-->

HALALBIHALAL PB PDHI, SILATURAHMI SAMBIL BERKOLABORASI PERKUAT PETERNAKAN & KESEHATAN HEWAN

Foto bersama halalbihalal PB PDHI. (Foto-foto: Dok. Infovet)

Minggu (13/4/2025), bertempat di Arion Suites Hotel Kemang, Jakarta Selatan, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), menggelar halalbihalal sekaligus silaturahmi antar pengurus, pemerintah, swasta, organisasi, dan para akademisi yang terkait di industri peternakan dan kesehatan hewan.

"Hari ini menjadi hari yang paling bahagia karena kita bisa bersilaturahmi, saling memberikan maaf antar kita semuanya," ujar Ketua Umum PB PDHI, Drh M. Munawaroh.

Di tengah tingginya tantangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan, ia mengajak pemangku kepentingan dan para stakeholder terkait untuk terus bergandengan tangan menciptakan peternakan yang aman dari ancaman penyakit guna mewujudkan ketahanan pangan asal produk peternakan.

"Permasalahan penyakit makin hari makin bertambah, kita masih terus berjuang bersama Kementerian Pertanian dalam mengendalikan penyakit mulut dan kuku (PMK), kemudian penyakit lumpy skin disease (LSD) juga belom selesai. Negara kita luas, ini menjadi potensi besar bagi peran dokter hewan kita," katanya.

Namun demikian, lanjut Munawaroh, terbatasnya tenaga dokter hewan yang menyebar di seluruh wilayah Tanah Air turut menjadi kendala dalam penanganan sektor kesehatan hewan.

"Jumlah dokter hewan masih terbatas, di PDHI hanya terdaftar 15 ribu orang, harus ditambah lagi dan diperkuat kualitasnya. Ke depan akan ada tambahan delapan program studi fakultas kedokteran hewan di beberapa universitas, semoga kualitas dokter hewan yang dihasilkan bisa lebih baik. Kita dorong, karena yang akan menangani kesehatan hewan di Indonesia itu dokter hewan," ucapnya.

"Selain itu, kita juga terus upayakan undang undang yang akan menjadikan payung hukum dalam penyelenggaraan dan pelayanan dokter hewan, kita terus lakukan audiensi bersama pemerintah dan DPR. PDHI terus berjuang, bahkan nanti melalui kepemimpinan baru semakin hari harus semakin maju. Kami ingin dokter hewan memiliki kompetensi yang terus meningkat, kita lakukan pembinaan supaya tidak tertinggal dengan negara negara lain."

Momen bersalam-salaman acara halalbihalal PB PDHI.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Kesehatan Hewan, Drh Imron Suandy, yang mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa momentum silaturahmi ini bisa menjadi ajang untuk memperkuat organisasi profesi dan pemerintah.

"Kami sangat apresiasi ke PDHI yang terus ikut berkontribusi dalam membangun sektor peternakan dan kesehatan hewan. Peran kolaboratif antara pemerintah, organisasi profesi, akademisi, dan masyarakat harus terus kita pertahankan. Kita memiliki budaya gotong royong atau guyub, itu terus kita perkuat untuk mengatasi dan mengendalikan penyakit hewan menular strategis," kata Imron.

Lebih lanjut disampaikan, pemerintah membuka diri dan menerima setiap masukkan untuk membantu menjaga keamanan ternak dan mewujudkan ketahanan pangan menuju Indonesia Emas 2045.

"Harapannya itu bisa terwujud, karena kita memiliki status kesehatan yang sama dengan negara negara lain. Oleh karena itu, seluruh sumber daya yang kita miliki kita upayakan untuk menggairahkan sektor peternakan dan kesehatan hewan supaya investasi di dalamnya makin berkembang," tukasnya.

Sementara itu, ditambahkan oleh Dewan Pembina PB PDHI, Prof Wiku, yang menyampaikan, "Intinya, panggung untuk dokter hewan sudah tersedia, kita harus akur dan bekerja sama dalam manangani dan mengendalikan kesehatan hewan agar ketahanan pangan dapat terwujud. Mari kita cegah tantangan penyakit bersama-sama, saya yakin PDHI mampu mengatasi dengan kompetensinya, makin kompak dan kolaboratif untuk meraih prestasi bersama." (RBS)

WORKSHOP NASIONAL SURVEILANS DAN DIAGNOSTIK PENGENDALIAN SALMONELLA

National Workshop on Surveillance and Diagnostic Salmonella Control. (Foto: Dok. Infovet)

Bertempat di Hotel Tentrem Alam Sutera, Senin (17/3/2025), Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) didukung oleh Elanco, dan bekerja sama dengan Infovet, menyelenggarakan National Workshop on Surveillance and Diagnostic Salmonella Control.

Workshop diawali dengan sambutan dari Kepala BBPMSOH Drh Hasan Abdullah Sanyata yang mewakili Direktur Kesehatan Hewan dan Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari, serta dihadiri ratusan peserta yang terdiri dari instansi pemerintah terkait, perusahaan, dokter hewan, dan peserta lainnya, dengan menghadirkan narasumber kompeten di bidangnya. Pada sesi seminar, pemaparan disampaikan oleh Drh Nurhayati MSc dari Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) mengenai Sosialisasi Petunjuk Teknis Surveilans Penyakit Pullorum dan Salmonella Enteritidis.

Dalam paparannya ia menyampaikan beberapa peraturan pemerintah salah satunya Kepdirjen 9488/Kpts/Pk.320/F/08/2024 tentang petunjuk teknis penyakit pullorum yang memberikan pedoman untuk pelaksanaan surveilans bebas penyakit pullorum serta upaya pencegahan dan pengendaliannya di unit usaha pembibitan unggas.

Kemudian Kepdirjen 9487/Kpts/Pk.320/F/08/2024 tentang Salmonella enteridis yang bertujuan sebagai panduan untuk pelaksanaan surveilans tidak ditemukannya agen penyakit Salmonella enteridis di peternakan unggas, meningkatkan upaya pencegahan dan pengendaliannya di unit usaha pembibitan/budi daya unggas, serta menjadi menjadi dasar dalam pemberian Surat Keterangan Tidak Ditemukannya Agen Salmonella enteridis dan panduan bagi BBVet/BVet dalam melaksanakan surveilans.

Sebab saat ini isu keamanan pangan menjadi perbincangan hangat, dimana mewajibkan setiap unit usaha yang akan melakukan ekspor produk peternakan harus bebas dari salmonella. Hal itu juga disampaikan oleh Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH, Dr Drh Nuryani Zainuddin MSi, bahwa pasar ekspor mengharuskan pemenuhan standar tinggi keamanan pangan, persyaratan dari organisasi internasional (WOAH, CODEX, dan lainnya) termasuk pengendalian salmonella dan regulasi ketat negara tujuan.

Adapun penjaminan keamanan produk peternakan di Indonesia dengan konsep dasar safe from farm to fork, menuntut para unit usaha termasuk peternak, tempat pemotongan, pengolahan, transportasi, distributor/retailer, harus menerapkan cara produksi/distribusi yang baik (GMP/GFP), menerapkan kesejahteraan hewan, biosekuriti, sertifikasi Nomor Kontrol Veterniner (NKV), registrasi produk, surveilans residu dan cemaran mikroba, pengawasan pemerintah, hingga edukasi keamanan pangan agar produk hasil unggas yang dikonsumsi masyarakat aman, termasuk untuk pasar ekspor.

Nuryani juga mengemukakan, tujuan ekspor produk unggas bisa meningkatkan nilai produk yang dihasilkan, serta menjaga keseimbangan supply-demand (menstabilkan produksi), hingga membantu stabilisasi harga di pasar lokal dan global dengan tujuan meningkatkan pendapatan nasional.

“Menfaat ekspor di antaranya juga menciptakan lapangan kerja, penguatan sektor pertanian dimana meningkatnya efisiensi dan produktivitas, serta mendorong pembangunan infrastruktur, sebab untuk memenuhi persyaratan negara tujuan sering kali perlu mengembangkan fasilitas pengolahan yang lebih baik dengan sistem distribusi yang efisien,” jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, narasumber lainnya yakni Global Food Safety Consultant Elanco, Dr Med Vet MRCVS Doris Mueller, turut memaparkan materi diagnostik salmonella, di antaranya metodologi pengambilan sampel dan jadwal pemantauan salmonella, keberhasilan program pemantauan salmonella di Eropa, pengujian sampel, metode pengujian alternatif, hingga pemberian vaksinasi salmonella.

Kunjungan ke BBVet Wates. (Foto: Dok. Infovet)

Usai pemaparan materi seminar, workshop dilanjutkan dengan diskusi tanya-jawab antara narasumber dan peserta yang berjalan dinamis, dan diakhiri dengan buka puasa bersama. Workshop yang sama juga akan dilaksanakan pada hari berikutnya dengan mengunjungi BBVet Wates, Yogyakarta. (INF)

PROFIL NURYANI ZAINUDDIN, DIREKTUR KESEHATAN HEWAN YANG BARU


Dr drh Nuryani Zainuddin MSi, Kamis (20/5/2021) dilantik sebagai Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, menggantikan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD.

Dr Nuryani, alumni Fakultas Kedokteran Hewan IPB angkatan 32 ini sebelumnya dikenal menjabat Kepala Bidang Karantina Hewan, Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta. Selama menjabat Kepala Bidang Karantina Hewan, dia aktif di berbagai forum.  

Pada 12 Februari 2019 lalu, Nunung sapaan akrab Nuryani, menguraikan masalah pengolahan limbah Instalasi Karantina Hewan (IKH) dalam disertasinya  di Sidang Promosi Doktor di IPB.

Bersumber dari laman Facebook Badan Karantina Pertanian, Nunung memaparkan, IKH menghasilkan limbah yang merupakan sumber pencemaran bagi ternak, manusia dan lingkungan. Limbah IKH saat ini belum sepenuhnya dikelola agar risiko yang ditimbulkan ketika dilepas ke lingkungan lebih aman.

Menurut Nunung, strategi pengelolaan limbah IKH yang berkelanjutan yang direkomendasikan adalah meningkatkan kualitas ekologi melalui pelaksanaan UKL/UPL setiap 6 bulan dengan mengimplementasikan biosecurity check, serta pencegahan invasi penyakit hewan melalui peningkatan teknologi pengelolaan limbah IKH.

Kiprah Nunung ketika mengemban tanggung-jawab sebagai Kepala Bidang Karantina Hewan, salah satunya bekerjasama dengan PT Angkasa Pura II Bandar Udara Soekarno Hatta melakukan tindakan pencegahan penyakit African Swine Fever (ASF) dengan sigap memberikan public awareness melalui informasi digital banner di ruang pelayanan utama kantor induk Karantina Pertanian Soekarno Hatta, Terminal 2 dan Terminal 3 Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta.

Dalam berbagai kesempatan, Nunung juga diundang sebagai pembicara seminar/webinar yang fokus pada pengawasan maksimum lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR) yang masuk dari luar negeri. 

Pada Musyawarah Nasional (Munas) ke-6 Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia (IDHKI) yang digelar 23 Maret 2018, Nunung dipercaya menjadi Ketua Panitia Munas. **

SOSIALISASI PERMENTAN NOMOR 40 TAHUN 2019



Dirkeswan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa didampingi Kasubdit POH.

Bertempat di ruang rapat lantai 6 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Senin (19/8) digelar Sosialisasi Bidang Obat Hewan Tahun 2019. Acara ini diadakan dalam rangka mensosialisasikan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 40 Tahun 2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian.

Permentan ini jug berisikan diantaraya pemutakhiran aplikasi terkait pendaftaran obat hewan. Acara ini dihadiri 192 undangan yang terdiri dari pimpinan maupun Registration Officer perusahaan obat hewan (prosuden, eksportir, importir), perwakilan dinas, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), mitra market place, serta pet shop. 

Sosialisasi bidang obat hewan dihadiri 192 undangan. 

Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD mengemukakan acara sosialiasi ini tidak sekadar menjabarkan isi permentan yang baru, namun juga pastinya dilakukan pembinaan.

“Pemerintah berkomitmen sebagai regulator yang juga bersiap mendampingi pelaku usaha obat hewan,” ungkapnya.

Pada kesempatan tersebut, Dirkeswan juga memaparkan data terkini perkembangan obat hewan serta potret kegiatan produksi, ekspor obat hewan, dan impor obat hewan di Indonesia tahun 2019.

Terdapat peningkatan jumlah produsen dan eksportir obat tahun dilihat dari tahun 2015 ke tahun 2018.

“Tahun 2015 terdapat 77 unit usaha eksportir, meningkat 23,4% di tahun 2018 bertambah menjadi 95 unit usaha,” urai Fadjar.

Sementara itu Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pengawasan Obat Hewan (POH) Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD mengatakan Permentan Nomor 40 Tahun 2019 merupakan perubahan dari Permentan Nomor 29 Tahun 2018.

Mengenai izin usaha obat hewan mencakup izin importir, ekportir, produsen, distributor, apotek obat hewan, depo, pet shop, poultry shop, dan toko obat hewan.

Tahapannya, pemohon menyampaikan permohonan izin usaha melalui OSS (Online Single Submission). “Pemenuhan komitmen badan usaha ini maksimal 14 hari kerja serta evaluasi komitmen 14 hari kerja,” jelas Ria. (NDV)

UPAYA MENCEGAH AI DAN PIB, SUDAH SEJAUHMANA?

Vaksinasi harus tepat guna dan protektif. (Sumber: Istimewa)

Sebagai negara dengan iklim tropis, pastilah mikroorganisme patogen kerasan tinggal di Indonesia. Bukannya tanpa daya dan upaya, berbagai cara telah dilakukan oleh seluruh stakeholder dalam mengendalikan AI dan “konco-konconya”. Lalu seberapa efektifkah upaya tersebut?

Memang jika dilihat lebih lanjut persoalan wabah AI di Indonesia kini tidak hits seperti pada masa awal AI mewabah. Namun hal tersebut bukan berarti peternak bisa nyantai, terutama dalam unsur pemeliharaan. Semakin zaman berubah, bibit-bibit penyakit juga akan berubah menyesuaikan dirinya dalam upaya survival layaknya manusia. Oleh karenanya upaya pencegahan perlu dilakukan secara maksimal, berkesinambungan dan konsisten.

Upaya Pencegahan AI 
Dalam mengendalikan AI, idealnya memang harus dilakukan secara menyeluruh. Stamping out dan depopulasi selektif seharusnya dilakukan, namun risikonya akan ada kerugian ekonomi dari peternak akibat depopulasi tadi akan sangat besar, pemerintah juga pasti tidak akan mampu memberikan kompensasi bagi peternak. Pada saat AI mewabah 2003 lalu, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 96/Kpts/PD.620/2/2004 telah menetapkan sembilan langkah strategis dalam mengendalikan AI, diantaranya:

1. Meningkatkan biosekuriti pada semua aspek manajemen
2. Depopulasi secara selektif kelompok ayam/unggas yang terinfeksi virus AI
3. Stamping out kelompok ayam/unggas pada daerah infeksi baru
4. Vaksinasi terhadap AI
5. Kontrol lalu lintas unggas, produk asal unggas dan produk sampingannya.
6. Surveilans dan penelusuran kembali
7. Mengembangkan penyadaran masyarakat
8. Restocking
9. Monitoring dan evaluasi

Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan bahwa pada dasarnya pemerintah juga menerapkan konsep pendekatan One Health dalam penanggulangan AI.

“Kami terus berkoordinasi dengan berbagai pihak utamanya dari kalangan medis, baik hewan maupun manusia, semua kami libatkan, bahkan sampai tingkat RT. Memang kenyataannya ini yang sulit, koordinasi,” kata Fadjar.

Data Kementerian Pertanian mencatat hingga saat ini sebanyak tiga provinsi telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian sebagai... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Februari 2019.

PPJTOH Tingkatkan Tanggung Jawab dan Profesionalitas Insan Veteriner

Foto bersama acara PPJTOH angkatan XVII 2018. (Foto: Infovet/Ridwan)

Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali menyelenggarakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PPJTOH) angkatan XVII, pada 4-6 Desember 2018. Kegiatan dilakukan untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab, serta profesionalitas para dokter hewan maupun apoteker yang bekerja di perusahaan obat hewan maupun pabrik pakan ternak sebagai penanggung jawab obat hewan.

“Diharapkan lewat pelatihan ini lahir insan-insan veteriner yang bertanggung jawab dan bermanfaat untuk sharing ilmu maupun informasi antar sesama peserta,” ujar Ketua Panitia yang juga Wakil Sekjen ASOHI, Drh Forlin Tinora dalam sambutannya, Selasa (4/11).

Sementara ditambahkan oleh Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, tugas dan tanggung jawab dokter hewan maupun apoteker sudah diatur oleh pemerintah. Sebagai penanggung jawab obat hewan, para dokter hewan yang menjadi peserta dituntut mampu bersikap tegas terhadap penggunaan obat hewan ilegal sekaligus membantu pemerintah menjalankan regulasi obat hewan dengan baik dan benar.

“Melalui pelatihan ini semoga peserta mendapat pengetahuan yang cukup dan memadai. Harus paham aturan mengenai obat hewan dan bisa menerapkannya dengan baik,” tambah Ira.

Pada kesempatan serupa, Direktur Kesehatan Hewan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, turut mengapresiasi kegiatan tersebut. “Perlunya pelatihan ini agar para dokter hewan lebih memahami penggunaan obat keras, obat bebas maupun obat bebas terbatas dalam lingkup kerjanya. Sebab obat hewan itu seperti pedang bermata dua, satu sisi baik-satu sisi lagi tidak jika digunakan secara sembarangan. Karena itu sangat dibutuhkan adanya penanggung jawab obat hewan ini,” kata Fadjar.

Dengan adanya PJTOH di perusahaan obat atau pakan, maupun di peternakan, obat hewan dapat digunakan secara rasional. PJTOH memiliki peran untuk memilih apakah obat hewan yang akan digunakan adalah legal, memiliki nomor registrasi, terdapat ijin usaha obat hewan, serta mengerti syarat dan teknis penggunaan obat keras, obat bebas dan obat bebas terbatas sesuai aturan yang berlaku.

“Tanggung jawab PJTOH sangat besar perannya di perusahaan. Karena jika ada kendala, misal obat hewan ilegal saja, itu yang pertama dipanggil adalah PJTOH-nya terlebih dulu selain pimpinan perusahaannya,” kata Drh Erna Rahmawati dari Subdit POH (Pengawas Obat Hewan), yang menjadi narasumber pada acara tersebut.

Acara yang dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut ini juga dijadwalkan mengundang sederet narasumber lain yang kompeten dibidangnya, diantaranya Drh Ni Made Ria Isriyanthi (Kasubdit POH), Drs Zulkifli (Biro Hukum), Prof Budi Tangendjaja (Peneliti Balitnak), Ir Ossy Ponsania (Kasubdit Mutu dan Keamanan dan Pendaftaran Pakan), Prof Widya Asmara (Ketua Komisi Obat Hewan), Drh M. Munawaroh (Ketua PDHI), Drh Ketut Karuni Natih (tim CPOHB), Drh Widarto (Koordinator PPNS Ditjen PKH), M. Zahid (BBPMSOH).

Kemudian pada Kamis (6/11), peserta pelatihan dijadwalkan mengunjungi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) untuk melihat proses pengujian dan sertifikasi obat hewan secara langsung didampingi Kepala BBPMSOH Drh Sri Murkantini bersama timnya. (RBS)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer