Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini antibiotik | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

FGD PENGENDALIAN RESISTANSI ANTIMIKROBA

Focus Group Discussion pengendalian resistansi antimikroba. (Foto: Dok. Infovet)

Kamis (22/2/2024), berlangsung secara hybrid Focus Group Discussion (FGD) mengenai pengendalian resistansi antimikroba (AMR) untuk pengembangan kebijakan di bidang kesehatan hewan maupun kesehatan manusia.

Acara tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi kodefikasi pembiayaan kesehatan hewan dalam pengendalian AMR dan menyusun konsep untuk penguatan fakta beban AMR di sektor kesehatan dan sektor peternakan. Juga dibahas beragam studi kasus penanganan AMR di manusia dan hewan.

Seperti diketahui penggunaan antibiotik di sektor peternakan khususnya perunggasan memang cukup tinggi. Mengingat kasus penyakit yang terjadi di peternakan ayam cukup beragam seperti virus, bakteri, maupun parasit.

Menurut Gian Pertela dari Medion yang menjadi narasumber, dari data yang ia paparkan, serangan kasus bakterial di sektor peternakan menempati urutan cukup tinggi yakni sekitar 60%, sehingga membutuhkan antibiotik sebagai pengobatannya.

Adapun data 2023 dari Medion, bahwa tren penggunaan antibiotik cukup beragam, di antaranya antibiotik dari golongan trimethoprim-sulfadiazine, enrofloxacin, oxytetracycline, amoxicillin, erythromycin, doxycycline, ciprofloxacin, ampicillin, gentamycin, dan tetracycline.
 
“Kami sadari memang penggunaan antibiotik di industri peternakan itu tak terelakkan, namun kami tetap menjaga agar penggunaannya tepat dan bijak,” ujar Gian.

Penggunaan antibiotik memang memiliki dampak positif dengan memberikan kesehatan pada unggas dan memperbaiki performa unggas, namun dampak negatif dari resistansi yang ditimbulkan ataupun residu pada produk unggas, dan pencemaran lingkungan harus dihindarkan.

Oleh karena itu, sektor kesehatan hewan terus berupaya untuk melakukan intervensi penanganan AMR. Gian menjabarkan pihaknya memiliki 5R framework of antimicrobial stewardship, di antaranya Reduce, yakni dengan aktif memberikan edukasi dan pelatihan kepada peternak tentang manajemen pemeliharaan, kesehatan (vaksinasi), termasuk biosekuriti yang baik.

Replace, meningkatkan strategi non-antimikroba untuk pemacu pertumbuhan dan mencegah penyakit melalui pengembangan produk vaksin dan alternatif antibiotik.

Responsibility, memastikan kualitas obat melalui penerapan CPOHB, memastikan kualifikasi tim personel lapang dalam melakukan diagnosis penyakit dan penanganannya agar pemberian antibiotik dilakukan secara rasional, serta meningkatkan penggunaan DOC quality assassment dalam menentukan strategi pemberian antibiotik yang bijak dan tepat.

Refine, menyediakan layanan uji lab Antimicrobial Susceptibility Testing (AST) dalam penentuan antibiotik yang tepat untuk pengobatan, aktif memberikan edukasi soal bahaya AMR, dan meningkatkan penggunaan formularium antibiotik dalam pemilihan pengobatan guna mengurangi penggunaan HPCIA pada hewan ternak.

Review, melakukan pemantauan kasus AMR di peternakan, serta mengevaluasi dan mengembangkan intervensi pengendalian AMR melalui studi dan kolaborasi.

Sementara dari sisi pemeliharaan ternak, Didit Prigastono dari Japfa, mengungkapkan bahwa diperlukan manajemen pemeliharaan yang baik untuk optimalisasi genetik ayam menuju performa produksinya.

Kemudian penerapan biosekuriti untuk meminimalisir, mengurangi, mengendurkan, dan mencegah penyakit, serta melakukan vaksinasi untuk meningkatkan ketahanan spesifik terhadap patogen untuk kesehatan ternak yang optimal.

Dengan begitu diharapkan penggunaan antibiotik bisa dikurangi seminimal mungkin untuk mencegah kasus AMR semakin meluas, baik di kesehatan manusia maupun kesehatan hewan. 

Hal tersebut juga ditanggapi oleh salah satu peserta, yakni Baskoro Tri Caroko, selaku poultry consultant, bahwa seharusnya secara sederhana antibiotik jenis apa saja yang diperlukan untuk kepentingan maupun tidak pada kesehatan manusia, menjadi rekomendasi untuk bisa digunakan pada hewan ternak.

“Mohon itu bisa dikomunikasikan dengan baik ke Kementrian Pertanian khususnya Direktorat Kesehatan Hewan dan juga ASOHI, sehingga kami para dokter hewan perunggasan bisa membantu demi kepentingan kesehatan manusia. Dengan Good Management Practice di poultry farm dan antibiotik sederhana, kami dokter hewan perunggasan Insyaallah mampu menyediakan produk ayam dan telur yang aman, sehat, utuh, halal, dan bebas residu antibiotik,” tulisnya di kolom komentar. (RBS)

ASN BBPMSOH : RESISTANSI QUINOLON NYATA DAN MENGKHAWATIRKAN

Antibiotik, Masih Jadi "andalan" Peternak Mengakali Performa

Anti Microbial Resistance  (AMR) atau yang biasa dengan resistansi anti mikroba menjadi isu yang semakin populer bahkan dibicarakan pada banyak pertemuan antar negara. Salah satu sektor yang banyak dijadikan kambing hitam dalam hal ini adalah peternakan.

Menurut deifinisi WHO (2016) terkait penggolongan anti mikroba, dimana ada satu kategori anti mikroba disebut dengan Highest Priority Critically Important Antimicrobials (HPCIA). Anti mikroba yang masuk dalam golongan tersebut adalah sediaan yang menjadi pilihan terakhir untuk digunakan dalam menanggulangi infeksi pada manusia.

Beberapa golongan yang termasuk HPCIA tadi yakni quinolon, cephalosporin generasi ke-3 dan selanjutnya, makro dan ketolida, glikopeptida, dan polimiksin. Sebagaimana kita ingat bahwa Colistin adalah salah satu golongan dari polimiksin yang telah dilarang penggunaannya oleh Kementan beberapa tahun lalu.

Masalahnya selain colistin, dari berbagai jenis anti mikroba tersebut juga digunakan pada sektor kesehatan manusia dan kesehatan hewan, sebut saja Ciprofloxacin. Sehingga ditakutkan akan terjadi resistansi silang yang akan memperparah kondisi AMR di Negara ini.

Menurut Dr Maria Fatima Palupi Medik Veteriner di BBPMSOH salah satu alasan mengapa colistin dilarang adalah karena ditemukannya gen Mobilized Colistin Resistance (MCR). MCR merupakan gen resistan kolistin sulfat yang bisa dipindahkan melalui materi genetik bergerak misalnya plasmid. Gen tersebut kemungkinan besar bisa ditransfer dari satu bakteri kepada bakteri yang lain secara horizontal, sehingga resistansi terhadap colistin bisa didapat kepada bakteri lainnya.

Lain colistin lain quinolon, digadang – gadang sebagai "biangnya" anti mikroba, sediaan yang berspektrum luas dan dapat menghantam berbagai jenis bakteri tersebut nyatanya berdasarkan pengujian yang dilakukan Maria juga telah mengalami resistansi.

Hal tersebut dibuktikan oleh hasil pengujiannya yang telah berhasil melakukan deteksi PCR gen resistan quinolon yakni Quinolone Resistance Gene (qnr). Dari 20 sampel penelitiannya, 80% sampel dinyatakan memiliki gen qnr baik qnrA, qnrB, dan qnrS. Sehingga Penyebaran gen resistan melalui plasmid meningkatkan risiko meluasnya resistansi suatu antimikroba.

"Gen tersebut juga dapat ditransfer secara horizontal melaui plasmid. Sehingga Penyebaran gen resistan melalui plasmid meningkatkan risiko meluasnya resistansi suatu antimikroba yang tentunya akan berbahaya juga bagi kesehatan manusia, oleh karena itu ini fakta yang cukup mengkhawatirkan," tutur Maria ketika ditemui Infovet. 

Ia mengimbau kepada para praktisi dokter hewan terutama dibidang peternakan unggas agar lebih bijak dan efektif dalam menggunakan anti mikroba. Selain itu kepada para Technical Service perusahaan obat hewan agar lebih dapat mengedukasi peternak akan pentingnya biosekuriti ketimbang bergantung pada sediaan anti mikroba (CR). 


TIPS AGAR PENGGUNAAN ANTIBIOTIK EFEKTIF

Asesmen pencegahan dan pengobatan antibiotik.

Dalam menaggulangi penyakit infeksius yang menyerang unggas, tentu saja digunakan sediaan antibiotik. Pasalnya, penggunaan antibiotik dalam budi daya perunggasan dinilai masih kurang efektif. Jadi, bagaimana agar penggunaan antibiotik sebagai terapi kuratif dapat berjalan efektif?

Menyamakan Persepsi
Hal pertama yang harus dipahami seorang dokter hewan yakni penggunaan antibotik adalah sebagai tindakan kuratif. Sementara, banyak orang mengatakan bahwa antibiotik dapat digunakan sebagai suatu tindakan pencegahan, sehingga dari situ timbul perdebatan, apakah bisa?

Sebelumnya mari samakan persepsi, di beberapa farm biasanya ayam diberikan antibiotik ketika chick in atau beberapa hari setelah chick in. Ada yang bilang tujuannya untuk mencegah infeksi penyakit, ada juga yang bilang tujuannya adalah flushing, jadi mana yang benar?

Memberikan antibotik beberapa hari setelah chick in sah-sah saja, adalah betul tujuannya untuk pencegahan. Hal yang kerap terjadi di lapangan misalnya begini, beberapa hari setelah chick in ayam diberikan antibotik amoxicillin via air minum. Lalu dalam konteks “pencegahan” tadi, maka diberikanlah setengah dari dosis yang dibutuhkan. Kamudian ada juga farm yang melakukan hal sama, namun dosis yang digunakan adalah full dose alias dosis terapeutik.

Dari kedua contoh di atas, mana kiranya konteks pencegahan yang benar? Dalam konteks pencegahan yang dimaksud, yang benar adalah tidak mengurangi dosis alias flushing, tujuannya untuk mengeliminir bakteri patogen yang mungkin masuk ke dalam tubuh ayam di beberapa hari pertama sejak tiba di kandang. Jadi perlu dipahami bahwa pencegahan yang dimaksud adalah pemberian antibiotik tanpa mengurangi dosis yang seharusnya.

Tepat Dosis = Tepat Guna
Antibiotik umumnya diberikan kepada… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2022.

Oleh: Drh Jumintarto Oyim (Praktisi Perunggaan)
Dirangkum kembali oleh: Cholillurrahman

KOMBINASI PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK AGAR PERFORMA APIK

Skema manfaat penggunaan probiotik dan prebiotik pada ternak. (Gambar: Istimewa)

Larangan penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP) di Indonesia sudah diberlakukan sejak 2018. Sejak saat itu pula seluruh insan yang berkecimpung di dunia peternakan Indonesia berlomba-lomba mencari alternatifnya, diantaranya adalah probiotik, prebiotik dan sibniotik.

Mungkin banyak yang sudah sangat familiar dengan minuman ringan berasa asam yang mengklaim dirinya sebagai minuman yang mengandung probiotik. Lalu kemudian populer pula minuman sehat yang berasal dari susu yang rasanya juga sedikit asam bernama yoghurt. Seiring berjalannya waktupun produk-produk serupa beredar di pasaran.

Lalu apa probiotik itu? Terminologi probiotik berasal dari bahasa Yunani. Kata “pro" artinya mempromosikan dan "biotik" artinya kehidupan. Probiotik muncul pada awal abad ke-20 dan diperkenalkan oleh Elie Metchnikoff, yang kemudian dikenal sebagai sosok “Bapak probiotik”.

Dari situ kemudian muncullah asosiasi perkumpulan para ahli probiotik yakni International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics (ISAPP) pada 2013. Mereka kemudian mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang dalam jumlah memadai dapat memberikan manfaat bagi kesehatan pada tubuh host/inangnya. Lalu kemudian orang awam mendefinisikannya sebagai bakteri baik dan jahat.

Sedangkan prebiotik didefinisikan sebagai senyawa natural dalam makanan yang tidak dapat dicerna usus, berfungsi sebagai suplemen untuk mendorong pertumbuhan mikroorganisme baik dalam sistem pencernaan. Kombinasi dari probiotik dan prebiotik disebut sinbiotik (eubiotik).

Alternatif Pengganti AGP
Seperti yang sudah dijelaskan diawal, pelarangan penggunaan AGP dalam pakan ternak memicu para produsen pakan untuk mencari imbuhan pakan alternatif. Probiotik dan prebiotik merupakan satu diantaranya, mengapa? Hal ini dikarenakan probiotik dan prebiotik juga sudah lama digunakan dalam kehidupan manusia dan terbukti aman. Oleh karena itu, dengan analogi yang sama seharusnya juga dapat digunakan pada ternak.

Peneliti Nutrisi Pakan Ternak Balitnak Ciawi, Prof Arnold Sinurat, mengatakan bahwa sejatinya memang AGP perlu di-replace. Hal ini merujuk kepada perhatian dunia pada pangan asal hewan yang sehat dan bebas dari residu antibiotik.

“Memang inisiasinya dimulai dari Eropa sana, sejak lama mereka duluan yang melarang penggunaan AGP, baru kemudian Amerika, lalu Asia. Nah, karena AGP-nya sudah tidak dipakai, mau enggak mau pakai alternatif, salah satunya probiotik dan prebiotik,” tutur Arnold.

Ia menjelaskan bahwa pengunaan probiotik dan prebiotik pada ternak tujuan utamanya yakni menjaga keseimbangan dan kesehatan usus dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam usus dan saluran pencernaan banyak terdapat bakteri dan mikroflora usus lainnya. Tidak semua bakteri dan mikroflora bersifat baik dan menguntungkan, oleh karenanya menurut Arnold, jika mikroba yang merugikan dapat diminimalisir, maka keadaan usus dan saluran pencernaan akan sehat.

“Kita ambil contoh saja E. coli, itu kan flora normal pada usus, kalau dia memang sifatnya agak oportunis, kalau ada sedikit dia Cuma jadi bakteri pembusuk, kalau kebanyakan bisa jadi penyakit (Colibacillosis). Nah, makanya kalau keseimbangan mikroflora usus ini dapat dijaga, maka tentunya ternak akan sehat,” tuturnya.

Lebih lanjut Arnold menjelaskan bahwa tidak semua bakteri dapat digunakan sebagai probiotik, kebanyakan bakteri yang digunakan sebagai probiotik rata-rata adalah bakteri asam laktat (BAL).

“Sebagaimana yang kita ketahui bakteri lactobacillus, bifidobacteria dan bakteri asam laktat lainnya banyak digunakan dan terbukti dapat memberikan efek menguntungkan pada ternak, baik monogastrik, ruminansia dan unggas. Bahkan beberapa jenis kapang seperti Aspergillusoryzae  dan khamir (Sachharomyses sp.) juga digunakan dan memberikan efek menguntungkan,” jelas dia.

Segudang Manfaat Beragam Cara Kerja
Seperti yang sudah dijelaskan, nyatanya manfaat probiotik jauh lebih luas daripada itu. Karena probiotik sebagai living organism memiliki beberapa cara… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2021. (CR)

AFFAVETI Dorong Dokter Hewan Bijak Gunakan Antibiotik

Foto bareng seminar AFFAVETI, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (12/12). (Foto: Infovet/Ridwan)

“Peran Dokter Hewan dalam Membangun Ketangguhan Industri Peternakan Modern” menjadi tema yang diangkat dalam seminar yang dilaksanakan Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia (AFFAVETI), Rabu (12/12), di Bogor, Jawa Barat.

Drh Min Rahminiwati, Ketua Affaveti, mengemukakan, peran AFFAVETI saat ini khususnya di era pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor) guna mendorong kompetitif industri peternakan melalui penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab, gencar melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai bijak antibiotik kepada para kolega dokter hewan di Indonesia.

“Kami berupaya merasionalisasi penggunaan antibiotik dan mendorong dilakukannya eksplorasi bahan berkhasiat atau bahan alam yang bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya sebagai antibiotik baru atau sebagai pengganti untuk AGP,” ujarnya saat memberikan materi presentasi mengenai peran AFFAVETI.

Sebab saat ini, akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dikhawatirkan menimbulkan efek residu antimikroba (AMR) yang kini menjadi isu global. Oleh karena itu, Rahminiwati menekankan, keamanan dan efektivitas antibiotik perlu diperhatikan khususnya oleh dokter hewan.

“Penggunaan antibiotik itu harus aman dalam hal penanganan residu dan efektif, diantaranya sesuai target, tepat dosis dan pemberian, serta cukup dalam waktu pemberiannya. Saya yakin dokter hewan paham sekali dengan prinsip-prinsip ini,” jelas dia. Ia pun menegaskan, AFFAVETI siap terjun membantu memberikan edukasi terkait antibiotik dan penanggulangan AMR.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Pehimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh M. Munawaroh. Menurutnya, dokter hewan memiliki peran penting dalam mensosialisasikan penggunaan antibiotik secara nasional.

“Itu merupakan tugas kita bersama. Kita ajak kolega dokter hewan untuk menggunakan antibiotik secara profesional dan bijak. Sebab pangan asal hewan itu harus bebas dari residu,” kata Munawaroh.

Kendati demikian, menurut Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Drh Ni Made Ria Isriyanthi, penggunaan antibiotik dalam pakan ternak masih diperbolehkan. Aturan tersebut tertuang dalam Petunjuk Teknis Obat Hewan dalam Pakan untuk Tujuan Terapi (medicated feed).

“Aturan tersebut dapat menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan pencampuran obat hewan ke dalam pakan dengan pengawasan ketat oleh dokter hewan di lapangan,” ujar Ria.

Dalam seminar sehari tersebut, Ria juga turut memberikan pemaparan mengenai dasar teknis dan aturan penggunaan antibiotik serta obat hewan. Adapun narasumber lain diantaranya, Dr Iskandarsyah (Fakultas Farmasi UI), Dr Drh Agustina Dwi Wijayanti (FKH UGM), Prof Lazuardi (FKH Unair) dan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan. Di sela-sela acara juga dilakukan pengukuhan pengurus AFFAVETI oleh Ketum PDHI. (RBS)

Atasi AMR, Dokter Hewan jadi Garda Terdepan

Panitia penyelenggara bersama para peserta seminar CIVAS, Sabtu (1/12). (Foto: Istimewa)

Antimicrobial Resistance (AMR) masih menjadi isu global yang terus mendapat perhatian banyak pihak. Fenomena ini tidak hanya terjadi di manusia, tetapi juga pada hewan dan lingkungan. Hal ini terjadi akibat penggunaan antibiotik yang berlebihan, tidak bijak dan tidak bertanggung jawab pada sektor kesehatan manusia dan hewan.

Hal tersebut mendasari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) melaksanakan seminar dan dialog bertema “Pendekatan One Health dalam Upaya Mengatasi Meningkatnya Ancaman Resistensi Antimikroba (AMR)” pada Sabtu (1/12).

Seminar tersebut dihadiri peserta dokter hewan dari beragam institusi, baik dari pemerintah, swasta dan dokter hewan praktisi. Ketua Pelaksana, Drh Sunandar, menyebut, saat ini peran dokter hewan telah menjadi dasar penting untuk keberhasilan penerapan strategi, tindakan, dan metode untuk memajukan, melindungi, serta mengembalikan kesehatan hewan dan populasi penduduk guna melindungi kesehatan manusia.

“Kita butuh inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat yang peduli, yang bersedia untuk berpartisipasi secara proaktif dan ingin menyumbangkan kemampuannya di bidang kedokteran hewan untuk memastikan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat melalui kesehatan hewan,” ujar Sunandar.

Sementara, Ketua Badan Pengurus CIVAS, Drh Tri Satya Putri Naipospos, mengungkapkan, edukasi mengenai AMR menjadi sesuatu hal penting untuk dokter hewan di mana pun mereka bekerja. Menurutnya, saat ini Indonesia telah memiliki lebih dari 20 ribu dokter hewan, rata-rata mereka memberikan pelayanan teknis di pemerintahan atau swasta, sehingga mereka harus paham dan mengerti AMR. Ke depannya diharapkan mereka dapat menjadi agen yang dapat mengubah cara pandang masyarakat dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar.

“Para dokter hewan, mereka adalah garis terdepan yang dalam praktek sehari-harinya melakukan pemberian antibiotik kepada hewan, baik melalui suntikan, pakan atau air minum. Mereka kurang tersentuh dengan kampanye sosialisasi tentang masalah AMR, ini tidak benar, kalau mau menurunkan kasus AMR itu sendiri pada manusia sebagai konsumen produk ternak, maka yang perlu dilakukan adalah edukasi dokter hewannya yang secara langsung bersentuhan dengan pemicu terjadinya AMR,” tutur wanita yang akrab disapa Tata.

Tata menambahkan, profesi dokter hewan harus turut berpartisipasi aktif dalam menghadapi masalah AMR dengan pendekatan terpadu One Health. “Untuk memitigasi risiko AMR, dokter hewan harus mengubah dengan cara-cara pemberian antibiotik lama yang dianggap berlebihan (overuse) dan menyimpang (misuse) menuju penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab,” imbuhnya. 

Senada dengan hal itu, Dr Joanna McKenzie, salah satu pembicara dari Massey University, New Zealand, menyatakan AMR merupakan ancaman nyata yang dapat menyebabkan kematian lebih dari 10 juta orang pada tahun 2050 mendatang jika tidak bergerak dari sekarang. “Ini akan menjadi kenyataan yang terjadi pada generasi kita. Saat ketika kita telah meninggalkan mereka dengan musibah besar, yakni AMR,” kata Dr Joanna.

AMR sendiri, lanjut dia, merupakan masalah komplek dan multisektorial yang membutuhkan pendekatan One Health, serta peran semua pihak terutama dokter hewan. Profesi kesehatan hewan sangat penting dalam penggunaan antimikroba dengan bijak, sebab 80-99% penggunaan antimikroba terdapat di industri peternakan. 

Ditambahkan oleh Dr Tikiri Wijayathilaka, spesialis AMR dari Sri Lanka, mengungkapkan bahwa Benua Asia merupakan salah satu epicenter terjadinya AMR di dunia, hal ini disebabkan masih lemahnya penegakkan peraturan dan pengawasan penggunaan antibiotika untuk kesehatan manusia dan ternak. Selain ancaman juga datang dari antibiotik palsu yang 78% diproduksi di negara-negara Asia, 44% diantaranya digunakan di kawasan ini. “Sudah saatnya pemerintah bersama-sama dengan profesi kesehatan melakukan hal yang progresif untuk mengatasi AMR,” katanya. (Sadarman)

Pemerintah Gandeng Peternak Tekan Antimicrobial Resistance

Kasubdit POH, Ni Made Ria Isriyanthi (tengah), saat menjadi pembicara pada Sarasehan Peternak Unggas di Malang, Jumat (16/11). (Foto: Istimewa)

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menggandeng peternak yang tergabung dalam Pinsar Petelur Nasional (PPN) Cabang Jawa Timur, Pinsar Indonesia Cabang Jawa Timur dan Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN), serta Komunitas Peternak Ayam Indonesia dalam mendukung pengendalian resistensi antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR).

Hal tersebut dikatakan Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Ni Made Ria Isriyanthi dalam kegiatan Sarasehan Peternak Unggas, pada rangkaian kegiatan Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia di Malang, Jumat (16/11).

“Peternak merupakan salah satu subyek yang memungkinkan dalam pengguna antibiotik untuk ternak. Dikhawatirkan jika penggunaan dalam dosis yang cukup tinggi, maka dapat berkontribusi mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR,” ujar Ria dalam keterangan persnya.

Menurutnya, penggunaan antimikroba di sektor peternakan Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Hal itu terlihat dari hasil survey penggunaan antimikroba yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama FAO Indonesia pada 2017 lalu di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

“Hasilnya cukup mencengangkan, 81,4% peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan, 30,2% untuk pengobatan, serta 0,3% digunakan untuk pemacu pertumbuhan,” ungkap dia.

Oleh karena itu, melalui Permentan No. 14/2017 yang berlaku awal tahun ini, pemerintah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) pada pakan ternak. “Ini dilakukan untuk mengendalikan penggunaan antibiotik di peternakan, sekaligus mendorong peternak menghasilkan produk yang sehat untuk masyarakat,” ucapnya.

Lebih lanjut, peternak harus mulai bisa menerapkan biosekuriti tiga zona dan beternak dengan bersih, termasuk melakukan vaksinasi dengan tepat. “Antibiotik tetap diizinkan untuk tujuan terapi dan diberikan dengan resep dokter hewan, serta di bawah pengawasan dokter hewan,” papar Ria.

Pada kesempatan yang sama, Tri Satya Putri Naipospos, dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), menyampaikan, pada 2010 Indonesia merupakan negara nomer lima pengonsumsi antibiotik tertinggi di dunia. Tanpa adanya pengendalian, posisi ini dapat menanjak pada 2030 mendatang. “Apalagi populasi ternak kita cukup tinggi, terutama unggas,” kata dia. Untuk mengganti AGP, ia menyarankan peternak menggunakan alternatif seperti probiotik, prebiotik, asam organik, minyak esensial maupun enzim.

Sementara, Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Harri Parathon, menyebutkan, peternak harus lebih aktif dalam pengendalian bakteri resisten. Sebab, saat ini obat kolistin untuk memerangi bakteri resisten terhadap antibiotik terkuatpun telah dilaporkan tidak efektif lagi. “Makin sering kita minum antibiotik, bakteri makin bermutasi dan menjadi ganas. Demikian juga pada produk unggas yang dapat menyimpan residu lalu masuk ke tubuh manusia ketika dikonsumsi,” katanya. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer