penyakit ini sudah terdeteksi pada ternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu kemudian menyebar ke Kabupaten lainnya di Provinsi Riau. Kejadian penyakit ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat peternak, serta dapat mengganggu target pencapaian program Pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi dalam negeri apabila semakin meluas penyebarannya ke Provinsi lain di Indonesia. Meski dalam hal ini, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah memberikan bantuan vaksin ke Provinsi Riau sebagai langkah pengendalian penyakit.

Sampai dengan saat ini, belum ada kejelasan mengenai asal mula terbawanya penyakit LSD tersebut ke dalam negeri. Pemerintah memiliki instrumen Badan Karantina Pertanian di Kementerian Pertanian yang memiliki tugas dan fungsi untuk mencegah masuknya penyakit dari luar negeri sesuai dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Informasi yang berkembang, LSD masuk ke Indonesia di Provinsi Riau diduga akibat adanya vektor yang terbawa oleh moda transportasi dari luar negeri ke Provinsi Riau. Berdasarkan peta penyebaran penyakit hewan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (WAHIS-OIE, 2022), pada Tahun 2021 Thailand yang berbatasan darat langsung dengan Malaysia telah terkonfirmasi mengalami wabah LSD pada ternak sapi terlebih dahulu. 

Pencegahan terhadap masuknya penyakit hewan dari luar negeri harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah. Perlu diketahui bahwa penyakit menular pada manusia 70% berasal dari penyakit hewan (Zoonosis). Sementara penyakit hewan yang tidak bersifat Zoonosis mampu menimbulkan kerugian yang besar secara ekonomi. Pemerintah harus bertindak strategis dan progresif dalam mencegah dan mengantisipasi masuknya penyakit hewan dari luar negeri karena hal ini dapat mengancam ketersediaan dan pemenuhan pangan hewani yang aman sehat utuh dan halal bagi rakyat. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang pernah terjadi di Indonesia pada masa lampau dan telah berhasil dieradikasi, jangan sampai masuk kembali dan menambah beban anggaran Pemerintah untuk melakukan pemberantasan. Badan Karantina Pertanian harus fokus dan benar-benar melakukan penyelenggaraan karantina berbasis analisis risiko melalui sinergi yang menyeluruh dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan serta instansi daerah dalam memastikan perlindungan dari serangan penyakit hewan dari luar negeri dijalankan sebagaimana mestinya.

Pendekatan ”One Health” harus dilaksanakan secara konkret dan masif oleh Pemerintah. Pelibatan banyak pihak dalam pengendalian COVID-19 dapat menjadi contoh bagi pengendalian penyakit hewan.

 Pustaka:

  1. OIE 2022
  2. UU No 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer