![]() |
Ilustrasi jagung (Foto: Pexels) |
Pelepasan
ekspor jagung sebesar 11.500 ton dari Sumbawa ke Filipina oleh pemerintah pada
Maret lalu, beserta kebijakannya dinilai kurang tepat. Menurut Pengamat Pertanian
Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, kebijakan tersebut justru
menciptakan efek domino pada tidak meratanya harga jagung yang kemudian
berimbas pada kenaikan harga pakan ternak, kenaikan harga telur dan ayam ras.
"Karena
pabrik pakan ternak itu sekitar 69 persen ada di Pulau Jawa. Sehingga
jagung-jagung yang luar Jawa, ini agak kesulitan juga terserap di industri
pakan ternak yang ada di Jawa," ujar Guru Besar IPB ini, seperti dikutip
dari laman bisnis.com, Senin (27/8).
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik, total produksi jagung di Indonesia per 2015 berada
di angka 19,61 juta ton. Sebanyak 54,12% atau sekitar 10,61 juta ton diproduksi
di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di berbagai pulau lain.
Hampir
40% sentra produksi jagung berada di luar Pulau Jawa. Sementara itu, mayoritas
konsumen jagung yang merupakan perusahaan pakan ternak berada di Pulau Jawa.
Dwi
menambahkan, distribusi semakin menjadi persoalan karena pola pengembangan
jagung yang dilakukan Kementerian Pertanian diarahkan di luar Pulau Jawa.
Sebenarnya ini dapat dimaklumi, mengingat lahan di Pulau Jawa memang sudah
sangat terbatas dan cenderung digunakan untuk penanaman padi.
Sebagai
gambaran, terdapat 10 sentra jagung di Indonesia, dengan hanya tiga di
antaranya berada di Pulau Jawa. Kesepuluh sentra jagung tersebut, yakni Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, NTB,
Gorontalo, NTT, dan Sumatra Barat.
Lebih
lanjut, Dwi menekankan bahwa sebenarnya tidak tepat satu klaim seolah jagung
sudah surplus, lalu diekspor.
“Ekspor
tersebut bahkan sudah terjadi belasan tahun lalu dan biasa dilakukan ketika
harga pasar jagung domestik sudah terjun ke bawah US$200 per ton. Rata-rata setiap
tahun Indonesia mengekspor jagung di kisaran angka 50.000 ton. Tapi, pilihan
ekspor saat ini bukanlah hal yang tepat," jelasnya.
Sekjen
Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Soya melihat, ekspor lazim dilakukan mengingat
tidak seluruhnya jagung nasional terserap pasar domestik pada saat musim panen
raya tiba. Di sisi lain, jagung tidak bisa disimpan lama-lama karena belum ada
infrastruktur penyimpanan dan pengeringan yang memadai.
Pada
akhirnya, jumlah yang melimpah hingga 60%-70% pada musim panen Oktober-Maret
dipilih untuk diekspor, seperti ke Filipina.
Ekspor
pada masa itu pun menguntungkan karena harga yang ditawarkan lewat ekspor jauh
lebih
menjanjikan.
Di
samping itu, biaya untuk mendistribusikan jagung-jagung tersebut ke luar negeri
nyatanya lebih murah dibandingkan dengan menyalurkannya ke pabrik pakan di
Pulau Jawa. (bisnis.com)
0 Comments:
Posting Komentar