Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

ASOHI Kembali Latih 95 Orang Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan

Pemukulan gong oleh Dirkeswan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD, sebagai tanda pembukaan resmi PPJTOH ASOHI 2018, Selasa (28/8). (Foto: Infovet/Bams)

Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali menyelenggarakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PPJTOH) yang bertempat di Hotel Santika TMII, Jakarta. Kegiatan dilakukan mulai Selasa-Kamis (28-30 Agustus 2018).

Acara ini merupakan kegiatan tahunan ASOHI yang bertujuan untuk mensertikasi para dokter hewan dan apoteker yang bekerja sebagai penanggung jawab obat hewan di tempat mereka bekerja.

Kegiatan yang dibuka langsung oleh Direktur Kesehatan Hewan, Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa PhD, diikuti oleh sekitar 95 peserta yang merupakan dokter hewan dan apoteker dari berbagai perusahaan obat hewan dan industri pakan ternak di Indonesia.

Ketua Panitia Pelaksana, Drh Forlin Tinora, menyampaikan, goal yang akan dicapai dalam kegiatan pelatihan tahun ini adalah melahirkan penanggung jawab teknis obat hewan yang dapat menjaga mutu, khasiat dan keamanan obat hewan sebelum digunakan peternak untuk ternaknya.

“Kita ingin memastikan bahwa obat hewan yang digunakan dan diberikan pada ternak benar-benar obat hewan yang aman, baik bagi ternaknya maupun untuk konsumen yang akan mengonsumsi produk ternaknya,” kata Forlin dalam sambutannya, Selasa (28/8).


Antusias peserta PPJTOH. (Foto: Infovet/Sadarman)

Untuk menjawab itu semua, para peserta akan dibekali dengan berbagai materi terkait dengan obat hewan, peraturan-peraturan pemerintah dan materi lainnya yang menunjang pelaksanaan tugas mereka masing-masing.

Selanjutnya, diakhir acara tepatnya pada 30 Agustus 2018, para peserta akan diajak berkunjung ke Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang berlokasi di Jalan Raya Pembangunan Gunung Sindur, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Hal ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman peserta, sekaligus melihat langsung proses pengujian keamanan dan khasiat obat hewan yang akan diedarkan dan digunakan. 

Sementara itu Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari mengatakan, pelatihan PJTOH biasanya setahun sekali, namun karena peminatnya terus bertambah maka tahun ini sudah diadakan 2 kali dan kemungkinan bulan Oktober atau November mendatang diadakan lagi. Selain dari perusahaan obat hewan  saat ini peserta dari perusahaan pakan makin bertambah. "Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dari PJTOH ataupun calon PJTOH di perusahaan obat hewan dan pakan untuk terus mengupdate pengetahuan teknis maupun perundang-undangan," ujar Irawati.

(Sadarman)

Ekspor Jagung Berimbas Harga Pakan Naik?

Ilustrasi jagung (Foto: Pexels)


Pelepasan ekspor jagung sebesar 11.500 ton dari Sumbawa ke Filipina oleh pemerintah pada Maret lalu, beserta kebijakannya dinilai kurang tepat. Menurut Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, kebijakan tersebut justru menciptakan efek domino pada tidak meratanya harga jagung yang kemudian berimbas pada kenaikan harga pakan ternak, kenaikan harga telur dan ayam ras.

"Karena pabrik pakan ternak itu sekitar 69 persen ada di Pulau Jawa. Sehingga jagung-jagung yang luar Jawa, ini agak kesulitan juga terserap di industri pakan ternak yang ada di Jawa," ujar Guru Besar IPB ini, seperti dikutip dari laman bisnis.com, Senin (27/8).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, total produksi jagung di Indonesia per 2015 berada di angka 19,61 juta ton. Sebanyak 54,12% atau sekitar 10,61 juta ton diproduksi di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di berbagai pulau lain.

Hampir 40% sentra produksi jagung berada di luar Pulau Jawa. Sementara itu, mayoritas konsumen jagung yang merupakan perusahaan pakan ternak berada di Pulau Jawa.

Dwi menambahkan, distribusi semakin menjadi persoalan karena pola pengembangan jagung yang dilakukan Kementerian Pertanian diarahkan di luar Pulau Jawa. Sebenarnya ini dapat dimaklumi, mengingat lahan di Pulau Jawa memang sudah sangat terbatas dan cenderung digunakan untuk penanaman padi.

Sebagai gambaran, terdapat 10 sentra jagung di Indonesia, dengan hanya tiga di antaranya berada di Pulau Jawa. Kesepuluh sentra jagung tersebut, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, NTB, Gorontalo, NTT, dan Sumatra Barat.

Lebih lanjut, Dwi menekankan bahwa sebenarnya tidak tepat satu klaim seolah jagung sudah surplus, lalu diekspor. 

“Ekspor tersebut bahkan sudah terjadi belasan tahun lalu dan biasa dilakukan ketika harga pasar jagung domestik sudah terjun ke bawah US$200 per ton. Rata-rata setiap tahun Indonesia mengekspor jagung di kisaran angka 50.000 ton. Tapi, pilihan ekspor saat ini bukanlah hal yang tepat," jelasnya.

Sekjen Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Soya melihat, ekspor lazim dilakukan mengingat tidak seluruhnya jagung nasional terserap pasar domestik pada saat musim panen raya tiba. Di sisi lain, jagung tidak bisa disimpan lama-lama karena belum ada infrastruktur penyimpanan dan pengeringan yang memadai.

Pada akhirnya, jumlah yang melimpah hingga 60%-70% pada musim panen Oktober-Maret dipilih untuk diekspor, seperti ke Filipina.

Ekspor pada masa itu pun menguntungkan karena harga yang ditawarkan lewat ekspor jauh lebih 
menjanjikan.

Di samping itu, biaya untuk mendistribusikan jagung-jagung tersebut ke luar negeri nyatanya lebih murah dibandingkan dengan menyalurkannya ke pabrik pakan di Pulau Jawa. (bisnis.com)

Peluang Menantang Usaha Bibit Ayam Lokal

DOC ayam lokal. (Foto: Dok. CV Nitnot)

Hingga kini belum ada data pasti kebutuhan DOC ayam lokal secara nasional. Namun, yang jelas, sejumlah pasar masih menunggu pasokan. Berminat?

Geliat bisnis ayam kampung memang tak ada matinya. Seperti halnya dengan ayam broiler, selagi penggemar daging ayam kampung masih ada, maka bisnis di sektor peternakan ini pun akan tetap ada. Bahkan ke depan, kemungkinan bisnis ini makin menjanjikan dengan menjamurnya rumah makan yang khusus menyediakan daging ayam lokal.

Pergerakan omzet di bisnis ayam lokal tak hanya dirasakan para pemilik rumah makan dan peternakan pembesaran saja, namun juga para penyedia bibitnya. Riko Saputro, salah satu pemilik CV Nitnot, peternak DOC ayam kampung di Blitar, Jawa Timur, misalnya. Meski baru dua tahun dijalani, omzet perusahaan penyedia bibit (DOC) ini meningkat tajam.

“Kalau tahun lalu masih sebatas puluhan ribu ekor per minggu, sekarang sudah mencapai 100 ribu ekor lebih per minggu,” ungkapnya kepada Infovet.

CV Nitnot adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyedia bibit ayam lokal. Perusahaan yang beralamat di Jl. Moh Hatta No. 4, Kelurahan Sentul, Kecamatan Kepanjen Kidul, Blitar, Jawa Timur ini dimiliki oleh tiga orang, salah satunya Riko Saputro.

Bisnisnya dimulai sejak 2017. Mulanya hanya coba-coba menjual DOC ayam Joper, brand ayam kampung super CV Nitnot. Setelah dijalani beberapa bulan, Riko melihat peluang pasar cukup besar dan prospeknya cukup menjanjikan. Sejak itu, ia dan kedua investor lainnya mulai serius menggarap bisnis ini. “Dari hasil uji coba pasar yang kami lakukan, kami benar-benar kewalahan memenuhi permintaan pasar,” ujarnya.

Sekali peluang datang, jangan pernah ditolak, itulah prinspi bisnis Rio dan dua temannya. Untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup besar itu, CV Nitnot menjalin kerjasama dengan beberapa penetas di sekitar Kota Blitar. Lebih dari lima pembibit ayam kampung yang diajak kerjasama, namun baru dua penetas saja yang rutin memasok DOC ke CV Nitnot. Selebihnya, memasok sesuai dengan persediaan masing-masing peternak.

Dari awal pasokan yang sebelumnya hanya puluhan ribu ekor DOC, kini dalam setiap minggu, kapasitas produksinya mencapai 100 ribu DOC. Namun, lagi-lagi itu pun belum bisa memenuhi permintaan pasar yang Riko jajaki.

“Dari sekian banyak perintaan yang kami terima, kami baru bisa memenuhi sekitar 20 persen dari potensi pasar yang ada. Sekarang kami sedang mengusahakan agar kapasitas produksinya dinaikkan,” kata Riko. Jika daya pasoknya hanya 100 ribu ekor, berarti permintaan pasar yang masuk ke CV Nitnot tak kurang dari 500 ribu DOC per minggu.

Riko mengakui, bukan perkara mudah mendongkrak jumlah produksi dalam tempo singkat. Butuh waktu untuk mempersiapkan demi menjaga kualitas DOC. “Target saya dalam beberapa tahun ke depan maunya bisa mencapai satu juta ekor DOC produksinya per minggu. Target ini untuk memenuhi pasar di Pulau Jawa dan Provinsi Lampung,” tambahnya.

Bongkar dan vaksinasi DOC. (Foto: Dok. CV Nitnot)

Peluang Makin Terbuka
Besarnya potensi pasar penyediaan DOC ayam lokal juga diakui oleh Naryanto, pemilik PT Sumber Unggas Indonesia, yang berada di Parung, Bogor, Jawa Barat. Menurut pria yang akrab disapa Anto ini, permintaan pasar terhadap DOC ayam lokal dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Karena itu, saat ini dia tengah fokus untuk penambahan populasi indukan agar DOC yang dihasilkan lebih banyak dan dapat menyediakan DOC bagi pihak luar.

“Saat ini jumlah produksi DOC kami sudah mencapai 100 ribu ekor per minggu. Kami akan terus berupaya menambah kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar,” ujar Anto kepada Infovet.

Untuk meningkatkan kualitas bibit ayam lokal asli, Sumber Unggas Indonesia telah menambah jenis, yaitu ayam Sentul, ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak) dan ayam Kedu. Pihaknya bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian dan telah mendapatkan lisensi ayam KUB serta Pra Lisensi ayam SenSi (Sentul Seleksi), sehingga produk DOC memiliki hasil standar Agro Inovasi.

Ketua Himpuli (Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia), Ade M. Zulkarnain, menyebut prospek bisnis di bidang penyediaan bibit ayam lokal akan terus membaik seiring permintaan pasar yang terus bertambah. Ini merupakan peluang yang lebih terbuka di sektor hulu atau pembibitan. 

“Apalagi sampai sekarang pengadaan DOC masih bersumber di Jawa, maka perlu dibangun pembibitan yang lebih dekat dengan peternak di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan NTB,” kata Ade saat ditemui Infovet.

Menurut dia, sejak delapan tahun terakhir, terjadi perubahan yang signifikan di peternakan ayam lokal, yaitu berkembangnya usaha pola intensif dengan populasi yang cukup besar. Jika sebelumnya peternak yang memiliki populasi di atas 1.000 ekor bisa dihitung dengan jari, sekarang sudah cukup banyak. Tak hanya di Pulau Jawa, tapi juga di berbagai daerah.

Tingginya permintaan DOC ini disebabkan meningkatnya pertumbuhan peternak ayam lokal pedaging saat ini. Hanya saja, lanjut Ade, masih belum diimbangi dengan pengadaan DOC. Selain itu, sesuai data di Himpuli, usaha di pembibitan yang sesuai standar Good Breeding Practice (GBP) juga masih sedikit, jumlahnya di bawah lima perusahaan.

Data Himpuli menunjukkan, saat ini ada beberapa perusahaan pembibitan yang meningkatkan produksinya. Ada yang produksi DOC 100.000 ekor per bulan sampai 600.000 ekor per bulan. Sementara, dari Statistik Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerain Pertanian, disebutkan populasi tahun lalu sekitar 315 juta ekor.

Selain usaha pembibitan ayam lokal asli yang sudah sesuai GBP, juga marak tumbuhnya usaha pembiakkan ayam persilangan di Jateng, Jogja dan Jatim. “Walaupun skala usahanya kecil, tapi jumlahnya cukup banyak. Mereka menyilangkan ayam ras layer dengan ayam Bangkok atau dengan ayam lokal asli,” katanya.

Aktivitas bongkar di kargo bandara (Foto: Dok.CV Nitnot)

Kendala Bisnis
Ketua Himpuli ini tidak bisa memastikan secara pasti besaran kebutuhan DOC ayam lokal untuk memenuhi permintaan pasar secara nasional. Menurutnya, belum ada data yang valid dalam menghitung kebutuhan ayam lokal. Asosiasi maupun peternak belum mendata itu, tapi secara umum ada peningkatan permintaan pasar rata-rata sekitar 15% per tahun.

Hal itu pun juga diakui oleh Riko Saputro dan Naryanto, yang tak memiliki data pasti kebutuhan secara nasional akan kebutuhan DOC ayam lokal. Namun yang jelas, pergerakan permintaan pasar terus naik dalam setiap bulan.

Di balik besarnya potensi pasar bibit ayam lokal ini, sejumlah kendala usaha juga masih menghadang. Tak hanya kendala dalam hal produksi, namun juga kedala non-teknis saat berhadapan dengan konsumen. Riko, misalnya, mengaku kendala dalam menjalankan bisnis ini justru bukan pada persoalan produksi. Peternak ini malah menemukan keraguan supplai dari para konsumen.

Dari permintaan pelanggan CV Nitnot yang ada selama ini, ada beberapa perusahaan yang meminta untuk menambah jumlah pasokan bibit ayam lokal hingga dua kali lipat dalam waktu singkat. “Mereka ragu kalau pasokannya tidak bisa rutin. Nah, kami tetap yakinkan pada mereka bahwa kami memiliki stok yang cukup untuk memenuhi permintaan mereka. Tapi kadang konsumen masih ragu juga,” ungkap Riko.

Lain lagi kendala yang disebut oleh Ade sebagai Ketua Himpuli. Menurutnya, ada tiga kendala yang dihadapi peternak secara keseluruhan selama ini. Pertama, pemanfaatan sumber daya genetik ayam asli yang masih terbatas, karena persepsi di peternak pertumbuhannya cukup lama dan produktivitas telurnya rendah. Tapi itu sudah mulai teratasi dengan adanya strain ayam lokal asli hasil penelitian Balitnak.

Kendala kedua, yakni aspek permodalan. Usaha pembibitan memerlukan biaya yang tidak sedikit, khususnya bagi peternak kelas UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
Ketiga, regulasi pemerintah yang masih membatasi modal usaha. Berdasarkan Perpres No. 44/2016, usaha ayam lokal hanya untuk UMKM dengan modal maksimal Rp 10 miliar. “Nah, bagaimana bisa membangun pembibitan dalam skala yang cukup besar kalau investasinya dibatasi?,” ujar Ade.

(Dari kiri): Riko Saputro (Dok. Pribadi), Naryanto dan Ade M. Zulkarnain.

Karena itu, sejak dua tahun terakhir, Himpuli menyuarakan agar penerintah merevisi batasan modal di usaha ayam lokal. Tujuannya, agar iklim investasinya lebih kondusif bagi investor yang akan masuk ke usaha ini, terutama untuk pembibitan. (Abdul Kholis)

Plastik Berperekat Aman Kemas Daging Kurban

Kemasan berperekat dengan label untuk pengemasan daging kurban
yang aman dan informatif. (Foto: Dok. UGM)

Dalam mengemas daging kurban, masyarakat hampir selalu menggunakan kantong plastik terbuka (kresek) yang sangat rentan oleh kontaminasi bakteri. Oleh karena itu, agar kualitas daging tetap bagus dan awet, dapat dipilih beberapa alternatif pengemasan, salah satunya ialah pengemasan daging menggunakan plastik PA/PE berperekat (sealed plastic bag).

Hal tersebut diungkapkan oleh pakar Food Packaging Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Ir Endy Triyannanto.

“Kantong plastik berperekat merupakan pilihan yang aman, praktis, terjangkau, dan terlihat lebih menarik. Dengan perekat, daging dapat terhindar dari kontak langsung dengan sinar matahari, debu dan risiko tumpah pada waktu didistribusikan. Plastik PA/PE dan mesin sealer juga mudah didapatkan di pasaran,” ujar Endy dalam keterangan tertulis yang diterima Infovet, Selasa (21/8).

Endy menambahkan, kemasan daging akan lebih baik jika diberi label. “Label pada kemasan terlihat sederhana tetapi penting. Dalam label dapat dicantumkan nama masjid penyalur daging kurban, jenis daging, berat daging dan saran penyimpanan. Informasi ini akan meningkatkan fungsi kemasan,” tambah dosen lulusan Gangneung-Wonju National University ini.

Dosen di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging Fapet UGM itu menekankan untuk menghindari penggunaan plastik hasil daur ulang.  “Ketika membeli kantong plastik, selama tidak tertera simbol daur ulang dengan kode angka 1-7, sebaiknya dihindari karena sulit diketahui jenis dan asal produk. Kandungan berbahaya dalam plastik hasil daur ulang dapat berpindah ke makanan yang terkena panas dengan lama waktu dan temperatur tertentu, terutama makanan yang mengandung lemak. Plastik daur ulang tidak selalu berwarna hitam, tergantung dari pewarna yang digunakan,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelaskan, angka 1 (PET) berarti Polyethylene Terephthalate, angka 2 (HDPE) berarti High-density Polyethylene, angka 3 (PVC) berarti Polyvinyl Chloride, angka 4 (LDPE) berarti Low Density Polyethylene, angka 5 (PP) berarti Polypropylene, angka 6 (PS) berarti Polystyrene dan angka 7 (other) berarti plastik kombinasi atau dari bahan plastik lain. “Untuk produk makanan atau minuman umumnya digunakan jenis PET atau PP,” katanya. 

Alternatif Lain
Selain plastik berperekat, Endy mengungkapkan bahwa terdapat dua alternatif lain pengemasan daging yang potensial untuk digunakan. “Pertama, kita dapat menggunakan kemasan vakum. Dengan pengemasan ini, kadar oksigen dapat dikurangi sehingga otomatis proses oksidasi berkurang. Proses ini efektif untuk mengurangi ketengikan daging,” kata Endy.

Kemasan vakum merupakan pilihan yang mudah dan terjangkau. Kantong plastik vakum berbahan baku PA/PE, dua lapis dengan bahan Polyamide/polyethylene dan mesin vakum sekarang mudah didapatkan di pasaran dengan harga terjangkau.

“Pilihan kedua ialah retort pouch, yaitu pengemasan dengan proses sterilisasi menggunakan plastik multi-layer,” tambahnya. Proses sterilisasi mikrobakteri hingga 121°C dapat mengawetkan daging olahan selama lebih dari satu tahun pada suhu ruangan.

Kendati demikian, Endy menyebut, pengemasan ini belum banyak berkembang di Indonesia. Namun, ia yakin teknik pengemasan ini prospeknya sangat bagus di Indonesia. “Teknik ini sangat sesuai digunakan untuk mengemas daging olahan yang akan disalurkan, seperti misal untuk ke daerah bencana. Transportasi bahan bernutrien tinggi sulit, sehingga retort pouch dapat menjadi solusi yang tepat,” tandasnya. (INF)

Dirjen PKH: Pemerintah tetap Berdayakan Peternak Sapi Perah

Dirjen PKH, I Ketut Diarmita. (Foto: Ridwan)

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita, menegaskan, pemerintah tetap mengupayakan dukungan terhadap permberdayaan peternak sapi perah ihwal perubahan Permentan 26/2017 menjadi Permentan 33/2018 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.

“Pemerintah akan terus berusaha keras dan mengupayakan agar kemitraan yang saling menguntungkan tetap berjalan dengan mengacu pada regulasi yang berlaku dengan dukungan stakeholder,” ujar Ketut, saat acara sosialisasi revisi Permentan 26/2017, di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Timur, Senin (20/8), melalui siaran persnya.

Adanya perubahan tersebut, kata dia, terjadi karena kepentingan nasional yang lebih besar dalam perdagangan dunia. “Perubahan ini adalah wujud nyata dari kewajiban Indonesia sebagai anggota WTO, sehingga kita harus mensinergikan dengan aturan di dalamnya, terutama terkait ekspor dan impor,” jelas Ketut.

Kendati demikian, Ia pun menghimbau para pemangku kepentingan tidak ikut-ikutan galau dalam memperjuangkan nasib peternak sapi perah. “Justru kita harus semangat dan bangkit siap menghadapi era perdagangan bebas ini dengan bijak, terutama peningkatan produksi susu dalam negeri berkualitas dan berdaya saing,” ucap dia.

Kemitraan tetap Diupayakan
Adanya Permentan 33/2018 menurut Ketut, tidak menghilangkan pola kemitraan yang diklaim akan meningkatkan industri dan kesejahteraan peternak sapi perah. Pihaknya tetap mendorong kemitraan dengan regulasi yang ada.

“Kita mempunyai kesamaan satu mimpi untuk memajukan dunia peternakan Indonesia dan kita tidak perlu khawatir karena masih ada Permentan Nomor 13/2017 tentang Kemitraan Usaha Peternakan,” ujarnya. Artinya, dengan perubahan permentan tersebut, program kemitraan tetap akan ada dalam rangka peningkatan populasi dan produksi susu segar dalam negeri (SSDN).

Ia pun sangat mengapresiasi komitmen para pelaku usaha dalam membangun kemitraan bersama peternak dalam implementasi Permentan 26/2017. Sejak diundangkan 17 Juli 2017 telah masuk 102 proposal dari 120 perusahaan yang terdiri dari 30 Industri Pengolahan Susu (IPS) dan 90 importir, dengan total nilai investasi kemitraan mencapai Rp 751,7 miliar untuk periode 2018. “Hal ini membuktikan betapa besarnya dukungan, peran aktif dan partisipasi dari stakeholder dalam pengembangan persusuan nasional,” tukasnya.

Selama seminggu ke depan, pihaknya akan berkeliling dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk menemui stakeholder, baik pelaku usaha, peternak dan koperasi untuk bersinergi terkait pembangunan industri persusuan nasional.

Sementara, perwakilan dari IPS yang hadir menyampaikan bahwa mereka tetap akan berkomitmen mendukung kemitraan dengan peternak melalui pembinaan dan pengembangan industri susu, agar produktivitas dan kualitasnya terjaga. (RBS)

Penatalaksanaan Hewan Kurban









Begini Penatalaksanaan Hewan Kurban yang Baik dan Benar

Pembicara (dari kiri): Ira Firgorita, Supratikno, Hadri Latif, Drh Deni Noviana (moderator) dan H. Romli. (Foto: Ridwan)

Memasuki Hari Raya Idul Adha 1439 H yang jatuh pada 22 Agustus 2018, Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmaveti) bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Jabar II dan IKA FKH IPB, melaksanakan seminar nasional bertajuk “Penatalaksanaan Hewan Kurban yang Baik dan Benar”.

Menurut Ketua Askesmaveti, Fitri Nursanti Poernomo, kegiatan ini diadakan untuk memberi pemahaman dan pengertian kepada masyarakat mengenai penanganan hewan kurban yang baik dan benar. “Semoga acara ini bermanfaat dan berkah bagi kita semua,” ujarnya di Gedung Bimtek BPMSPH, Bogor, Kamis (16/8).

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Dirkesmavet), Kementerian Pertanian, Syamsul Maarif, yang turut hadir sebagai keynote speech, mengemukakan, ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kurban, yakni kesehatan hewan kurban, proses penyembelihan hewan kurban agar halal dan distribusi hewan kurban.

“Sebab pemotongan hewan kurban ini tidak boleh main-main. Semua masyarakat ikut terlibat. Diharapkan pemotongan hewan kurban bisa dilaksanakan sesuai aturan dan syariat islam, serta memenuhi unsur Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH),” kata dia.

Dirkesmavet, Syamsul Maarif, menjadi keynote speech dihadapan peserta, didampingi Ketua Askesmaveti, Fitri Nursanti Poernomo. (Foto: Ridwan)

Agar pemotongan memenuhi aturan tersebut, H. Romli Eko Wahyudi, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kabupaten Bogor, yang menjadi pembicara, memaparkan tahapan penyembelihan kurban yang baik dan benar. Mulai dari waktu penyembelihan (10, 11, 12 dan 13 bulan dzulhijjah), jenis hewan kurban (unta, domba/kambing, sapi, kerbau dan sejenisnya), umur mencukupi, musinnah dari kambing usia satu tahun (masuk tahun kedua), musinnah sapi dua tahun (masuk tahun ketiga) dan unta genap lima tahun (masuk tahun keenam). Kemudian hewan kurban yang disembelih atas nama Allah dan terpotongnya tiga saluran (nafas, makanan dan darah).

“Tata caranya penyembelihan dengan membaca Bismillahi Allahu Akbar, salawat kepada nabi, hewan kurban menghadap kiblat dan membaca takbir,” jelas Romli.

Ia menambahkan, bagi juru penyembelih kurban diwajibkan kepada Muslim yang taat, baligh, memiliki pengetahuan Islam, sehat jasmani dan rohani, serta bebas dari luka atau penyakit yang bisa mencemari produk (daging kurban).

Selain itu, lanjut dia, perlakuan kepada hewan kurban sebelum disembelih juga penting untuk diperhatikan. Kerap kali di lapangan, Romli masih menemukan perlakuan terhadap hewan kurban yang asal, seperti pakan dan minum seadanya, tidak diberikan tempat berteduh, tempat penyembelihan yang terlalu terbuka dan lain sebagainya.

Untuk menghindari hal itu, Drh Supratikno, Dosen Anatomi Fisiologi Kedokteran IPB, menjelaskan, pentingnya perlakuan antemortem sebelum hewan disembelih. Hal ini ditujukan untuk mengetahui kelayakan dan kesehatan, serta menghindari pemotongan ternak betina produktif.

Pemeriksaan tersebut, kata dia, tetap berpedoman pada prinsip kesejahteraan hewan. “Hewan kurban ditempatkan pada penampungan minimal yang memiliki atap, disediakan tempat pakan dan minum, menjelang penyembelihan dipuasakan selama 12 jam untuk menghindari isi perut yang berlebihan,” kata Supratikno yang juga Anggota Halal Science Center IPB.

Lebih lanjut ia memaparkan, alat penyembelihan yang digunakan harus benar-benar tajam untuk menghindari tersiksanya hewan kurban saat disembelih. “Pisaunya harus tajam dan ukurannya mencukupi, dilakukan dengan satu kali sembelih atau dua kali dengan pisau tetap menempel pada leher kurban,” jelas dia.

Dengan terpenuhinya seluruh penanganan dan proses penyembelihan sesuai aturan, kata Supratikno yang juga Asesor Juru Sembelih Halal ini, akan memberikan terjaminnya status kehalalan produk dan jaminan terhadap kualitas daging yang dihasilkan.

Pada kesempatan tersebut, juga menghadirkan narasumber lain, yakni Drh Ira Firgorita dari Direktorat Kesmavet dan Dr Drh Hadri Latif, Dosen Kesmavet FKH IPB. Seminar dihadiri oleh 97 peserta yang terdiri dari 46 dokter hewan. (RBS)

Penjelasan Dirjen Soal Industri Tak Wajib Serap Susu Lokal

Kementan tetap mendorong kemitraan industri dengan peternak sapi perah (Foto : Antara/Raisan Alfarisi)


Kementerian Pertanian baru-baru ini melakukan revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2017 menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Aturan tersebut tidak lagi mewajibkan industri pengolahan susu (IPS) bermitra atau menyerap susu sapi dari peternak lokal.

Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/8/2018), Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, I Ketut Diarmita, menjelaskan perubahan Permentan Nomor 26 Tahun 2017 menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018 dan Permentan Nomor 33 Tahun 2018 tentang penyediaan dan pembelian susu, merupakan konsekuensi dari keputusan DBS WTO.

“Beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan hortikultura dan peternakan harus direvisi,” ungkapnya.

Lanjut Ketut, dalam permentan nomor 30/2018 prinsip dasarnya adalah menghilangkan kemitraan sebagai salah satu pertimbangan dalam penerbitan rekomendasi. Perubahan ini dilakukan karena Amerika Serikat (AS) mengancam akan mencabut produk ekspor Indonesia dari Generalized System of Preferance (GSP), sehingga bisa menurunkan nilai ekspor Indonesia.

Ketut menegaskan, dengan perubahan permentan tersebut program kemitraan antara pelaku usaha persusuan nasional dan peternak tetap diatur dalam rangka peningkatan populasi dan produksi susu segar dalam negeri. Kementan tetap mendorong pelaksanaan kemitraan industri dengan peternak , meski ada revisi Permentan 26 tahun 2017.

"Dengan perubahan Permentan tersebut, program kemitraan antara pelaku usaha persusuan nasional dan peternak tetap diatur dalam rangka peningkatan populasi dan produksi susu segar dalam negeri (SSDN). Pelaksanaan kemitraan ini tetap kita dorong untuk dilakukan oleh seluruh pelaku usaha persusuan nasional," tandasnya.

Informasi yang ditambahkan Ketut, bahwa dengan adanya Permentan Nomor 26 Tahun 2017, proposal kemitraan yang masuk hingga 6 Agustus 2018 sebanyak 99 proposal dari 118 perusahaan, terdiri dari IPS 30 dan importir 88 perusahaan dengan nilai investasi Rp 751,7 miliar.

Adapun bantuan yang diberikan Kementan untuk memajukan peternak diantaranya asuransi ternak sapi bersubsisi, IB dalam program Upsus Siwab, KUR khusus untuk pembiakan sapi, serta memfasilitasi kapal khusus ternak. (rilis/inf)



Potensi Besar Bungkil Inti Sawit untuk Pakan Unggas

Bungkil inti sawit.
Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan hasil ikutan dari industri pengolahan kelapa sawit, dengan ketersediaannya di Indonesia sangat tinggi. Penelitian penggunaan BIS sebagai salah satu bahan pakan potensial telah banyak dilakukan. Salah satu factor pembatas penggunaan BIS adalah kandungan seratnya yang tinggi, dengan komponen dominannya adalah berupa mannosa yang mencapai 56,4% dari total dinding sel BIS. Kandungan mannan yang tinggi disatu sisi merupakan faktor pembatas nutrisi, namun di sisi lain memiliki potensi sebagai bahan imbuhan pakan seperti prebiotik yang akan meningkatkan kesehatan ternak.

Hingga saat ini, BIS hanya dipakai sebagai salah satu sumber pakan, padahal melihat potensi tersebut dapat ditingkatkan nilai tambahnya menjadi bahan baku pembuatan imbuhan pakan. Peneliti Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia, Dr Ma’ruf Tafsin, dalam sebuah seminar tentang Palm Kernell Meal di Industri Pakan di Jakarta, Juli 2018 lalu, memaparkan, kandungan β-mannan yang tinggi pada BIS yang tergolong polisakarida bukan pati atau Non Starch Polysaccharides (NSP) menjadi salah satu pembatas penggunaan BIS, terutama pada ternak monogastrik. Padahal, dari berbagai hasil penelitian para ahli nutrisi dan pakan, mannan sangat potensial untuk menjadi pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) pada unggas.

Sejak 1 Januari 2018, Indonesia telah secara resmi melarang penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan ternak. Kebijakan tersebut sebenarnya sudah diwacanakan sejak tahun 2015, namun baru dapat diterapkan secara penuh pada 2018. Keputusan tersebut tertulis pada Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) No. 14071/PI.500/F/07/2015 tentang Pelarangan Penggunaan Antibiotik dan Antibakteri dalam Imbuhan Pakan. Kebijakan ini muncul sebagai dukungannya terhadap penyediaan pangan yang aman dan sehat. Adanya residu dari penggunaan antibiotik dikhawatirkan akan memunculkan resistensi yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Kebijakan ini bukan hanya di Indonesia saja, di belahan dunia lain seperti Amerika dan Eropa, aturan pelarangan penggunaan AGP sudah diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan pangan yang aman itulah yang mendorong pemerintah setempat memberlakukan kebijakan ini. Pemerintah Indonesia dalam hal ini melalui Ditjen PKH, Kementerian Pertanian, akhirnya dengan tegas memutuskan Januari 2018 penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan resmi dilarang.

Adanya kebijakan tersebut, sebelumnya telah dilakukan sosialisasi dan persiapan sejak 2015-2017, nyatanya masih memberikan pekerjaan rumah terutama bagi para ahli nutrisi dan pakan dari berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan pakan, maupun obat ternak dalam usahanya mencari alternatif pengganti AGP. Berbagai solusi produk seperti probiotik, prebiotik, sinbiotik, herbal dan enzim sudah mulai diproduksi sejak tahun-tahun lalu sebagai pengganti AGP. Harapannya, bahan-bahan tersebut dapat berperan menjadi pengganti AGP sebagai pengontrol keseimbangan pertumbuhan bakteri prolifik dan yang patogen di dalam usus.

Upaya alternatif pengganti AGP yang telah diteliti oleh para ahli nutrisi diantaranya Mannanoligosakarida (MOS) yang banyak dikembangkan dari dinding sel mikroba seperti ragi Saccharomyces cerevisiae sebagai bahan bakunya. Produksi melelalui ragi tersebut dipakai karena kandungan gula mannosa-nya yang tinggi mencapai 45% dari keseluruhan dinding selnya. Masalahnya adalah, hal itu menyebabkan harga produknya sangat mahal, dan masih diimpor. Oleh karenanya, BIS sangat berpotensi untuk menghasilkan ekstrak yang mengandung mannan mengingat kandungannya yang tinggi dan mempunyai potensi yang besar sebagai alternatif AGP dengan harga yang kompetitif, tidak semahal MOS.

Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan diketahui pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam menempelnya patogen, dengan demikian mannosa dapat menghambat proses penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan. Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan dan efek ini juga berperan dalam melawan bakteri Salmonella.

Tafsin mengungkapkan, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa BIS mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber mannan karena kandungan gula mannosa yang dimilikinya. Uji resistensi terhadap Salmonella dan E.Colli  menunjukkan bahwa penggunaan Polisakarida Mannan (PM) dari BIS tidak mempunyai aktivitas yang bersifat membunuh (bakterisid). Pengamatan terhadap uji aglutinasi yang dilanjutkan dengan pengamatan secara mikroskopik menunjukkan adanya penggumpalan pada penggunaan PM dari BIS. Hasil tersebut menunjukkan adanya penempelan antara reseptor bakteri dengan komponen mannosa dari PM yang diekstrak oleh BIS.

Tanaman kelapa sawit.
Penggunaan mannan dari BIS dalam ransum juga terbukti mampu menurunkan kolonisasi bakteri Salmonella pada sekum. Hasil penelitian tahap pertama yang dilakukan Tafsin membuktikan, penggunaan 4.000 ppm menunjukkan tingkat infeksi pada hari kelima setelah infeksi dan juga pengamatan keseluruhan sampai 15 hari setelah infeksi. Pengamatan pada hari ke-15 setelah infeksi menunjukkan penggunaan 2.000-4.000 ppm sudah tidak ditemukan adanya Salmonella. Hal itu menunjukkan bahwa kecepatan pengeluaran (exclution) Salmonella lebih tinggi akibat penggunaan mannan dari BIS.

Komersialisasi Turunan BIS
Komersialisasi produk turunan BIS sebagai alternatif antibiotik masih belum berkembang sekarang ini. Sangat diperlukan upaya penelitian secara berkesinambungan, terkait dengan teknologi proses untuk mendapatkan bahan aktif berupa komponen mannan oligosakarida yang dimiliki BIS. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain, melalui penggunaan secara kimia (NaOH, Asam Asetat) maupun secara enzimatis. Jumlah komponen mannosa yang terekstrak perlakuan tersebut sejauh ini baru mencapai sekitar 30%.

Dari uraian di atas, ternyata BIS mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi produk turunan yang dapat dikembangkan sebagai alternatif AGP, immunostimulan dan juga sebagai prebiotik untuk ternak. Perbaikan teknologi proses untuk mendapatkan komponen mannosa yang lebih tinggi masih sangat diperlukan agar produk tersebut dapat dikembangkan secara komersial dalam skala besar demi kemandirian bahan pakan domestik. ***

Andang S. Indartono,
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI)

Situasi Para Peternak Pascagempa Lombok



Bantuan pakan ternak dari Kementerian Pertanian (Foto: Istimewa)

Pemandangan tenda-tenda terpal biru tampak di Lapangan Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, NTB. Lapangan tersebut menjadi posko pengungsian yang dihuni warga, pasca Lombok diguncang gempa berkekuatan magnitudo 7.0.

Asbirin (30), salah satu warga yang mengungsi ke posko dengan membawa serta ternak-ternaknya. Pekerjaan Asbirin adalah pengadas, yaitu pemeihara hewan ternak milik orang lain. Dua kali sehari, Asbirin memberi pakan tiga ekor sapi dan enam ekor kambing peliharaannya.

“Sapi dan kambing harus ikut mengungsi. Kalau ditinggal, khawatir dicuri orang,” ujar Asibin, warga Dusun Montong Gedeng, Desa Gumantar, seperti dikutip dari Harian Kompas, Senin (13/8/2018).

Pascagempa warga merasa was-was, ternak mereka dicuri orang. Di posko pengungsian, di lapangan Desa Gumantar terdapat 13 orang pengadas yang membawa 27 ekor sapi.

Kini sapi dan kambing adalah harapan mereka yang tersisa. Karena selain kehilangan rumah, harta benda lain pun tak ada.

Ketua Umum PB-PDHI Dr drh Heru Setijanto, menanggapi kabar pencurian ternak milik warga terdampak gempa di Lombok. “Kasus seperti ini, dapat memetik pelajaran Satgas Siaga Gunung Agung, jadi harus ada koordinasi antara BPBD, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau Dinas terkait untuk mengamankan ternak-ternak milik warga,” tutur Heru yang dihubungi Infovet melalui pesan Whatsapp, Senin (13/8/2018).

Informasi yang dirangkum Infovet, Selasa (14/8/2018), wilayah terdampak gempa di Kabupaten Lombok Utara (KLU) berada di 4 kecamatan yaitu Tanjung, Pemenang, Gangga, Kahyangan, sedangkan di Kabupaten Lombok Timur berada di 3 Kecamatan, yaitu Sembalun, Sambelia dan Pringgabaya.

Melalui sambungan telefon, Infovet hari ini juga menghubungi Ketua Satgas PKH Peduli Gempa, Drh Wayan Masa Tenaya PhD.

“Saat ini  kita sudah membantu menyerahkan 16 ton lebih pakan konsentrat dan 4 ton pucuk tebu untuk sapi di Lombok Utara dan Lombok Timur,” katanya.

Lanjutnya, hingga sekarang juga masih berlanjut identifikasi jumlah sapi terdampak serta menurunkan bantuan berupa pakan lagi. “Kami jumpai di lapangan  juga ada usulan pakan untuk ayam ras,” ungkap Wayan.

Menurut Wayan, secara umum kondisi ternak di kawasan terdampak masih aman, tidak ada yang sakit atau mati. Kendati demikian, terdapat keluhan warga yang mengaku kehilangan ternak sapi. “Saat ini kasus tersebut masih didalami oleh pihak yang berwajib,” tandasnya.

Pada kesempatan lain, dihubungi Infovet yakni Dr Ir Tanda Panjaitan MSc Phd dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB yang menyatakan kondisi kandang sapi betina milik kelompok peternak Ngiring Datu di Dusun Karang Kendal, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Lombok Utara tidak ada kerusakan.  

Kondisi kandang sapi betina di Dusun Karang Kendal tidak rusak. (Foto: Istimewa)

“Keseluruhan jumlah ternak di Dusun Karang Kendal sebanyak 300 ekor, 40 ekor anak dan selebihnya dewasa yang terdiri dari induk mencapi 100 ekor dan sisanya adalah jantan penggemukan,” ungkap Tanda.

Imbuh Tanda, berdasarkan kunjungan beberapa hari kemarin di Dusun Telaga Maluku Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara, terdapat laporan warga yang menyebutkan bahwa ternaknya ada yang mulai sakit. ***(NDV)










Dirjen PKH Tinjau Ternak Korban Gempa Lombok

Dirjen PKH saat akan melepas keberangkatan truk pengangkut bantuan pakan menuju Kab. Lombok Utara dan Lombok Timur. (Foto: Heru)
Bencana gempa bumi Lombok yang terjadi secara beruntun mulai 29 Juli 2018 (6,4 SR), 5 Agustus 2018 (7,0 SR) dan 9 Agustus 2018 (6,2 SR) makin meluluh-lantahkan Pulau Lombok. Hampir semua kabupaten dan kota di Pulau Lombok terdampak gempa. Tim Respon Cepat Kementerian Pertanian yang dipimpin Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, Drh I Ketut Diarmita, telah berada di Lombok sejak 6 Agustus 2018 dan langsung bergerak ke lokasi bencana di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur.

Populasi ternak yang terdampak gempa di Kabupaten Lombok Utara sampai dengan 12 Agustus 2018 adalah 1.936 ekor dengan rincian: Kec. Tanjung (183 ekor), Kec. Pemenang (50 ekor), Kec. Gangga (733 ekor), Kec. Bayan (770 ekor), Kec. Kayangan (200 ekor), Kabupaten Lombok Timur Kec. Sembalun (800 ekor), Kec. Sambelia (173 ekor) dan Kec. Pringgabaya (210 ekor).

Ketut Diarmita melakukan peninjauan langsung ke lokasi terdampak gempa di Kec. Sembalun, Sambelia dan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur, untuk melihat masyarakat dan ternak-ternak sapi yang terdampak gempa.

Ia mengatakan, pemerintah memberikan bantuan pakan ternak yang terdampak gempa dan bantuan dari semua instansi terkait seperti Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur serta BPTU-HPT Denpasar, BPTP NTB dan BBVet Denpasar. Sebagaimana data yang dihimpun, pakan yang didistribusikan pada 8-12 Agustus 2018 berupa Pakan Konsentrat (16 ton) dan Pucuk Tebu (4 ton).

Kabid Keswan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lombok Timur, Drh Heru Rachmadi, yang juga wartawan Infovet daerah NTB, ikut terjun langsung mendampingi Dirjen PKH mengunjungi tenda-tenda pengungsi dan ternak-ternak yang terdampak gempa di Kec. Sembalun, Sambelia dan Pringgabaya. Adanya bantuan pakan bagi peternak sangat menyelamatkan bagi penyediaan pakan, karena sejak terjadi gempa peternak tidak sempat mencari pakan apalagi mengurus ternaknya. (Drh Heru Rachmadi/Infovet NTB)

Aplikasi Bakteriofag Sebagai Pengganti AGP

Gambar 1. Perbandingan ukuran bakteriofag dengan mikroorganisme lain.
((Dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan membuat produsen feed additive berlomba-lomba mencari penggantinya. Dari mulai acidifier, herbal, essential oil, probiotik dan lain sebagainya telah dicoba. Bagaimana dengan bakteriofag?))

Mungkin terdengar asing di telinga ketika berbicara mengenai bakteriofag, namun kalau ditelaah lebih dalam, bakteriofag bisa menjadi alternatif pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang menjanjikan. Di Indo Livestock 2018 yang lalu, penulis berkesempatan berbincang mengenai bakteriofag dengan Max Hwagyun Oh, PhD. Vet Med., peneliti bakteriofag sekaligus Managing Director CTCBio Inc. Korea. 

Bakteriofag
Dalam dunia mikrobiologi, tentu dikenal adanya bakteri, virus, kapang, khamir, protozoa, dan lain sebagainya. Ada satu hal yang mungkin terlewat dan kurang dipelajari, yakni bakteriofag. “Bakteriofag berasal dari kata Bacteria (bakteri) dan Phage (makan), jadi bakteriofag adalah mikroorganisme pemakan bakteri,” ujar pria yang akrab disapa Dr. Max Oh itu.


Dr. Max Hwagyun Oh
Ia melanjutkan, sejatinya bakteriofag adalah entitas umum yang ada di bumi, ukurannya lebih kecil daripada bakteri, sehingga dapat menginfeksi bakteri. Umumnya struktur tubuh bakteriofag terdiri atas selubung kapsid protein yang menyelimuti materi genetiknya.

“Jika dirunut sejarahnya, bakteriofag pertama kali ditemukan tahun 1896, kemudian di tahun 1917 seorang peneliti mikroba dari Kanada, Felix de Herelle, menemukan bahwa bakteriofag memakan bakteri disentri berbentuk bacillus,” katanya. Kemudian penelitian mengenai bakteriofag dilanjutkan sampai tahun 1940-an, namun ketika antibiotik ditemukan, penelitian mengenai bakteriofag sempat “mandek”, yang kemudian dilanjutkan kembali pada 1950-an hingga sekarang.

Sifat dan Cara Kerja Bakteriofag
Bakteriofag memiliki cara kerja yang hampir sama dengan enzim, yakni dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada permukaan tubuh bakteri, seperti peptidoglikan, lipopolisakarida dan lain sebagainya. Selain itu, membran kapsid pada bakteriofag tidak dapat mendegradasi membran sel hewan, sehingga dengan sifat ini bakteriofag hanya menyerang sel bakteri dan tidak berbahaya bagi hewan.

Dalam mengeliminasi bakteri, cara kerja bakteriofag sama seperti virus melisiskan sel, yakni melalui siklus litik dan lisogenik. Bakteriofag subjek penelitian Dr. Max Oh, bekerja melalui siklus litik. Siklus litik (sel lisis) dimulai dengan bakteriofag akan mengenali reseptor pada dinding sel bakteri dan menempel pada bakteri, bakteriofag akan melisiskan dinding sel bakteri (penetrasi) dan men-transfer materi genetiknya ke dalam sel bakteri.

Setelah berhasil menginjeksi materi genetiknya, bakteriofag akan menghasilkan enzim (dikodekan dalam genomnya) untuk menghentikan sintesis molekul bakteri (protein, RNA, DNA). Setelah sintesis protein dan asam nukleat dari sel bakteri berhenti, bakteriofag akan mengambil alih proses metabolisme sel bakteri. DNA dan RNA dari sel bakteri digunakan untuk menggandakan asam nukleat bakteriofag sebanyak mungkin. Selain itu, bakteriofag akan menggunakan protein yang terdapat pada sel inang untuk menggandakan kapsid.

Setelah materi genetik bakteriofag lengkap dan memperbanyak diri, sel bakteri akan dilisiskan oleh bakteriofag dengan bantuan depolimerase, yang diikuti kemunculan bakteriofag baru yang siap menginfeksi bakteri lainnya. Dr. Max Oh juga menjabarkan, kinerja bakteriofag sangat cepat, proses melisiskan sel bakteri hanya 25 menit.

“Bakteriofag sangat istimewa, mereka dapat mengenali bakteri-bakteri patogen yang spesifik, jadi mereka tidak akan menyerang bakteri baik maupun sel hewan itu sendiri,” jelas Alumnus Seoul National University itu. Dalam penelitiannya, bakteriofag yang ia gunakan diklaim dapat mengeliminasi bakteri patogen, seperti Salmonella choleraesius, Salmonella Dublin, Salmonella enteritidis, Salmonella gallinarum, Salmonella pullorum, Salmonella typhimurium, E. colli F4 (K88), E. colli f5  (K99), E. colli f6 (987P), E. colli (f18), E.colli (f41), Staphylococcus aureus dan C. perfringens (tipe A s/d E).


Gambar 2. Cara kerja bakteriofag melisiskan sel bakteri.
Hasil Uji Coba Bakteriofag di Lapangan

Hasil penelitian Dr. Max Oh dan timnya telah diujicobakan baik di laboratorium maupun di lapangan. Pada hasil ujicoba laboratorium (menggunakan metode yang sama dengan uji sensitivitas antibiotik), bakteriofag teruji dapat mengelminiasi bakteri-bakteri patogen, seperti terlihat pada (Gambar 3.) di bawah ini.


Gambar 3. Hasil uji lab aktivitas bakteriofag pada beberapa bakteri patogen.
Hasil trial bakteriofag di lapangan juga telah banyak dipublikasikan oleh Dr. Max Oh dan timnya, hasilnya sebagaimana pada Tabel 1. dan Tabel 2. di bawah ini:


Tabel 1. Pengaruh Pemberian Bakteriofag pada Produksi Telur
Usia
Prouksi Telur (%)
Kontrol
Prouksi Telur (%)
0,02% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,035% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,05% Bakteriofag
0-3 minggu
90,8
91
92
91,8
4-6 minggu
89,9
91,5
92,1
91,6
- Menggunakan 288 ekor Hy-line Brown kormersil (usia 36 minggu).
- Empat kali treatment selama enam minggu.
- Enam kali pengulangan.
      - 0,02 % = 200 gram/ton pakan, 0,035% = 350 gram/ton pakan, 0,05% = 500 gram/ton pakan.

      Tabel 2. Pengaruh pemberian bakteriofag pada performa broiler
   Treatment
       Bobot Badan (g)
     ADG   (g/hari)
       Feed Intake (g)
    FCR
        Mortalitas %
       Market Day
        Produksi (kg/m2)
      Kontrol
   2540
   54,22
   5359
   2,11
   16,86
   46,97
   23,4
     Treatment 1
   2540
   57,13
   4445
  1,75
   6,40
   44,45
   27,4
     Treatment 2
   2900
   60,21
   5191
  1,78
   4,70
   48,19
  29,7
- Menggunakan 744.000 ekor broiler (Ross 308) per kelompok treatment.
      - Selama 48 hari.
      - Treatment 1 dan 2 ditambahkan bakteriofag 0,03% (500 gram/ton pakan).

Dr. Max Oh menambahkan, bahwa hasil-hasil uji trial yang ia dan timnya lakukan telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. “Memang penelitian mengenai bakteriofag ini kurang popular di Amerika, namun di Asia dan Eropa bagian Timur penelitian mengenai bakteriofag sudah sangat maju,” ucap Dr Max Oh.

Kata-kata Dr. Max Oh bukan tanpa alasan, awak Infovet mencoba menelusuri produk-produk bakteriofag di pasaran. Hasilnya, beberapa produk dengan bahan aktif bakteriofag sudah banyak digunakan di dunia, baik di bidang pertanian, peternakan, bahkan manusia.

Ia menegaskan, mengenai aspek keamanan produk bagi hewan dan manusia seharusnya tidak perlu dipertanyakan, sebab produk bakteriofag sudah banyak tersertifikat oleh asosiasi sekelas FDA. “Bakteriofag ini benar-benar natural, berasal dari alam, kami hanya memperbanyak, kami tidak menambahkan atau memodifikasi mereka, sehingga mereka bukan termasuk GMO (Genetic Modified Organism) yang banyak dikhawatirkan oleh masyarakat dunia,” tegas Dr. Max Oh.

Dari segi bisnis ia menyebut, kemungkinan dalam waktu dekat dirinya berniat menghadirkan produk bakteriofag ke Indonesia. “Saya rasa Indonesia merupakan pasar yang potensial dengan iklim seperti ini, ditambah lagi dengan dilarangnya penggunaan AGP, Saya rasa bakteriofag dapat menjadi solusi yang tepat dan natural dalam menggantikan AGP,” pungkasnya. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer