Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini sapi potong | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PTPN XII GELONTORKAN 9,6 MILIAR RUPIAH UNTUK DUKUNG USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG

Asisten Kepala Kebun Silosanen, Imam Supardi menjelaskan kriteria bakalan sapi yang baik untuk diternak kepada Kepala Sub Bagian Komunikasi Perusahaan dan PKBL, Adhi Priyo Utomo saat acara penyaluran dana PUMK di Kebun Silosanen, Jember, Senin (19/12).


PT Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) tahun ini mengalokasikan dana sebesar Rp 9,6 milyar untuk program Pendanaan Usaha Mikro & Usaha Kecil (PUMK) sektor peternakan. 

Program PUMK tersebut dikucurkan pada tahap pertama, yakni sebesar Rp5,2 miliar kepada 363 orang mitra peternak penggemukan sapi potong yang berasal dari 17 unit kebun PTPN XII di wilayah Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember, Malang, dan Kediri, di Kebun Silosanen, Jember. 

Asisten Kepala (Askep) Kebun Silosanen PTPN XII, Imam Supardi mengatakan program kemitraan ini merupakan salah satu bentuk kehadiran BUMN untuk Indonesia melalui PTPN XII kepada masyarakat di sekitar kebun. Hal itu untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan melakukan peternakan sapi.

“Dana ini merupakan dana pinjaman bergulir dari perusahaan yang selama ini sudah disalurkan secara berkesinambungan guna membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan UMKM di sekitar kebun,” kata Imam Supardi.

PTPN XII mengucurkan dana program kemitraan kepada masyarakat di lingkungan kebun sejak 2001, dan hingga Desember 2022 ini total dana yang yang disalurkan mencapai Rp96 miliar. Para petani peternak binaan yang diberikan dana kemitraan tersebut tergabung dalam 83 kelompok mitra peternak.

Kepala Sub Bagian Komunikasi Perusahaan dan PKBL PTPN XII, Adhi Priyo Utomo menambahkan bahwa program Kemitraan PTPN XII yang disalurkan kepada mitra ini berupa pinjaman usaha pada sektor peternakan, hingga akhir November 2022 mencapai 121% dari Rencana Kerja Anggaran (RKA) tahun 2022.

“Jika tahun lalu masing-masing peternak diberikan dana modal pembelian sapi bakalan sebesar Rp12 juta per peternak, tahun ini naik jadi Rp14 juta per peternak. Pengembalian dana kepada PTPN XII selama 20 bulan,” tuturnya.

Menurut Adhi, berternak sapi di sekitar kebun menjadi keuntungan kedua belah pihak, baik bagi peternak sapi maupun bagi kebun. 

Peternak bisa memperoleh pakan untuk ternaknya dan kebun dari rumput liar/ gulma yang tumbuh sehingga pihak kebun terbantu dalam pemberantasan gulma tersebut. Sedangkan kebun memanfaatkan kotoran sapi untuk pupuk tanaman. 

Untuk melindungi kerugian usaha ternak yang berasal dari kehilangan hingga kematian hewan ternak, PTPN XII bekerja sama dengan Jasa Tania  untuk melindungi seluruh hewan ternak peternak. 

"Ini salah satu bentuk inisiasi kami, karena setiap tahunnya ada laporan hewan mati atau hilang, sehingga para peternak merugi," ungkap Adhi.

Sementara itu, salah satu Mitra Peternak dari Kabupaten Jember Johan Wahyudi mengakui program kemitraan PTPN XII sangat membantu perekonomian masyarakat sekitar kebun. Untuk itu ia berharap program ini akan terus digelar secara berkesinambungan.


“Di masa pandemi banyak orang kehilangan pekerjaan. PTPN XII memberikan pinjaman untuk modal kepada para mitra untuk membeli bakalan sapi potong usia 5-7 bulan yang dipelihara sampai dewasa dan gemuk, kemudian jika sudah cukup umur lalu dijual. Rerata para mitra mendapat untung dari program ini, kami berharap dapat terus menerus dilaksanakan”, terang Johan Wahyudi yang sehari - hari juga bekerja sebagai Mandor di Kebun Silosanen.

Kepala Bagian Sekretaris Perusahaan PTPN XII Winarto mengatakan kerja sama kemitraan PTPN XII dengan peternak sapi ini sudah dilakukan dalam beberapa tahapan, dan selama ini pengembalian dana cukup lancar. 

Sehingga dapat disalurkan kembali kepada mitra lain yang membutuhkan. Upaya ini dilakukan sekaligus mendukung program pemerintah untuk swasembada daging nasional.

Hubungan yang terjalin baik dan harmonis antara petani peternak dengan kebun akan menciptakan keadaan yang kondusif di lingkungan perkebunan yang merupakan aset besar negara Indonesia. 

Selain disalurkan pada sektor peternakan, PTPN XII juga menyalurkan dana kemitraan pada beberapa sektor lain, diantaranya sektor industri mikro kecil, perdagangan, jasa, dan koperasi.

“Kami juga memberikan apresiasi berupa uang tunai kepada para mitra binaan yang tertib dalam pengembalian dana kemitraan,” ucap Winarto.

Terkait perlindungan atas kerugian usaha ternak, Kepala Asuransi Jasa Taini Cabang Jember, Eti Agus Wulandari mengungkapkan, selama tahun 2021 hingga 2022 pihaknya telah mengeluarkan dana klaim 2 eko sapi dari jumlah 4 ekor di klaim dari peternak sapi potong binaan PTPN XII. 

"Baru 2 ekor saja yang terbayar oleh klam yakni sebasar Rp 7,2 juta per ekor. Sementara sisanya kami harus menunggu data yang lengkap untuk mengkla asuransi ini," ungkapnya.

Keterlambatan klaim untuk asuransi ternak khusus hewan sapi potong, kata Eti, dikarenakan adanya keterlambatan penyerahan data dan kurangnya data pelengkap oleh peternak. Sehingga proses untuk klaimnya juga terlambat. 

"Kami berharap kedepan, guna mempercepat proses klaim ini peternak harus lengkap datanya. Sehingga kami bisa cepat memprosesnya," pungkas Eti. (INF)

STOK SAPI POTONG DI LAMPUNG AMAN

Daging Sapi, Mengalami Kenaikan Permintaan Menjelang Idul Fitri

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung memastikan stok sapi potong dan daging sapi aman. Warga diminta tidak khawatir dan tetap mendukung produk daging lokal Lampung.

Berdasarkan Data Ketersediaan Komoditas Peternakan Menghadapi Ramadhan dan Idulfitri 1443 H/2022 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, jumlah pasokan sapi siap potong di feedlotter dan kabupaten/kota sebanyak 40.750 ekor. Sementara kebutuhan konsumsi sebanyak 21.304 ekor sehingga surplus sebanyak 17.446 ekor.

Pada April 2022, perkiraan kebutuhan sapi sebanyak 10.702 ekor atau 1.892 ton sementara ketersediaannya ada 12.282 ekor atau 2.172 ton alias surplus 1.580 ekor atau 279 ton. Kemudian pada Mei 2022, perkiraan kebutuhan sapi mencapai 10.602 ekor atau 1.875 ton dengan ketersediaan sebanyak 12.167 ekor atau 2.152 ton, surplus 1.565 ekor atau 277 ton.

"Yang pasti stok daging lokal di Lampung aman dan Lampung tidak menerima impor daging kerbau," kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, Lili Mawarti, Senin, 18 April 2022.

Guna menjaga kestabilan harga dan pasokan daging di Provinsi Lampung, pihaknya mengaku sudah mengimbau seluruh perusahaan penggemukan sapi potong agar tidak menaikkan harga jual. Tetapi apabila mengalami kenaikkan maka diharapkan dengan harga yang wajar dan mengutamakan kebutuhan daging sapi di Provinsi Lampung dibandingkan daerah lain.

"Data harga rata-rata konsumen komoditas peternakan daging sapi di Provinsi Lampung selama Maret 2022 berdasarkan Petugas PIP di 9 Kabupaten/Kota) yakni Minggu pertama Rp126.600/kg, minggu kedua Rp128.500/kg, minggu ketiga Rp128.900/kg dan minggu keempat Rp130.000/kg," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, Anwar Fuadi menambahkan, stok dan kebutuhan daging kerbau di Lampung terbatas.

"Dulu daging kerbau dicari karena lebih murah dibandingkan sapi dan dipakai untuk campuran untuk bakso dan sebagainya, tetapi sekarang harga daging kerbau sudah sama dengan daging sapi, bahkan sekitar Rp150an ribu/kg. Lampung belum merekomendasikan untuk daging kerbau impor masuk," katanya (CR)

UGM & PARTNERSHIP GELAR PELATIHAN MANAJEMEN PAKAN SAPI

Pelatihan manajemen pakan sapi kerja sama UGM dan Partnership. (Foto: Istimewa)

Sebuah pelatihan tentang manajemen pemberian pakan untuk sapi digelar pada 15-25 Maret 2021 dan diikuti oleh 25 peserta dari 108 pendaftar. Pelatihan yang diselenggarakan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Indonesia-Australia Red Meat Cattle Partnership tersebut bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan bidang industri sapi potong.

Agriculture Counsellor Kedutaan Australian Jakarta, George Hughes, mengatakan bahwa pelatihan tersebut dimaksudkan untuk membekali peserta dengan pemahaman lengkap mengenai praktik manajemen pakan dan pakan ternak bersamaan dengan kemampuan mengembangkan rasio biaya pakan rendah untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan.

“Juga diharapkan agar peserta saling belajar, berbagi ilmu dan pengalaman dengan para peserta pelatihan lainnya,” ujar Hughes.

Materi pelatihan meliputi supply chain bahan baku pakan, manajemen gudang pakan, formulasi pakan yang efisien, peran penting mineral dan vitamin, hijauan makanan ternak, manajemen pasture dan manajemen penyakit yang berkaitan dengan pakan. Pelatihan dilakukan secara online melalui pembelajaran asynchronous menggunakan platform eLOK UGM dan pembelajaran secara synchronous menggunakan zoom meeting.

Peserta dapat mengakses materi sebelum pembelajaran langsung (asynchronous), sehingga pembelajaran langsung dengan pemateri menggunakan studi kasus yang dibuat oleh pemateri untuk meningkatkan keaktifan peserta dalam diskusi dan menghubungkan studi kasus dengan materi yang telah didapatkan dalam pembelajaran asynchronous. Peserta juga mendapatkan online practice yang terdiri dari materi kontrol kualitas bahan baku pakan dan pembuatan formulasi pakan dengan Least Cost Ratio (LCR).

Metode pelatihan juga menggunakan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengembangkan model pembelajaran dari peserta ke peserta. Para peserta secara aktif berbagi pengetahuan dari pengalaman peternakan yang selama ini mereka jalankan. Setelah memperoleh materi pelatihan, para peserta akan membuat mini project terkait perencanaan manajemen pakan yang akan dilakukan pada perusahaan atau peternakan peserta. Proyek tersebut bertujuan agar peserta dapat menerapkan ilmu yang didapatkan selama pelatihan untuk menyelesaikan permasalahan manajemen pakan dan meningkatkan produktivitas ternak.

“Pelatihan manajemen pakan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peserta sehingga meningkatkan kompetensi untuk mendukung produktivitas peternakan atau perusahaan masing-masing. Selain itu, pelatihan ini dapat menambah jaringan antar peserta dan meningkatkan kolaborasi di masa sekarang atau mendatang,” kata Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof Dr Zaenal Bachruddin, yang juga koordinator progam pelatihan tersebut. (IN)

MENGGUGAH MINAT KAUM MILENIAL BERBISNIS SAPI PEDAGING

Jumpa publik pengalaman merintis peternakan sapi pedaging di Indonesia oleh Nanang Purus Subendro. (Foto: Istimewa)

Dalam suasana serba sulit seperti yang terjadi disaat pandemi ini, industri sapi pedaging di Indonesia harus bisa kreatif dan beradaptasi dengan keadaan di lapangan. Sebelum pandemi industri sapi pedaging mengalami banyak tekanan, khususnya karena adanya persaingan dengan daging impor, disamping masalah produktivitas, urusan jebakan pangan daging sapi, kehalalalan, serta aspek kesejahteraan ternak.

Pada awal pandemi, industri sapi pedaging mengalami kesulitan baik dalam hal pengadaan sarana produksi peternakan, khususnya bakalan dan pakan, kenaikan biaya distribusi dan penurunan omzet karena berkurangnya kegiatan yang membutuhkan banyak daging. Selain itu, pandemi juga berdampak negatif terhadap industri sapi pedaging karena turunnya daya beli masyarakat.

Di sisi lain, ada harapan besar peternakan sapi pedaging bisa berkontribusi menjadi salah satu penopang food estate, lumbung pangan, memiliki peran besar pada pemenuhan sumber protein hewani bangsa, yang penting bagi keberlanjutan generasi muda Indonesia yang maju, cerdas, sehat dan berdaya saing tinggi.

Menghadapi kondisi tersebut, para generasi milenial harus dapat menghadapi fakta ini dengan optimisme. Jika berminat untuk terjun di peternakan sapi pedaging, persiapan harus dilakukan sejak dari sekarang, antara lain dengan mempelajari, bergelut langsung di peternakan sapi, serta berinteraksi dengan para pelaku bisnis sapi pedaging.

Hal itu dipaparkan oleh Nanang Purus Subendro, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) yang juga Direktur PT Indo Prima Beef (IPB) dalam acara “Jumpa Publik: Pengalaman Merintis Peternakan Sapi Pedaging di Indonesia” yang diselenggarakan Indonesia Livestock Alliance (ILA) melalui daring, Sabtu (16/1/2021).

Untuk mendorong para milenial dapat menekuni peternakan sapi pedaging, Nanang secara terbuka menyediakan farm-nya untuk dijadikan sarana pelatihan dan pembelajaran dalam beternak sapi pedaging. Kesempatan magang di farm PT Indo Prima Beef yang berlokasi di Lampung Tengah, terbuka luas bagi para calon peternak ataupun mahasiswa yang berminat.
 
Di samping itu, edukasi tentang peternakan sapi pedaging untuk menggugah minat generasi muda masuk ke dalamnya, antara lain adalah dengan melakukan kerja sama dengan lima perguruan tinggi, untuk mensosialisasikan serta mengajak mahasiswa terutama dari Fakultas Peternakan dan Fakultas Kedokteran Hewan untuk praktek langsung cara beternak sapi pedaging. Nanang mendatangi kampus-kampus yang mengundangnya untuk berbagi pengalaman dan kiat dalam berbisnis sapi pedaging. (IN)

PENGEMBANGBIAKAN SAPI BX BUKAN DARI HARTA “GHANIMAH”

(Foto: pataka.or.id)

Oleh: Rochadi Tawaf (Dewan Pakar PB ISPI)

Program pembiakan sapi BX yang selama ini dintroduksikan adalah sebagai berikut, 1) Pembiakan dengan pola integrasi sapi sawit. 2) Pembiakan dengan pola penggembalaan di padang rumput. 3) Pembiakan dengan pola pemeliharaan intensif dikandangkan. 4) Pola pengembangan semi breedlot, yaitu pembiakan yang dilakukan oleh para pengusaha feedlot. Program ini dilakukan oleh Indonesia Australia Comercial Cattle Breeding (IACCB) sejak 2016 silam.

Pola pembiakan sapi BX yang dilakukan bersama dengan peternakan rakyat, telah dilaksanakan di Koperasi Petani Ternak Maju Sejahtera (Lampung Selatan), Koperasi Karya Baru Mandiri (Kotawaringin Barat Kalimantan Selatan) dan Sentra Peternakan Rakyat Mega Jaya (Bojonegoro). Program ini telah menghasilkan efisiensi teknis sosial dan ekonomis usaha ternak pembiakan di wilayah tersebut.

Pada 2015, 2016 dan 2018, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), memiliki program untuk meningkatkan populasi ternak dan produksi daging sapi melalui importasi sapi potong betina produktif dari Australia. Data dari Ditjen PKH menyatakan bahwa impor sapi potong betina produktif pada 2018 sebanyak 2.652 ekor sapi Brahman Cross dan telah didistribusikan ke kelompok ternak dan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah).
 
Pada akhir Juni 2019, Konsultan PT Mitra Asia Lestari (MAL) melakukan pemantauan perkembangan ternak sapi BX betina produktif yang telah didistribusikan ke beberapa kelompok dan UPTD di sembilan provinsi. Pemantauan difokuskan pada kondisi ternak, seperti tingkat kematian, nilai Body Condition Score (BCS), serta kondisi ketersediaan pakan di 41 kelompok dan empat UPTD (Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Laporan hasil pemantauan menyatakan bahwa dari jumlah tersebut ditemukan sebanyak 54 ekor ternak mati, 252 ekor ternak dalam kondisi yang sangat kurus dengan BCS 1 dan 352 ekor dengan BCS 2. Kesimpulan kajian tersebut, bahwa permasalahan utama adalah karena kurangnya ketersediaan pakan dan air bersih.

Berdasarkan data dan informasi di atas, PB ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) terpanggil untuk berkontribusi membantu kelompok peternak mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut, sehingga tujuan pengembangbiakan sapi BX dapat terealisasi dengan baik. PB ISPI bekerjasama dengan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) mengusulkan kegiatan yang dinamakan “Program Perbaikan Sapi Betina Produktif” atau “Improvement Program for Productive Female Cattle” yaitu program untuk memperbaiki kondisi sapi BX betina produktif yang sangat kurus atau kurus dengan cara meningkatkan BCS, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat kematian ternak di kelompok.

Peradaban Baru Sapi BX
Di Jawa Barat, program ini diawali dengan melakukan rapid appraisal terhadap 24 kelompok peternak penerima sapi indukan. Hasilnya, ternyata sebagian peternak menyatakan bahwa selama setahun sejak sapi tersebut diterima, terdapat sapi yang bunting bawaan hanya 12,47% dan bunting hasil IB hanya 8,03%. Hal ini terutama disebabkan defisiensi pakan. Dampak selanjutnya sapi-sapi tersebut menjadi sulit bunting dan BCS di bawah angka dua sekitar 23%.

Berdasarkan hasil rapid appraisal, tim pendamping menargetkan bahwa sapi-sapi pada tiga kelompok fokus yang ditetapkan sebagai KPI-nya untuk angka kebuntingan minimal 70%, kematian maksimum 4% dan BCS di atas nilai 2,5.

Selanjutnya tim pembina melakukan pembinaan terhadap peternak dengan melakukan bimbingan teknis, melalui kerja sama dengan Balai Latihan Ketahanan Pangan dan Peternakan. Materi bimbingan merupakan pengetahuan praktis dalam mengatasi tiga permasalahan tersebut, yaitu kebuntingan, kematian dan BCS. Materi yang diberikan adalah bioteknologi pakan, reproduksi, manajemen kelompok dan analisis ekonomi bisnis usaha pembiakan.

Dari hasil pembinaan intensif yang dilakukan terhadap tiga kelompok fokus tersebut selama enam bulan, diakhir kegiatan kelompok binaan mampu melampaui target KPI yang ditetapkan, yaitu kebuntingan mencapai 66,6-73,3 %, kematian 0% dan BCS di atas nilai tiga (evaluasi 15 Juni 2020). Sesungguhnya, pada kasus ini telah terjadi “peradaban baru” bagi sapi-sapi BX yang semula dipelihara secara ekstensif di padang gembala, kini dipelihara secara intensif di kandang peternak rakyat yang ternyata mampu berproduksi seperti di tempat asalnya.

Breedlot pada Kelompok Peternak
Secara teknis kelompok peternak sejatinya telah mampu menunjukan keterampilannya melakukan kegiatan usaha pemeliharaan sapi indukan BX. Keberhasilan teknis yang dilakukan kelompok peternak rakyat tersebut sangat bermanfaat bagi Jawa Barat sebagai sentra konsumen yang berpotensi untuk melakukan pengembangbiakan sapi BX dengan pola “breedlot kelompok”.

Konsep breedlot kelompok adalah pola usaha pembiakan sapi BX yang diintegrasikan antara usaha pembiakan dengan usaha penggemukan. Namun, seberapa besar rasio antara kedua usaha tersebut yang ideal untuk direkomendasikan, ternyata belum terungkap dari hasil program ini. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan mendalam mengenai itu.

Keberhasilan kelompok fokus melampaui target yang ditetapkan sebelumnya, terutama disebabkan oleh tiga fakyor utama. Pertama, motivasi integritas peternak yang ditetapkan melalui pernyataan sikap untuk merealisasikan target yang dibuatnya. Kedua, intensifnya tim pembina lapangan (insemintor, tenaga penyuluh dan tenaga kesehatan hewan) dalam membimbing peternak kelompok. Ketiga, sikap pemerintah dalam hal ini adalah pimpinan dinas peternakan di tingkat kabupaten. Kekompakan tiga lembaga ini turut memberikan andil besar dalam proses inovasi teknologi pemeliharaan sapi indukan BX.

Bukan Harta “Ghanimah”
Keberhasilan kelompok dalam meraih target yang ditetapkan adalah akibat terjadinya hubungan yang harmonis antara tenaga lapangan (inseminator, penyuluh dan petugas kesehatan hewan) dan dinas peternakan dalam memainkan perannya dengan peternak rakyat. Pada dasarnya bagaimana agar intervensi teknologi beternak dapat diadopsi peternak dengan baik.

Pada kasus ini, peran pendamping peternak menjadi strategis dalam penyampaian inovasi. Di sinilah pentingnya peran tenaga pendamping dalam menyukseskan program-program besar seperti peningkatan populasi ternak dan lainnya. Namun demikian, peran ini menjadi tidak ada artinya tatkala sarana pendukungya tidak tersedia. Seperti sarana IB (semen beku) dan kesehatan hewan (obat-obatan dan vitamin/hormon).

Satu hal yang juga sebagai pendukung keberhasilan program perbantuan adalah, bahwa peternak harus punya “rasa memiliki” dari program tersebut. Bahwa ternak bantuan pemerintah bertujuan untuk pengembangan usaha, bukannya sebagai bantuan yang habis pakai. Hal ini terjadi karena di masyarakat telah berkembang sikap bahwa bantuan pemerintah adalah ibarat “harta pampasan perang (ghanimah)”. Jadi boleh dihabiskan tanpa pertanggung jawaban, karena tanpa pengawasan dan pembinaan.

Oleh karena itu, sebagai langkah awal yang perlu ditanamkan dalam pengembangan ternak bantuan pemerintah adalah dana yang digunakan berasal dari pajak rakyat yang dititipkan kepada mereka untuk dikembangkan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Semoga tulisan ini menginspirasi para penyuluh dan pembina peternak di lapangan. ***

DINAMIKA INDUSTRI SAPI POTONG DI MASA PANDEMI COVID-19

Dinamika industri sapi potong (Foto: Humas UGM)



Pandemi COVID-19 telah mengubah merubah tatanan dunia secara dramatis dan masif dan akhirnya berimbas kepada semua sektor. Akibat pandemi, sektor pertanian tumbuh stagnan di kuartal I (Q1) 2020, yaitu sebesar 0,02% melambat dari Q1 2019 yang masih tumbuh sebesar 1,82%.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), Ir Didiek Purwanto IPU dalam Obrolan Peternakan (OPERA) yang diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan (Fapet) UGM pada 3 Juli 2020 melalui Zoom Meeting.

Didiek menambahkan, di masa pandemi ini sektor peternakan hanya tumbuh 2,86% melambat dari Q1 2019 yang tumbuh 7,96%. Dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi pun selalu terdapat kesenjangan yang luar biasa. Kebutuhan daging nasional sebesar 650.000 ton per tahun atau setara 3,8-3,9 juta ekor sementara itu jumlah populasi sapi potong hingga tahun 2019 hanya sebanyak 17.118.650 ekor.

Ketidakmampuan produksi lokal memenuhi kebutuhan daging nasional tersebut menurut Didiek disebabkan oleh belum tuntasnya beberapa permasalahan. Beberapa hal tersebut ialah makin tingginya gap antara supply dan demand, arah pembangunan yang belum jelas, ego kedaerahan setelah adanya otonomi daerah, dan belum berubahnya pola beternak.

Di masa pandemi ini, keadaan diperparah dengan harga sapi di Q1 mencapai $3/kg/hidup, nilai tukar rupiah Q1 menembus Rp16.500,00 bahkan sampai Rp17.000,00, daya beli turun secara  signifikan, biaya operasional meningkat karena meningkatnya harga bahan baku pakan, dan tata niaga dan logistik terhambat karena penerapan PSBB di beberapa daerah di Australia.

Untuk mengatasi hal tersebut, Didiek menyebutkan beberapa tindakan yang perlu dilakukan. Pertama, arah pembangunan peternakan yang terstruktur, sustainable, kesamaan bahasa serta partisipatif aktif semua stakeholder permberdayaan dan perlindungan peternak lokal. Kedua, harmonisasi regulasi interdepartment yang sejalan dengan perundangan dan PP. Ketiga, inventaris dan optimalisasi sumber daya lokal potensial, infrastruktur informasi dan teknologi harus ada di daerah.

Keempat, peternakan harus dibangun berdasarkan klasterisasi atau spasialisasi sebuah wilayah, pembiayaan dan kebijakan fiskal yang mendukung serta skema pembiayaan yang efektif dan efisien. Ketujuh, segera disusun konsep tata ruang pengembangan industri, struktur sistem agribisnis, kesehatan hewan dan veteriner. Kedelapan, pembangunan peternakan berorientasi industri dan integrated dengan memperhatikan tuntutan era globalisasi dan industri 4.0.

Untuk itu, Didiek memberikan beberapa rekomendasi, yaitu memilih ternak yang adaptif dengan lingkungan lokal, membangun padang penggembalaan yang produktif, mengoptimalkan sumber pakan lokal dengan strategi suplementasi, dan menghentikan kebijakan yang kontra produktif dengan pembangunan peternakan yang berkelanjutan.

Selain itu, diperlukan kolaborasi produktif antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, serta komunitas, arah pembangunan yang jelas terarah melalui pengkajian data yang saksama, dan menentukan pola pengembangan peternakan yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

Dosen Fapet UGM, Ir Panjono SPt MP PhD yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut mengatakan, sebelum pandemi, industri sapi potong mengalami banyak tekanan, khususnya karena adanya persaingan dengan daging impor. Pada awal pandemi, industri sapi potong mengalami kesulitan baik dalam hal pengadaan sarana produksi peternakan, khususnya bakalan dan pakan, kenaikan biaya distribusi, dan penurunan omzet karena berkurangnya kegiatan yang membutuhkan banyak daging. Selain itu, pandemi juga berdampak negatif terhadap industri sapi potong karena turunnya daya beli masyarakat.

Situasi sulit di masa pandemi ini menurut Panjono dapat diatasi dengan penerapan protokol kesehatan, efisiensi produksi, inovasi produk melalui pengolahan hasil, dan inovasi pemasaran secara daring. Pengolahan hasil, khususnya produk olahan beku, akan meningkatkan daya simpan dan mendekatkan industri ke konsumen akhir sehingga meningkatkan jangkauan pasar.

Di akhir paparannya, Panjono mengungkapkan dua harapan agar kondisi industri sapi potong membaik. Pertama, adanya relaksasi Permentan No. 41 Tahun 2019 terkait kewajiban memasukkan indukan sebanyak 5%. Kedua, berjalannya kesepakatan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) terkait bea masuk. (Rilis)



PENERAPAN ASPEK KESRAWAN PADA RANTAI PASOK SAPI POTONG

Penerapan kesrawan pada ternak sapi potong sangat penting. (Foto: Istimewa)

Penanganan ternak dengan memperhatikan kesejahteraan hewan (kesrawan) akan menghasilkan kinerja yang efisien, aman bagi sapi dan operator, serta meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan. Dengan demikian, penanganan hewan yang apik akan terwujud pula kesejahteraan hewan yang baik.

Hal itu disampaikan Neny Santy Jelita dalam sebuah pelatihan daring yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Pelatihan berlangsung selama dua seri dan dilakukan selama dua hari waktu pelatihan, yakni pada 13-14 Mei 2020 dengan mengangkat topik “Penerapan Animal Welfare pada Rantai Pasok Sapi Potong”.

Neny memaparkan, prinsip dasar kesrawan yakni ternak harus bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit dan cedera, bebas dari rasa takut dan tertekan, serta bebas untuk menampilkan perilaku alaminya.

Saat berada di rumah penampungan, sapi harus diberikan penerangan yang baik agar operator bisa melakukan penanganan dengan optimal.

“Kami terbiasa ke rumah pemotongan hewan (RPH) dan melihat perlunya edukasi dan bantuan penyediaan fasilitas yang memadai. Penanganan sapi di RPH ini merupaan fase akhir yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Stres pada saat pemotongan akan menyebabkan daging akan berwarna kehitaman, bukan merah,” kata Neny.

Ia menambahkan, pada saat yang dijadwalkan di RPH juga harus seminimal mungkin, agar sapi tidak mengalami stres. Neny menyarankan supaya ternak harus segera disembelih secara cepat, baik menggunakan metode pembiusan ataupun tidak. Proses penyembelihan ini akan menentukan kualitas daging yang akan dibeli oleh konsumen.

Neny pun mengingatkan bahwa dalam hal kesrawan pada peternakan sapi potong ini harus bisa diterapkan pada lima hal utama, yakni pada saat penanganan hewan ternak, transportasi, penanganan di feedlot, penerapan di RPH, serta pada saat penyembelihan dengan pemingsanan. (IN)

LEP EXPO 7-8 APRIL 2020 DITUNDA

LEP Expo sebagai ajang pertemuan stakeholder peternakan (Foto: Infovet)

Penyelenggaraan Livestock Export Program  (LEP) Expo yang semula direncanakan digelar pada 7-8 April 2020 di Royal Ballroom The Springs Club Summarecon Serpong, tertunda hingga menunggu perkembangan selanjutnya.

Melalui siaran pers yang diterima Infovet, Drh Helen Fadma selaku Livestock Services Manager, Meat & Livestock Australia (MLA), keputusan ini diambil karena Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona (COVID-19).

Selain itu MLA sebagai pihak penyelenggara juga harus menaati imbauan pemerintah, serta mendukung upaya pemerintah guna mencegah penyebaran virus corona.

LEP Expo dikenal sebagai ajang pameran yang dikonsp secara unik, yakni one stop shopping. Konsep ini memudahkan pengunjung dalam memperoleh semua informasi produk yang dibutuhkan dalam sekali putaran.

Bertujuan mempertemukan industri-industri produk peternakan sapi potong, LEP Expo juga diisi dengan jadwal acara berbagai technical seminar. (NDV)

PERADABAN BARU SAPI BX DI INDONESIA

Ternak sapi BX. (Foto: Kementan)

Heboh soal pemberitaan kantor berita ABC di berbagai media pada Desember 2019 lalu, bahwa ratusan sapi BX (Brahman Cross) asal Australia bantuan pemerintah Indonesia untuk program perbibitan sapi mengalami malnutrisi dan mati. Namun demikian hal itu dibantah pemerintah yang menyatakan bahwa sapi-sapi tersebut dalam kondisi baik.

Dalam kegiatan tersebut pemerintah menyalurkan sapi-sapi bantuan ini ke puluhan kelompok peternak dan UPTD disentra-sentra pengembangan sapi di Indonesia. Namun dikhawatirkan dampak dari pemberitaan tadi menjadi polemik baru mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan Australia. Seperti yang pernah terjadi pada peristiwa pemotongan brutal terhadap sapi BX asal Australia di RPH Indonesia 2011 silam, yang berakhir dengan penyetopan impor sapi asal Australia dan mengharuskan mengikuti standarisasi rantai pasok ternak sapi Australia (Exporter Supply Chain Assurance System/ESCAS).

Pemeliharaan Ekstensif
Sapi BX ini merupakan jenis sapi hasil persilangan antara sapi Brahman dengan berbagai bangsa sapi seperti Santa Gertrudies, Limousine, Simental, Angus, Hereford dan lainnya. Sapi-sapi persilangan tersebut lebih dikenal dengan ACC (Australia Commercial Cross) atau BX jika sapi Brahmannya lebih dominan.

Sapi-sapi ini hidup dan dikelola dalam sistem ranch, yaitu pemeliharaan secara ekstensif dilepas-liarkan di padang penggembalaan. Sapi-sapi ini tumbuh dan berkembang, serta bereproduksi di alam bebas. Boleh disebut tanpa sentuhan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan (IB) yang biasa dilakukan di dalam negeri.

Para peternak hanya menyiapkan makanan tambahan berupa mineral blok dan mengendalikan air yang berasal dari sumber air (embung) di tengah padang gembala. Pada musim tertentu mereka melakukan “mustering”, yaitu suatu periode untuk mengumpulkan ternak, menyeleksi, memilih, memisahkan ternak yang kecil dan besar, atau yang sakit, pemilihan jantan dan betina, untuk kemudian diatur kembali rasionya dalam kelompok ternak tersebut. 

Rasio lahan yang biasa digunakan di Australia bisa mencapai lebih dari 2 hektar per ekor. Bisa dibayangkan bila seorang peternak di Australia memiliki ternak 500 ekor, maka lahan yang dipakai tidak kurang dari 1.000 hektar. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Australia yang sekitar 24,5 juta orang, sedangkan jumlah populasi sapinya sekitar 25 juta ekor. Data ini bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia, dimana populasi penduduknya lebih dari 260 juta, sementara populasi sapinya hanya sekitar 16 juta ekor.

Kematian Sapi
Kematian sapi indukan dan anakannya yang terjadi selama ini pada kelompok peternak penerima bantuan, umumnya disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang dilakukan berbeda dengan pemeliharaan ternak tersebut di negara asalnya. Bisa dibayangkan bahwa sapi BX yang asalnya hidup di alam bebas, kini hidup dikurung dengan hidung yang dikeluh. Apalagi sapi ini juga memiliki sifat berahi tersembunyi (silent heat) yang akan sulit diketahui manusia. Biasanya peternak di Indonesia menyebut gejala birahi ini dengan 3B (Beureum, Bareuh, Baseuh). Jadi jika sapi-sapi ini minta kawin, hanya jantannya saja yang mengetahuinya. Kesimpulannya bahwa para peternak akan sulit mendeteksi sapi ini kapan akan dilakukan IB.

Selain itu, sapi BX ini juga ternyata memiliki sifat keibuan (mothering ability) yang rendah. Ditambah lagi jika sapi ini terlalu gemuk atau terlalu kurus, akan sulit bunting. Sifat-sifat inilah yang tidak dipahami peternak rakyat, sehinga sapi sulit bunting. Namun, seandainya sapi tersebut bunting (bawaan dari Australia) sampai melahirkan, ternyata pedet yang baru dilahirkan tersebut sudah mati di kandang, hal ini diakibatkan pedet terinjak-injak karena sifat mothering ability yang rendah.

Berdasarkan kondisi tersebut, sapi-sapi ini harus sangat diperhatikan agar pakan yang diberikan tidak menimbulkan kegemukan maupun kekurangan, serta diberikan kandang khusus untuk melindungi pedet dari sifat induknya yang agak liar. Hal ini berbeda dengan sapi-sapi lokal di Indonesia, khususnya sapi Bali, dalam kondisi apapun mereka tetap bisa bunting dan melahirkan pedet dengan baik.

Sebenarnya sapi BX lebih jinak ketimbang bangsa sapi lainnya. Namun pada kasus ini, dapat dibayangkan dari kehidupan bebas di alam terbuka tanpa hadirnya manusia, kini mereka dikandangkan yang serba tertutup dengan kesibukan manusia di sekitarnya.

Berdasarkan pengamatan, ternyata sebaiknya distribusi sapi kepada peternakan rakyat perlu dilakukan domestikasi terlebih dahulu oleh industri atau korporasi/lembaga peternakan yang memahami perilaku sapi BX. Sebab hasil dari domestikasi ini dipastikan anak keturunannya (pedet) sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan peternak sapi potong rakyat di Jawa, usahanya tidak berbasis lahan (non-land based). Peternak memberikan hijauan pakan dan konsentrat berasal dari hasil ikutan usaha taninya. Sebagian besar usaha ternak sapi potong di Jawa memberikan jerami padi sebagai hijauan pakan utamanya. Hanya sebagian kecil yang memberikan tambahan berupa ampas tahu, singkong (onggok), ataupun dedak padi. Pada kondisi ini para ahli pakan sudah menduga bahwa kasus kematian pedet dan indukan pasca melahirkan, utamanya disebabkan karena kualitas pakan yang tidak standar. Sehingga sapi-sapi terlihat kurus pasca melahirkan atau gemuk melibihi dari yang diharapkan bagi masa suburnya seekor sapi betina.

Peradaban Baru
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada kasus penyebaran sapi indukan dan ketidakberhasilan pengembangan sapi BX beberapa waktu lalu. Penulis menyimpulkan bahwa sapi BX asal Australia sesungguhnya tengah menjalani peradaban baru. Yaitu perubahan kultur atau budaya pemeliharaan yang bersifat ekstensif, dimana sapi-sapi bebas mencari pakan dan kawin, kini berada pada kultur budidaya intensif yang dikandangkan.

Perubahan ini telah disalahartikan oleh khalayak, bahwa sapi-sapi tersebut telah dibuat steril, diberikan sapi-sapi potong bukannya produktif dan sebagainya. Padahal sesungguhnya, sapi-sapi tersebut sedang melakukan proses adaptasi terhadap perubahan budaya pemeliharaan. Jika dibandingkan dengan sapi-sapi yang dipelihara di kebun sawit, tampak lebih banyak keberhasilan ketimbang yang dilakukan atau dipelihara secara intensif di kandang peternakan rakyat. Hal ini disebabkan perbedaan sistem pemeliharaan tidak terlalu signifikan dari negara asalnya.

Distribusi Sapi BX
Berdasarkan beberapa pengalaman baik dan buruknya sistem pemeliharaan sapi BX di tingkat peternak maupun perusahaan, kiranya perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, pengembangan sapi BX sebaiknya tidak diberikan kepada peternak rakyat secara langsung dari negara asalnya. Sapi-sapi ini perlu dilakukan domestikasi oleh korporasi yang kredibel. yaitu perusahaan/lembaga yang sangat paham terhadap pemerliharaan sapi BX sebagaimana di negara asalnya. Kondisi ini sesuai dengan amanat UU No. 41 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa perbibitan dan pengembangbiakan adalah tugas pemerintah. Oleh karenanya, kegiatan breeding dan pembiakan harus dilakukan oleh UPTD Pemerintah atau program sapi sawit yang dikelola pemerintah/swasta, kemudian anakannya (pedet) disebarkan kepada masyarakat peternak. Hal ini mengingat pemerintah bertekad bahwa pada 2020 ini akan melakukan importasi sebayak 1.500 ekor sapi betina bahkan bisa melebihi target.

Kedua, distribusi kepada peternak rakyat yang dilakukan secara intensif dalam kandang sebaiknya berupa sapi bakalan untuk penggemukan. Jadi pada masalah ini peternakan rakyat tidak dibebankan oleh usaha perbibitan dan pembiakan.

Ketiga, partisipasi menghasilkan pedet-pedet asal sapi BX impor dapat pula dilakukan oleh para pengusaha feedlot yang difasilitasi pemerintah sebagai insentif. Program ini akan mempercepat kehadiran sapi-sapi bakalan asal sapi BX bagi pengembangan peternakan sapi potong rakyat. Perusahaan feedloter nantinya dapat menghasilkan pedet-pedet jantan/betina yang didistribuskan kepada peternakan UPTD/sapi sawit maupun peternakan rakyat yang berminat.

Pola-pola pengembangan ini mungkin bisa menjadi jawaban atas ketidakberhasilan pengembangan sapi yang terjadi selama ini. Semoga pemerintah dapat mengkaji ulang arah pengembangan sapi potong di dalam negeri jika akan menggunakan sapi indukan BX sebagai salah satu model pengembangannya. ***

Rochadi Tawaf
Dewan Pakar Yayasan CBC Indonesia

MENCARI BIBIT UNGGUL TENAGA KERJA DI BIDANG PETERNAKAN

Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) berkolaborasi dengan Indonesia - Australia Partnership Food Security in The Red Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) menyelenggarakan program pelatihan kerja untuk sarjana baru di bidang peternakan.

Program perdana bertajuk "ISPI-Red Meat Cattle Partnership Internship Program for Fresh Graduate" ini digelar pada tahun 2019 dan diikuti oleh 25 orang sarjana peternakan. Nantinya para peserta akan ditempatkan di 12 perusahaan yang bergerak di bidang sapi potong baik di hulu maupun hilir. Keduabelas perusahaan tersebut yakni PT Citra Agro Buana Semesta, PT Juang Jaya Abadi Alam, PT Indo Prima Beef, PT Karunia Alam Sentosa Abadi, PT Superindo Utama Jaya, PT Buana Karya Bakti, PT Nutricell Pacific, PT AEON, Haleen Australasian Livestock Trader Pty Ltd, Austrex, dan Livestock Shipping Services Pty Ltd. Lama waktu yang disediakan bagi para peserta dalam program ini adalah 3 bulan.

Muhsin Al-Anas selaku koordinator program menyatakan bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan teknis lulusan program studi peternakan utamanya yang baru lulus (fresh graduate), sehingga mereka dapat memahami proses bisnis di industri peternakan secara real-time

Suasana saat presentasi dan sharing peserta magang

"Ini merupakan kontribusi nyata dari ISPI dalam mempersiapkan SDM Indonesia yang unggul sesuai dengan visi mis Indonesia negara maju 2045. Selain mempersiapkan SDM yang berkualitas, harapannya akan meningkatkan daya saing dan pemikiran inovatif para tenaga kerja di sektor peternakan terlebih lagi di era revolusi industri 4.0 di Indonesia," tutur Muhsin ketika ditemui Infovet.

Infovet juga berkesempatan menyambangi para peserta magang dalam rangka kegiatan monitoring dan supervisi di Bandung dan Garut, pada 3 - 4 Februari 2019 yang lalu. Dalam kegiatan supervisi tersebut para peserta magang melakukan presentasi dan sharing singkat tentang hal apa saja yang mereka kerjakan pada waktu magang.

Dalam kesempatan yang sama, David Goodwins Monitoring and Evaluation Advisor Project Advisory and Support Group, Indonesia - Australia Partnership on Food Security in The Read Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) mengatakan bahwa dirinya sangat senang dengan diadakannya program ini. Selain menjalin kerjasama internasional yang telah lama dilakukan oleh Indonesia dan Australia, program ini diharapkan dapat menghasilkan tenaga kerja unggul di bidang peternakan khususnya ternak sapi potong.

"Saya senang melihat mereka dapat mengimplementasikan ilmu yang mereka dapat di bangku perkuliahan, tentunya mereka sudah dibekali ilmu dari universitas dan pada program ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk menerapkannya," tutur David.

Ketika ditanya Infovet mengenai tolak ukur keberhasilan dari program tersebut, David mengutarakan bahwa salah satu indikatornya adalah presentase peserta yang diterima oleh perusahaan sebagai karyawan mereka. Ia juga mengatakan bahwa dari program ini diharapkan akan terjadi hubungan saling menguntungkan antara perusahaan dan organisasi seperti ISPI dan RMCP.

Dari segi peserta, program ini dinilai sangat baik bagi para lulusan baru dalam menjajaki dunia kerja. Hal tersebut diutarakan oleh Agil Darmawan, seorang peserta program asal Mataram, Nusa Tenggara Barat. Bagi Agil, program ini selain sebagai ajang implementasi ilmu yang telah ia dapatkan di bangku perkuliahan, juga menjadi arena dalam mencari pengalaman dan mengasah soft skill.

"Saya senang dengan adanya program ini, dan sepertinya saya jadi semakin yakin untuk bekerja di bidang yang memang saya senangi dan pelajari. Memang ada beberapa hal yang butuh adaptasi lebih, tetapi saya rasa dalam dua bulan ini fine - fine saja," tutur Agil. Namun begitu, Agil juga memberikan masukan kepada penyelenggara program tentang program ini.

Salah satunya yakni mengenai lama waktu magang yang hanya 3 bulan. Menurut Agil, waktu yang diberikan selama 3 bulan masih kurang karena ia merasa bahwa butuh waktu lebih dari itu untuk benar - benar menghayati apa yang dikerjakannya. Ia berharap nantinya waktu yang diberikan untuk program pada batch selanjutnya diperpanjang, minimal 6 bulan.

Berfoto bersama para peserta magang 

Sementara itu menurut Petrus Hendra Widyantoro Program Manager Indonesia - Australia Partnership on Food Security in The Read Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) animo peserta dari program ini sangat tinggi. Tercatat bahwa peserta yang mendaftar dalam program ini sebanyak 140 orang. Dari 140 pendaftar dilakukan proses seleksi hingga mendapatkan 25 orang peserta yang dianggap layak mengikuti program ini.

"Ada 25 orang totalnya, dan mereka semua adalah lulusan sarjana peternakan dari seluruh Indonesia. Kita senang karena program ini sangat diminati, semoga kedepannya kita bisa terus membuat program semacam ini dan lebih masif dan mudah - mudahan kontinu," tutur Petrus.

Petrus berharap bahwa peserta yang ikut dalam program ini adalah orang - orang yang siap mendedikasikan dirinya secara total di bidang peternakan khususnya sapi potong. Oleh karena itu, untuk selanjutnya dirinya dan ISPI sudah menyiapkan metode penjaringan peserta yang baru dan lebih kompetitif agar mendapatkan bibit unggul tenaga kerja di bidang peternakan dan lulusan dari program ini selain dapat berkarya di bidang peternakan juga dapat berinovasi.

Kegiatan supervisi tersebut masih akan berlangsung hingga tanggal 7 Februari 2020 di Lampung. Tentunya kita semua berharap agar kegiatan ini akan berbuah manis dan dapat menghasilkan tenaga kerja di bidang peternakan yang berdaya saing, inovatif dan siap dalam menghadapi segala tantangan yang ada di sektor peternakan Indonesia.  (CR)

DAMPAK NEGATIF IMPOR DAGING KERBAU PADA USAHA SAPI POTONG INDONESIA

Kajian tentang dampak importasi daging kerbau terhadap usaha sapi potong di Indonesia yang digelar PB ISPI bersama PB PDHI di Jakarta. (Foto: Andang/ISPI)

Populasi sapi di Indonesia mengalami peningkatan secara perlahan sejak 2005-2013, seiring dengan peningkatan konsumsi dagingnya. Total konsumsi daging sapi secara nasional pada 2017 mencapai 60.966 ton dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018 misalnya, tercatat 662.540 dan 2019 pronogsa Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa konsumsi nasional diperkirakan mencapai 712.893 ton, sementara harga daging segar juga masih berkisar Rp 100.000-115.000/kg.

Perkembangan positif industri sapi pedaging tersebut sayangnya terkendala oleh adanya importasi daging kerbau dari India, yang berdampak negatif terhadap industri sapi pedaging Indonesia. Atas hal itu, Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI) dan Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menggelar kajian tentang dampak importasi daging kerbau terhadap keberadaan usaha sapi potong yang berkembang di Indonesia, melalui sebuah seminar di Jakarta, Kamis (23/1/2020).

Dipandu oleh Ketua Umum PB ISPI, Ir Didiek Purwanto, seminar menghadirkan pembicara Dr Ir Andre Revianda Daut (ISPI) yang membahas dampak importasi daging kerbau terhadap usaha sapi potong di Indonesia, kemudian Dr Drh Tri Satya Putri Naipospos (PDHI) yang turut mengupas tema dampak importasi daging kerbau terhadap perkembangan penyakit mulut dan kuku (PMK) serta penanganannya di Indonesia.

Berdasarkan informasi data impor dari ITC Calculation based on Un Comtrade Statisyics, tercatat pemasukan daging kerbau asal India sebesar 173.534 ton (2016-2018) dan rencana di 2019 sebanyak 100.000 ton. Namun itu ternyata belum mampu menurunkan harga daging sapi menjadi Rp 80.000/kg, bahkan peredarannya cukup masif ke pasar-pasar becek yang tentunya bila tidak dikontrol dengan baik bisa menimbulkan persalahan baru terhadap daya saing usaha sapi potong para peternak maupun keamanan PMK.

Diperkirakan ada 22 unit Meat Plants di India yang disetujui untuk dapat mengekspor daging kerbau ke Indonesia ditengarai berada di wilayah endemik PMK. Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkan berisiko menambah ancaman bagi indonesia yang berstatus bebas PMK.

Fakta tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 17/Permentan/PK.450/5/2016 tentang pemasukan daging tanpa tulang dalam hal tertentu yang berasal dari negara atau zona dalam suatu negara asal pemasukan, khususnya di dalam Pasal 9 huruf (g) berbunyi tidak terjadi kasus PMK sekurang-kurangnya 1 bulan sampai pengapalan daging beku tanpa tulang.

Dari kajian yang sudah dilakukan dalam acara tersebut, PB ISPI dan PB PDHI menyimpulkan antara lain bahwa importasi daging kerbau hanya menguntungkan peternak India dan pelaku tata niaga. Bahkan dampak negatif bagi peternak Indonesia, usahanya menjadi tidak bergairah karena tidak berdaya saing, serta kehilangan pasar potensial hariannya di rumah pemotongan hewan.

PB ISPI dan PB PDHI menyarankan, perlu adanya keberpihakan terhadap peternak rakyat dengan meninjau ulang kebijakan importasi daging asal India. Misalnya, distribusi impor daging kerbau benar-benar hanya untuk industri, juga segmentasi harga daging kerbau, sapi impor dengan lokal. (IN)

BUPATI BLORA TANDATANGANI KERJASAMA BIDANG PETERNAKAN DENGAN PT SURYA AGROPRATAMA

Bupati Blora Djoko Nugroho

Bupati Blora Djoko Nugroho menyambut baik peluncuran Program Kerjasama di Bidang Peternakan dengan Memberdayakan Peternakan Rakyat yang digelar di The Icon, Hotel Morrissey, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Program kerjasama ini merupakan diwujudkan melalui penandatanganan kerjasama antara PT Surya Agropratama (PT SAP) dengan Infrabanx, LPPM IPB, serta PT SAP dengan Kabupaten Blora.

Kerjasama dengan Kabupaten Blora berupa implementasi kemitraan dengan peternakan rakyat di wilayah tersebut.

Djoko mengemukakan Kabupaten Blora memiliki masyarakat peternakan yang besar dan menjadi salah satu kabupaten di  Jawa Tengah yang menjadi sentra pengembangan produksi sapi potong.

“Ada tiga jenis ternak yang diusahakan di Kabupaten Blora yaitu ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Sapi potong merupakan jenis ternak besar  terbanyak di di Kabupaten Blora,” kata Djoko. 

Setiap tahunnya, lanjut Djoko, jumlah sapi yang tersebar di wilayah Kabupaten Blora terus mengalami peningkatan cukup bagus. Tidak heran, jika Blora dikenal banyak orang dengan sebutan “Lumbung Ternak di Jawa Tengah.” 

Tahun 2019, jumlah sapi yang tersebar di semua wilayah Blora menembus angka 239.000 ekor. Sementara sebelumnya, di tahun 2017 jumlah sapi sebanyak 222.000 ekor, tahun 2018 sebanyak 231.000 ekor. (NDV)

PT SAP LUNCURKAN PROGRAM KERJASAMA PEMBERDAYAAN PETERNAKAN RAKYAT UNTUK SAPI POTONG

Foto Bersama Setelah Penandatangan Kerjasama (Foto: NDV/Infovet)

Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang digagas Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof Dr Muladno MSA, di tahun 2019 ini tercatat sebanyak 34 SPR-IPB yang telah dideklarasikan di 22 kabupaten di 10 provinsi. Perkembangan SPR yang pesat ini tak terlepas dari perwujudan kerjasama LPPM IPB dengan PT Surya Agropratama.

PT Surya Agropratama (SAP) adalah perusahaan agrobisnis yang memiliki peternakan sapi dan memproduksi susu segar yang berkomitmen untuk turut mensejahterakan peternakan rakyat.

Bernardi Rahaju


Untuk mewujudkannya, PT SAP membentuk struktur “konsorsium” guna mendukung peternakan rakyat yang terdiri dari pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, dan investor.

“Tujuan dari konsorsium ini untuk memberikan edukasi peternak rakyat menjadi kelompok peternak yang profesional, sekaligus mewujudkan kemitraan dalam rantai produksi yang teratur, sehingga secara keseluruhan rantai produksi sapi potong menjadi sustainable,” ungkap Bernardi Rahaju, Direktur PT Surya Agropratama dalam peluncuran Program Kerjasama di Bidang Peternakan Dengan Memberdayakan Peternakan Rakyat di Jakarta, (28/11/2019).

Pada acara peluncuran Program Kerjasama di Bidang Peternakan Dengan Memberdayakan Peternakan Rakyat turut hadir Darren S Dimoelyo, Direktur Utama PT Surya Jaya Abadi Perkasa (PT SJAP) sebagai Agriculture Sector Sponsor, Dr Ir Aji Hermawan MM selaku Kepala LPPM IPB, Prof Dr Muladno MSA Guru Besar Fakultas Peternakan IPB yang juga sebagai Penggagas Konsep Sekolah Peternakan Rakyat, serta Sebastian S Subba dari Master Agent Infrabanx INHC 103.

Penandatanganan kemitraan ini diwujudkan melalui penandatanganan beberapa kerjasama. Pertama, kerjasama antara Infrabanx dengan PT Surya Agro Pratama untuk pendanaan dan dukungan teknis investasi di bidang peternakan. Kedua, kerjasama antara PT SAP dengan LPPM IPB untuk Program Train of Trainers atas konsep SPR ke perguruan tinggi lainnya. Ketiga, kerjasama antara PT SAP dan Kabupaten Blora untuk implementasi kemitraan dengan peternakan rakyat di wilayah Kabupaten Blora. (NDV)

MUNAS II GAPUSPINDO SIAP DIGELAR DI MALANG

(Sumber: Istimewa)


Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) bersiap menggelar Musyarawah Nasional (Munas) II pada Kamis, 7 November 2019 di Malang, Jawa Timur.

Rencananya dalam Munas II Gapuspindo akan hadir Menteri Pertanian (Mentan) RI, Syahrul Yasin Limpo yang diagendakan melantik Dewan Gapuspindo Periode 2019-2022.

Selain itu, sesuai jadwal acara dilanjutkan penandatanganan MoU Gapuspindo dengan Kelompok Peternak Gading Mandiri yang disaksikan oleh Mentan.

Acara berikutnya adalah sosialisasi Indonesia Australia Red Meat Cattle Partnership (I-ARMCP) "Commersial Prospect of BX Cattle Breeding in Indonesia - The IACCB Exprience".

Gapuspindo merupakan organisasi pelaku usaha peternakan sapi potong atas dasar kesamaan usaha, kegiatan dan profesi di bidang industri usaha sapi potong berbentuk kesatuan dengan ruang lingkup kegiatan nasional.

Bersumber dari laman website https://gapuspindo.org/, Gapuspindo merupakan nama baru dari Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) yang berdiri sejak tahun 1992. Perubahan ini berdasarkan keputuskan Munaslub (Munas Luar Biasa) Apfindo yang dilaksanakan di Hotel Santika Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Kamis (5/11/2015) lalu. (INF)




Pelatihan Pembiakan dan Manajemen Sapi Komersial

Foto bersama pembukaan pelatihan pembiakan manajemen sapi komersial (Foto: Unpad) 

Universitas Padjadjaran (Unpad) melalui Fakultas Peternakan (Fapet) memfasilitasi pelatihan pembiakan dan manajemen sapi komersial di Indonesia, pada 16-28 September 2018. Pelatihan ini digelar Indonesia-Australia Partnership on Food Security in the Red Meat and Cattle Sector (The Partnership), pada  16 - 28 September 2018.

Seeperti dikutip dari situs www.unpad.ac.id, program pengembangan keterampilan ini bertujuan untuk mendorong transfer pengetahuan dan kapabilitas bagi pemerintah dan industri sapi potong komersial di Indonesia.

Kegiatan tersebut diikuti oleh sejumlah peserta dari perusahaan pembiakan sapi potong dan perusahaan kelapa sawit yang memiliki usaha pembiakan sapi potong terintegrasi. Secara keseluruhan, kegiatan ini digelar di Indonesia dan Australia, 16  September hingga 6 Oktober 2018.

Pelatihan berisi kegiatan kelas di Provinsi Banten dan Lampung, serta  kunjungan lapangan ke sejumlah perusahaan peternakan sapi.

Kunjungan dilakukan ke PT Lembu Jantan Perkasa di Kota Serang, Banten, juga perusahaan mitra dari Program kemitraan Indonesia dan Australia untuk Pembiakan Sapi secara Komersial (IACCB) yaitu PT. Buana Karya Bhakti dan PT Cahaya Abadi Petani di Kalimantan Selatan, serta PT Superindo Utama Jaya dan KPT Maju Sejahtera di Lampung.

“Program pelatihan ini didukung sepenuhnya pemerintah Australia melalui program the Partnership yang sudah dimulai sejak tahun 2013 dengan alokasi pendanaan mencapai $60 juta. Melalui program ini, Indonesia dan Australia berupaya untuk meningkatkan rantai pasokan daging merah dan sapi potong di Indonesia dan mempromosikan investasi dan perdagangan yang stabil diantara kedua negara,” ujar George Hughes sebagai perwakilan Kedutaan Besar Australia di Indonesia, saat acara pembukaan.

Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Joni Liano, menyampaikan bahwa program pelatihan ini menunjukkan komitmen pemerintah Australia dalam mendukung pengembangan industri sapi potong di Indonesia, khususnya dalam hal hal pembiakan.

Peserta pelatihan yang sudah berjalan dua angkatan ini adalah para “champion” dari perusahaan masing-masing dan diharapkan ilmu yang didapat dapat diterapkan untuk meningkatkan efiseiensi program pembiakan di perusahaan masing-masing.

Mewakili Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Dr Unang Yunasaf menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada pemerintah Australia - Kemitraan Indonesia Australia, serta atas kepercayaannya pada Fapet Unpad yang ditunjuk sebagai fasilitator pelatihan ini. Dr Unang menambahkan harapannya agar kerja sama lainnya juga bisa dikembangkan ke depannya. 


Selanjutnya, pelatihan di Australia Utara akan dilaksanakan pada 30 September - 6 Oktober 2018, difasilitasi oleh The Northern Territory Department of Primary Industry and Resources (DPIR), bertempat di Katherine Research Station. Kegiatan training di Australia meliputi kegiatan teori dan praktik kunjungan lapangan ke beberapa peternakan di Katherine, Australia Utara. ***


UNS Bantu Peternak Sapi dengan Ilmu Ini


Ilustrasi


Kelompok Peternak sapi potong di Desa Kenteng, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali gembira bobot ternak mereka meningkat. Sukses menerapkan manajemen pakan, sapi potong mereka mengalami peningkatan bobot. Manajemen pakan tersebut dikembangkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan Gizi dan Kesehatan Masyarakat LPPM Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Tim terdiri atas Ir Sudiyono MS, Sutrisno Hadi Purnomo SPt MSi PhD dan Shanti Emawati SPt MP (dosen Prodi Peternakan ) serta Prof Dr Ir Suwarto MSi (staf pengajar Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian). Langkah ini menjadi titik terang bagi petani ternak untuk memenuhi pasokan kebutuhan daging di pasar.

Karena Desa Kenteng salah satu yang dijadikan contoh untuk pengembangan sapi potong di Jawa Tengah. ”Sebelumnya peternak menghadapi permasalahan produktivitas ternak sapi potong cukup rendah dikarenakan manajemen pakan yang kurang memenuhi persyaratan,” kata Koordinator Tim, Sudiyono.

Terkait persoalan itu, lanjutnya, tim menawarkan solusi yakni manajemen pakan dan manajemen pemeliharaan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak. Peternak juga diberikan pelatihan penyusunan formulasi ransum pakan dan jerami padi fermentasi, serta dibantu pengadaan mesin pemotong rumput (chooper).

Melalui kegiatan itu kesejahteraan petani ternak diharap bisa terangkat. Melalui Program Pengembangan Desa Mitra (PPDM) yang didanai Kemenristekdikti tahun anggaran 2018 tim menggandeng mitra Kelompok Tani Ternak (KTT) Sumber Makmur, kemudian KTT Taruban Mulyo dan KTTNgudi Mulyo. Setelah mengembangkan manajemen pakan dalam tiga bulan terjadi kenaikan bobot sapi. ”Sapi milik anggota KTT di tempat percontohan atau demplot dalam tiga bulan terjadi peningkatan bobot badan,” jelas Sudiyono.

Kenaikan bobot itu menjawab persoalan yang dihadapi peternak bahwa produktivitas ternak sapi potong cukup rendah. Salah satu penyebabnya manajemen pakan yang kurang memenuhi persyaratan. (sumber:suaramerdeka.com)

Empat Perusahaan Raih Sertifikat Pembiakan Sapi Kemitraan Indonesia Australia



Penyerahan sertifikat kepada empat perusahaan pembiakan sapi berlangsung di Hotel Raffles, Jakarta. 

Penyerahan sertifikat keberhasilan kepada empat perusahaan pembiakan dan koperasi peternak sapi, menjadi salah satu agenda acara pada Simposium Program Pembiakan Sapi Potong Indonesia dan Australia, Rabu (12/9/218) di Jakarta.

Empat perusahaan tersebut diantaranya PT Buana Karya Bhakti, PT Kalteng Andinipalma Lestari, Sentra Peternakan Rakyat Megajaya, dan PT Bio Nusantara Teknologi.  

Keberhasilan ini menandai pencapaian penting bagi keempat perusahaan ersebut untuk menjadi perusahaan pembiakan sapi yang komersial dan berkelanjutan. Terutama dalam produktivitas ternak, pengendalian biaya dan pengelolaan iklim usaha yang kondusif, setelah lebih dari 18 bulan bekerja sama dengan Program Pembiakan Sapi Komersial Indonesia Australia (Indonesia Australia Commercial Breeding Program/IACCB).

Keempat perusahaan tersebut berbagi data dan pembelajaran sehingga semakin banyak pihak dapat belajar, berinvestasi dan berhasil di sektor ini. Tiga mitra IACCB lain sedang menjalani proses untuk mendapatkan sertifikat keberhasilan yang sama.

“Indonesia mengundang lebih banyak investor untuk berkontribusi dalam pencapaian target Indonesia, demi meningkatkan populasi sapi dan memperluas perdagangan dan investasi ke negara lain,” ungkap Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal BKPM, Wisnu Wijaya Soedibjo.

Kegiatan Simposium yang diadakan Indonesia Australia Partnership on Food Security in the Red Meat and Cattle Sector (Partnership) dan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), bekerjasama dengan BKPM ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang praktisi dan akademisi di bidang daging merah dan ternak sapi.

Diantaranya termasuk perwakilan industri dan petani seperti PT Lembu Jantan Perkasa, PT Sulung Ranch, dan tujuh perusahaan pembiakan yang telah bermitra dengan IACCB selama 18 bulan terakhir.

Simposium ini bertujuan untuk menyediakan platform bagi para praktisi dan akademisi untuk bertukar pikiran mengenai tantangan dan peluang pembiakan sapi pada skala komersial di Indonesia, untuk berkontribusi positif terhadap ketahanan pangan serta iklim investasi Indonesia.

ISPI sebagai mitra pelaksana simposium sangat mengapresiasi acara ini sebagai ajang untuk mendapatkan masukan dan pembelajaran dari industri peternakan sapi.

“Pembelajaran dan pengalaman dari industri akan memberikan masukan berharga dalam upaya pembiakan sapi dengan skala komersial dan peningkatan populasi sapi di Indonesia,” kata Ir Didiek Purwanto, Sekretaris Jenderal PB ISPI. (NDV)


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer