-->

PENYAKIT TERNAK SAPI LUMPY SKIN DISEASE (LSD)

Lumpy Skin Disease (LSD) adalah penyakit pada ternak sapi yang disebabkan oleh virus dari famili Poxviridae genus Capripoxvirus. Virus ini dapat bertahan lama di lingkungan, terutama saat berada dalam keropeng kulit yang mengering. Penularan Virus LSD paling utama disebarkan oleh vektor serangga berupa nyamuk, lalat dan kutu. Tingkat kejadian penyakit (morbiditas) berkisar pada 10-20% sedangkan tingkat kematian (mortalitas) pada rentang 1-5%.

Penulis: drh Muhammad Munawaroh, MM

Penyakit ini tergolong sebagai Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan I serta Penyakit Hewan Menular Strategis yang belum ada di Indonesia. Namun, pada awal Tahun 2022 penyakit ini sudah terdeteksi pada ternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu kemudian menyebar ke Kabupaten lainnya di Provinsi Riau. Kejadian penyakit ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat peternak, serta dapat mengganggu target pencapaian program Pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi dalam negeri apabila semakin meluas penyebarannya ke Provinsi lain di Indonesia. Meski dalam hal ini, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah memberikan bantuan vaksin ke Provinsi Riau sebagai langkah pengendalian penyakit.

Sampai dengan saat ini, belum ada kejelasan mengenai asal mula terbawanya penyakit LSD tersebut ke dalam negeri. Pemerintah memiliki instrumen Badan Karantina Pertanian di Kementerian Pertanian yang memiliki tugas dan fungsi untuk mencegah masuknya penyakit dari luar negeri sesuai dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Informasi yang berkembang, LSD masuk ke Indonesia di Provinsi Riau diduga akibat adanya vektor yang terbawa oleh moda transportasi dari luar negeri ke Provinsi Riau. Berdasarkan peta penyebaran penyakit hewan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (WAHIS-OIE, 2022), pada Tahun 2021 Thailand yang berbatasan darat langsung dengan Malaysia telah terkonfirmasi mengalami wabah LSD pada ternak sapi terlebih dahulu. 

Pencegahan terhadap masuknya penyakit hewan dari luar negeri harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah. Perlu diketahui bahwa penyakit menular pada manusia 70% berasal dari penyakit hewan (Zoonosis). Sementara penyakit hewan yang tidak bersifat Zoonosis mampu menimbulkan kerugian yang besar secara ekonomi. Pemerintah harus bertindak strategis dan progresif dalam mencegah dan mengantisipasi masuknya penyakit hewan dari luar negeri karena hal ini dapat mengancam ketersediaan dan pemenuhan pangan hewani yang aman sehat utuh dan halal bagi rakyat. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang pernah terjadi di Indonesia pada masa lampau dan telah berhasil dieradikasi, jangan sampai masuk kembali dan menambah beban anggaran Pemerintah untuk melakukan pemberantasan. Badan Karantina Pertanian harus fokus dan benar-benar melakukan penyelenggaraan karantina berbasis analisis risiko melalui sinergi yang menyeluruh dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan serta instansi daerah dalam memastikan perlindungan dari serangan penyakit hewan dari luar negeri dijalankan sebagaimana mestinya.

Pendekatan ”One Health” harus dilaksanakan secara konkret dan masif oleh Pemerintah. Pelibatan banyak pihak dalam pengendalian COVID-19 dapat menjadi contoh bagi pengendalian penyakit hewan.

 Pustaka:

  1. OIE 2022
  2. UU No 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer