-->

CEVA ANIMAL HEALTH

CEVA ANIMAL HEALTH

Boehringer Ingelheim

Boehringer Ingelheim

SIDO AGUNG FEED

SIDO AGUNG FEED

INFOVET EDISI MEI 2023

INFOVET EDISI MEI 2023

Susunan Redaksi

Pemimpin Umum/Redaksi
Ir. Bambang Suharno


Wakil Pemimpin Umum

Drh. Rakhmat Nurijanto, MM


Wakil Pemimpin Redaksi/Pemimpin Usaha
Ir. Darmanung Siswantoro


Redaktur Pelaksana
Ridwan Bayu Seto


Koordinator Peliputan
Nunung Dwi Verawati


Redaksi:
Wawan Kurniawan, SPt

Drh. Cholillurrahman (Jabodetabek)

Drh. Yonathan Rahardjo (Jatim)
Drh. Masdjoko Rudyanto,MS (Bali)
Drh Heru Rachmadi (NTB)
Dr. Sadarman S.Pt, MSi (Riau)
Drh. Sry Deniati (Sulsel)
Drh. Joko Susilo (Lampung)
Drh. Putut Pantoyo (Sumatera Selatan)

Kontributor:
Prof. Dr. Drh. Charles Rangga Tabbu,
Drh. Deddy Kusmanagandi, MM,
Gani Haryanto,
Drh. Ketut T. Sukata, MBA,
Drs. Tony Unandar MS.
Prof. Dr. Drh. CA Nidom MS.


Kabag Produksi & Sirkulasi
M. Fachrur Rozi

Staf Produksi & Sirkulasi:
M. Sofyan

Yayah Muhaeni

Administrasi
Nur Aidah


Keuangan:
Efrida Uli
Monita Susilawati


Staf Pemasaran
:
Yayah Muhaeni


Alamat Redaksi

Ruko Grand Pasar Minggu
Jl. Raya Rawa Bambu No. 88A
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520
Telp: (021) 7829689, 78841279, Fax: 7820408
e-mail:
Redaksi: majalah.infovet@gmail.com
Pemasaran: marketing.infovet@gmail.com

Rekening:
Bank MANDIRI Cab Ragunan,
No 126.0002074119

Bank BCA KCP Cilandak KKO I. No 733-0301681
a/n PT Gallus Indonesia Utama

Redaksi menerima artikel yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan atau peternakan. Redaksi berhak menyunting artikel sepanjang tidak merubah isinya.
Semua artikel yang dimuat menjadi milik redaksi.
Email artikel Anda ke:infovet02@gmail.com

Jumlah Pengunjung

GALLUS Group

Download Gratis Edisi Sisipan Vol 10

Pengikut

Info Agribisnis Klik Di Sini

alterntif text

TRANSLATE

RESENSI BUKU: ANTARA CITA-CITA DAN REALITA

On Mei 09, 2023


Buku setebal 517 halaman akhirnya sampai di ruang kerja saya. Judulnya “Faterna; Antara Cita-Cita dan Realita. Sebuah Catatan Bersama Alumni Fakultas Peternakan Universitas Mataram”. Pengirimnya adalah editor buku tersebut, Bambang Mulyantono yang dikenal dengan nama Bamton. Ia adalah alumni Faterna Unram angkatan 1986 yang juga dikenal sebagai penulis handal.

Melihat buku setebal itu, saya langsung komentar, "ini buku yang sangat berbobot". Maksudnya bobotnya lumayan berat saking tebalnya hehe. Tatkala saya baca isinya, memang ini buku yang langka, dan menjadi berbobot isinya, karena sejauh ini saya belum pernah membaca buku yang ditulis ramai ramai oleh para alumni Fakultas Peternakan di kampus lain, dengan kualitas yang sedemikian  bagus.

Pastinya buku kumpulan artikel sangat perlu seorang editor berpengalaman. Apalagi yang menulis dari banyak kalangan yang sebagian, mungkin sebagian besar tidak terbiasa menulis artikel populer. Dalam hal ini Bamton, sang editor , pastinya punya peran yang besar mengarahkan penulis dan mengedit artikel menjadi sajian tulisan yang mudah dicerna, ada yang mengharukan, ada yang unik, bahkan yang bikin tertawa. Semua diolah menjadi rangkaian cerita para alumni mengasyikan.

Bamton menginformasikan, buku ini adalah buku kedua yang digagasnya dengan mengajak rekan-rekan sealumni untuk menulis secara bersama-sama. Buku pertama berjudul "FATERNA Seribu Cemara Sejuta Rasa" menceritakan tentang apa saja yang dikerjakan di masa-masa kuliah. Sayang sekali buku pertama ini  hanya disambut oleh 11 alumni dari Angkatan masuk 1986 saja. Ditambah 2 Catatan Dosen. Untuk menggenapi halaman sehingga 'layak terbit' sebagai sebuah buku, maka kepada rekan alumni yang biasa menulis, Bamton mempersilahkan untuk menulis 4, 3, dan 2 judul tulisan.

Begitu buku pertama terbit dan dibagikan kepada dosen-dosen yang sudah pensiun maupun yang masih aktif di kampus, dan bahkan sejumlah teman seangkatan, kakak tingkat atau adik tingkat yang menjadi dosen dan pejabat di kampus, apresiasi muncul dari para pembaca. Buku beredar dan menjadi bahan obrolan para alumni, sepertinya  ini menjadi media bernostalgia bagi mereka.

"Aku juga pingin nulis!" kata mereka menanggapi terbitnya buku Seribu Cemara Sejuta Rasa.

Maka mengalirlah proses penerbitan buku kedua ini.

Prosesnya diawali dengan zoom meeting yang diikuti penulis buku pertama dan calon penulis buku kedua,  termasuk dosen dan adik kelas yang menjadi dekan. Dalam rapat ini  konsep buku kedua disepakati bulat mengambil judul FATERNA Antara Cita-Cita dan Realita, mengisahkan 'keseruan' dilema antara semangat meraih cita-cita ketika masa-masa kuliah dan realitanya meniti karir di dunia kerja.

Penulis pada buku kedua ini adalah 28 orang alumni, 3 orang Profesor yang masih aktif mengajar memberi Catatan Dosen, plus Sambutan Rektor Universitas Mataram, Sambutan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, serta Sambutan Dekan Fakultas Peternakan UNRAM. Mereka berasal dari beragam profesi antara lain pelaku usaha peternakan/non peternakan, dosen, aktivis NGO serta alumni yang di dunia seni sinematografi, videografi dan lainnya.

Dari tulisan mereka terungkap mata kuliah di fakultas peternakan itu lengkap mempelajari banyak hal yang bermanfaat untuk berkarir dan berbisnis di bidang apapun. Banyak alumni yang sengaja atau tidak sengaja mengabdi di bidang non peternakan, namun faktanya mereka mampu mengukir kesuksesan. Ilmu dan semangat belajar dari kampus membuat alumni mampu menggali ilmu di dunia nyata dan disertai semangat sebagai alumni Unram, mereka berhasil dalam berbagai bidang kehidupan.

Salah seorang alumni menulis, setelah lulus baru menyadari mata kuliah di fakultas peternakan itu lengkap mempelajari banyak hal biologi, sosiologi, botani/agrostologi. Bahkan biologinya lebih dirinci lagi; fisiologi, imunologi, reproduksi, meskipun utamanya perihal hewan, namun prinsip-prinsip dasar pada makhluk hidup seperti pada manusia juga dipelajari.

Ilmu pertanian juga cukup dalam dipelajari ketika mengambil mata kuliah wajib Agrostologi, ilmu rumput-rumputan dan leguminosa. Mahasiswa harus mengumpulkan minimal seratus jenis rumput dan leguminosa dalam herbarium layaknya seorang botanis lengkap diberi nama latin dan identitas lainnya serta harus hafal. 

Selain analisa laboratorium, ilmu sosiologi pedesaan juga dipelajari. Tidak heran jika, lulusan Peternakan bisa berkarya di berbagai bidang.

Buku ini menjadi penting bagi para alumni Unram , juga bagi para orang tua dan pelajar yang sedang bingung menetapkan fakultas pilihan untuk masa depan. Selamat dan sukses untuk Bamton dan para penulis buku  “Faterna; Antara Cita-Cita dan Realita”.***

Bams***


MEMUTUS “LINGKARAN SIPUT” PERUNGGASAN

On April 26, 2023

Bambang Suharno
Gejolak perunggasan nyaris tak kunjung berhenti, meskipun sudah  banyak upaya untuk mengatasinya. Bahkan sejak sebelum pandemi, peternak unggas khususnya peternak broiler nyaris belum sempat menikmati yang namanya laba usaha. Gejolak yang dihadapi peternak mandiri semakin besar. Jika pada era 90-an peternak berteriak karena rugi beberapa periode produksi, kini yang terjadi mereka mengalami kerugian lebih dari setahun, sehingga jumlah pelaku usaha mandiri/rakyat disinyalir semakin sedikit.

Kejadian ini sudah pernah diramalkan Dr Drh Soehadji (Dirjen Peternakan 1986-1994). Ia menyebut, masalah gejolak harga di perunggasan ini adalah masalah klasik yang berputar dan berulang yang digambarkan sebagai “lingkaran siput”. Dimulai dari harga melonjak karena kekurangan pasokan, disusul penambahan populasi oleh pelaku usaha, lalu terjadi kelebihan pasokan (oversupply) yang membuat harga jatuh. Selanjutnya dilakukan pengurangan investasi secara alami, yang kemudian menyebabkan harga naik lagi dan seterusnya berputar berulang-ulang, makin membesar dan membesar, seperti lingkaran siput.

Bisa kita bayangkan, pada 1990-an, populasi ayam sekitar 800 juta ekor, tahun ini diperkirakan lebih 3 miliar ekor. Gejolak akibat fluktuasi harga pastinya jauh lebih dashyat dibanding fluktuasi pada 1990-an. Apalagi jika kondisi harga jatuh berlangsung berbulan-bulan. Total kerugian yang diderita peternak dan perusahaan sarana produksi ternak mencapai puluhan triliun rupiah.

Siput dalam terminologi yang digunakan Soehadji bukan hanya bermakna gejolak yang semakin membesar, tapi juga sebagai singkatan dari “Selalu Itu Permasalahannya Untuk Tuduh-tuduhan.” Soehadji melihat permasalahan yang disampaikan peternak dan pihak lainnya dari tahun ke tahun itu-itu saja alias nyaris sama, antara lain perlunya perlindungan untuk peternak mandiri/rakyat, perbaikan tata niaga ayam, serta data perunggasan yang perlu diperbaiki agar akurat untuk mengambil keputusan.

Apa yang disampaikan Soehadji tentang “selalu itu permasalahannya” masih relevan hingga sekarang. Dalam siaran pers yang dirilis Sekretariat Bersama Asosiasi Perunggasan pada Maret 2023, disebutkan beberapa tuntutan yang diajukan antara lain perbaikan data perunggasan, keberpihakan pemerintah terhadap peternak mandiri/rakyat, serta perbaikan tata niaga perunggasan agar mereka bisa menjalankan usaha secara normal.

Bedanya dulu tuntutan lebih sering ditujukan ke Kementerian Pertanian (Kementan), kini karena banyak lembaga mengurus perunggasan, yang dituntut selain Kementan, juga Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Selain itu juga turut ditambah permintaan peternak ke Komnas HAM agar memanggil kementerian tersebut untuk menelusuri apakah ada pelanggaran HAM dalam kebijakan perunggasan.

Jika selama 30 tahun peternak menuntut hal yang sama, kita bisa menyimpulkan bahwa masalah yang sama belum dapat diatasi meskipun pemerintah sudah berganti pemimpin dan undang-undang juga sudah direvisi.

Memutus Lingkaran Siput
Pada negara yang pasarnya didominasi penjualan live bird (ayam hidup), campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Hal ini karena produk peternakan mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply-demand menjadi faktor penting penentu untung dan rugi peternak. Oleh karena itu, perlu manajemen pasokan di hulu dan pengurangan penjualan ayam hidup di bagian hilir. Jika dua hal ini saja bisa dikelola dengan baik, setidaknya gejolak akan berkurang.

Integrator 100%
Perihal manajemen pasokan yang artinya mengatur jumlah impor GPS (Grand Parent Stock) agar sesuai perkembangan permintaan pasar, telah dibahas di berbagai forum. Ada yang pro terhadap pengaturan kuota, ada juga yang menuntut pembebasan kuota impor. Intinya mau dibebaskan atau dengan model kuota, tetap perlu ada mekanisme kontrol agar pasokan sesuai pergerakan permintaan. Selain itu perlu juga ada jaminan bahwa peternak mandiri selalu mendapatkan pasokan bibit sesuai kebutuhan.

Ada suara dari beberapa pihak agar integrator berhenti melakukan budi daya sehingga pasar ayam hidup menjadi hak peternak mandiri/rakyat. Secara umum pengertian integrator adalah usaha dari hulu (pembibitan) hingga hilir (pasca panen). Ini artinya integrator beserta grup kemitraannya mestinya tidak menjual ayam hidup. Kalau perusahaan yang disebut integrator masih menjual ayam hidup, maka perusahaan itu belum disebut integrator. Istilah ini menjadi salah kaprah. Jika integrator tidak boleh budi daya artinya mereka juga tidak bisa disebut integrator. Demikian juga yang saat ini disebut integrator, jika mayoritas ayamnya dijual dalam bentuk live bird, juga bisa disebut sebagai integrator “setengah matang.” Faktanya memang mereka sudah terlanjur disebut sebagai integrator.

Jika pemerintah mewajibkan perusahaan yang sekarang disebut integrator itu menjadi integrator 100%, maka penjualan ayam hidup otomatis hanya milik peternak mandiri/rakyat. Setidaknya dengan cara ini tidak ada “pertandingan tinju yang beda kelas di ring yang sama.”

Patut dicatat, dari 3 miliar ekor ayam yang diproduksi Indonesia, yang dijual sebagai ayam beku diperkirakan baru sekitar 20% saja. Ini membuktikan yang disebut integrator itu masih menjadi integrator semu, belum 100%.

Ekspor dan Kampanye Gizi
Selama ini program yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi oversupply adalah dengan melakukan pemangkasan telur tetas, afkir dini PS (Parent Stock) dan upaya pemangkasan produksi yang lain. Sementara itu menjaga keseimbangan pasokan dalam negeri dengan melakukan ekspor belum secara nyata dilakukan. Ada program gerakan tiga kali ekspor oleh Kementan tapi fokusnya lebih ke peningkatan devisa negara, bukan stabilisasi harga.

Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Perancis beberapa tahun lalu, tatkala oversupply produksi susu sapi akibat embargo ke Rusia, pemerintah setempat membeli susu milik peternak dan melakukan ekspor ke negara berkembang, baik sebagai bantuan kemanusian maupun aktivitas lainnya.

Sementara itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan dana APBN untuk kampanye konsumsi ayam dan telur. Masih ada ruang untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur sebesar dua kali lipat dari sekarang, karena kita melihat konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, sekitar 4.000 batang rokok/orang/tahun, sementara konsumsi ayam hanya 13 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur hanya 150 butir/kapita/tahun. Jika konsumsi naik dua kali lipat saja, bisnis perunggasan akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru sekaligus usaha perunggasan akan semakin bergairah.

Pada 2011 lalu Menteri Pertanian, Suswono, mencanangkan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) yang diinisiasi oleh 14 asosiasi perunggasan. Pencanangan ini sebagai upaya mempercepat peningkatkan konsumsi ayam dan telur. Sayangnya, kegiatan kampanye ayam dan telur ini dijalankan sendiri oleh para peternak dan asosiasi perunggasan. Belum ada dukungan nyata dari pemerintah untuk mendongkrak konsumsi ayam dan telur agar tidak terpaut jauh dengan konsumsi negara tetangga. Padahal Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki program gemar makan ikan (Gemarikan), dengan tim yang lengkap dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga konsumsi ikan secara nyata mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding konsumsi ayam dan telur.

Kemitraan, Jembatan Menuju Mandiri
Pola kemitraan sudah dikembangkan sejak era 80-an, tujuannya agar peternak kecil bermitra setelah semakin besar bisa berdiri sendiri. Ini tujuan ideal, yang ternyata dalam implementasi bisnis terjadi kebalikannya. Peternak mandiri yang tidak kuat akhirnya berhenti atau melanjutkan sebagai mitra perusahaan lain. Jika itu yang terus terjadi berarti pola kemitraan yang berkembang tidak sesuai tujuan awal dikembangkannya kemitraan, dan jumlah peternak mandiri semakin sedikit.

Program untuk menjadikan lebih banyak peternak tangguh dan mandiri layak kita gaungkan, agar peta bisnis perunggasan menjadi lebih sehat dan kondusif. Jika itu dilakukan, lingkaran siput sudah terputus dan tak ada lagi ungkapan “selalu itu permasalahannya untuk tuduh-tuduhan.” ***

Ditulis oleh: 
Bambang Suharno, GITA Consultant, Pengamat Peternakan

KONSEP KESEHATAN USUS YANG (TERNYATA TIDAK) SESEPELE ITU

On Juli 29, 2022

Foto: Istimewa

“Semua penyakit berawal dari usus/saluran pencernaan” kata Hippocrates, 460-370 SM. Apakah Anda setuju dengan pernyataan Hippocrates yang diutarakan jauh ratusan tahun sebelum masehi tersebut? Anda boleh setuju, boleh tidak. Namun kenyataannya jika berbicara lingkup spesies yang lebih kecil, ayam misalnya, mau tidak mau sepertinya saya setuju dengan pernyataan tersebut.

Dalam hubungan antara keberhasilan produksi dan kesehatan ayam, sangat lazim bahwa kebanyakan stakeholder menggolongkan dua faktor yang paling penting dan harus dijaga agar performa produksi tercapai dengan maksimal. Dua faktor tersebut adala kesehatan saluran pernapasan (beberapa menggunakan istilah respiratory integrity) dan kesehatan saluran pencernaan (gut health/gut integrity).

Fokus pada kesehatan saluran pencernaan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita mendefinisikan gut health atau kesehatan usus? Istilah usus sudah jelas tetapi mengartikan kesehatan bisa menjadi tantangan tersendiri karena maknanya bisa sangat subjektif. Biasanya, kesehatan bisa diartikan sebagai kondisi tidak adanya penyakit. Kemudian kembali muncul pertanyaan, apakah hanya itu?

Dewasa ini, kesehatan usus didefiniskan sebagai kemampuan usus untuk melakukan fungsi fisiologisnya secara normal. Status kesehatan usus dihasilkan dari interaksi dinamis dari tiga komponen utama, mikrobioma, sistem kekebalan dan pengaruh eksternal, terutama nutrisi, mikroba, racun atau narkoba. Baru-baru ini, kesehatan usus alias gut health didefinisikan sebagai kemampuan usus untuk melakukan fungsi fisiologis normalnya, dimana mencakup fungsi mempertahankan homeostasis, sehingga mendukung kemampuannya untuk menghadapi faktor infeksius dan non-infeksius (Kogut et al., 2017).

Konsep kesehatan usus itu pula yang akhirnya membuat gagasan AGP digunakan pada masa lampau. AGP (antibiotic growth promotor) menjadi solusi yang sangat efisien dan efektif untuk mencapai status kesehatan usus meskipun pada akhirnya menimbulkan banyak pro dan kontra. Kita tahu selama beberapa dekade terakhir (atau bahkan lebih di beberapa negara), ada  kampanye global untuk mengurangi penggunaan antibiotik sebagai AGP dan mengadopsi pendekatan One Health untuk penggunaannya. Antibiotik yang sebelumnya sebagai pemacu pertumbuhan adalah imbuhan yang sangat berguna dan biasanya dianggap sebagai standar emas (gold standard) untuk membantu ternak mencapai potensi genetiknya.

Filsuf asal Jerman, Ludwig Feurbach (1848), pertama kali menyebutkan frase “We are what we eat”, kita adalah apa yang kita makan. Hal ini sepertinya benar adanya, karena kita sepakat pengaruh eksternal dimana salah satunya kondisi nutrisi yang mencakup jenis bahan baku yang digunakan, komposisi nutrisi, keseimbangan vitamin, makro dan mikro mineral dan lain sebagainya ternyata juga memberikan hasil yang berbeda pula dalam pertumbuhan hewan ternak.

Penggunaan AGP sekarang tidak lagi dilakukan. Mengurangi atau menghilangkan penggunaan AGP, bagaimanapun sering dikaitkan dengan terjadinya peningkatan insidensi gangguan usus. Memang masih ada beberapa kerancuan, tetapi jika total secara langsung melepas AGP (tanpa diiringi penambahan bahan pengganti) memang terdapat perubahan cukup signifikan terhadap kondisi usus.

Hal itu didukung beberapa parameter terkait jumlah mukosa, struktur dan fungsi epitel, gambaran vili-vili usus, jumlah bakteri koloni dalam usus, bahkan terdapat pula data terkait usus dan fungsinya sebagai organ imunitas (Broom, 2018).  Sehingga memahami hubungan antara pengaruh eksternal (nutrisi, faktor infeksius, lingkungan), faktor internal (mikrobiom/flora bakteri dalam usus) dan respon host (kondisi hewan) menjadi sangat penting untuk keberhasilan dalam mengurangi penggunaan antibiotik dalam pemeliharaan hewan ternak.

Usus yang baik dihuni oleh bakteri-bakteri yang membantu proses metabolisme dan pencernaan. Bakteri seperti bakteri asam laktat, bakteri yang memproduksi asam butirat, dan bakteri gram negatif seperti E. coli pun memiliki fungsi sendiri dalam habitat usus. Berbagai faktor telah dilaporkan memengaruhi pembentukan mikrobiota. Usia, makanan/diet dan obat-obatan umumnya dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh, tetapi sekarang faktor lingkungan, manajemen perkandangan, biosekuriti, litter/alas, semuanya telah terbukti ikut andil dalam keragaman mikrobiota usus. Pada tiga penelitian ditemukan hasil bahwa kontak dengan ayam dewasa memiliki pengaruh kuat pada komposisi mikrobiota usus anak ayam (Kubasova et al., 2019).

Penelitian lain juga menunjukkan faktor induk berpengaruh pada komposisi mikrobiota usus anak babi (PaBlack et al., 2015) dan penelitian lainnya menunjukkan bahwa usus hewan muda dipengaruhi pula oleh induk dan bisa jadi terkena mikroorganisme sebelum dilahirkan (babi) dan ditetaskan (unggas) (Leblois et al., 2017; Lee et al., 2019).

Respon host sendiri berarti kaitan saluran pencernaan dengan sistem organ yang lain, seperti contoh jika host/hewan ternak kita ternyata memiliki gangguan sistem kekebalan tubuh, pastilah ada efek yang ditimbulkan juga pada status kesehatan usus. Sehingga nantinya akan muncul pertanyaan, mana yang duluan mengganggu?

Akhirnya, kita dapat melihat sejumlah konsep komersial yang dikembangkan untuk mendukung topik ini, bahkan sekarang sudah banyak sekali berbagai jenis produk dan layanan yang tersedia di pasaran. Tujuan utama untuk mencapai status “healthy gut” yang menjadi fokus industri di era penggunaan antibiotik yang lebih bijaksana saat ini diantaranya meliputi penyediaan kandang pemeliharaan yang lebih modern, program vaksinasi dan kesehatan ternak, pencegahan penyakit imunosupresif, kesehatan induk, pemberian imbuhan non-AGP untuk ternak, nutrisi yang optimal serta terjangkau dan lain sebagainya.

Dua halaman sepertinya memang tidak akan cukup untuk membahas kesehatan usus yang ternyata tidak sesepele itu. Namun pada prinsip dan praktiknya, poin-poin penting terkait faktor eksternal, internal dan respon host harusnya sudah cukup mudah untuk diterapkan dengan pemahaman yang lebih sederhana. Seperti misalnya jika pada ayam broiler, jika pakan yang diberikan baik, manajemen pemeliharaan dan kesehatan baik, sumber indukan baik (sehingga DOC juga sehat), akan menghasilkan performa maksimal. ***

Ditulis oleh:
M. Yulianto (Ian) Wibowo
T&S Manager Anpario Biotech Indonesia,
dokter hewan dan peternak ayam broiler

BERTAHAN DARI STATUS BEBAS PMK (SEJARAH YANG TERLUPAKAN )

On Juli 25, 2022

Bambang Suharno

 Ketika terjadi wabah PMK di Indonesia sejak Mei  2022 lalu, banyak orang terkejut melihat betapa banyaknya kerugian yang diderita peternak. Masyarakat baru tersadar bahwa sejak 1990 Peternakan Indonesia dibuai oleh situasi yang nyaman tanpa PMK. Kondisi baik bertahun-tahun    ini dirasakan sebagai hal yang biasa saja, hingga    masyarakat lupa (atau melupakan) bahwa sebelum  tahun 1990 negeri ini harus berjibaku menghadapi  ancaman PMK yang menghabiskan dana triliunan rupiah.

 Masyarakat juga banyak yang tidak tahu bahwa pada periode bebas PMK tahun 1990 hingga 2022, Indonesia mengalami masa heroik dalam upaya mempertahankan diri dari masuknya wabah PMK. Masa itu berlangsung tahun 1999-2003 berupa pandemi PMK dimana banyak negara yang semula bebas PMK diserbu wabah PMK yang sangat tidak mudah diberantas.

Negara Eropa yang menerapkan sistem yang sangat ketat seperti Inggris dan Perancis  kebobolan wabah PMK dan harus memusnahkan jutaan ekor sapi (stamping out) sebagai upaya agar segera kembali mendapat status bebas PMK.

Mengapa Indonesia, sebagai negara berkembang, kali ini bisa bertahan dengan status bebas PMK? Ini karena Pemerintah waktu itu menerapkan kebijakan  maximum security (pengamanan maksimum). Konsep kebijakan  ini digagas dan diterapkan langsung oleh Dirjen Peternakan saat itu, Dr. Drh. Sofjan Soedardjat MS. Keputusan menerapkan kebijakan Maximum Security adalah keputusan yang berani, karena sebagai pejabat eselon satu ia harus meyakinkan atasannya (Menteri Pertanian), juga Menteri terkait lainnya,  Lembaga DPR, MPR dan juga presiden bahwa kebijakan ini akan efektif. Ia harus berkejaran dengan waktu antara berkordinasi dengan atasan, bawahan, lintas kelembagaan, dan sekaligus juga segera melakukan langkah taktis agar Indonesia tidak kebobolan PMK. 

Obrolan Tentang PMK bersama Dr Sofjan
Harap ditonton sampai selesai

Konsekuensi dari kebijakan Maximum Security, Sofjan sebagai Dirjen Peternakan harus tegas menolak bantuan daging dari negara lain yang tertular PMK, menolak kapal bermuatan jagung dari negara Argentina dan Brasil yang tengah dilanda wabah PMK, menerapkan disinfeksi terhadap Pangeran Charles yang berkunjung ke Indonesia karena Inggris sedang mengalami wabah PMK, menerapkan disinfeksi super ketat terhadap pemimpin negara G-20 yang waktu itu mengadakan pertemuan di Indonesia, menolak impor kulit dari negara Afrika, membatalkan rencana presiden Libya Muammar Khadafy yang berencana menunggang unta di Indonesia  dengan unta yang dibawa dari Libya, dan berbagai kebijakan yang pastinya harus melalui proses birokrasi yang tidak sederhana.

Untunglah akhirnya upaya yang dianggap “berlebihan” oleh sebagian orang ini, berhasil membuat Indonesia lolos dari serangan wabah PMK. Waktu itu wabah melanda ratusan negara ini hanya menyisakan 5 negara yang tetap bebas PMK, dimana salah satunya adalah Indonesia.  

Sebagai apresiasi atas keberhasilan Indonesia saat itu, tahun 2003 Menteri Pertanian Prof Bungaran Saragih didampingi Dirjen Peternakan  Sofjan Soedardat diundang oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties /OIE) untuk berpidato di depan para Menteri anggota OIE. Menteri Pertanian Indonesia saat itu berbagi pengalaman tentang keberhasilan Indonesia tetap bebas PMK. Inilah momen yang pastinya sangat membanggakan.

Sayangnya, kisah sukses menyelamatkan negara dari serangan wabah PMK periode ini sepi dari berita. Masyarakat menganggap bahwa tidak ada PMK adalah hal biasa saja.

Sofjan begitu gigih mempertahankan Indonesia bebas PMK bukanlah tanpa sebab. Pengalamannya sebagai ketua tim operasional pemberantasan PMK yang mewabah tahun 1983 menjadikan ia punya pemahaman dan pengalaman yang mendalam tentang PMK.  Di usianya yang masih 30an tahun, Sofjan saat itu dipercaya sebagai ketua tim operasional yang harus mampu berurusan dengan lintas kementerian hingga Polri dan TNI. Ia ditempa dengan situasi wabah. Bukan saja ditempa dalam keahlian sebagai dokter hewan yang menangani wabah, melainkan kemampuan berkordinasi dengan pejabat lintas sektoral, memimpin tim peternakan di pusat  dan daerah, juga berkordinasi dengan pejabat TNl dan POLRI, serta yang tidak kalah pentingnya, melakukan penyediaan vaksin dan obat-obatan dengan cepat.

Keberhasilan Indonesia mendapat pengakuan bebas PMK tahun 1990, tak lepas dari peran dia bersama timnya. Tak heran jika, di tahun 1999-2003 dengan jabatannya sebagai Dirjen,  ia berjuang keras agar PMK tidak masuk ke Indonesia. 

Dia juga bersama seniornya Dr Soehadji dan beberapa tokoh peternakan pada tahun 2010 melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)  gara-gara UU no 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan membolehkan impor komoditi peternakan dari negara yang belum bebas MK.

Kini tatkala wabah PMK benar-benar terjadi di Indonesia, kita perlu kembali melihat sejarah. Mengambil pelajaran penting dari semua kejadian.

Itu sebabnya melalui kanal Youtube Infovet saya juga melakukan wawancara dengannya agar setidaknya pengalamannya bisa deketahui lebih banyak orang (klik layar video youtube di artikel ini atau klik di sini.

Saya juga mendorong Dr Sofjan Sudardjat untuk segera menulis buku tentang “Pengamanan Maksimum Kesehatan Hewan dan Risalah Khusus PMK di Indonesia”, agar publik punya referensi keilmuan, kebijakan dan pengalaman yang telah terbukti berhasil diterapkan.

Alhamdulillah usulan ini diterima dan penulisan buku langsung dikebut untuk segera terbit. Semoga lancar dan bermanfaat bagi masyarakat.**

Penulis adalah Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Infovet

Langganan Majalah Chat WA di sini




CHAT LANGGANAN

DUGAAN ASAL TERJADINYA WABAH PMK DI INDONESIA

On Juli 20, 2022

Pandangan dari sudut geo-ekonomi veteriner, oleh M Chairul Arifin

Wabah PMK kembali merebak sesudah Indonesia menikmati bebas dari PMK sejak tahun 1986 dan diakui oleh OIE secara resmi di tahun 1990. Menurut laman bnpb.go.id PMK yang mulainya hanya menyerang sapi dan kerbau di dua propinsi di awal Mei 2022 yaitu Aceh dan Jawa Timur, kini dalam waktu 59 hari saja, (14Juli 2022) telah meluas ke 22 propinsi dan menimbulkan kesakitan pada 368.073 ekor sapi dan kematian 2.235 ekor di 246 kabupaten/kota. Kalau dihitung rataan per harinya terdapat 6.746 ekor ternak sakit dan mati 39 ekor dalam sehari.

M Chairul Arifin

Demikian cepat wabah menular sehingga dinyatakan  sebagai Status Keadaan Darurat PMK oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang memang ditugasi sebagai  Satuan Tugas (Satgas) Pengendalian dan Penanggulangan Wabah PMK oleh pemerintah. 

Menjadi pertanyaan dari mana asal usul terjadinya wabah, sampai episentrum awal di dua propinsi Aceh dan Jawa Timur? Narasi ini mencoba menjelaskan dari sisi geo-ekonomi veteriner mengapa timbul wabah PMK dengan maksud tidak sama sekali menyalahkan pihak terkait dalam menelusuri asal terjadinya wabah di dua propinsi episentrum yang kemudian meluas ke 22 propinsi pada 246 kabupaten/kota di Indonesia.

Untuk ini terdapat saling ketergantungan dengan kejadian PMK di tempat lainnya di belahan dunia yang  mempengaruhi Indonesia dan perkembangan di Indonesia sebaliknya akan berpengaruh di tingkat global, terutama dengan kemajuan teknologi informasi. 

SITUASI GLOBAL PMK DAN DAMPAKNYA KE INDONESIA SAAT INI

Kejadian PMK di Indonesia tidak terlepas dari situasi global khususnya di Asia Tenggara. Di tingkat global menurut World Organisation for Animal Health (WOAH yang dulunya disebut OIE) dilaporkan saat ini terdapat sejumlah negara yang dinyatakan bebas PMK, baik bebas tanpa vaksinasi dan bebas dengan tetap melakukan vaksinasi. Negara yang bebas tanpa vaksinasi ada 67 negara dan yang bebas tapi melakukan vaksinasi 14 negara. Terdapat pula sejumlah negara yang belum resmi status PMKnya tetapi telah mengajukan program pengendaliannya kepada WOAH, yaitu 8 negara diantaranya Botswana, Kyrgistan, Namibia, China, Mongolia, Thailand, India dan Maroko. Status Indonesia yang semula terkategori negara bebas tanpa vaksinasi terpaksa ditangguhkan status bebasnya oleh WOAH bersama dengan negara Kazachtan yang pada hampir bersamaan dengan Indonesia timbul wabah PMK di negaranya.

Situasi di tingkat internasional ini menjadi sangat menarik karena timbulnya wabah di Kazachtan dapat menjadi titik awal penelusuran wabah PMK di Indonesia. Negara yang berbatasan dekat dengan China ini mempunyai hubungan dagang erat dan merupakan pintu keluar China untuk berdagang dengan negara perbatasannya sampai ke negara di Asia Tenggara. Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand sampai Semenanjung Malaysia . 

Secara kebetulan pula dilihat dari perjalanan virus PMK dari negara tersebut berturut-turut ternyata sama dengan serotype dan typhotype virus PMK yang sedang mewabah di Indonesia, yaitu OME-SA/Ind-2001. Secara menarik perjalanan virus digambarkan dalam peta visual oleh laman VPH Boehringer Ingelheim Jerman dari Kazachtan, Nepal, Pakistan, India, Bhutan  Myanmar, Laos, Thailand, Semenanjung Malaysia, Aceh Tamiang, sampai pulau Jawa. 

Negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam, Thailand dan Malaysia sudah tak terbantahkan lagi memiliki strain virus yang sama dengan China termasuk Indonesia saat ini. Kejadian wabah yang bersamaan dengan Kazachtan memperkuat dugaan terjadinya wabah di Indonesia ada kaitannya dengan negara di Asia Tenggara yang hulunya berada di China. 

TERNAK HIDUP ATAU PRODUK TERNAK?

Harian Kompas, 14 Juli 2022 dalam laporan investigasi melaporkan adanya penyelundupan ternak kambing Saanen dari Thailand. Kambing Saanen adalah rumpun/galur yang sudah ditetapkan Kementrian Pertanian sebagai kambing penghasil susu kambing. Pada saat saat wabah berlangsung lalu lintas ternak itu justru tengah berlangsung antara oknum pedagang Thailand dengan oknum pedagang Indonesia melalui pelabuhan tikus via daring di Kabupaten Aceh Tamiang, yang tidak terawasi. Laporan investigasi Kompas menyebutkan bahwa salah satu pintu masuknya ternak illegal tersebut ada di Dusun Sido Makmur, Desa Paya Udang Kabupaten Aceh Tamiang. Alur-alur sungai wilayah ini terlindung oleh lokasinya yang jauh dari keramaian. Aliran sungainya terhubung dengan laut lepas Selat Malaka yang menjadi penyambung Indonesia dengan Thailand. Di sepanjang alur itu berdiri gubuk dan dermaga kecil tempat berlabuh sampan dengan kapasitas mesin lima tenaga kuda (Kompas, 14 Juli 2022).

Hal ini diakui oleh pihak Kepala Desa setempat karena memang lokasi desanya sangat dekat dengan Thailand. Hanya butuh waktu 30 menit saja sampan sudah sampai tergantung pasang surutnya air laut. Kejadian ini sejatinya ibarat gunung es yang sudah berlangsung cukup lama.

Selain itu terdapat pintu masuk ilegal lainnya yang rawan yaitu sepanjang pantai timur Sumatera dan pulau di Kepulauan Riau. Misalnya ada dugaan timbulnya wabah Lumpy Skin Disease ( LSD) yang menyebabkan ternak sapi di kepulauan Riau menderita karena lalulintas orang, ternak hidup dan produk ternak illegal dari Malaysia. Di perbatasan seputar Entikong Kalimantan Barat juga sering terjadi penyelundupan ternak dan produknya dari dan ke Malaysia Sabah Serawak  yang sering lolos dari pengawasan pihak berwenang. Demikian juga perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan negara Timor Leste dan Papua dengan Papua New Guinea. 

Sebagai negara kepulauan yang letak strategis maka perbatasan laut dan darat dapat meningkatkan lalulintas dan komunikasi penduduk dan barang di perbatasan. Tapi lalulintas dan komunikasi wajib memenuhi protokol kedua negara sehingga dapat terhindar dari kerugian ekonomi yang besar. 

Pelajaran penting dari kejadian wabah PMK yang diakibatkan dari adanya lalulintas ternak ilegal/penyelundupan mengisyaratkan kepada kita tentang perlunya infrastruktur karantina dan kesehatan hewan untuk ditingkatkan. Kemampuan personilnya harus ditingkatkan baik kuantitas dan kualitasnya. Karena penyelundupan ternak dan produknya tidak lagi menggunakan cara yang konvensional tetapi mereka memanfaatkan tehnologi daring yang sering tak terlacak akibat kita tidak menyangka sebelumnya. Penyelundupan ternak ke Aceh Tamiang  dari oknum pedagang ternak Thailand itulah contohnya.

Laporan investigasi Kompas semoga membukakan mata pihak terkait.

CERATES,  EMPLASTRUM, DIPPING: OBAT UNTUK LEPUH  KUKU DAN KUKU COPOT PADA SAPI PENDERITA PENYAKIT MULUT KUKU (PMK) - BAGIAN 3

On Juni 11, 2022

Oleh Mochamad Lazuardi

Kemunculan PMK sapi di Indonesia hingga 9 Juni 2022, ternyata makin meluas dan cepat menyebar dengan gejala paling memberatkan yaitu luka lepuh dan gangrena pada kuku serta mengakibatkan kuku lepas. Pada kondisi demikian yang terjadi adalah sapi tidak mau berdiri dan hanya tidur-tiduran. Dampak tersebut bila berlangsung lama dan posisi tidur tak berubah, akan mengakibatkan penekanan kulit terhadap dasar lantai, sehingga terjadi kematian jaringan kulit. Bila hal tersebut terjadi dalam waktu lama, maka beresiko fatal terhadap diri sapi penderita PMK sehingga menimbulkan resiko kematian.

Awal luka lepuh pada kaki sapi baik dewasa atau tua, serta anak-anak maupun usia muda, akan menimbulkan gejala pincang. Tindakan awal dalam menyikapi kasus tersebut adalah melakukan pemeriksaan untuk menetapkan tiga hal. Tiga hal yang dimaksud adalah (1) tingkat keparahan, (2) strategi penetapan bentuk obat disesuaikan tingkat keparahan dan (3) kesuksesan jaminan frekuensi paparan bahan aktif obat terhadap luka dan (4) perilaku menahan sakit pada kaki dikaitkan hasil penetapan bentuk sediaan. Empat hal tersebut pada akhirnya menjadikan para peternak, perawat sapi PMK (termasuk tenaga medis veteriner) harus mengenal CERATES, EMPLATRUM dan DIPPING.

CERATES

Dalam sejarah obat vs., pengobatan cerates mulai diperkenalkan dalam jajaran sediaan obat setelah ditemukan senyawa parafin, kendati mengawali dibuatnya parafin tingkat farmasetik. Tingkat kemurnian farmasetik tersebut menjadikan parafin dapat digunakan untuk bidang medis (sekitar awal perang dunia ke II). Awal penggunaan medis pertama kali adalah digunakan untuk mengobati prajurit yang terluka akibat terkena bahan peledak atau luka bakar. Dalam perjalanan waktu akhirnya parafin cair dapat dibuat menjadi parafin padat, dan dikembangkan untuk tambahan senyawa penstabil kosmetika dalam bentuk lilin. Dengan kemunculan obat keperluan medis berbentuk lilin (cera bahasa latin), maka diberi nama CERATES. Komposisi obat tersebut berciri-ciri banyak mengandung lilin, sehingga sangat sesuai untuk luka lepuh PMK, serta mampu menjangkau tempat pelipatan kulit atau kuku. Formula lilin tersebut dapat bersifat pelindung kulit serta tidak mudah meluruh dan rontok mengikuti arah gravitasi bumi. Seandainya meluruh dan rontok ke bawah, masih tetap ada bagian dari formula lemak atau lilin yang menempel di kulit.

Secara umum bahan-bahan pembentuk cerates terdiri senyawa tunggal dan atau campuran seperti lemak alami atau lemak hewan (“gajih” bahasa jawa). Bisa juga digunakan lilin dari sarang lebah, parafin padat ditambah sedikit dengan parafin cair atau dapat juga dicampur dengan getah pohon (contoh getah pohon pinus atau getah pohon damar). Jenis lain yang juga sering digunakan untuk peningkatan konsistensi lilin adalah lemak ikan paus dengan catatan lemak ikan paus dipadukan dengan parafin padat. Komposisi formula cerates bercirikan sukar bercampur dengan air, sehingga bila diaplikasikan ke kulit atau luka lepuh, secara otomatis akan bersifat melindungi. Konsistensi obat jenis ini jauh lebih padat dibanding salap, sehingga tidak mudah meleleh pada akibat peningkatan suhu tubuh meskipun suhu tubuh mencapai 40 ℃.

Keunggulan cerates yaitu dapat menutupi lepuhan PMK pada kulit sehingga tidak mudah terinfeksi kuman yang terbawa air dari lantai kotor. Pada kasus kuku copot, maka pilihan terbaik adalah bentuk sediaan cerates. Sebagai pertimbangan mampu menjangkau pelipatan-pelipatan kulit dan atau kuku yang sukar dijangkau. Dengan demikian sensitivitas rasa sakit akibat lepuh di kulit kuku ataupun lepasnya kuku, dapat tertutupi. Perlu diketahui bahwa kaki hingga telapak kaki hewan golongan sapi dan kerbau merupakan wilayah sensorik terbaik, sehingga bila terdapat luka di daerah tersebut maka secara reflek hewan akan melindungi kaki yang sakit. Bentuk perlindungan diri salahsatunya adalah ternak tak mau berdiri dengan berumpu pada empat kaki mereka. Cerates dibentuk oleh sebagaian besar lilin, sehingga dalam proses pembuatannya harus dilakukan pelelehan lilin terlebih dahulu kemudian dilakukan penambahan bahan-bahan lain dalam keadaan hangat. Dengan demikian bila lilin mengental maka campuran tersebut terjerap didalamnya. Sediaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menetralkan keseimbangan asam-basa di lantai atau tanah akibat urin sapi atau kotoran lainnya.

Kelemahan bentuk sediaan cerates yaitu bila komposisi tambahan lilin bercampur dengan bahan alami, maka sering terjadi komplek yang rancid. Oleh sebab itu untuk menghindari proses reaksi rancid (“tengik” bahasa jawa), maka persentase tambahan bahan alam hanya dibatasi (sekitar 10-20%). Ditinjau dari tingkat bahaya bila terkonsumsi, secara tidak sengaja oleh sapi, maka bahan-bahan pembawa di atas tidak akan membahayakan, kecuali disengaja diberikan oral dengan takaran berlebihan. Ditinjau dari ketahanan simpan sediaan cerates, maka sediaan ini termasuk lama disimpan. Dalam catan penelitian diketahui daya simpan senyawa tersebut antara 1-2 tahun terutama lilin atau parafin padat dengan catatan tempat penyimpanan harus kering serta bersuhu antara 20-25 ℃. Namun sebaliknya lilin atau lemak asal hewani atau nabati, tidak tahan lama bahkan hanya tahan beberapa hari meskipun disimpan dalam suhu dan tempat sesuai di atas.

Bahan-bahan alami sering berinteraksi dengan udara sehingga bisa mengalami proses kimiawi sekaligus merubah struktur molekul lilin atau lemak alami. Ditinjau dari keberadaan formula cerates, dapat disimpukan bahwa bahan pembentuk cerates termasuk parafin padat, mudah ditemui di tanah air. Dengan demikian dapat dipastikan permintaan sediaan cerates seharusnya dapat dipenuhi mengingat bahan-bahan tersebut tersedia di pasaran.

EMPLASTRUM

Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa emplastrum mirip dengan pleister luka atau obat yang dilekatkan di daerah pegal-pegal dan digunakan untuk manusia. Prinsip emplastrum adalah kain dengan ditengahnya terdapat bahan obat aktif untuk tujuan target kerja, dimana kain tersebut dilekatkan pada kulit. Emplastrum sangat sesuai untuk kasus-kasus luka melepuh pada daerah kulit, mengingat wilayah kuku serta ujung kaki, sering beresiko terkontaminasi kotoran di lantai. Pada keadaan demikian kain yang dilekatkan akan bermanfaat sebagai pelindung luka lepuh atau luka terbuka. Isi bahan aktif yang ada di tengah kain dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga secara dinamis dapat disesuaikan dengan khasiat yang dikehendaki misal antiradang, antibiotika, anti rasa sakit lokal, dsb. Namun demikian volume yang diletakkan pada tengah emplastrum tidak boleh melebihi kain pelingkup, sehingga bahan aktif tak tercecer keluar.

Secara internasional atau nasional ukuran panjang atau lebar kain yang akan dilekatkan pada ujung kulit kaki atau kuku, tidak ada ketentuan. Namun perlu diketahui bahwa daya lekat tersebut menyebabkan tidak semua luka di kulit dapat diberi emplastrum, mengingat kain yang dilekatkan harus di lepas kembali pasca pengobatan. Pada kondisi demikian apabila sapi atau kerbau masih sensitif terhadap daerah luka diujung kaki, maka tidak mudah untuk ditarik lepas, sebab hewan akan selalu berontak. Untuk menghindari kesulitan membuka maka sediaan tersebut dibuat lebih panjang sehingga perlekatan dapat dilakukan pada daerah ujung kulit sehat. Penggunaan emplastrum pada luka lepuh PMK, harus diimbangi dengan penjagaan kebersihan lantai kandang atau tanah tempat pijakan kaki sapi PMK. Hal tersebut disebabkan masa buka emplastrum cukup lama, sehingga dalam rangka memperpanjang waktu buka harus diupayakan agar kain yang tetempel tetap bersih.

Modifikasi emplastrum masa kini terbuat dari polifinil tipis dan tembus pandang, sehingga dapat diprediksi tempat penempelan bahan aktif sesuai target obat. Modifikasi lain yaitu dibuat dengan sistem lekat terbatas, dan akan terlepas secara otomatis setelah 4-5 hari pasca perlekatan. Modifikasi tersebut amat menguntungkan perawat luka lepuh penderita sapi PMK, karena dapat dipastikan waktu penggantian emplastrum baru.

Pada luka lepuh terbuka akibat PMK, pemberian bahan aktif yang diletakkan di tengah emplastrum dapat berupa padat dan setengah padat. Hingga saat ini bahan aktif yang dipilihkan belum ada berbentuk cair, namun demikian dikemudian kelak dapat dibuat bentuk sediaan cair. Terdapat beberapa keuntungan bila bahan aktif emplastrum berbentuk setengah padat, salahsatunya adalah bersifat melapisi luka sekaligus akan memapar luka secara lama. Hal tersebut berbeda bila bahan aktif yang diletakkan ditengah emplastrum berupa padat. Bahan aktif padat, akan cepat mengering akibat terpapar oleh sekreta luka lepuh. Sehingga bila kelak kain dibuka maka bahan aktif padat tersebut terlihat melekat pada luka lepuh dan tidak mudah di bersihkan karena harus menarik epitel kulit yang terlekat di padatan bahan aktif.

Aplikasi emplastrum sangat menguntungkan pada sapi PMK dengan kuku copot, pada kondisi demikian dapat dilakukan pembebatan melingkar hingga 4-5 cm di atas kuku. Kondisi tersebut sangat membantu menghilangkan rasa nyeri saat telapak kaki di tapakkan di lantai atau di tanah, sehingga instink untuk berdiri semakin kuat. Pembebatan yang dimaksud diusahakan cukup kuat sehingga dipastikan bila kaki yang sudah dibebat menginjak lantai maka emplastrum tidak akan lepas. Ciri-ciri sapi penderita PMK nyaman dibebat dengan emplastrum, adalah cepat berdiri dan tidak mengangkat kaki saat berdiri.

DIPPING (RENDAM)

Sediaan tersebut di atas berasal dari bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia dikenal rendam atau “celup” bahasa jawa. Teknik rendam untuk kasus luka melepuh pada kuku dan kuku copot pada sapi penderita PMK, amat sesuai dengan situasi kondisi pemelihara ternak. Bila pemelihara ternak memiliki waktu terbatas untuk kegiatan pemeliharaan, maka teknik rendam adalah pilihan yang paling tepat. Sebab cukup dengan memasukkan ke dua kaki pada obat yang telah diwadahi dalam tempat tertentu, dan dibiarkan terendam beberapa menit. Keuntungan bentuk sediaan ini adalah obat mampu menjangkau tempat-tempat pelipatan dalam hasil perendaman kaki. Keuntungan tambahan adalah aplikasi tersebut sangat praktis dan tak membutuhkan perangkat lain agar obat memapar di segala tempat diwilayah kaki yang terendam. Kerugian teknik rendam yaitu obat harus memiliki bentuk sediaan larut sempurna (solutio) sehingga bahan aktif yang terlarut oleh pelarut obat dapat mencapai tempat luka dengan kadar sama. Kerugian lain yaitu penggunaan sisa obat belum tentu dapat digunakan kembali, sebab jaringan kulit yang mati akan mengkontaminasi obat tersebut. Namun bila diyakini obat tak terkontaminasi bahan-bahan pengotor, maka bekas obat dapat digunakan kembali. Kerugian yang paling menonjol adalah hasil paparan obat cepat kering dan cepat hilang, pada keadaan demikian sangat tidakmenguntungkan untuk luka lepuh kronis sebab membutuhkan persyaratan pengobatan luka harus lama terpapar obat.

Upaya perendaman pada jenis sapi atraktif, tidak mudah dilakukan sebab sapi akan berusaha menendang. Pada keadaan demikian obat dalam wadah khusus akan ikut tertendang sehingga obat tidak dapat diaplikasikan. Jenis-jenis sapi atau kerbau yang mudah dilakukan perendaman kaki adalah sapi atau kerbau dengan temperamen tenang atau mudah dikendalikan.

Terdapat upaya modifikasi teknik perendaman dengan tujuan agar obat tetap terpapar secara lama, teknik tersebut dilakukan dengan meletakkan wadah di kaki sapi dan diikat kuat sehingga tetap melingkupi kaki sapi. Cara tersebut cocok dilakukan terhadap jenis sapi-sapi bertemperamen atraktif, sehingga upaya penempatan wadah untuk merendam kaki sapi cukup satu kali namun obat terus menerum merendam kaki sapi.

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Farmasi Veteriner di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

ELECTUARIUM, GARGARISMA, COLLYRIUM ORIS UNTUK TERAPI LUKA MELEPUH LIDAH & MULUT SAPI PENDERITA PENYAKIT MULUT  KUKU (PMK) - BAGIAN 2

On Juni 09, 2022

Oleh: Prof. Dr. Mochamad Lazuardi, Drh. M. Farm

Telah diketahui bersama bahwa gejala subklinis, hingga kronis fenotip penyakit PMK berupa luka melepuh pada lidah dan bibir ternak. Lepuhan tersebut merupakan abses steril, sehingga akan pecah menjadi luka terbuka 2-3 hari kemudian. Luka terbuka tersebut akan mudah mengalami superinfeksi akibat port de entry luka menjadi pintu masuk terjadinya sepsis bakteriemia ke seluruh tubuh. Dengan berjalannya waktu luka terbuka tersebut akan menjadi gangrena yang ditandai dengan meningginya bagian bibir luka terbuka tersebut, serta terasa hangat dengan warna kemerahan. Kondisi tersebut akan memunculkan luka bersekret dengan konsistensi kental. Seiring dengan kemunculan gangrena, akan terlihat sapi mengeluarkan liur berlebihan, serta penurunan nafsu makan minum & menurun. Bila sapi dapat bertahan, maka sapi akan sering tiduran di lantai serta lemah. Strategi awal yang harus dilakukan adalah memanfaatkan pengobatan lokal luka terbuka dan gangrena menggunakan sediaan oral dengan kerja lokal. Dalam dunia peracikan obat hewan, dikenal tiga jenis bentuk sediaan obat (BSO) yang sering digunakan untuk pengobatan kulit dengan kerja lokal. BSO yang dimaksud adalah Electuarium, Gargarisma dan Collyrium Oris dengan ciri konsistensi antara cair encer hingga kental dan digunakan untuk target terapi lokal. Ke tiga bentuk sediaan tersebut membentuk BSO solutio yaitu bahan aktif obat berupa serbuk (bobot) atau cair (volume) terlarut dalam bahan pembawa obat cair (volume). Konsep BSO ditandai dengan aturan yaitu bobot / volume (b/v) atau aturan volume / volume (v/v). Formulasi BSO solutio untuk sapi penderita PMK, sangat disyaratkan mengingat sapi PMK sebagai target terapi memiliki sensitivitas tinggi terhadap rangsangan bahan obat. Sehingga bila BSO obat tersebut tidak saling larut dikhawatirkan akan menimbulkan iritasi mukosa bibir, mulut atau rongga kerongkongan atau dapat menimbulkan refleks muntah.

Ditinjau dari profil ke tiga BSO tersebut, terlihat sangat jernih / bening dan dalam aplikasinya tidak perlu dikocok terlebih dahulu. Ditinjau dari mutu tingkat homogenitas bahan aktif dalam larutan bahan pembawa, solutio amat terjamin mengingat semua bahan aktif larut, sehingga terdispersi secara sempurna ke semua bagian bahan pelarutnya. Mutu tersebut hampir setara dengan BSO injeksi atau sediaan steril yang dirancang untuk penggunaan melalui perobekan lapisan kulit.

Ditinjau dari sejarah keberadaan di Indonesia, tiga BSO tersebut sebenarnya sudah lama digunakan oleh para klinisi bidang kedokteran maupun kedokteran hewan. Seiring dengan berjalannya waktu serta kecepatan perkembangan teknologi obat-obatan, maka ke tiga BSO tersebut menjadi terlupakan. Oleh sebab itu kemunculan kembali PMK (re-emerging diseases) dengan sifat-sifat spesifik virus PMK, maka ke tiga BSO tersebut dapat dimutakhirkan kembali. Sifat spesifik yang dimaksud adalah virus PMK mampu sembunyi dalam jaringan lemak terdalam pada kerongkongan sapi selama beberapa tahun, sehingga penderita sapi dengan mudah mengalami carier.

Ditinjau dari trend perkembangan obat hingga tahun 2022, tiga BSO tersebut masih tergolong banyak diminati oleh petani peternak, kendati banyak ditemui obat-obat modern haasil modifikasi obat-obat lama dan disesuaikan perkembangan IPTEK.

Electuarium

Sediaan ini dimasukkan dalam klasifikasi BSO antara cair dan setengah padat dengan konsistensi kental dan menggunakan bahan pembawa rasa manis. Sediaan tersebut dapat diberi tambahan bahan aktif (remedium cardinale) seperti, penekan rasa sakit, antiradang, anti mikroba dsb. Bahan pembawa yang dimaksud dapat terbuat dari campuran gula kental dan atau madu sera di tambah serbuk gumi arab. Serbuk tersebut dengan penambahan air sebanyak tujuh kali bobot bahan aktif, akan membentuk campuran lendir (mucilagenes) sehingga BSO tersebut menjadi lebih kental. Dalam aplikasi klinik BSO tersebut di gunakan dengan cara melaburkan pada permukaan lidah ataupun pada pangkal lidah dan dasar lidah. Pemberian BSO electuarium pada kasus PMK, amat menguntungkan mengingat bahan pembawa obat tersebut, dapat dimanfaatkan menjadi pelapis permukaan lidah. Sehingga memudahkan ternak sapi untuk menelan hijauan pakan ternak. Bahan pembawa electuarium juga memiliki khasiat sebagai penjaga keseimbangan asam-basa lingkungan mulut sapi. Sehingga lepuh pada lidah tidak akan dirasakan mengganggu oleh sapi penderita PMK akibat pakan yang masuk menjadi licin oleh bahan pembawa. Pada keadaan demikian tingkat keasaman terhadap pakan dapat di netralkan oleh bahan pembawa electuarium. Sebagai tambahan bahan aktif dengan target untuk membunuh virus, dapat diberikan senyawa-senyawa antiseptik-disinfektant serta anti jamur. Seandainya luka melepuh sudah membentuk gangrena dan atau kondisi superinfeksi, maka dapat ditambahkan antibiotika kerja lokal seperti neomycin sulfat. Sebagai tambahan untuk menekan keradangan, dapat dikombinasikan pula dengan obat-obat penekan keradangan (non-steroid atau steroid).

Beberapa keunggulan electuarium adalah dapat mengikuti irama gerak dan lekukan lidah sehingga selalu tetap menempel pada lidah. Akibat konsistensi kental tersebut, BSO electuarium tidak cepat luruh. Dengan demikian memiliki ketahanan menempel antara 4-5 jam. Waktu tersebut sudah cukup memaparkan suatu bahan aktif obat terhadap lepuh lidah penderita PMK. Seandainya sapi diberi pakan hijauan dengan bentuk crumbels, maka penempelan electuarium pada lidah lebih dari 5 jam. Luka lepuh pada PMK dapat diberikan setiap 8 jam sekali dengan harapan paparan lepuh oleh bahan aktif electuarium dapat selalu terjadi.

Kelemahan BSO electuarium yaitu, tidak tahan disimpan lama mengingat bahan pembawa tersebut berasal dari alami seperti madu dan gula merah. Bahan alami tersebut mudah berinteraksi dengan udara sehingga menyebabkan konsistensi kental berubah menjadi setengah padat atau konsistensi seperti mentega. Pada keadaan demikian maka electuarium tak dapat digunakan dan selalu harus dibuat baru. Kelemahan lain adalah sering merangsang serangga-serangga yang menyukai manis-manis. Kelemahan tersebut harus dijadikan perhatian keras mengingat sapi penderita PMK sering terduduk di lantai kandang. Pada kondisi demikian tidak mustahil serangga akan menuju bagian manis mulut sapi. Upaya pencegahan kemunculan serangga terhadap sapi penderita PMK, dapat dilakukan salahsatunya dengan mengembalakan sapi pada lapangan terbuka. Kebiasaan tersebut sangat membantu mencegah penularan PMK, sebab sinar matahari mampu membuat kering luka melepuh akibat PMK.

Gargarisma

Merupakan BSO cair yang terdiri dari antara bahan aktif terlarut dalam bahan pembawa dan umumnya memiliki kriteria v/v. Gargarisma termasuk BSO yang tidak direkomendasikan penggunaan hingga sampai lambung, namun hanya sebatas pangkal kerongkongan. Dengan demikian sangat cocok untuk kasus sapi penderita PMK kronis dimana jumlah virus banyak ditemukan pada pangkal kerongkongan. Bahan aktif yang dikandung dalam sediaan gargarisma umumnya adalah pengencer dahak, pelapis saluran kerongkongan (demulcent) serta pembersih saluran kerongkongan. Pemberian gargarisma pada hewan, sangat tidak aplikatif namun sangat bermanfaat manakala bertujuan untuk membersihkan kerongkongan hingga pangkal. Dalam aplikasi di lapangan sering dilakukan menggunakan drench dan bila telah mencapai kerongkongan, maka leher sapi di tarik kebawah agar dapat memuntahkan obat yang dimasukkan. Bila dilakukan dua hingga tiga kali, maka akan mampu memaparkan bahan aktif obat ke pangkal kerongkongan. Pada aplikasi medik, dapat dilakukan dengan memasukkan selang hingga sepertiga kerongkongan dan mengguyurkan sesuai volume yang dikehendaki. Cara tersebut sangat praktis namun gargarisma yang masuk akan tetelan ke lambung sapi. Resiko tertelan tersebut dapat diabaikan mengingat bahan aktif serta kadar yang digunakan tidak berbahaya untuk lambung. Sebagai bahan pembawa juga dapat berfungsi membantu pencernaan lambung, misal menggunakan bahan pembawa asam klorida dilutus 0,01 N. Komposisi tersebut akan berkhasiat ganda yaitu sebagai anti virus PMK pada wilayah ujung kerongkongan serta membantu meningkatkan pencernaan lambung. Khasiat bekerja ganda tersebut adalah salahsatu keunggulan gargarisma. Sehingga tidak perlu dilakukan upaya memuntahkan kembali. Kelemahan pemberian gargarisma adalah resiko masuknya bahan obat pada saluran nafas dan pada gilirannya dapat masuk ke paru. Kondisi tersebut sangat memungkinkan mengingat saluran kerongkongan dan saluran pernafasan memiliki kedekatan tempat.

Collyrium oris

Merupakan BSO cair dengan kerja lokal sekaligus dapat dimanfaatkan untuk membersihkan rongga mulut maupun luka lepuh bibir sapi penderita PMK. Ditinjau dari nama collyrium oris itu sendiri, dari bahas latin dan memiliki arti Indonesia sebagai cuci mulut. BSO ini memiliki komposisi b/v atau v/v, tergantung bahan aktif yang digunakan. Namun umumnya bahan aktif yang digunakan adalah serbuk, dengan daya kerja antiseptik-disinfektan. Sebagai senyawa pencuci mulut, hanya bisa melakukan pensucihama dan menetralkan keseimbangan asam-basa di rongga mulut. Penetralan keseimbangan asam-basa pada rongga mulut akan menekan kemunculan karang gigi sapi ataupun unsur-unsur pakan yang dapat merusak gigi sapi. Khusus pada kasus penderita PMK, penggunaan senyawa cuci mulut akan menghadang kemunculan infeksi lebih lanjut pada permukaan mukosa mulut yang masih belum terinfeksi virus PMK. Bila collyrium oris tersebut dibuat menjadi lebih hipertonis, maka senyawa aktif yang terkandung dalam sediaan tersebut dapat melakukan penetrasi kedalam sel-sel sehat disekitar mukosa mulut sapi. Kondisi tersebut sangat menguntungkan untuk mencegah penyebaran virus PMK pada sel yang masih sehat dirongga mulut. Peningkatan daya cuci mulut BSO collyrium oris dapat di tingkatkan dengan menambah bahan aktif dengan daya antibiotik dan antijamur. Keunggulan BSO collyrium oris yaitu mampu menembus sela-sela gigi atau tempat sulit di lingkungan rongga mulut, namun kerugian nya adalah tidak mudah mengaplikasikan pada hewan. Pada hewan penggunaan BSO ini memerlukan bantuan pemilik ternak / perawat ternak, dengan cara melakukan penyemprotan menggunakan alat penyemprot di sekitas rongga mulut.

Uraian ke tiga BSO tersebut harus diupayakan untuk tetap diingat oleh masyarakat luas mengingat semua bahan aktif dapat ditemukan di tanah air dan sangat memungkinkan untuk dikemas menjadi ke tiga BSO tersebut.

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Farmasi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Artikel Populer