-->

MENILIK UNTUNG - RUGI PASCA PELARANGAN AGP

Setahun berlalu sejak terbitnya Permentan No.17/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Salah satu poin dalam peraturan tersebut yakni dilarangnya Antibiotic Growth Promoter (AGP) ke dalam pakan ternak.  Banyak hal yang terjadi di lapangan, baik dalam hal teknis maupun dari segi bisnis. Apa saja perkembangan yang terjadi sejak pelarangan tersebut?.

Permentan no 14/2017 bisa dikatakan sebagai Permentan yang paling menghebohkan di jagat peternakan nasional. Judul Permentan tampak sederhana “ Klasifikasi Obat Hewan”. Sekilas terkesan sekedar sebuah aturan penggolongan saja yang hanya berdampak pada pengelompokan dalam bidang keilmuan. Namun di dalamnya ada pasal yang membuat industri obat hewan, pakan  dan budidaya perunggasan harus melakukan perubahan yang signifikan. Tak heran jika proses penerbitan peraturan ini membutuhkan diskusi yang cukup panjang dan alot. Utamanya pada poin pelarangan AGP di dalam pakan.

Ketika dikonfirmasi oleh Infovet, Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh. I Ketut Diarmite mengatakan bahwa pemerintah mengambil langkah tersebut untuk melindungi hewan, masyarakat, dan lingkungan. “Penggunaan antibiotik sebagai growth promoter memang kita stop, tapi untuk medikasi masih boleh,” tukas Ketut.

Ia melanjutkan, menurut beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para ahli baik di dalam dan luar negeri penggunaan AGP dapat memacu resistensi antimikroba pada ternak selain dan menimbulkan efek residu pada produk peternakan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.“Intinya peraturan ini juga sudah diaturdi Undang –Undang peternakan dan pemerintah berniat pula menjalankan amanat itu,” tutur Ketut.  

Ketut juga menyadari bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah sudah barang tentu akan menimbulkan pro dan kontra di dunia peternakan Indonesia khususnya unggas karena AGP paling banyak digunakan didalam pakan unggas, oleh karenanya ia selalu berusaha untuk terbuka, mendekatkan diri, berdiskusi dan menerima saran serta kritikan yang konstruktif dalam menanggapi permasalahan ini.

Kekhawatiran Akan Performa Ternak

Menyoroti pelarangan AGP tersebut, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) Drh. Desianto Budi Utomo berpendapat bahwa fine – fine saja melarang AGP tetapi harus berdasarkan kajian yang mendalam. “Maksud saya begini, Indonesia lain dari negara – negara barat sana, kita ini negara beriklim tropis, tahu sendiri lah bagaimana risikonya tinggal di negara tropis,” pungkasnya. Negara dengan iklim tropis kata Desianto, berisiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksius karena iklim tropis mendukung mikroorganisme untuk tumbuh.

Ia melanjutkan bahwa para integrator besar bisa saja menyiasati penggunaan antibiotik karena teknologi dan manajemen yang lebih modern dan canggih, namun bagaimana dengan para peternak kecil yang mungkin akan kerepotan karena masih menggunakan cara tradisional. “Pelarangan AGP ini kan bukan cuma soal medis, tapi ada dampak di sisi non-medisnya, ekonomi misalnya, kan jadi nambah cost pemeliharaan, apakah pemerintah berpikir sampai kesitu?,” kata Desianto.

Selain itu, Desianto berujar bahwa pemerintah juga tidak boleh hanya melarang saja, tetapi juga harus ikut berperan mengawasi pelarangan AGP ini. “Saya berharap pemerintah aktif melakukan pengawasan, bisa saja nanti ada pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab karena merasa tidak diawasi dia tetap pakai AGP, sementara yang lain tidak pakai, kan tidak fair. Intinya jangan sampai kebijakan yang diambil menimbulkan masalah baru,” tutur Desianto.

Sejak jauh hari, GPMT telah melakukan riset mengenai hal tersebut, hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 1. di bawah ini :

Tabel 1. Hasil trial penggunaan AGP dan non AGP pada broiler

(Sumber : GPMT, 2017)


Dari data dapat disimpulkan bahwa penurunan performa akan terjadi ketika penggunaan AGP distop. Ternyata kekhawatiran akan penurunan performa terbayar kontan, beberapa peternak unggas baik broiler dan layer di seluruh Indonesia mengeluhkan kebijakan tersebut. Seperti yang dikeluhkan Wahidin, peternak broiler asal Demak, Jawa Tengah. Sejak menggunakan pakan non-AGP, ayam – ayam di kandangnya tumbuh lebih lambat dan sering sakit. “Berkali – kali kena nyekrek (ngorok) Mas, sudah dua periode begini, sudah gitu lebh lambat naik bobot badannya,” Kata Wahidin.

Hal yang serupa dirasakan oleh beberapa peternak layer di Jawa Timur, sejak dilarangnya AGP performa produksi dari ayam – ayam petelur menurun. Selain itu ayam juga rentan sakit. Penurunan performa kemudian berimbas pada harga telur yang sempat naik dan menjadi pemberitaan di media – media mainstream beberapa waktu yang lalu, dilarangnya AGP ditengarai menjadi biang keladi dari semua persoalan tersebut.

Mencari Solusi Kesana-Kemari

Sebenarnya jauh hari sebelum AGP dilarang di Indonesia, berbagai subtituen pengganti AGP telah banyak ditemukan dan digunakan di seluruh dunia. Misalnya saja herbal, enzim, probiotik & prebiotik, asam organik, essential oil dan bahkan bateriofag. Namun begitu, tetap saja dari segi performa bisa dibilang tidak sebaik AGP. Selain itu, faktor cost menjadi pertimbangan lain yang membuat para formulator di pabrik pakan harus lebih sering memutar otak. Pasalnya harga subtituen AGP jauh lebih mahal daripada AGP.

Intan Mustika Herfiana formulator PT. Agrosari Nusantara telah mengujicoba beberapa jenis produk subtituen AGP dalam formulanya, menurutnya hasil yang didapat memang belum bisa sebaik AGP. “Misalnya probiotik, ketika saya pakai itu hasilnya bias. Ketika saya coba di kandang closed house hasilnya bagus, tetapi ketika saya coba di kandang tradisional hasilnya lebih sering kurang bagus, jadi bingung sendiri karena sebenarnya ini faktor kandang atau faktor AGP-nya?,” pungkas wanita yang akrab disapa Ika tersebut.

Closed house atau sistem kandang tertutup juga bisa dibilang solusi dalam meningkatkan performa. Hal tersebut karena di dalam closed house, peternak dapat mengontrol semua parameter seperti suhu, iklim, pencahayaan, kelembapan dna lain sebagainya sehingga performa ayam tetap baik. Namun sayang, pembangunan closed house memakan biaya yang besar dan peternak – peternak tradisional sulit menjangkaunya, terlebih lagi dengan harga ayam yang sangat fluktuatif. Mereka masih berpikir keras untuk mendirikan closed house, apalagi kalau – kalu ditengah jalan tiba-tiba harga ayam turun, selain keuntungan mereka berkurang, beban tanggungan mereka akan bertambah karena cicilan pembangunan closed house.

Solusi lain dalam mengakali performa adalah peningkatan biosekuriti di dalam peternakan. FAO ECTAD Indonesia beberapa tahun belakangan gencar dalam mengampanyekan konsep biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut. Padahal penerapan biosekuriti adalah suatu kewajiban dalam peternakan khususnya unggas.

“Kami dalam beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred. Ia mengakui bahwa usaha yang dilakukan timnya tidak mudah dan cukup alot, namun begitu beberapa peternak yang menyadari akan pentingnya biosekuriti secara perlahan tapi pasti mulai mengadopsi konsep yang lantang digaungkan oleh FAO.

“Beberapa peternak di Jawa Tengah, Lampung, dan daerah lainnya sudah mengadopsi. Dari yang sederhana sampai cukup mewah, yang ingin kita sampaikan pada peternak adalah biosekuriti itu wajib dan tidak harus yang mewah / mahal. Ada kok di Ungaran sana peternak yang biosekuriti tiga zonanya sederhana banget, tapi performa ternaknya tetap stabil,” pungkas Alfred.

Ketika ditanya mengenai sisi ekonomi dari penerapan biosekuriti, Alfred menjabarkan lebh jauh hal tersebut. Ia mencontohkan misalnya pada peternakan layer, imbas dari penerapan biosekuriti tiga zona selain menaikkan performa, produk yang dihasilkan juga jadi punya added value. “Di Lampung kami bekerja sama dengan Dinas setempat agar peternak yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona direkomendasikan untuk mendapatkan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sertifikat ini adalah jaminan bahwa produk yang dihasilkan sudah aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Produk yang ber-NKV ini juga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi ketimbang produk biasa,” tukas Alfred. Jadi dengan memiliki NKV, selain dapat dijual di pasar becek, peternak juga punya kesempatan agar produknya dapat dijual ke modern market sehingga walaupun ada cost untuk investasi biosekuriti adapula output yang dihasilkan.Walaupun begitu nampaknya Alfred dan timnya masih harus berjuang lebih keras karena konsep sebaik itupun masih sulit diterima oleh peternak, karena masih banyak peternak enggan mengeluarkan cost lebih.


Dampak Sisi Bisnis Obat Hewan

Ketika banyak pihak yang khawatir dengan pelarangan AGP. Dampak buruk terhadap performa rupanya telah banyak yang memikirkan matang - matang. Beberapa perusahaan obat hewan sudah melakukan antisipasi terhadap pelarangan ini sehingga ketika pelarangan diberlakukan mereka sudah menyiapkan produk substitusinya.

Seorang narasumber Infovet di sebuah perusahaan obat hewan multinasional mengatakan, ketika ada isu yang berhembus tentang terbitnya peraturan baru tersebut dari jauh hari, pihaknya langsung mempelajari isinya dan memberikan informasi ke pihak mitra di luar negeri bahwa di dalam peraturan baru tadi ada pasal yang menyebutkan bahwa AGP akan dilarang di Indonesia.

Informasi ini sangat berharga bagi perusahaan tersebut, mereka kemudian melakukan sejumlah riset agar bisa meluncurkan produk pengganti AGP. Tahun 2018 ketika pelarangan diberlakukan, perusahaan ini sudah siap melakukan registrasi produk baru. Ini adalah contoh bagus dimana perusahaan harus mencermati perkembangan peraturan di Indonesia dan melakukan antisipasi atas rencana pemerintah dalam memberlakukan peraturan baru.

Banyak pihak mengatakan Indonesia belum siap untuk memberlakukan pelarangan AGP, namun sebenarnya kalau dihitung sejak terbit UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2009, berarti ada waktu 8 tahun untuk persiapan pelarangan AGP, karena pelarangan baru diberlakukan Januari 2018 melalui Permentan tahun 2017. Mungkin ada yang mengira bahwa pelarangan AGP tidak akan “secepat“ ini karena beberapa negara lain juga belum memberlakukannya. Sejak pelarangan AGP diberlakukan awal tahun 2018, beberapa perkembangan dalam industri peternakan di sektor hulu dan hilir terjadi.

Seperti yang disebutkan tadi di atas, dilarangnya AGP memunculkan banyak produk baru sebagai pengganti. Produk-produk yang beredar di pasaran sebagai pengganti AGP adalah sediaan alami (jejamu), probiotik, prebiotik, enzim,  asam organic (acidifier) dan lain sebagainya. Data  Direktorat Kesehatan Hewan menunjukkan, sebelum tahun 2017 terdapat 294 produk imbuhan pakan dalam kategori non AGP.

Selanjutnya tahun 2017 terjadi banyak penambahan registrasi baru produk pengganti AGP, yaitu 21 produk enzim, sediaan alami dan acidifier. Terdapat pendaftaran 31 produk yang semula indikasinya sebagai feed additive (sebagai AGP), berubah indikasi menjadi kategori farmasetik (kuratif). Perubahan ini dalam istilah registrasi obat hewan dikenal dengan istilah perubahan “F ke P”. Selain itu ada juga pendaftaran 3 produk vaksin Koksidiosis, yang semula (sebelum pelarangan AGP), produk ini belum populer.

Direktur Kesehatan Hewan Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, tidak perlu khawatir dengan pelarangan AGP karena produk penggantinya sudah cukup banyak, dan terus bertambah. Data terbaru (2018) dari Ditkeswan menunjukkan, saat ini sudah ada 104 jenis enzim yang sudah mendapat nomor registrasi, 66 produk kategori asam organik,  85 produk probiotik dan prebiotik,  dan 36 produk obat alami. Sebagaimana terlihat pada diagram 1 di bawah ini :

Diagram 1 Produk pengganti AGP yang terdaftar di DItjen PKH
 
(Sumber : Direktorat Kesehatan Hewan, 2018)
 
Market Obat Hewan Melonjak

Ternyata Dilarangnya AGP juga menyebabkan market obat hewan yang beredar meningkat tajam. Data yang dirilis ASOHI pada acara Seminar Nasional Bisnis Peternakan yang berlangsung akhir 2018 lalu menyebutkan, nilai market obat hewan golongan feed additive dan feed supplement tahun 2018 diperkirakan sebesar Rp 8,5 triliun , meningkat 75% dibanding tahun 2017 sebesar  Rp 4,8 triliun. Baru pertama dalam sejarah, pertumbuhan market obat hewan sebesar itu. Datanya sebagaimana terlihat dalam Tabel 2., Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 2. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2017



 Tabel 3. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2018






                                                     
(Sumber : ASOHI, 2018)

ASOHI juga menyebut, secara total market  obat hewan tahun 2018 sebesar Rp 13,8 triliun, naik 65% dibanding tahun 2017 sebesar Rp 8,4 triliun. Penyebab kenaikan tinggi (melebihi pertumbuhan populasi) ini disebabkan oleh peningkatan revisi data populasi,  adanya pelarangan AGP yang menyebabkan biaya pakan meningkat, serta adanya pelemahan kurs rupiah sehingga harga obat hewan naik.

Walaupun banyak menuai kontroversi pada awal diberlakukannya kebijakan pelarangan AGP, namun ada dampak yang cukup signifikan dari sisi ekonomi. Namun begitu, penerapan pelarangan AGP masih perlu dibenahi, misalnya saja meningkatkan kesadaran peternak terhadap resistensi dan residu antimikroba yang tidak hanya membahayakan hewan, tetapi juga manusia dan lingkungan.

Pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya juga tidak boleh abai dengan peternak, mereka juga tetap harus didampingi, diawasi dan dibina. Jangan hanya menikmati keuntungan saja akibat naiknya nilai market obat hewan, adalah kewajiban bagi semua stakeholder dalam berkontribusi memajukan sektor peternakan di Indonesia (CR)

MASUKNYA AYAM IMPOR BRASIL, CEDERAI PETERNAKAN DALAM NEGERI




Salah satu peternakan mandiri di kawasan Bekasi (Foto: Istimewa)

Menyusul protes di kalangan peternak mandiri ayam ras dalam negeri mengenai potensi impor ayam ras dari Brasil yang dilayangkan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman tertanggal 17 Juli lalu, ternyata Indonesia harus menerima kenyataan pedih.

Potensi masuknya ayam impor dari Brasil, dinilai Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko, tidak hanya mencederai peternakan mandiri dalam negeri, tetapi juga industri perunggasan secara luas. Persaingan dengan produk impor pun disebut bisa mengancam jutaan pekerja di sektor tersebut.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyebutkan Indonesia melanggar empat gugatan Brasil mengenai importasi ayam ras.

Adapun empat pelanggaran yang termaktub dalam laporan panel yang diadopsi Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) pada 22 November 2017 itu mencakup pelanggaran aturan mengenai kesehatan, pelaporan realisasi mingguan importir, larangan perubahan jumlah produk, serta penundaan penerbitan sertifikat kesehatan.

“Ini menandai bahwa langkah pemerintah Indonesia untuk menahan masuknya daging ayam impor semakin berat,” tulis Singgih Januratmoko dalam surat yang ditujukan ke Mentan

Berangkat dari pertimbangan dan potensi dampak tersebut, Singgih bersama Pinsar mendesak pemerintah mengambil berbagai upaya agar impor tak terjadi.

Dewan Pembina Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Sigit Prabowo menyatakan potensi masuknya impor ayam ras dari negara lain merupakan suatu yang tak bisa dihindari menyusul kekalahan Indonesia atas gugatan yang diajukan Brasil di WTO. Melihat hal ini, Sigit menilai perlu ada kerja bersama antara industri dan peternak mandiri untuk membangun gerakan efisiensi nasional.

 “Indonesia jelas sudah dua kali kalah di WTO, secara otomatis kita tidak bisa menghindari keputusan itu. Mau tidak mau ayam impor bisa masuk dan bersaing secara kompetitif,” ujarnya.

Sigit menyebutkan harga jagung yang masih mahal dan imbasnya ke harga pakan merupakan salah satu faktor utama yang mengakibatkan produksi ayam ras dalam negeri tak bisa se-efisien ayam impor. Hal ini diikuti pula dengan harga bibit ayam/DOC yang mahal.

“Mereka punya pabrik pakan sendiri, breeding sendiri. Jadi tanpa mencari untung di penjualan broiler atau livebird mereka sudah untung di pakan,” tutup Sigit. (bisnis.com/INF)

AGAR AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN

Kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. (Foto: Dok. Infovet)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas, baik broiler maupun layer, dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar.

Ancaman Tak Terlihat
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh dimana saja dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan bagi mereka (lembab). Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, seperti jagung dan kacang kedelai. Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase penggunaan jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia sangat tinggi. Jagung dapat digunakan sampai 50-60%, sedangkan kedelai bisa sampai 20%. Bayangkan ketika keduanya terkontaminasi mikotoksin?

Sayangnya, kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin pada 2017, menununjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat terkontaminasi Deoksinivalenol/DON (Vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi dengan FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai dari Amerika Selatan terkontaminasi DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan, apalagi pakan jadi, tentunya akan sangat merugikan, baik produsen pakan maupun peternak. Menurut Poultry Health Division PT Kerta Mulya Saripakan, Drh Jumintarto, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan. Namun mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan di lapangan.

Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain, misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk dan pertumbuhan yang tidak merata, juga kesuburan dan daya tetas telur yang menurun. “Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita tidak kepikiran seperti itu,” ujarnya.

Jumintarto juga menyarankan, agar setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan dan lain sebagainya. “Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek ada apa di dalam jaringan atau pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” jelas dia.

Manajemen Risiko, Wajib Hukumnya
Apa yang pertama kali terpikirkan ketika dihadapkan dengan mikotoksin? Pasti adalah toksin binder. Toksin binder memang sudah lama digunakan dalam industri pakan ternak. Berbagai macam... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019

PERAN MYCOTOXIN BINDER UNTUK PAKAN UNGGAS SEHAT PRODUKTIF

Mikotoksin dapat menyebabkan penurunan produksi yang cukup signifikan. (Foto: Dok. Infovet)

Pakan memiliki peranan penting dan strategis dalam bisnis peternakan termasuk dalam usaha peternakan unggas, sebab menyangkut kebutuhannya sebagai penunjang hidup pokok, pengganti sel dan pembentuk produk akhir (daging dan telur). Kebutuhan biaya pakan dalam budidaya unggas pun adalah yang paling besar, yakni mencapai 70%. Oleh karena itu diperlukan kualitas dan kuantitas pakan yang sangat baik, agar meraih hasil produksi yang optimal dan menguntungkan. Apabila pakan yang diberikan buruk, seperti tercemar jamur dan toksinnya, sudah pasti mengancam kualitasnya dan merugikan ternak serta peternaknya.

Seperti halnya Mikotoksikosis, penyakit keracunan yang disebabkan oleh mikotoksin, yaitu metabolit sekunder hasil metabolisme jamur yang tumbuh pada pakan unggas. Ada 300 jenis mikotoksin, namun yang banyak menyerang unggas dan berbahaya adalah aflatoksin, T-2 toksin, DON, zearalenon, fumonisin dan okratoksin, dimana bermacam jenis mikotoksin tersebut biasa ditemukan dalam bahan baku pakan (jagung, bekatul, kedelai) dengan jumlah/konsentrasi yang bervariasi. Di wilayah ASEAN, Indonesia yang beriklim tropis menduduki peringkat tertinggi dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji-bijian.

Jamur mudah tumbuh dimana saja, misal di tanah, materi organik yang membusuk dan jenis biji-bijian. Pada tanaman biji-bijian, kontaminasi jamur dapat terjadi selama penanaman, saat panen, selama tranportasi dan saat penyimpanan, dimana bahan baku pakan dengan kadar air lebih dari 14% yang disimpan pada suhu 10-42°C dengan kelembaban lebih dari 70% akan akan sangat mudah terkontaminasi jamur yang memicu produksi mikotoksin. Mikotoksin merupakan bahan kimia yang bersifat stabil dan mampu bertahan dalam jangka waktu lama, walaupun media yang menghasilkannya telah mati. Umumnya dijumpai dua atau lebih jenis mikotoksin pada satu jenis biji-bijian yang dipakai sebagai bahan baku pakan unggas dan menimbulkan efek toksik yang sangat berat.

Serangan mikotoksin pada unggas dipengaruhi berbagai faktor, antara lain jenis kelamin, umur, kondisi fisik, status nutrisi, kadar dan jenis mikotoksin, konsumsi pakan, lama serangan, manajemen peternakan dan infeksi penyakit lainnya. Pada ayam biasanya menderita penyakit ringan dan tidak spesifik, namun mikotoksikosis bersifat imunosupresif, disamping dapat memicu terjadinya berbagai penyakit.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, mikotoksikosis dibedakan menjadi dua,  mikotoksikosis akut dan mikotoksikosis kronis. Mikotoksikosis akut dimana kejadiannya cepat, fatal dan menimbulkan kerugian ekonomi besar yang akan mengganggu metabolisme lemak, sehingga terjadi timbunan lemak di hati (fatty liver syndrome). Sedangkan mikotoksikosis kronis, kejadiannya berlangsung lama dengan tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) rendah. Serangan mikotoksin dapat menurunkan ketersediaan... (SA)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

KEMENTAN KENDALIKAN FLU BURUNG, FAO BERI APRESIASI



James McGrane, Team Leader FAO ECTAD Indonesia dan I Ketut Diarmita (Foto: Humas Kementan) 

Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) yang telah berhasil dalam pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal sebagai Flu Burung (FB). Hal tersebut disampaikan oleh Stephen Rudgard, FAO Representative for Indonesia and Timor Leste melalui suratnya kepada I 
Ketut Diarmita, Dirjen PKH, Kementan, Jumat (19/07).

Penyakit AI atau FB adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza yang menyerang semua jenis unggas domestik termasuk ayam, bebek, dan burung puyuh, serta diketahui dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.

Flu burung merupakan salah satu dari 15 penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia (Zoonosis) prioritas untuk dikendalikan bagi Pemerintah. Indonesia tertular virus flu burung sejak tahun 2003 yang menyebar ke beberapa wilayah dalam beberapa tahun saja. Dalam rangka melindungi kesehatan manusia dan produksi ternak unggas di Indonesia, pemerintah gencar melakukan program pengandalian dan penanggulangan flu burung. Berdasarkan data Kementan, angka tahunan kasus FB turun dari 2751 pada tahun 2007 ke 476 pada tahun 2018.

Atas pencapaian dalam pengendalian dan penanggulangan FB tersebut, James McGrane, Team Leader FAO ECTAD Indonesia mewakili Stephen memberikan penghargaan kepada Ketut atas kepemimpinannya dalam pelaksanaan program.

"Sir, your leadership has inspired Indonesia to protect the community from zoonotic disease threats. Thank you for your great partnership!" Atau "Pak, kepemimpinan Anda telah menginspirasi Indonesia untuk melindungi masyarakat dari ancaman Zoonosis. Terima kasih atas kemitraan yang hebat!"


Demikian pernyataan Stephen dan James yang ditulis pada foto/lukisan yang diserahkan kepada Ketut. Pada kesempatan tersebut, FAO Indonesia melalui James juga menyerahkan surat pernyataan apresiasi yang senada untuk Dirjen PKH tersebut.

“FAO telah mendukung program Kementan dalam pengendalian dan penanggulangan FB sejak tahun 2006. Sepanjang kerjasama selama 13 tahun ini, kami mengapresiasi angka kasus penyakit flu burung yang terus menurun,” kata James.

Ketut mewakili Kementan juga menyampaikan apresiasinya kepada FAO atas kontribusinya dalam meningkatkan kapasitas pengendalian dan penanggulangan zoonosis, khususnya FB di Indonesia. 
Menurutnya, banyak keberhasilan yang telah diperoleh dalam kerangka kerjasama Pemerintah Indonesia-FAO dengan dukungan USAID ini.

Lanjut Ketut, pada saat ini pengendalian dititikberatkan pada peningkatan biosekuriti pada peternakan dan sertifikasi kompartemen bebasAI, dan pemantauan dinamika virus AI yang beredar di lapangan untuk tujuan produksi dan penggunaan vaksin yang efektif dalam melindungi peternakan.

"Implementasi strategi ini berhasil menekan kasus flu burung di peternakan rakyat, juga memberikan sertifikasi kompartemen bebas AI bagi peternakan komersial. Keberhasilan sertifikasi tersebut membuat produk unggas Indonesia dapat diekspor ke beberapa negara," pungkasnya. (Rilis/INF)

INDONESIA SIAP TEMPUR HADAPI FALL ARMYWORM

Jagung merupakan salah satu bahan baku pakan sumber energi dalam formulasi pakan unggas. Hingga kini Indonesia masih berusaha meningkatkan produksi jagung dalam negeri dengan berbagai cara, termasuk memberantas hama perusak jagung.

Salah satu hama perusak tanaman jagung yakni Fall Armyworm (Ulat Grayak Jagung). Serangga hama ini menyerang, merusak bahkan menghancurkan tanaman seperti jagung dan tanaman lainnya hanya dalam semalam. Ulat Grayak Jagung mampu bermigrasi (menyebar) ratusan kilometer dan menjadi peringatan bagi petani kecil bahwa mata pencahariannya terancam. Namun demikian Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menegaskan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh Ulat Grayak Jagung dapat dikurangi.

Fall Armyworm pertama kali terdeteksi di Indonesia pada bulan Maret 2019 di Provinsi Sumatra Barat. Dalam waktu 4 bulan, mereka telah menyebar ke dua belas provinsi di Indonesia yaitu di Pulau Sumatra, Jawa dan beberapa wilayah Kalimantan. Kementerian Pertanian telah menghimpun informasi tentang kerugian dari tanaman yang terinfeksi oleh hama tersebut.

Direktorat Perlindungan Tanaman di Kementerian Pertanian menghimbau semua provinsi untuk mewaspadai serangan Ulat Grayak jenis baru dari spesies Spodoptera frugiperda. Di lapangan, petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) berupaya meningkatkan kesadaran petani di daerah yang terkena dampak, dan bersama-sama mereka memantau perkebunan yang dirserang.

“Kami memantau dengan seksama pergerakan Fall Armyworm di Indonesia. Petugas POPT, dan kami telah bekerja di lapangan bersama para penyuluh untuk memberi edukasi, saran dan solusi kepada petani tentang cara melindungi tanaman serta mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan ini. Kami mengantisipasi bahwa serangan Ulat Grayak ini akan menginfeksi pertanaman jagung di seluruh Indonesia dalam beberapa bulan mendatang”, kata Edy Purnawan, Direktur Perlindungan Tanaman.

Ulat Grayak Menyerang Jagung


Invasif, Ganas dan Terus Berkembang Biak.

Aslinya, Fall Armyworm adalah hama tanaman dari Amerika. Namun, sejak 2016 mereka telah bergerak agresif ke arah timur, menyapu Afrika, dan mendarat pertama kali di Asia pada pertengahan 2018 di India. Sejak itu mereka menyebar ke Bangladesh, Cina, Myanmar, Sri Lanka, Thailand sebelum tiba di Indonesia. Dalam kasus serangan yang terjadi di Sri Lanka, ada laporan bahwa hingga 40.000 hektar perkebunan telah diserang, merusak sekitar 20% tanamannya. Cina yang juga produsen jagung terbesar di Asia, dan produsen terbesar kedua di dunia juga dibuat ketar – ketir dengan serangan Ulat Grayak tersebut.

Sementara itu kerugian ekonomi di belahan bumi lainnya termasuk negara-negara Asia belum dihitung, diperkirakan kerusakan ekonomi akibat serangan hama tersebut di Afrika berkisar antara US $ 1-3 miliar. Menanggapi serangan Fall Armyworm yang datang tiba-tiba di Asia, FAO telah mengadakan pertemuan dengan para pejabat dari berbagai Negara di seluruh wilayah pada bulan Maret, dan membawa para pakar yang telah menangani hama di Afrika dan Amerika Latin dan mempelajari cara-cara untuk membatasi kerusakannya.

Di Indonesia, FAO mendukung Pemerintah untuk menanggapi wabah dan mencari strategi tepat untuk merespons serangan dengan mengerahkan sumber daya secara optimal. “Pemerintah akan mengorganisir lokakarya nasional bekerjasama dengan FAO pada akhir Juli untuk menyepakati tindakan lintas stakeholder paling efektif untuk menanggapi serangan ini. Kami memanfaatkan pelajaran dari negara-negara lain ketika menanggapi serangan di negara mereka sendiri  sebagai praktik terbaik untuk memperlambat penyebaran dan membatasi kerusakan" kata Stephen Rudgard, Perwakilan FAO di Indonesia.

Setelah serangan hama terverifikasi dengan baik, pemerintah akan memperkuat upaya untuk terus meningkatkan kesadaran dan memantau keberadaan dan penyebaran Fall Armyworm pada jagung dan tanaman lainnya.

Praktik Terbaik untuk Mengurangi Kerusakan

Hingga kini, FAO telah bekerja dengan otoritas terkait untuk memprakarsai program kesadaran yang menginformasikan dan melatih petani tentang teknik pengelolaan hama terpadu yang akan sangat bermanfaat untuk mengendalikan Ulat Grayak jenis baru. Terrmasuk di dalamnya mengidentifikasi musuh alami dari Fall Armyworm, meningkatkan kontrol biologis alami dan kontrol mekanis, seperti menghancurkan massa telur dan menggunakan penggunaan biopestisida.

Untungnya Indonesia memiliki banyak musuh alami hama ini dalam mengurangi infestasi lebih lanjut. Satu studi dari Ethiopia menemukan bahwa ada satu parasit tawon yang dapat membunuh hampir setengah dari populasi Ulat Grayak dalam waktu dua tahun sejak kedatangannya di negara tersebut. Tentunya ini akan coba dimaksimalkan dalam teknink pengendalian hama Ulat Grayak.

Penggunaan pestisida kimia perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, mengingat bahwa ulat terlindung dari semprotan karena mereka bersembunyi jauh di dalam dedaunan tanaman. Selain itu perlu dipikirkan bahwa pestisida kimia apapun itu dapat memiliki efek negatif pada musuh alami dan bahkan kesehatan manusia serta hewan lainnya.

Jika langkah-langkah efektif diberlakukan, efek negatif dari serangan Fall Armyworm dapat dikurangi dengan jumlah populasi dipertahankan pada level yang cukup rendah untuk membatasi kerusakan ekonomi dan mata pencaharian petani. (FAO/CR)

ZOETIS ANTIBIOTIC STEWARDSHIP SEMINAR

Foto bersama seluruh peserta dan panitia seminar Zoetis di Senayan, Jakarta. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimicrobial Resistance (AMR) atau resistensi antimikroba telah muncul sebagai salah satu tantangan kesehatan terbesar di berbagai belahan dunia. Persoalan tersebut terus menjadi isu hangat yang dibicarakan dan semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan maupun industri yang bidang peternakan di seluruh dunia.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri,  virus, jamur dan parasit mengalami perubahan, sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan menjadi tidak efektif. Contoh dari resistensi antimikroba adalah penggunan antibiotika yang tidak bijak, di peternakan khususnya industri perunggasan salah satunya penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) yang saat ini sudah dilarang pemerintah awal 2018 kemarin.

PT Zoetis Animalhealth Indonesia yang merupakan perusahaan kesehatan hewan global, terus berkontribusi memberikan edukasi dan informasi terbaru dalam rangka meminimalisir adanya AMR di Indonesia dengan menggelar “Zoetis Responsible Use of Antibiotics Stewardship Seminar” secara maraton pada 17-18 Juli 2019.

“Topik AMR terus berkembang dan menjadi pembicaraan di berbagai tempat di dunia. Di Indonesia aturan mengenai AMR sudah diatur pemerintah awal 2018 kemarin, kita tentunya berusaha untuk mengimplementasikan peraturan tersebut,” ujar General Manager Zoetis Indonesia, Drh Ulrich Eriki Ginting, saat menyambut peserta seminar, Kamis (18/7/2019), di Mulia Hotel, Senayan, Jakarta.

Ia mengatakan, pihaknya terus memberikan komitmennya dalam membantu sektor perunggasan yang bijak dalam menggunakan antibiotik. “Zoetis berkomitmen untuk memberikan informasi baru yang relevan terkait AMR, sehingga efektivitas atau produktivitas di industri peternakan bisa dicapai. Kami juga terus berdiskusi bersama pemangku kebijakan, sebab komunikasi menjadi hal penting untuk membawa perubahan  yang lebih baik,” katanya.

Pada seminar tersebut menghadirkan tiga pembicara yang ahli dibidangnya, diantaranya Ben Santoso (Senior Analyst - Animal Protein Raboresearch Food & Agribusiness), Dr Jeffrey L. Watts, PhD (Research Director External Innovation - Anti-Infectives Zoetis Inc) dan Dr Choew Kong Mah DVM (Director International COE Outcomes Research Zoetis Inc), serta dimoderatori Prof Wayan T. Wibawan (Guru Besar FKH IPB).

Sehari sebelumnya, pada Rabu (17/7/2019), Zoetis Indonesia juga melaksanakan agenda serupa dengan mengundang instansi pemerintah yang bergerak di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Seminar digelar di Aston Hotel TB Simatupang. (RBS)

KEMENTAN GENCARKAN UPSUS JAGUNG UNTUK KEBUTUHAN PAKAN



Ilustrasi jagung dan ayam (Foto: Pixabay)

Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) terus meningkatkan produksi ayam potong untuk mendukung akselerasi ekspor dan ketahanan nasional. Salah satu upayanya dengan menggencarkan program upaya khusus (Upsus) Jagung untuk kebutuhan pakan ternak.

Terkait hal ini peternak mandiri ayam broiler asal Cianjur, Jawa Barat, Andi Sugimin mengaku merasakan betul upaya pemerintah dalam penyediaan dan bantuan pakan ternak. Khusus untuk bantuan, Andi menyebutnya sebagai bukti hadirnya pemerintah saat petani menghadapi kesulitan.

Menurut Andi, salah satu kehadiran pemerintah yang sangat dirasakan peternak adalah bantuan jagung selama musim paceklik beberapa bulan lalu. Bantuan itu, kata dia, merupakan suplemen bagi peternak untuk menjaga semangat produksi. 

"Peternak kecil bisa jadi gulung tikar jika saat itu kondisi jagung tetap langka. Tapi kita berterima kasih pada pemerintah atas bantuan penyediaan jagung, sehingga kami bisa melanjutkan produksi. Semoga ke depan bantuan jagung terus bertambah," katanya.

Andi berharap pemerintah membatasi perijinan kuota perusahaan asing yang dinilai tidak seimbang baik dari sisi permodalan maupun alat yang digunakan. Menurutnya dalam hal ini pemerintah harus berani menolak ijin usaha tersebut, sembari mengucurkan bantuan yang ada untuk peternak kecil. (Sumber: wartaekonomi.co.id)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI


Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer