Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini daging sapi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENGGUGAH MINAT KAUM MILENIAL BERBISNIS SAPI PEDAGING

Jumpa publik pengalaman merintis peternakan sapi pedaging di Indonesia oleh Nanang Purus Subendro. (Foto: Istimewa)

Dalam suasana serba sulit seperti yang terjadi disaat pandemi ini, industri sapi pedaging di Indonesia harus bisa kreatif dan beradaptasi dengan keadaan di lapangan. Sebelum pandemi industri sapi pedaging mengalami banyak tekanan, khususnya karena adanya persaingan dengan daging impor, disamping masalah produktivitas, urusan jebakan pangan daging sapi, kehalalalan, serta aspek kesejahteraan ternak.

Pada awal pandemi, industri sapi pedaging mengalami kesulitan baik dalam hal pengadaan sarana produksi peternakan, khususnya bakalan dan pakan, kenaikan biaya distribusi dan penurunan omzet karena berkurangnya kegiatan yang membutuhkan banyak daging. Selain itu, pandemi juga berdampak negatif terhadap industri sapi pedaging karena turunnya daya beli masyarakat.

Di sisi lain, ada harapan besar peternakan sapi pedaging bisa berkontribusi menjadi salah satu penopang food estate, lumbung pangan, memiliki peran besar pada pemenuhan sumber protein hewani bangsa, yang penting bagi keberlanjutan generasi muda Indonesia yang maju, cerdas, sehat dan berdaya saing tinggi.

Menghadapi kondisi tersebut, para generasi milenial harus dapat menghadapi fakta ini dengan optimisme. Jika berminat untuk terjun di peternakan sapi pedaging, persiapan harus dilakukan sejak dari sekarang, antara lain dengan mempelajari, bergelut langsung di peternakan sapi, serta berinteraksi dengan para pelaku bisnis sapi pedaging.

Hal itu dipaparkan oleh Nanang Purus Subendro, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) yang juga Direktur PT Indo Prima Beef (IPB) dalam acara “Jumpa Publik: Pengalaman Merintis Peternakan Sapi Pedaging di Indonesia” yang diselenggarakan Indonesia Livestock Alliance (ILA) melalui daring, Sabtu (16/1/2021).

Untuk mendorong para milenial dapat menekuni peternakan sapi pedaging, Nanang secara terbuka menyediakan farm-nya untuk dijadikan sarana pelatihan dan pembelajaran dalam beternak sapi pedaging. Kesempatan magang di farm PT Indo Prima Beef yang berlokasi di Lampung Tengah, terbuka luas bagi para calon peternak ataupun mahasiswa yang berminat.
 
Di samping itu, edukasi tentang peternakan sapi pedaging untuk menggugah minat generasi muda masuk ke dalamnya, antara lain adalah dengan melakukan kerja sama dengan lima perguruan tinggi, untuk mensosialisasikan serta mengajak mahasiswa terutama dari Fakultas Peternakan dan Fakultas Kedokteran Hewan untuk praktek langsung cara beternak sapi pedaging. Nanang mendatangi kampus-kampus yang mengundangnya untuk berbagi pengalaman dan kiat dalam berbisnis sapi pedaging. (IN)

PENERAPAN SISTEM PELACAKAN PADA INDUSTRI SAPI PEDAGING

Tri Nugrahwanto dalam Training Online bertajuk “Ketertelusuran (Traceability) pada Rantai Pasok Sapi Potong Berbasis Teknologi Informasi”. (Foto: Istimewa)

Di Indonesia, rantai pasok dan teknologi untuk melacak sapi pedaging impor Australia mengalami perkembangan, terutama di sektor usaha penggemukan (feedlot), pasca terjadinya penghentian ekspor sapi hidup Australia ke Indonesia pada 2011 silam.

Rantai pasok (supply chain) dibentuk sebagai suatu jaringan untuk mempermudah melakukan sistem pelacakan sapi-sapi yang diimpor dari Australia. Pelacakan tersebut dilakukan oleh feedlot dengan penerapan standar kesejahteraan hewan (animal welfare) sejak un-loading sapi di pelabuhan sampai sapi dipotong di rumah pemotongan hewan ruminansia (RPH-R).

Hal itu seperti disampaikan Supply Chain Manager PT Tanjung Unggul Mandiri, Tri Nugrahwanto, dalam Training Online bertajuk “Ketertelusuran (Traceability) pada Rantai Pasok Sapi Potong Berbasis Teknologi Informasi” yang dilaksanakan pada Sabtu (19/9/2020).

Acara yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menghadirkan pula narasumber penting lain yakni Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Prof Dr Kudang Boro Seminar.

Dalam paparannya, Tri mengatakan keterlacakan sapi pedaging akan mudah dilakukan melalui sistem pencatatan (recording) ternak digital. Jika melihat bagaimana Australia mengelola sapi-sapinya, sistem pelacakan ternak di Australia sudah terstandarisasi secara baku dan wajib dilaksanakan oleh semua peternak. Sedangkan di Indonesia masih ala kadarnya karena tidak ada sistem pencatatan (recording) digital ternak yang baku dan valid. 

“Sistem recording ternak sapi digital secara nasional dapat untuk mengetahui tingkat ketersediaan dan ketahananan pangan, serta mengangkat potensi ekonomi peternak,” kata Tri.

Ia menambahkan, salah satu unsur recording sapi pada perusahaan feedlot adalah identifikasi individual sapi yang digunakan dalam bentuk ear tags (tag manual) dan RFID (elektronik tag). (IN)

PENGUATAN HULU-HILIR HASILKAN PRODUK DAGING BERKUALITAS

Proses produksi yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terutama terjadi pada tempat pemotongan daging. (Foto: iStock)

Dalam mendapatkan produk daging yang aman dan higienis, dapat dilakukan tidak hanya dengan melihat saat pasca produksi, tetapi juga dari pra produksi dan proses produksinya. Hal itu disebabkan adanya berbagai cemaran berbahaya bahan baku pakan seperti mikotoksin, pestisida, logam berat dan berbagai zat berbahaya lain, yang walaupun berjumlah sedikit dan tidak menimbulkan efek langsung, tetapi cemaran itu dapat terus berada di dalam tubuh seseorang yang mengonsumsi produk hasil ternak. 

Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Industri Halal, UNU Yogyakarta, Meita Puspa Dewi SPt MSc dalam Indonesia Livestock Club (ILC) #Edisi07: Penguatan Hulu-Hilir dalam Menghasilkan Produk Berkualitas, pada Sabtu (1/8/2020), melalui sebuah aplikasi daring.

Acara diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Peternakan Indonesia (BPPI), Indonesia Livestock Alliance (ILA), Universitas Tidar, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

Meita mengatakan, proses produksi yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terutama terjadi pada tempat pemotongan, yaitu di rumah pemotongan hewan untuk daging.

“Adanya rumah pemotongan hewan (RPH) atau rumah pemotongan unggas (RPU) merupakan salah satu upaya implementasi keamanan pangan seperti yang dimaksud dalam UU Pangan,” kata Meita.

Dalam hal kualitas daging yang baik, salah satu indikatornya adalah adanya marbling pada daging yang dipilih. Marbling merupakan serat-serat lemak intraseluler yang terdapat pada daging, yakni merupakan guratan berwarna putih yang berada diantara merahnya daging, tampak seperti pola pada batu marmer (marble). 

Banyaknya serat akan meningkatkan rasa juicy dari daging saat dikonsumsi, utamanya bila dihidangkan sebagai steak atau yakiniku. Marbling juga merupakan indikasi dari baik tidaknya kualitas pakan dan perawatan dari ternak tersebut.

“Semakin buruk kualitas pakan, marbling akan semakin sedikit dan mengakibatkan grade daging akan semakin rendah dan harga jual daging juga akan jadi semakin murah,” pungkasnya. (IN)

DINAMIKA INDUSTRI SAPI POTONG DI MASA PANDEMI COVID-19

Dinamika industri sapi potong (Foto: Humas UGM)



Pandemi COVID-19 telah mengubah merubah tatanan dunia secara dramatis dan masif dan akhirnya berimbas kepada semua sektor. Akibat pandemi, sektor pertanian tumbuh stagnan di kuartal I (Q1) 2020, yaitu sebesar 0,02% melambat dari Q1 2019 yang masih tumbuh sebesar 1,82%.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), Ir Didiek Purwanto IPU dalam Obrolan Peternakan (OPERA) yang diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan (Fapet) UGM pada 3 Juli 2020 melalui Zoom Meeting.

Didiek menambahkan, di masa pandemi ini sektor peternakan hanya tumbuh 2,86% melambat dari Q1 2019 yang tumbuh 7,96%. Dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi pun selalu terdapat kesenjangan yang luar biasa. Kebutuhan daging nasional sebesar 650.000 ton per tahun atau setara 3,8-3,9 juta ekor sementara itu jumlah populasi sapi potong hingga tahun 2019 hanya sebanyak 17.118.650 ekor.

Ketidakmampuan produksi lokal memenuhi kebutuhan daging nasional tersebut menurut Didiek disebabkan oleh belum tuntasnya beberapa permasalahan. Beberapa hal tersebut ialah makin tingginya gap antara supply dan demand, arah pembangunan yang belum jelas, ego kedaerahan setelah adanya otonomi daerah, dan belum berubahnya pola beternak.

Di masa pandemi ini, keadaan diperparah dengan harga sapi di Q1 mencapai $3/kg/hidup, nilai tukar rupiah Q1 menembus Rp16.500,00 bahkan sampai Rp17.000,00, daya beli turun secara  signifikan, biaya operasional meningkat karena meningkatnya harga bahan baku pakan, dan tata niaga dan logistik terhambat karena penerapan PSBB di beberapa daerah di Australia.

Untuk mengatasi hal tersebut, Didiek menyebutkan beberapa tindakan yang perlu dilakukan. Pertama, arah pembangunan peternakan yang terstruktur, sustainable, kesamaan bahasa serta partisipatif aktif semua stakeholder permberdayaan dan perlindungan peternak lokal. Kedua, harmonisasi regulasi interdepartment yang sejalan dengan perundangan dan PP. Ketiga, inventaris dan optimalisasi sumber daya lokal potensial, infrastruktur informasi dan teknologi harus ada di daerah.

Keempat, peternakan harus dibangun berdasarkan klasterisasi atau spasialisasi sebuah wilayah, pembiayaan dan kebijakan fiskal yang mendukung serta skema pembiayaan yang efektif dan efisien. Ketujuh, segera disusun konsep tata ruang pengembangan industri, struktur sistem agribisnis, kesehatan hewan dan veteriner. Kedelapan, pembangunan peternakan berorientasi industri dan integrated dengan memperhatikan tuntutan era globalisasi dan industri 4.0.

Untuk itu, Didiek memberikan beberapa rekomendasi, yaitu memilih ternak yang adaptif dengan lingkungan lokal, membangun padang penggembalaan yang produktif, mengoptimalkan sumber pakan lokal dengan strategi suplementasi, dan menghentikan kebijakan yang kontra produktif dengan pembangunan peternakan yang berkelanjutan.

Selain itu, diperlukan kolaborasi produktif antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, serta komunitas, arah pembangunan yang jelas terarah melalui pengkajian data yang saksama, dan menentukan pola pengembangan peternakan yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

Dosen Fapet UGM, Ir Panjono SPt MP PhD yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut mengatakan, sebelum pandemi, industri sapi potong mengalami banyak tekanan, khususnya karena adanya persaingan dengan daging impor. Pada awal pandemi, industri sapi potong mengalami kesulitan baik dalam hal pengadaan sarana produksi peternakan, khususnya bakalan dan pakan, kenaikan biaya distribusi, dan penurunan omzet karena berkurangnya kegiatan yang membutuhkan banyak daging. Selain itu, pandemi juga berdampak negatif terhadap industri sapi potong karena turunnya daya beli masyarakat.

Situasi sulit di masa pandemi ini menurut Panjono dapat diatasi dengan penerapan protokol kesehatan, efisiensi produksi, inovasi produk melalui pengolahan hasil, dan inovasi pemasaran secara daring. Pengolahan hasil, khususnya produk olahan beku, akan meningkatkan daya simpan dan mendekatkan industri ke konsumen akhir sehingga meningkatkan jangkauan pasar.

Di akhir paparannya, Panjono mengungkapkan dua harapan agar kondisi industri sapi potong membaik. Pertama, adanya relaksasi Permentan No. 41 Tahun 2019 terkait kewajiban memasukkan indukan sebanyak 5%. Kedua, berjalannya kesepakatan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) terkait bea masuk. (Rilis)



KEMENTAN GENJOT PERTAMBAHAN POPULASI SAPI BELGIAN BLUE

Sapi Belgian Blue,menjadi andalan Indonesia dalam memperbaiki genetik sapi Indonesia

Kementerian Pertanian terus berupaya memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat terutama yang berasal dari daging sapi. Salah satunya adalah pengembangan sapi Belgian Blue (BB) yang sudah dilakukan sejak tahun 2017 melalui Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang. Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) ini sudah berhasil memproduksi embrio sapi BB murni pertama di Indonesia.

"Produksi ini menggunakan dua sapi donor jenis BB murni hasil Transfer Embrio (TE) di BET Cipelang yakni Srikandi dan Arimbi," ujar I Ketut Diarmita, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan RI, Selasa (9/6).

“Pengembangan sapi BB dilaksanakan oleh dua belas UPT lingkup Kementerian Pertanian yang berasal dari tiga eselon 1 di Kementerian Pertanian, yaitu Badan Litbang Pertanian BPPSDMP dan Ditjen PKH, dengan dukungan pakar pendamping yang berasal dari perguruan tinggi terbaik di Indonesia”, ucap Ketut.

Pengembangan BB sendiri dilakukan di UPT yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, tujuannya untuk mengetahui lingkungan terbaik di Indonesia bagi sapi BB sehingga sapi BB bisa beradaptasi dan berkembang dengan baik di Indonesia.

"Pengembangan BB di Indonesia dilakukan dengan dua acara yaitu melalui TE dan Inseminasi Buatan (IB)," jelas Ketut.

Ketut menambahkan, embrio dan semen BB yang digunakan untuk program pengembangan BB berasal dari negara asalnya, yaitu Belgia. Hal ini dikarenakan, pihaknya ingin sapi BB yang dikembangkan di Indonesia berasal dari sapi BB asli dari Belgia.

Selain itu, penggunaan embrio dan semen BB dalam program pengembangan sapi BB ini dinilai Ketut memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan harus mendatangkan sapi BB hidup dari Belgia.

"Biayanya juga lebih murah dan handling lebih mudah dibandingkan menghandling sapi hidup. Embrio BB digunakan untuk menghasilkan sapi BB murni sedangkan semen beku digunakan untuk menghasilkan sapi BB persilangan," paparnya.

Jadi cara kerjanya yaitu dengan menanam atau menitipkan embrio pada sapi lokal Indonesia yang memenuhi syarat. Lalu, untuk semen BB disuntikan pada sapi lokal Indonesia yang juga sudah memenuhi syarat.

Karena, sapi BB murni yang merupakan hasil transfer embrio membutuhkan bantuan untuk kelahirannya. Sekitar 95% sapi BB murni lahir dengan bantuan caesar, sedangkan sapi BB persilangan seluruhnya (100%) dapat lahir secara normal.

"Sampai dengan hari ini, kami mencatat kelahiran 455 ekor sapi BB yang tersebar di seluruh UPT pelaksana pengembangan BB," ungkap Ketut.

Ketut menyebut, BET Cipelang bersama dengan UPT pelaksana lainnya telah mampu melaksanakan program pengembangan sapi BB yang dibuktikan dengan kelahiran sapi BB di seluruh UPT pelaksana. Sedangkan, Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari dan Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang juga sudah mampu memproduksi semen beku sapi BB.

"Ini merupakan hal yang membanggakan bagi Kementan, kita sudah mampu memproduksi embrio sapi BB, dan memproduksi semen beku sapi BB," kata Ketut.

Diketahui, produksi embrio sapi BB murni ini sudah dilaksanakan pada 10 Februari 2020. Embrio yang dihasilkan dari sapi donor BET Cipelang ini berhasil menghasilkan embrio BB dengan komposisi darah BB 100 persen.

BET Cipelang sebagai satu-satunya UPT dengan tupoksi melaksanakan produksi, pengembangan dan distribusi embrio ternak telah mampu menghasilkan embrio sapi BB sebanyak 166 embrio (27 embrio BB murni dan 139 embrio BB persilangan).

"Embrio persilangan yang dihasilkan oleh BET Cipelang sudah dicoba untuk ditransferkan pada sapi resipien di BET Cipelang dan seluruhnya dapat lahir secara normal. Namun, untuk embrio BB murni belum dicoba," ucap Ketut.

Sapi BB persilangan ini, baik yang memiliki darah BB 50% mapun 75% mampu melahirkan secara normal, dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa sapi persilangan BB dengan sapi lainnya tidak memiliki kelainan reproduksi.

Sedangkan, semen beku BB yang dihasilkan oleh BBIB Singosari dan BIB Lembang terhitung sebanyak 27.862 dosis (17.579 dosis semen beku sapi BB murni dan 10.283 dosis semen beku BB persilangan).

Sebagai catatan, semen beku “Gatot Kaca” sapi BB jantan pertama di Asia Tenggara sudah dicoba untuk IB pada sapi Aceh di BPTUHPT Indrapuri. Sampai saat ini sudah terdapat 5 ekor sapi persilangan BB dengan sapi Aceh yang lahir, dan semuanya lahir secara normal.

Ketut menegaskan, dengan keberhasilan produksi semen dan embrio sapi BB oleh UPT lingkup Kementan, ketergantungan impor semen dan embrio beku BB Indonesia berkurang dan harapan pemenuhan kebutuhan daging akan dapat terwujud.

"Semen beku dan embrio beku BB ini akan didistribusikan kepada masyarakat setelah mendapatkan rekomendasi dari pakar pendamping pengembangan BB," tuturnya.

Lokasi sebaran tempat kelahiran sapi BB yaitu, BET Cipelang, BBPTUHPT Baturraden, BPTUHPT Padang Mengatas, BPTUHPT Sembawa, BPTUHPT Indrapuri, Balitnak, Polbangtan Bogor, BBPKH Cinagara, Polbangtan Yogyakarta - Magelang, Polbangtan Malang, BBPP Batu dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati.

Sementara itu, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sugiono, mengatakan sebelum disebar ke masyarakat akan dilakukan kajian lebih dulu untuk mendapatkan data yang akurat terkait pertumbuhan sapi BB. Dikatakan Sugiono, saat ini pengembangan sapi BB sudah dikaji di tingkat UPT lingkup Kementan.

"Hasilnya bagus, kita akan kaji terus di tingkat peternak yang sudah bagus manajemenya, setelah itu baru didistribusikan ke masyarakat," imbuhnya.

Menurut Sugiono, sperma sapi BB baru bisa disebar ke masyarakat pada tahun 2022 setelah melalui tahapan kajian yang berjenjang dari lingkup UPT, dan uji coba di peternakan dengan manajemen pengelolaan yang bagus. Hal-hal yang akan dikaji sebelum disebar yaitu pertambahan bobot badan, pertumbuhannya baik, aspek kesehatan, dan aspek lingkungan.

"Kajiannya perlu dua tahun, dicoba dulu di kelompok tertentu, kalau punya manajemen bagus baru dilepas ke peternak. Tahun ini Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan) juga sudah pakai semen BB di wilayah tertentu," jelas Sugiono.

Ia berharap ke depannya, sapi BB ini bisa terus dikembangkan sebagai salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri yang kebutuhannya cukup tinggi.

"Sapi Belgian Blue ini memiliki bobot lebih besar dibanding sapi pada umumnya, jadi diharapkan dapat meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri," pungkasnya.

Sekadar informasi, Sapi Belgian Blue atau yang lebih dikenal dengan Sapi BB ini merupakan sapi hasil pemuliaan yang dilakukan dalam kurun waktu yang sangat lama di negara asalnya, Belgia. Sapi ini merupakan hasil persilngan antara Sapi Shorthorn dengan sapi lokal Belgia saat itu.

Pembentukan sapi BB sendiri berawal dari upaya pemerintah Belgia untuk menghasilkan sapi dwiguna (penghasil susu dan penghasil daging). Namun, untuk memenuhi kebutuhan protein hewani di negara tersebut, arah pengembangan sapi BB membentuk sapi BB ini menjadi sapi potong penghasil daging.

Program pemuliaan sapi Belgian Blue ini sendiri pada saat itu dipimpin oleh seorang professor dari Belgia yaitu Professor Hanset pada tahun 1973, dengan keunggulan sapi BB yaitu 'double muscling'.

Performa sapi BB yang besar dan potensi karkas yang dimilikinya sangat menarik negara lain untuk ikut mengembangkannya. Sapi BB ini sudah mulai tersebar ke 40 (empat puluh) negara di dunia. (INF)

MARAK PRODUK ILEGAL, KEMENTAN-PEMDA PERKUAT PENGAWASAN

Sempat heboh peredaran daging babi yang dipalsukan menjadi daging sapi. (Dok. Shutterstock)

Kementerian Pertanian mengajak dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, untuk memperkuat pengawasan dan pembinaan pelaku usaha yang memproduksi, mendistribusikan dan menjual pangan asal hewan.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita, di Jakarta (13/5/2020), saat diminta menanggapi pemberitaan beredarnya daging celeng di Kabupaten Bandung dan juga telur infertil di beberapa daerah.

“Untuk mengantisipasi potensi penyimpangan peredaran produk hewan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, Kementan telah menerbitkan Surat Edaran Dirjen PKH Nomor: 0534/SE/TU.020/F5/04/2020 tentang penjaminan penyediaan produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal pada bulan Ramadan dan Idul Fitri 1441 Hijriah dan pada masa pandemi COVID-19,” ujar Ketut. 

Menurutnya, Ramadan dan Idul Fitri tahun ini terasa berbeda, karena dalam waktu yang sama masyarakat dihadapkan dengan pandemi COVID-19. Kebutuhan pangan asal hewan di masyarakat  perlu terus dijaga, mengingat kebutuhan sumber protein bagi masyarakat sangat penting untuk menjaga stamina dan kebutuhan daya tahan tubuh.

Terkait temuan daging babi yang dipalsukan dan dijual sebagai daging sapi di Bandung, Ketut menyampaikan bahwa proses hukum sedang berjalan. Saat ini sudah masuk ke tahap penyidikan Ditreskrim Polresta Bandung.

“Kami apresiasi kepolisian secara cepat mengungkap penyimpangan ini. Saya ingatkan pelaku usaha, praktik pemalsuan ini dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal 10 miliar menurut  UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan," tegasnya.

Sementara adanya peredaran telur infertil, Ketut menegaskan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, secara tegas mengatur bahwa pelaku usaha integrasi, pembibit GPS, pembibit PS, pelaku usaha mandiri dan koperasi, dilarang memperjualbelikan telur tertunas dan infertil sebagai telur konsumsi. 

Ia mengingatkan berhati-hati dalam memilih produk hewan untuk konsumsi keluarga. Jangan mudah tergiur harga murah dan sebaiknya membeli produk hewan di tempat penjualan (ritel) yang terdaftar, diakui dan tersertifikasi oleh pemerintah daerah setempat.

“Kita lakukan pengawasan keamanan produk hewan ini dengan memperkuat kerjasama dan koordinasi bersama aparat penegakan hukum,” pungkasnya. (INF)

POLISI LIBAS KOMPLOTAN PEMALSU DAGING SAPI

Barang bukti daging sapi palsu, diamankan aparat

Kejahatan pemalsuan daging kembali mengegerkan Bandung, Jawa Barat. Kejahatan ini berhasil diungkap oleh personel Polresta Bandung, dimana mereka mengamankan empat pelaku pengedar daging babi yang menyulapnya menjadi daging sapi.

Kronologi penangkapan berawal dari pihak Polresta Bandung yang mendapat laporan dari masyarakat bahwa di sekitar Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, ada aktivitas penjualan daging babi. Menindaklanjuti laporan tersebut, aparat Polresta Bandung langsung melakukan penyelidikan, dan benar saja, saat di tempat kejadian perkara (TKP) polisi mendapati tersangka sedang melakukan aktivitas "penyulapan" daging babi menjadi daging sapi.

Kapolresta Bandung, Kombes Pol Hendra Kurniawan mengatakan empat pelaku tersebut mengolah daging babi hingga menyerupai daging sapi dengan menggunakan boraks. 

"Jadi secara fisik, daging babi ini lebih pucat, tapi kalau daging sapi ini lebih merah, jadi proses (boraks) daging babi ini menjadi lebih mirip, lebih merah seperti daging sapi," kata Hendra, Senin (11/5).

Sejauh ini, kata Hendra, mereka sudah melakukan aksinya selama kurang lebih satu tahun. Selama aksi itu, menurut Hendra sudah ada sebanyak 63 ton daging babi menyerupai daging sapi yang beredar di masyarakat. Dari kasus tersebut, polisi telah mengamankan total 600 kilogram daging babi. 500 kilogram di antaranya yang diamankan dari freezer dan 100 kilogram sisanya diamankan dari para pengecer.

Para pelaku dijerat dengan Pasal 91 A jo Pasal 58 Ayat 6 UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan, serta Pasal 62 Ayat 1 jo Pasal 8 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. (CR)

PELATIHAN PENANGANAN DAGING SEGAR YANG BAIK

Daging sapi segar. (Sumber: Istimewa)

Di masa pandemi COVID-19 saat ini, daging sebagai produk hasil ternak menjadi salah satu bahan pangan yang paling dicari konsumen. Hal itu tidaklah mengherankan karena daging merupakan sumber protein hewani dengan nilai gizi yang sangat baik, memiliki komponen fungsional yang sangat diperlukan tubuh, memiliki citarasa yang lezat dan menunjukkan value dan prestise yang tinggi.

Dalam sebuah pelatihan online tentang cara penanganan dan pengolahan daging yang aman, sehat dan berkualitas bagi sektor rumah tangga, restoran dan katering maupun industri pengolahan di masa pandemi COVID-19, Pengajar Fakultas Peternakan IPB, Dr Tuti Suryati SPt MSi, menjelaskan tentang tahap-tahap penting penanganan dan pemilihan daging segar yang baik. 

Pelatihan diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB pada 4-5 Mei 2020. Kegiatan tersebut memiliki tujuan untuk membangun kapasitas sumber daya manusia yang terkait dengan rantai pasok produk hasil ternak, khususnya sektor rumah tangga, hotel, restoran dan katering, serta industri pengolahan hasil ternak di Indonesia.

Lima prinsip utama penanganan daging segar yang baik yakni pilih daging yang sebelumnya diproses melalui pelayuan terlebih dahulu sebelum karkas di-deboning, pilih daging yang berwarna merah cerah, tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah, pilih yang teksturnya tidak terlalu kaku dan tidak terlalu lembek, pilih daging yang berbau khas daging segar, tidak berbau amis apalagi busuk.

“Hindari memilih daging melalui sentuhan langsung permukaan daging dengan jari atau tangan,” tandas Tuti Suryati. (IN)

SEMINAR PURNA TUGAS, PERAN PETERNAKAN HASILKAN PRODUK PANGAN SEHAT

Dr Ir Setiyono SU saat menyampaikan materinya pada Seminar Purna Tugas di Fakultas Peternakan UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. (Foto: Istimewa)

Daging merupakan salah satu komoditi peternakan dengan permintaan yang tinggi untuk konsumsi manusia sebagai sumber pangan yang tinggi akan protein.

Pertimbangan konsumen dalam memilih bahan pangan adalah dari kandungan gizi, cita rasa, aspek kesehatan dan keamanan pangan. Hal itu disampaikan oleh Dosen Fakultas Peternakan UGM (Universitas Gadjah Mada), Dr Ir Setiyono SU, dalam sebuah Seminar Purna Tugas bertajuk “Peran Peternakan dalam Menghasilkan Produk Pangan yang Sehat” di Fakultas Peternakan UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Selasa (7/1/2020).

Dijelaskan oleh Setiyono bahwa ada beberapa aspek penting yang sangat mempengaruhi kualitas daging, yakni ragam pakan yang diberikan pada ternak dan cara pemeliharannya.

“Pakan yang baik adalah yang memenuhi kesehatan ternak, baik untuk pertumbuhan dan kenaikan berat badan, serta tujuan pemeliharaan ternak. Sehingga produk hasil ternak itu menjadi bahan pangan yang menyehatkan,” kata Setiyono. Oleh karenanya, pakan yang diberikan harus bebas dari residu pestisida, bebas residu antibiotik dan bebas residu logam berat.

Selain dari pemberian pakan, lanjut dia, produk pangan asal hewan yang dihasilkan juga tergantung dari cara pemeliharaan ternak yang dilakukan. Ia mencontohkan, ternak yang dipelihara di daerah pembuangan sampah, tentunya akan memiliki kualitas daging yang buruk, yakni banyak mengandung logam berat dan cemaran-cemaran dari mikrobia, baik itu aflatoksin, dioksin maupun residu pestisida.

“Cemaran-cemaran tersebut harus dihilangkan dengan cara memelihara minimum selama tiga minggu dengan pemberian pakan yang baik dan berkualitas dan bebas dari cemaran-cemaran berbahaya,” pungkasnya. (AS)

MENTAN SYL DUKUNG PROGRAM SATU JUTA TERNAK SAPI DI BALI

Ilustrasi peternakan sapi (Foto: Dok. Infovet)



Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) mendukung sepenuhnya program Provinsi Bali mencapai Satu Juta Ternak Sapi Bali di 2025.

Hal tersebut disampaikannya saat menyaksikan penandatangan tiga nota kesepahaman antara Kementerian Pertanian dengan Gubernur Bali di Denpasar, 4 Januari 2020.

Salah satu nota kesepahaman tersebut adalah terkait Populasi Sejuta Sapi Bali Mendukung Program Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan).

Menurut Mentan, Bali merupakan provinsi yang memiliki potensi pertanian dan peternakan yang sangat besar. Dengan adanya nota kesepahaman ini, maka Kementan akan mendukung sepenuhnya program-program pertanian dan peternakan di Bali.

"Pada hari ini telah ditandatangani tiga buah nota kesepahaman antara Kementan dan Pemda Bali. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pertanian menuju pertanian yang maju, mandiri, dan modern" ungkap Syahrul dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (6/1/2020).

Lebih lanjut Mentan juga menyampaikan harapannya bahwa dengan meningkatnya produksi dan produktivitas maka ke depan produksi pertanian tersebut bisa diekspor. Langkah ini lanjutnya sejalan dengan gerakan tiga kali ekspor atau Gratieks.

Sementara Gubernur Bali, Wayan Koster menyampaikan bahwa Provinsi Bali merupakan provinsi yang berbasis pertanian, dan penyediaan pangan merupakan salah satu program utama saat ini.

Dukungan Kementan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian di Bali dipandangnya sangat penting dalam membantu program Pemda dan masyarakat Bali.

"Bali kaya akan komoditas pertanian lokal seperti jeruk, salak, kopi, sapi, kambing dan lain-lain. Namun komoditas-komoditas ini belum diberdayakan secara optimal. Ke depan, diharapkan bantuan Kementan untuk mengoptimalkan potensi ini," jelasnya.

Khusus terkait Program satu juta ternak Sapi Bali pada 2025, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita menyampaikan target tersebut dapat dicapai apabila ada peningkatan jumlah induk sapi sebesar 30 persen-45 persen dari populasi saat ini, dan didukung oleh peningkatan kelahiran pedet sebesar 80 persen-85 persen dari Indukan jumlah sapi.

Sementara itu angka pemotongan sapi betina produktif di Bali harus bisa diturunkan hingga 5 persen-10 persen dari pemotongan tercatat saat ini, dan angka kematian pedet harus diturunkan ke angka di bawah 5 persen dari sapi yang lahir.

"Apabila parameter-parameter tersebut tercapai, maka program sejuta ternak Sapi Bali akan kita capai. Ditjen PKH selalu siap mendukung program ini, karena hal ini sejalan dengan Sikomandan, salah satu program penting dari bapak Mentan SYL," pungkasnya. (Sumber: liputan6.com)

KEMENTAN: STOK PANGAN ASAL HEWAN AMAN JELANG NATAL 2019 DAN TAHUN BARU 2020

Konpres ketersediaan pasokan dan harga bahan pangan asal hewan jelang Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 oleh Dirkesmavet, Syamsul Ma'arif. (Foto: Infovet/Ridwan)

Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) memastikan stok pangan asal hewan (daging dan telur) aman dan tercukupi menjelang Natal 2019 dan Tahun Baru 2020.

"Saat ini komponen kebutuhan pokok (daging dan telur) untuk hari-hari besar kita jamin dan bisa kita penuhi," kata Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH, Syamsul Ma'arif, mewakili Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada Konferensi Pers Ketersediaan Pasokan dan Harga Pangan Asal Hewan Menjelang Hari Raya Natal 2019 dan Tahun Baru 2020, di Gedung C Ditjen PKH, Kementan, Senin, (23/12/2019).

Hal itu dibuktikan melalui data Ditjen PKH, untuk ayam ras sesuai laporan realisasi produksi secara online dari para pelaku usaha perunggasan, potensi produksi tahun 2019 dan data konsumsi daging ayam ras sesuai hasil Kajian Konsumsi Bahan Pokok (Bapok) BPS 2017 sebesar 12,13 kg/kapita/tahun, diperkirakan kebutuhan daging ayam pada 2019 sebesar 3.251.745 ton, sedangkan ketersediaan mencapai 3.488.709 ton, jadi terdapat surplus sebanyak 236.964 ton, atau rata-rata surplus sebesar 19.747 ton per bulan.

"Surplus ini selain sebagai buffer stock juga berpotensi menjadi sumber devisa melalui ekspor ataupun diolah menjadi produk olahan untuk menambah nilai jualnya. Karena itu, pentingnya peningkatan mutu dan keamanan produk pangan dan non-pangan asal hewan dalam rangka pemenuhan persyaratan negara tujuan ekspor," ucap Syamsul.

Sementara, terkait kondisi stok telur ayam ras, Syamsul menyebut, berdasarkan hasil kajian Tim Analisa dan Asistensi Supply-Demand Ditjen PKH 2019 dan data konsumsi telur sesuai dengan hasil Kajian Konsumsi Bapok BPS 2017 sebesar 17,69 kg/kapita/tahun, diperkirakan ketersediaan telur ayam ras di Indonesia sebesar 4.753.382 ton dengan angka kebutuhan 4.742.240 ton, sehingga masih ada surplus sebanyak 11.143 ton atau 929 ton per bulan.

Lebih lanjut, untuk perhitungan kebutuhan dan ketersediaan daging sapi pada 2019 ini, kebutuhan nasional daging sapi diperkirakan sekitar 686.271 ton dengan asumsi konsumsi sebesar 2,56 kg/kapita/tahun. Adapun ketersediaan daging sapi berdasarkan produksi dalam negeri sebesar 404.590 ton yang dihasilkan dari 2,02 juta ekor sapi yang dipotong. 

Berdasarkan data tersebut, kata dia, masih diperlukan tambahan sebanyak 281.681 ton yang dipenuhi melalui impor, yakni impor sapi bakalan setara 99.980 ton, impor daging sapi 92.000 ton dan daging kerbau 100.000 ton. Dari impor tersebut ada buffer stock sebanyak 10.299 Ton.

"Adapun khusus untuk Desember 2019, kita masih ada stok 75.735 ton yang terdiri dari stok daging sapi lokal, stok sapi bakalan di feedlotter, stok daging dan jeroan di gudang importir, stok daging kerbau di Bulog dan stok daging sapi tambahan di Berdikari. Dengan kebutuhan daging sebesar 56.538 ton, maka pada Desember ini masih ada surplus 19.197 ton," jelas Syamsul.

Dengan data-data tersebut, Syamsul menegaskan pihaknya yakin bahwa sampai akhir tahun 2019 dan memasuki 2020, stok pangan asal hewan mencukupi dengan harga relatif stabil.

"Untuk perkembangan harga kami lihat tidak terlalu ada gejolak yang tinggi. Data kami pada November-Desember 2019 (minggu ketiga) untuk daging sapi rerata harga nasional di tingkat konsumen Rp 111 ribu/kg, sementara di produsen Rp 45 ribu/kg/bobot hidup. Begitu juga pada harga rata-rata daging broiler di konsumen stabil di Rp 35 ribu/kg, sementara di produsen tercatat Rp 20 ribu/kg. Kemudian harga rata-rata telur ayam ras di konsumen Rp 25 ribu/kg, di produsen Rp 21 ribu/kg. Perkembangan harga ada kenaikan sedikit, tetapi relatif stabil," jelasnya.

Ia juga menambahkan, upaya pemerintah dalam menjaga ketersediaan serta stabilitas harga pangan memperhatikan beberapa aspek penting, yakni kecukupan stok, distribusi dan kenaikan permintaan. Kementan selalu berkoordinasi dengan instansi terkait, untuk melakukan penghitungan supply-demand bahan pangan pokok asal hewan secara periodik melalui Rapat Koordinasi Teknis yang dikoordinir Kemenko Perekonomian, bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan BPS. (RBS)

BPPT KAJI KOMERSIALISASI USAHA INTEGRASI SAPI-SAWIT

Foto bersama dalam kegiatan ICOP 2019. (Foto: Infovet/Sadarman)

Bertempat di Ballroom Hotel JS Juwansa Jakarta (23/10), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dengan Indonesia Australia Patnership on Food Security in the Red Meat and Cattle Sector menyelenggarakan konferensi Integrated Cattle and Oil-Palm Production (ICOP) 2019.

Acara yang dihadiri oleh berbagai kalangan ini bertujuan untuk mengkaji hasil penelitian dan pengalaman dari akademisi dan pelaku industri dalam upaya melakukan integrasi produksi sapi dan kelapa sawit yang menguntungkan.

Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB), Dr Ir Soni Solistia Wirawan, dalam laporannya menyebutkan bahwa sampai dengan 2018, sekitar 40% dari total konsumsi domestik daging sapi di Indonesia masih mengandalkan impor.

Sebab, tantangan utama peningkatan populasi sapi di Indonesia adalah rendahnya investasi pembiakan sapi dalam negeri yang masih dianggap berbiaya besar dan kurang menguntungkan. Sehingga, upaya kerjasama dalam pembiakan sapi dengan memanfaatkan beragam lahan diharapkan dapat menurunkan nilai impor ke depannya.

Sedangkan menurut Kepala BPPT, Dr Ir Hammam Riza, saat ini pihaknya tengah mengkaji potensi pemanfaatan lahan perkebunan sawit untuk berintegrasi dengan peternak sapi, khususnya peternak rakyat.

“Konferensi ini dimaksudkan untuk menyampaikan hasil kajian BPPT selama lima tahun terakhir mengenai integrasi sapi-sawit oleh peternak rakyat di Pelalawan, Provinsi Riau, serta hasil uji coba Partnership selama tiga tahun melaksanakan integrasi sapi-sawit bersama empat perkebunan sawit di empat provinsi di Indonesia,” ujar Hammam.

Sementara Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal BKPM, Wisnu Wijaya Soedibjo, selaku Co-chair Indonesia Australia Partnership on Food Security in the Read Meat and Cattle Sector menyatakan, pihaknya melalui salah satu program Partnership telah mengujicoba integrasi sapi-sawit sejak 2016.

“Peningkatan populasi sapi di Indonesia dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang sudah ada, baik lahan bekas tambang atau perkebunan sawit yang jumlahnya mendekati 15 hektare,” ungkap Wisnu.

Dalam program Partnership, kerjasama tersebut mendorong upaya peningkatan produktivitas dan pembiakan sapi secara komersial, serta keberlanjutan usaha dan daya saing di sektor daging merah.

Sebagai informasi, ICOP 2019 merupakan forum pertama di Indonesia yang fokus mendiskusikan peluang dan tantangan integrasi sapi-sawit. Forum yang menyediakan platform bagi para akademisi dan pelaku industri peternakan ini, dapat dimanfaatkan untuk ajang pertukaran pengalaman, kolaborasi dan memberikan informasi terkini terkait inovasi dalam praktik integrasi sapi-sawit.

Dalam forum ini, BPPT dan Partnership juga meluncurkan inovasi-inovasi berbasis teknologi di sektor pembiakan sapi, seperti SI PINTER untuk pencatatan dan identifikasi ternak dengan perekaman RFID dan GPS tracker untuk memantau ternak dengan tepat dan cepat. Sedangkan Partnership melalui program Indonesia Australia Commercial Cattle Breeding (IACCB) meluncurkan beberapa perangkat yang dapat digunakan oleh peternak rakyat maupun industri skala besar dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan usaha. Inovasi dimaksud adalah CALFIN, yakni spreadsheet untuk mendukung investor dan pelaku usaha pembiakan sapi dalam membuat keputusan investasi. Lalu ada CALPROS, spreadsheet bagi peternak kecil untuk memantau kegiatan operasional dan produktivitas sapi indukan beserta keturunannya. Dan CALPROF, software manajemen ternak untuk pelaku usaha pembiakan sapi yang lebih besar untuk mendukung kegiatan operasional pemeliharaan ternak sapi sehari-hari, terutama pembiakan, penggemukan dan pengolahan pakan.

ICOP 2019 dihadiri oleh sekitar 200 orang peserta dari kalangan akademisi dan pelaku industri pembiakan sapi dan kelapa sawit. Acara ini juga melibatkan lebih dari 20 orang pembicara dan pengkaji makalah, termasuk pelaku integrasi sapi-sawit mancanegara, yakni dari Malaysia dan Papua New Guinea. Selain itu, ICOP 2019 juga mengundang inovator dan penyedia layanan termutakhir di bidang peternakan maupun intergrasi sapi-sawit, seperti SMARTernak, Nutrifeed dan Gallagher. (Sadarman)

ATASI BAU TAK SEDAP PADA DAGING SAPI

Penjual daging sapi di pasar tradisional. (Sumber: Istimewa)

Kelompok yang paling rentan terhadap bakteri penyebab daging bau busuk ini adalah pasien kanker, orang tua dan wanita hamil.

Suasana di Blok B Pasar Depok Jaya, Jawa Barat, pagi itu mendadak ramai. Bukan sedang ada kunjungan pejabat yang melakukan operasi pasar atau adanya bazar murah, melainkan keributan antara pedang daging dan seorang pembelinya. Rahayu, salah seorang pembeli, mengaku merasa dirugikan, karena daging sapi yang dibeli pada pedagang tersebut baunya tak sedap.

Merasa tak terima dengan komplain pembeli, pedagang pun ngotot bahwa daging yang ia jual masih segar dan baru dipasok dari rumah potong hewan. Cekcok antara pedagang dan pembeli itu usai, setelah seorang pedagang lain berusaha meredam keributan.

Jual daging sapi bau tak sedap, bisa jadi juga terjadi di banyak pasar di tempat lain. Perkara ini memang hal yang kerap terjadi. Namun terkadang, pembeli juga memaklumi aroma daging tak sedap yang dibeli atau malah tidak bisa membedakan mana daging yang bau dan tidak bau.

Ada Apa dengan Daging Sapi yang Bau?
Daging busuk dapat mengganggu kesehatan konsumen karena menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Menurut salah seorang Medik Veteriner Pertama, Ditkesmavet PP, Drh Fety Nurrachmawati, seperti yang ditulis pada laman Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, hal tersebut disebabkan karena kelainan.

Menurut dia, daging sapi harus merupakan hasil pemotongan ternak sapi yang dilakukan secara halal dan baik, harus memenuhi persyaratan higiene-sanitasi dengan hasil produksinya berupa karkas sapi utuh atau potongan karkas sapi yang memenuhi persyaratan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

“Daging sapi ASUH adalah aman tidak mengandung bibit penyakit (bakteri, kapang, kamir, virus, cacing, parasit), racun (toksin), residu obat dan hormon, cemaran logam berat, cemaran pestisida, cemaran zat berbahaya serta bahan/unsur lain yang dapat menyebabkan penyakit dan akan mengganggu kesehatan manusia,” paparnya.

Menurut US Food and Drug Administration (FDA), bakteri pada daging busuk mungkin tidak menunjukkan gejala pada orang yang sehat. Kelompok yang paling rentan terhadap bakteri penyebab daging bau busuk ini adalah pasien kanker, orang tua dan wanita hamil. Tingkat kematian akibat penyakit Listeria monocytogenes adalah sekitar 70% dengan kurang dari 500 kematian per tahun di Amerika Serikat.

Ada beberapa faktor penyebab daging berbau tidak sedap sesudah dipotong.
Pertama, sebelum pemotongan hewan sudah sakit terutama menderita radang akut pada organ dalam yang akan menghasilkan daging berbau tak sedap. 

Kedua, hewan dalam pengobatan terutama dengan pengobatan antibiotik akan menghasilkan daging yang berbau obat-obatan. Ketiga, warna daging tidak normal tidak selalu membahayakan kesehatan, namun akan mengurangi selera bagi konsumen.

Keempat, konsistensi daging tidak normal yang ditandai kekenyalan daging rendah (jika ditekan terasa lunak) dapat mengindikasikan daging tidak sehat, apabila disertai dengan perubahan warna yang tidak normal, sehingga tidak layak konsumsi. 

Kelima, pembusukan dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik pada waktu pendinginan, sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat, atau karena terlalu lama dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama pada suhu kamar, sehingga terjadi proses pemecahan protein oleh enzim-enzim dalam daging yang menghasilkan amonia dan asam sulfide.

Agar Daging Tak Bau
Daging sapi berbau ternyata tak melulu disebabkan oleh sapi yang tak sehat, tetapi juga karena penangannya yang tidak baik. Jika disebabkan oleh penyebab kedua, maka tidak terlalu sulit untuk mengatasinya. Banyak resep yang mengulas tentang cara menangani daging sapi agar tidak berbau, khusunya bau amis.

Cuka dan tomat dipercaya mampu hilangkan bau anyir atau amis pada daging sapi. Selain dapat menghilangkan amis, cuka dan tomat memiliki kandungan asam yang bisa mengempukkan daging. Setelah daging dicuci bersih, usapi daging dengan cuka. Cukup setengah sendok teh cuka untuk satu potongan daging. Karena bila terlalu banyak maka bisa menghilangkan cita rasa dari daging tersebut.

Kemudian, jeruk nipis juga kerap digunakan oleh juru masak di berbagai restoran maupun rumah makan. Jeruk nipis memiliki manfaat untuk melunakkan dan mengurangi bau amis pada daging. Selain itu, daging yang telah dilumuri jeruk nipis akan lebih awet, karena cairan jeruk nipis dapat menumbuh bakteri. Sebelum dimasak daging dilumuri dengan air perasan jeruk nipis lalu tunggu hingga 30 menit agar air perasan jeruk meresap.

Adapun parutan nanas yang juga sering menjadi andalan para ibu rumah tangga untuk menaklukkan bau tak sedap pada daging sapi. Nanas mengandung enzim nabati yang akan mudah larut dalam protein daging, serta mampu memecah jaringan ikatnya. Aroma asam nanas juga membantu meredam aroma amis pada daging. Parut atau belender nanas terlebih dahulu lalu lumuri daging sapi dengan parutan nanas agar cepat empuk. Lalu diamkan dan simpan selama sejam. Sesuaikan jumlah parutan nanas jangan terlalu banyak karena daging bisa hancur saat dimasak.

Parutan jahe juga menjadi bahan yang tak kalah jitu untuk meredam bau tak sedap pada daging sapi. Jahe merupakan rempah alami dengan aroma khas yang sering digunakan sebagai campuran penghilang bau amis pada daging ketika direbus. Enzim preteolitik pada jahe dapat memecah protein sehingga daging cepat empuk. Caranya parut jahe terlebih dahulu, lalu parutan tersebut dioleskan pada daging, diamkan sekitar 30 menit, barulah bisa dimasak sesuai selera.

Satu lagi bahan yang lazim digunakan para pengolah daging adalah daun pepaya. Cara ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi bau tidak sedap pada daging kambing. Daun pepaya juga bisa diaplikasikan pada jenis daging yang lain. Caranya yaitu dengan membungkus daging dengan daun pepaya. Jika kesulitan mencari daun pepaya, serbuk papain yang berasal dari getah pepaya dapat dipakai untuk menghilangkan bau tidak sedap pada daging dan bahkan bisa membuat daging menjadi empuk.

Itulah beberapa tips sederhana yang bisa dipraktikan untuk meredam bau tak sedap pada daging sapi. Semoga bermanfaat. (Abdul Kholis)

OPERASI PASAR DAGING HINGGA H-1 LEBARAN

 Permintaan daging akan terus meningkat sampai menjelang Lebaran (Foto: liputan6.com)


Operasi Pasar daging di Jakarta masih dilakukan hingga H-1 Lebaran. Hal ini dikemukakan Sekjen Perkumpulan Penyelenggara Jasaboga Indonesia (APJI), Diana Dewi

"Sejak awal Ramadan sampai dengan H-1 lebaran, Operasi Pasar daging sapi dan kerbau beku ini dilaksanakan di seluruh wilayah Jakarta ditambah dengan Depok, Bekasi dan Bogor dengan 100 titik lokasi," kata Diana dalam acara buka puasa bersama 1.000 anak yatim bertempat di Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.

Daging beku operasi pasar dijual dengan harga Rp70.000 per kilogram, sedangkan harga normal di pasar saat ini di kisaran Rp80.000 per kilogram.

Diana memperkirakan permintaan daging akan terus meningkat sampai menjelang lebaran. Apalagi berdasarkan data telah terjadi kenaikan daya beli masyarakat Jakarta sebesar 10 persen.

Lanjutnya, saat H-1 nanti melalui Toko Daging Nusantara di Kranggan Bekasi akan digelar pasar murah daging beku dengan harga Rp 65.000 per kilogram.

Imbuh Diana, untuk stabilitas harga daging sapi sulit untuk mengandalkan sapi dan kerbau lokal. Untuk itu pemerintah harus segera membuka keran impor khususnya dari Selandia Baru.

"Memang pemerintah tengah melaksanakan program pembiakan sapi lokal melalui inseminasi buatan, namun hasilnya baru akan terlihat dalam waktu dua atau tiga tahun mendatang," ujar Diana.

Menurut Diana, selama ini konsumsi daging di Indonesia rata-rata berkisar 2,5 kilogram per kapita. Namun biasanya menjelang Lebaran, konsumsi daging meningkat tiga kalinya. (Sumber: liputan6.com/INF)

KEMENTAN: SELAMA RAMADAN STOK DAGING DAN TELUR AMAN

Kementan memastikan stok daging sapi, daging ayam dan telur aman selama Ramadan. (Dok. Ditjen PKH)

Selama bulan Ramadan 1440 H, Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan stok daging sapi, daging ayam dan telur ayam ras dalam kondisi aman. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita, menegaskan Kementan terus menjaga ketersediaan pasokan produk pangan asal hewan dalam menghadapi hari besar keagamaan dan nasional (HBKN).

“Berdasarkan data per minggu pada Mei ini, stok daging sapi sebanyak 65.410 ton, sedangkan kebutuhan ada diangka 59.047 ton, jadi masih ada surplus 6.363 ton yang kita miliki,” kata Ketut dalam keterangan tertulisnya, Minggu (12/5/2019). 

Sementara, lanjut dia, stok daging ayam yang tersedia sebanyak 277.910 ton dengan kebutuhan masyarakat di kisaran 274.382 ton (surplus 3.528 ton). Sedangkan untuk telur ayam ras tersedia 243.510 ton dan kebutuhannya 167.144 ton (surplus 76.366 ton). “Kami harapkan dengan ketersediaan stok yang cukup, harga semestinya stabil di pasaran dan konsumen tenang,” jelasnya. 

Selain menjaga harga di level konsumen stabil, Kementan juga menjamin peternak dengan harga yang bagus, sehingga masing-masing pihak nyaman dan menikmati hasil yang baik.

Ia juga menegaskan, Kementan terus melakukan operasi pasar dan memantau perkembangan stok daging dan telur di pasaran, selain memastikan pangan asal hewan memenuhi prinsip ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), dengan mengerahkan tim pengawas dari Kesmavet, dinas, BPMSPH, Kementerian Agama dan instansi lainnya.

Selain itu, Ketut juga mengimbau masyarakat mewaspadai dan tidak terpengaruh berita hoax mengenai pangan asal hewan. Seperti munculnya beberapa pemberitaan telur palsu dan ayam disuntik hormon di media sosial.

“Berita itu tidak benar, Kementan menjamin bahwa tidak ada telur palsu dan ayam yang disuntik hormon di Indonesia. Saya himbau pihak-pihak yang menyebarkan informasi tersebut untuk berhenti membuat resah,” ucap dia.

Ia berharap, masyarakat lebih bijak dalam menyikapi sebuah informasi. Kementan bersama instansi terkait rutin melakukan pengawasan terhadap produk pangan asal hewan agar produk tersebut ASUH bagi masyarakat.

Pihaknya akan menindaklanjuti laporan apabila terdapat produk hewan tidak sesuai kriteria ASUH dan melakukan penindakan bila ditemukan pelanggaran hukum. Kementan juga menyediakan informasi melalui media sosial dan website yang dapat dijadikan referensi masyarakat sebagai pengetahuan. (INF)

DINAS PETERNAKAN JATENG CEGAH PEREDARAN DAGING GELONGGONGAN

Ilustrasi daging sapi mentah (Foto: Pixabay)

“Praktik penggelonggongan sapi sebelum dipotong itu tidak sesuai dengan kesejahteraan hewan atau animal welfare,” ungkap Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnak Keswan) Provinsi Jateng, Lalu Muhammad Syafriadi di Semarang, Selasa (7/5/2019).

Lalu menambahkan, penggelonggongan juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang diubah menjadi UU Nomor 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Saat ini, menurut Lalu, Disnak Keswan Provinsi Jawa Tengah bersama pihak terkait mengintensifkan sosialisasi di masyarakat guna mencegah peredaran daging sapi gelonggongan yang tidak aman, sehat, utuh, dan halal.

"Ditengarai praktik penggelonggongan sapi sebelum dipotong masih banyak terjadi di Jateng, tapi angka pastinya saya belum dapat," kata Lalu.

Lebih lanjut Lalu menjelaskan, pada UU Peternakan dan Kesehatan Hewan disebutkan bahwa kesejahteraan hewan memiliki tiga aspek penting yakni pengetahuan, etika, serta hukum.

"Aspek-aspek tersebut tidak dipenuhi dalam praktik penggelonggongan sehingga jelas menipu konsumen dan menyiksa hewan lebih dulu," ujarnya.

Selain menipu masyarakat dari segi berat timbangan, daging gelonggongan yang mengandung banyak air juga lebih cepat terkontaminasi bakteri sehingga membahayakan kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya.

Sebagai upaya pencegahan daging gelonggongan, jajaran Disnak Keswan di tingkat provinsi dan kabupaten /kota telah meminta petugas rumah pemotongan hewan (RPH) agar tidak menerima sapi yang diduga digelonggong air terlebih dulu.

Menurut Lalu, pelaku penggelonggongan terhadap sapi bisa ditindak sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

"Kami tidak bisa berdiri sendiri mengingat terbatasnya jumlah SDM dan pengawasnya, sehingga butuh peran aktif masyarakat. Sementara pemotongan sapi bisa dilakukan di rumah-rumah warga," tandasnya. (Sumber: antaranews.com)

Hindari Stres Hewan, Hasilkan Daging Berkualitas Prima

Kegiatan Pelatihan Manajemen dan Sistem Penjaminan Mutu RPH Ruminansia di Fakultas Peternakan IPB.

Status fisiologis hewan yang akan disembelih, sangat berpengaruh pada kualitas daging yang dihasilkan. Oleh karenanya, penanganan yang tidak welfare pada saat sebelum dan selama proses penyembelihan akan menimbulkan stres dan mengaktifasi sistem simpatis.

Menurut pengajar FKH IPB Supratikno, dalam Pelatihan Manajemen dan Sistem Penjaminan Mutu RPH Ruminansia yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) di Bogor, Selasa (11/12/2018) lalu, pada saat stres, darah akan lebih banyak dialirkan ke otak dan otot rangka dan sistem simpatis akan bekerja mengkonstrisikan buluh darah.

“Jika hewan dalam kondisi ini disembelih maka proses kematiannya menjadi lama, hewan meronta-ronta sehingga daging menjadi memar serta darah banyak tertinggal di dalam daging,” kata Supratikno.

Pada hewan yang stres kronis berkepanjangan, maka cadangan glikogen otot sangat sedikit sehingga proses pembentukan asam laktat sangat sedikit dan PH daging tetap tinggi menyebabkan daging menjadi dark, firm dan dry (DFD).

Supratikno menjelaskan, hewan yang stres akut sesaat sebelum disembelih akan terjadi pemecahan glikogen yang tinggi lalu menyebabkan pembentukan asam laktat dan penurunan PH terlalu cepat di jam pertama setelah penyembelihan.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil sembelihan dengan kualitas yang prima, maka prinsip-prinsip kesejahteraan hewan dalam proses penangangan hewan yang akan disembelih harus diterapkan secara benar. Hindari hewan mengalami stres saat sebelum disembelih, sehingga dihasilkan daging yang berkualitas tinggi. (AS)

Harga Sapi Lokal per Oktober Stabil

Ilustrasi (sumber: unsplash)

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), I Ketut Diarmita mengemukakan saat ini harga sapi lokal di tingkat peternak cukup stabil, per 8 Oktober 2018 sebesar Rp 44.123 per kg berat hidup. Harga pada minggu pertama Oktober 2018 sebesar Rp 44.237 per kg berat hidup.

Ketut menjelaskan untuk harga daging sapi lokal di tingkat konsumen juga cenderung stabil. Rata-rata saat ini sebesar Rp 112.963 per kg, dibandingkan pekan pertama Oktober 2018 sebesar Rp 112.968 per kg.

Pemerintah melakukan impor daging sapi dan kerbau dikarenakan kebutuhan konsumsi daging di Indonesia cukup besar sekitar 662.540 ton untuk tahun ini.

Seperti dikutip dari laman kontan.co.id, Ketut menyatakan impor dilakukan dengan merujuk berdasarkan konsumsi per kapita untuk daging sapi atau kerbau sebesar 2,5 kg per tahun dengan jumlah penduduk tahun 2018 sebesar 265.015 ribu jiwa.

Menurut Ketut, produksi dalam negeri belum dapat mencukupi kebutuhan konsumsi tersebut. Produksi daging dalam negeri tahun 2018 sekitar 2.785.193 ekor setara dengan 429.410 ton daging sapi, sehingga terdapat kekurangan suplai sebesar 233.130 ton.

Kekurangan pasokan tersebut dipenuhi dari impor sapi bakalan sebanyak 600.000 ekor setara dengan 119.620 ton dan impor daging sapi atau kerbau sekitar 113.510 ton.

“Harga daging sapi dan kerbau impor sesuai dengan Permendag 96 tahun 2018 sampai saat ini Rp 80.000 per kg. Harga tersebut sebagai harga acuan tertinggi penjualan di tingkat konsumen,” kata Ketut.(Sumber: kontan.co.id)


Keamanan Daging Sapi Brazil dari PMK Dipertanyakan

Daging impor.
Kemenangan Brazil dalam sidang banding di WTO (World Trade Organization/WTO), yang memenangkan sebagian gugatan Brazil atas Indonesia ternyata masih menyisakan tanda tanya dan kekhawatiran. Kekhawatirannya bukan lagi soal ancaman serbuan daging ayam ke pasar dalam negeri.

Dalam wawancara dengan Infovet, Syamsul Ma’arif, Direktur Kesmavet Ditjen PKH (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan) Kementerian Pertanian, menyebutkan, meskipun menang dalam sidang gugatan di WTO, Brazil tidak akan mengekspor daging ayam ke Indonesia. Sebagai gantinya, mereka meminta mengekspor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia.

Ini sesuai kesepakatan dengan tim Kementerian Pertanian Brazil yang bertemu dengan Menteri Pertanian Indonesia Februari 2018, telah diperoleh kesepahaman bahwa Brazil sangat memahami Indonesia yang sudah surplus daging ayam, sehingga bersedia untuk tidak akan mengekspor daging ayamnya ke Indoensia.

Keinginan Brazil untuk mengekspor daging sapi ke Indonesia memang sudah sejak lama disampaikan. Namun, isu penyakit mulut dan kuku (PMK) yang mewabah di Brazil pada 2008 menjadikan keinginan itu tertahan. Kini, kemenangannya dalam sidang gugatan tersebut menjadi momentum bagi Pemerintah Brazil untuk kembali menegaskan keinginannya itu.

Bagi pemerintah Indonesia impor daging sapi asal Brazil ini dilakukan guna menyediakan daging dengan harga murah bagi masyarakat. Konon, daging sapi dari Brazil akan dijual dengan harga Rp 80 ribu per kg. Artinya, harga daging sapi Brazil di pasaran lebih rendah dibandingkan daging sapi lokal yang berada di level Rp 120 ribu per kg dan daging kerbau India Rp 110 ribu.

Tapi benarkah saat ini Brazil sudah aman dari wabah PMK yang sangat berbahaya itu? Inilah yang menjadi kekhawatiran sejumlah importir dalam negeri jika memang akhirnya pemerintah membuka kran impor daging sapi dari “Negeri Samba” itu.

Niat pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil dikritik oleh para importir. Mereka menilai pemerintah lagi-lagi mengimpor daging dari negara yang belum ada kepastian bebas dari PMK.

Awal April lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring, kepada media menyebutkan Brazil merupakan salah satu eksportir daging sapi yang paling besar, tapi banyak daerahnya yang belum bebas dari PMK, sama dengan India.

Keputusan pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil memang sah-sah saja dilakukan. Sebab sudah ada payung hukumnya, yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun menurut Thomas,perlu diingatkan juga, di Brazil mayoritas daerahnya belum bebas dari PMK. Sehingga,perlu pengawasan pemerintah terhadap masuknya daging sapi Brazil ke dalam negeri diperketat.

Importir Masih Khawatir
Kekhawatiran para importir dan konsumen direspon pemerintah. Sebelum bulan Ramadan lalu, Kementerian Pertanian bergerak cepat dengan memberangkatkan tim audit ke Brazil yang bertugas mengecek kesehatan dan kesiapan daging sapi di Negeri Sepak Bola untuk segera diimpor ke Indonesia.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, waktu itu menyatakan pihaknya tetap membuka opsi impor dari negara lain supaya jangan terjadi monopoli.

Tim yang terdiri dari unit teknis dan komisi ahli memastikan kesehatan daging sapi, terutama dari penyakit mulut dan kuku agar daging sapi yang diimpor dari Brazil aman dikonsumsi masyarakat.Tak hanya itu, tim pemerintah yang total berjumlah 22 orang itu  juga menyertakan tim dari Majelis Ulama Islam (MUI) untuk memastikan sertifikasi halal daging impor serta tim dari industri.

Tim audit ini diketuai Tri Satya Putri Naipospos. Pemerintah bergerak cepat sehingga unit teknis dan komisi ahli dikirimkan bersamaan. Tim ini melakukan pemeriksaan yang ketat. Salah satu alasan utama pemeriksaan dilakukan secara ketat, karena sapi Brazil belum bebas penyakit mulut dan kuku, meski dalam 10 tahun terakhir, belum pernah ada kasus penyakit daging sapidi negara tersebut.

Brazil juga diketuhui telah mengajukan bebas penyakit berdasarkan vaksinasi kepada The World Organisation for Animal Health (OIE). Namun demikian, masih ada peluang untuk timbul ancaman yang bisa berakibat kepada Indonesia.

Bagaimana hasil kerja tim ini? Hingga berita ini ditulis, belum ada informasi kepastian jadi atau tidaknya mengimpor daging sapi asal Brazil.

Informasi yang terakhir yang disampaikan pihak Kementerian Pertanian, bahwa sesampai di Indonesia hasil kerja tim tengah dikaji oleh tim ahli yang apakah low risk atau high risk. Selain itu, pihaknya juga masih menunggu kabar dari Majelis Utama Indonesia (MUI) untuk rekomendasi halal. Sebab pihaknya menyatakan tidak akan melakukan impor bila tidak mendapatkan rekomendasi dari MUI.

Pihak Kementan menegaskan pada dasarnya kesepakatan tersebut masih bisa dibatalkan bila tidak memenuhi persyaratan dari Indonesia, yaitu berisiko dan tidak ada rekomendasi halal dari MUI.

Bargaining Power
Mencermati rencana pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil, Robby Agustiar, konsultan bisnis daging sapi, memiliki pendapat tersendiri. Menurutnya, rencana impor daging dari Brazil harus dilihat dulu apa maksud dan tujuannya.

“Kalau tujuannya untuk mengubah harga di pasar yang ada saat ini, saya yakin daging impor Brazil tidak akan bisamurah seperti yang disampaikan pemerintah, yaitu Rp 80 ribu per kg. Harga pasar sapi Brazil juga masih lebih mahal dari harga daging kerbau dari India,” ujarnya.

Daging yang dijual di pasar tradisional.
Harga daging kerbau India di pasaran saat ini masih di kisaran angka Rp 80 ribu per kg. Sementara untuk takaran pemerintah yang menyatakan harga sapi asal Brazil bisa Rp 80 ribu per kg, ditanggapi pesimis.

“Saya sih nggak yakin harga segitu. Karena perjalanan kargo dari Brazil untuk sampai ke Indonesia itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Sudah pasti biayanya pun akan tinggi,” katanya.

Robby menduga, rencana impor daging sapi dari Brazil, nantinya akan dijadikan bargaining power (kekuatan tawar) terhadap India, karena harga daging kerbau dari India akan naik. Momentum ini sangat klop dengan kesepakatan antara Pemerintah Brazil dan Pemerintah Indonesia, yang tidak akan mengeskpor daging ayam ke Indonesia. Sebagai gantinya, Brazil meminta aka mengeskpor daging sapi.

Sebelumnya diberitakan harga daging kerbau India sudah mulai naik, karena demand-nya sudah mulai bertambah ke negara-negara lain, seperti Malaysia. Dulu, impor daging kerbau hanya dilakukan oleh Indonesia.

“Saya nggak tahu apakah pemerntah ini akan membuka impor bebas semua importir atau hanya oleh Bulog saja yang mengimpor. Ini yang belum kita ketahui. Kalau Bulog sebagai distributor tunggal, maka kemungkinan besar rencana impor sapi dari Brazil ini bertujuan untuk menciptakan bargaining power kepada distributor dari India,” papar Robby.

Jika memang harus mengimpor dari Brazil, yang menjadi pertanyaan, benarkah daging sapi asal negara tersebut sudah benar-benar aman dari penyakit mulut dan kuku?  Ini memang menjadi kewenangan dokter hewanyang turut serta dalam tim tadi untuk menajawabnya. “Yang pasti, soal PMK ini, pemerintah harus tahu apa risikonya dan menyiapkan infrastruktur kalau ternyata PMK benar-benar terjadi,” harapnya.

Seperti diketahui tahun 2008 peternakan sapi di Brazil masih belum aman dari PMK. Untuk itu, Robby menyarankan persoalan PMK ini harus jelas dan aman lebih dulu, sebelum bicara soal harga daging sapi.

(Abdul Kholis)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer