-->

PEMERINTAH PERLU SEDERHANAKAN PROSEDUR EKSPOR OBAT HEWAN

JAKARTA, 24 Februari 2017. Ekspor obat hewan asal Indonesia makin berkembang ke berbagai negara. Sayangnya pengurusan prosedur ekspor masih berbelit dan membutuhkan waktu lama, terkesan belum ada dukungan nyata dari pemerintah terhadap perusahaan obat hewan yang telah membawa nama Indonesia di pasar internasional.
Demikian kesimpulan dari presentasi Ketua Sub Bidang Eksportir ASOHI Peter Yan dalam rapat pleno pengurus ASOHI Februari lalu di Jakarta. Dalam paparannya, ia menyampaikan, masih ada beberapa kendala yang dihadapi oleh beberapa perusahaan eksportir obat hewan, yaitu mengenai prosedur di dalam negeri seperti registrasi dan prosedur ekspor, kemudian prosedur di negara tujuan ekspor.
Peter Yan (berjaket hitam) ditengah rapat pleno ASOHI (24/02/2017)
saat menyampaikan kendala soal ekspor obat hewan.
Untuk proses registrasi di dalam negeri Peter menyebutkan, registrasi obat hewan membutuhkan waktu yang sangat lama hingga 2 tahun. Proses registrasi juga sulit di-trace (dilacak) untuk mengetahui sudah sejauh mana proses registrasi tersebut berjalan. Selain itu proses antriannya sangat panjang, berbarengan dengan antrian produk impor.
“Kalau pemerintah serius mendukung ekspor, mestinya ada jalur khusus untuk produk registrasi berorientasi ekspor. Jangan disamakan dengan antrian produk impor,” ujar Peter.
Kemudian untuk proses pembuatan Health Certificate (HC) dan Surat Keterangan Ekspor (SKE) saat ini memakan waktu yang sangat lama kurang lebih 35 hari (2016) dan 45 hari (2017). Padahal negara lain cukup sehari atau beberapa jam saja.
“Sekarang kabarnya dengan penerapan e-billing bisa tujuh hari. Kalau bisa proses e-billing dapat dipercepat. Dan untuk tanda tangan HC serta SKE sebenarnya tidak perlu sampai Dirjen. Yang membuat lama adalah karena yang tandatangan harus Dirjen padahal negara tujuan ekspor tidak mempermasalahkan siapa yang tanda tangan, yang penting resmi dari Kementerian,” ucapnya.
Masih dalam permasalahan yang sama, untuk tarif layanan ekspor yang diatur dalam PP No. 35/2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Pertanian, mengatur bahwa jasa sertifikasi obat hewan, yakni SK Impor bahan baku dikenakan tarif Rp 100.000 per produk, SK Ekspor (Certificate of Free Sale, Certificate of the Origin, Certificate of Pharmaceutical Product, HC) dengan tarif Rp 100.000 per produk dan tarif Pre-Shipment Rp 830.000 per orang (minimal dua orang).
“Harusnya ada insentif untuk produk ekspor atau gratis. Kalau toh ada tarif, jangan per produk tapi per surat. Saat ini kalau ekspor 10 produk, walaupun suratnya satu lembar, bayarnya 10 kali tarif yang berlaku. Kami mengharapkan segala tarif untuk ekspor dihapus saja. Semuanya gratis. Ini sangat wajar karena eksporkan menghasilkan devisa,” tambahnya.
Masih soal yang sama, Peter juga menyoroti tentang proses karantina oleh Badan Karantina Pertanian sebelum pengiriman barang. Ia menilai adanya double check, karena di negara tujuan ekspor kembali dikarantina. Menurutnya lebih baik tidak perlu dilakukan proses karantina. Mestinya yang dikarantina adalah barang yang akan masuk ke Indonesia. Kalau yang mau dieksporkan yang akan menjalankan fungsi karantina adalah negara tujuan. “Sebenarnya apa fungsi Karantina untuk ekspor? Kan ini menghambat pengusaha yang sudah atau akan mengembangkan ekspor,” tambahnya.

Prosedur di Negara Tujuan 
Peter memaparkan, secara umum sudah menjadi prosedur wajib sebelum melakukan registrasi untuk melengkapi format dokumen registrasi seperti CTD (Common Technical Documents) format dan GMP inspection/onsite inspection. Namun ada beberapa variasi  kebijakan registrasi obat hewan di berbagai negara yang perlu dipahami oleh perusahaan yang akan ekspor. Misalnya di Malaysia, sudah melakukan registrasi online dari badan registrasi. Lembaga yang mengurus obat hewan bermacam-macam. Untuk produk antibiotik melalui Biro Pengawalan Farmaseutikal Kerajaan, vitamin melalui Departement of Veterinary Service) dan vaksin melalui Ministry of Health. Kemudian di Bangladesh yang menetapkan produk impor harus sudah ter-registrasi minimal di satu negara maju.
Sementara di Filipina, India dan Nepal membuat kebijakan larangan impor vaksin asal Indonesia, oleh karena Indonesia masuk dalam daftar OIE (World Organisation for Animal Health) sebagai negara endemik flu burung (Avian Influenza/AI). Peter mengharapkan pemerintah bisa melakukan lobby ke negara tersebut agar kebijakannya diubah.
Peter menjelaskan, kendala lain yakni soal kebijakan impor di negara ekspor, misalnya bea masuk produk impor yang lumayan cukup tinggi sekitar 20-30%, terutama di negara-negara Afrika. “Karena itu, saya usul agar ada kerjasama atau negosiasi antar pemerintah untuk melakukan tax reduce,” katanya.
Kendati begitu, Peter berterima kasih kepada Kementerian Perdagangan yang belakangan ini cukup membantu promosi produk obat hewan Indonesia di luar negeri, melalui pameran dan forum lainnya. Ini harus terus ditingkatkan. (RBS/BS/WK)

LUAR BIASA, NILAI EKSPOR OBAT HEWAN INDONESIA CAPAI RP. 26,35 TRILIUN


JAKARTA, 5 April 2017. Pada era pemerintahan Jokowi-JK, yaitu tahun 2015 dan 2016 Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) telah mengeluarkan rekomendasi ekspor obat hewan senilai Rp 26,357 Triliun.
Dalam keterangan persnya, Dirjen PKH Drh. I Ketut Diarmita, MP menyebutkan, ekspor obat hewan Indonesia sebesar Rp 7,843 triliun berhasil menembus pasar ekspor pada tahun 2015, dan dengan dukungan yang disyaratkan pengimpor untuk jaminan mutu dan  keamanan obat hewan, sehingga ekspor pada tahun 2016 naik menjadi sebesar Rp 18,514 triliun. “Artinya terjadi peningkatan nilai ekspor obat hewan sebesar Rp 10,671 triliun atau terjadi peningkatan sebesar 136%,” ungkap Dirjen PKH tersebut.
“Besarnya jumlah ekspor obat hewan tahun 2016 adalah sebesar 459.902 ton, sedangkan nilai ekspor tahun 2015 adalah sebesar 211.631 ton,” kata I Ketut Diarmita.
“Angka ini menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mendukung ekspor obat hewan dengan kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 248,271 ton (46%) dibandingkan dengan jumlah impor obat hewan tahun 2016 adalah sebesar 297.468 ton, sedangkan nilai impor tahun 2015 adalah sebesar 395.656 ton, artinya terjadi penurunan impor sediaan farmasetik dan premik sebesar 68,1 ton (17,5 %),” ungkap Dirjen PKH menjelaskan.
Lebih lanjut I Ketut Diarmita menyampaikan, peningkatan nilai ekspor ini tentunya sangat menggembirakan bagi dunia usaha di bidang obat hewan dan menunjukkan bahwa obat hewan mempunyai kontribusi yang besar dalam peningkatan devisa negara, sekaligus merupakan keberhasilan yang luar biasa dari Kementerian Pertanian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat terutama di bidang obat hewan.
“Saat ini Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor berbagai komoditi strategis dalam rangka meningkatkan perekonomian negara. Ternyata obat hewan ini mempunyai kontribusi yang luar biasa. Nilai ekspor bahan pangan dan obat hewan saat ini didominasi oleh obat hewan dimana obat hewan menjadi primadona ekspor yang mendatangkan devisa negara yang cukup besar,” ungkap I Ketut Diarmita.
Menurut I Ketut Diarmita, pada era perdagangan bebas sekarang ini dan seiring pesatnya perkembangan teknologi obat hewan, menyebabkan Indonesia menghadapi tantangan untuk meningkatkan produksi dan ekspor obat hewan. Selain itu juga, dengan diterapkannya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) pada tahun 2016, Pemerintah juga terus berusaha untuk meningkatkan jumlah Produsen Obat Hewan dalam negeri untuk tercapainya pemenuhan kebutuhan obat hewan baik di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri.

Kesibukan karyawan di salah satu pabrik obat hewan
yang telah menerapkan CPOHB.
Menjamin Mutu Lewat CPOHB
Lebih lanjut disampaikan, Kementerian Pertanian melalui Ditjen PKH berperan penting dalam memberikan jaminan mutu obat hewan yang akan diekspor ke luar negeri. Pemerintah selaku regulator tidak hanya melakukan peningkatan jumlah dari segi kuantitas saja, akan tetapi juga kualitas mutu produk dengan melakukan pengawasan obat hewan dari hulu yakni produsen obat hewan, distributor obat hewan sampai dengan ke hilir yakni para peternak selaku pengguna produk obat hewan.
“Untuk itu, Ditjen PKH selaku regulator terus berupaya untuk meningkatkan standar penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) kepada para produsen, sehingga kualitas mutu obat hewan yang dihasilkan sesuai dengan standar Good Manufacturing Practices (GMP) Internasional, dan mampu berdaya saing dalam perdagangan internasional,” kata I Ketut Diarmita.
“CPOHB merupakan salah satu rambu pengaman dan sebagai salah satu bentuk sistem pengawasan kualitas secara dini sejak produksi. Dengan menerapkan CPOHB akan diperoleh jaminan mutu obat hewan sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing obat hewan produk dalam negeri,” tuturnya menambahkan.
Hasil yang telah dicapai dari penerapan CPOHB pada dua tahun terakhir (2015 - 2016) yaitu adanya perkembangan nilai ekspor di Kementerian Pertanian yang cukup signifikan, khususnya di Ditjen PKH yang berasal dari obat hewan. Hal ini menunjukkan bahwa produk obat hewan Indonesia memiliki kemampuan daya saing yang tinggi sehingga produk tersebut dapat diterima atau diekspor ke luar negeri.

Obat Hewan Harus Terdaftar
Selanjutnya dijelaskan oleh I ketut Diarmita, untuk menjamin mutu obat hewan yang beredar dalam masyarakat dan memudahkan dalam pengawasannya, maka obat hewan yang akan diproduksi dan diedarkan harus didaftar dan diuji mutunya. “Semua obat hewan yang akan diedarkan di dalam wilayah Republik Indonesia harus mendapatkan nomor pendaftaran (Registration Number) yang salah satu komponen penting dalam pemberian jaminan mutu dan keamanan terhadap ekspor obat hewan,” ujar I Ketut Diarmita.
Menurut Drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa (Direktur Kesehatan Hewan), untuk mendapatkan nomor pendaftaran semua obat hewan yang akan diedarkan harus memenuhi persyaratan minimal pengujian mutu obat hewan. Pengujian mutu obat hewan dilakukan di Balai Besar Besar Pengujian Mutu Obat Hewan (BBPMSOH), Gunungsindur Bogor. Selanjutnya, BBPMSOH akan mengeluarkan Sertifikat Hasil Uji yang merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan mutu dan  keamanan obat hewan.
Fadjar Sumping Tjatur Rasa menjelaskan, BBPMSOH oleh negara lain dikenal sebagai National Veterinary Drug Assay Laboratory disingkat NVDAL adalah satu-satunya institusi pemerintah Indonesia yang mempunyai wewenang melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan yang beredar di Indonesia. Selain itu, BBPMSOH juga berperan dalam pembinaan teknis kepada produsen obat hewan untuk meningkatkan jaminan mutu obat hewan produksi dalam negeri.
“Saat ini, peran Indonesia semakin penting dalam percaturan jaminan mutu obat hewan di kawasan Asia Tenggara. Hal ini karena BBPMSOH merupakan salah satu unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Ditjen PKH Kementan telah ditunjuk sebagai focal point untuk vaksin hewan di tingkat ASEAN sejak tahun 1993” ungkap Fadjar.  Lebih lanjut disampaikan, sebagai lembaga pengujian mutu obat hewan, BBPMSOH telah diakreditasi di tingkat nasional sejak Juni 1998 dan tingkat ASEAN sejak Agustus 2002.
Selanjutnya setelah memperperoleh Sertifikat Hasil Uji tersebut Ditjen PKH melalui Direktorat Kesehatan Hewan akan mengeluarkan Registration Number (Nomor Pendaftaran) Obat Hewan. Keberadaan Sertifikat Hasil Uji dan  Registration Number bagi unit usaha obat hewan menjadi sangat penting dalam melakukan eksportasi.
Direktur Keswan ini kembali menegaskan, jaminan mutu obat hewan dari Pemerintah sangat diperlukan dalam rangka peningkatan ekspor obat hewan Indonesia ke manca negara. Dalam kurun waktu satu tahun ini nyatanya pemerintah telah berhasil meningkatkan jumlah produsen obat hewan, sehingga peningkatan jumlah produsen obat hewan dalam negeri berhasil menekan jumlah impor obat hewan secara signifikan. Hal ini terlihat dari penurunan angka impor obat hewan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 tercatat 90 perusahaan dimana 79 perusahaan merupakan Perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 11 perusahaan merupakan Perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing).
Berdasarkan data rekomendasi ekspor dari Direktorat Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementerian Pertanian, memperlihatkan bahwa produsen obat hewan dalam negeri telah berhasil menembus pasar Internasional, tidak hanya ekspor ke negara berkembang, tetapi telah menembus negara maju seperti negara bagian Eropa dan Amerika.
Pada tahun 2016 Indonesia telah berhasil melakukan ekspor obat hewan ke 57 negara, yang tersebar di 4 benua yaitu Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Negara bagian Eropa seperti Belgia, Bulgaria, Croatia, Perancis, Jerman, Hungaria, Italia, Lithuania, Belanda, Norwegia, Polandia, Serbia, Slovenia, Rumania, Yunani, Albania, Georgia, Yordania, Kroasia, Ukrania dan Rusia. Negara Amerika, Brazil, Guatemala dan Argentina merupakan empat negara di bagian benua Amerika yang berhasil ditembus. Untuk benua Afrika seperti Negara Mesir, Montenegro, Maroko, Tunisia, Nigeria, Tanzania, Ethiophia, Bhutan, Uganda, Zimbabwe, Zambia dan Kenya. Sedangkan di benua Asia Negara tujuan ekspor obat hewan kita adalah Jepang, China, India, kamboja, libanon, Malaysia, Nyanmar, Nepal, Pakistan, Bangladest, Fhilipina, Thailand, Timor Leste dan Vietnam, Arab Saudi, Iran, Irak, Lybia, Taiwan, Yaman dan Yordania.
Negara tujuan untuk eskpor sediaan-sediaan farmasetik antara lain China, Ethiophia dan Filiphina. Sedangkan sediaan biologik ke Negara Albania, Hongkong, Libanon, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Syria, Timor Leste dan Zambia. Selain itu adalah Negara tujuan untuk sediaan premix.
“Dari banyaknya negara yang berhasil kita tembus menunjukkan bahwa obat hewan Indonesia telah mampu bersaing dengan negara maju baik dari segi mutu, khasiat serta keamanannya. Target Pemerintah dalam hal ekspor obat hewan adalah di tahun 2026 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan obat hewan dalam negeri dengan target pengurangan jumlah impor sampai dengan kurang dari 30%,” ujar I Ketut Diarmita. (DitjenPKH/WK)

HARGA AYAM DAN TELUR JEBLOK, RIBUAN PETERNAK GERUDUK ISTANA NEGARA



JAKARTA, Kamis 30 Maret 2013. Ribuan peternak ayam pedaging (broiler) dan petelur (layer) hari ini menggelar aksi di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut pemerintah segera turun tangan membantu mengendalikan harga ayam dan telur yang terpuruk sejak tahun 2013.
Sugeng Wahyudi, Koordinator Sekretariat Bersama Aksi Penyelamatan Peternak Rakyat dan Perunggasan Nasional (PPRPN), mengatakan anjloknya harga ayam dan telur terjadi karena kelebihan pasokan di pasar, sehingga membuat harganya turun di bawah harga pokok produksi (HPP).
"Jika kondisi terpuruk ini terus berlanjut, bisa dipastikan peternak unggas rakyat yang merupakan aset bangsa dalam memproduksi pangan protein hewani yang terjangkau akan hilang dari Indonesia, akibat usaha peternak unggas rakyat bangkrut," kata Sugeng dalam keterangannya kepada wartawan Infovet di sela aksi.
Sedikitnya 3.000 peternak melakukan aksi damai menuntut
perhatian pemerintah atas anjloknya harga komoditas unggas. 
Dalam aksi ini, sedikitnya 3.000-an peternak ayam baik pedaging maupun petelur memadati lokasi yang dijadikan tempat aksi. "Ada sekitar 3.500 yang ikut aksi," tutur Sugeng.
Ribuan peternak ini berasal dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten. Sebagian lagi datang dari Kalimantan Selatan, Lampung, dan Sumatera Selatan. Mereka tiba di Lapangan IRTI Monas pada pukul 09.00 WIB.
Selain berdemo di depan Istana Merdeka, ribuan peternak ini akan berjalan kaki ke Kantor Kementerian Perekonomian di Lapangan Banteng, Kantor Kementerian Perdagangan di Tugu Tani, dan kemudian melanjutkan dengan menumpang bus untuk berdemo di Kementerian Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan sampai sore hari.

Perwakilan peternak diterima Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita
dan Dirjen PKH Kementan I Ketut Diarmita. 
Bawa Empat Tuntutan
Sehari sebelumnya sebanyak 20 Armada bus membawa 1.500 peternak ayam petelur dari Blitar menuju Jakarta. Mereka seluruhnya adalah peternak dari Malang, Madiun, Solo, Yogya, Bogor dan Bandung dengan tujuan untuk menemui Presiden Jokowi dan berdialog terkait makin terpuruknya kondisi peternak di Indonesia.
Rombongan yang direncanakan tiba Jakarta Kamis pagi (30/3/2017) ini membawa empat tuntutan. Yakni hentikan integritor, hentikan peredaran telur tunas di pasaran, sediakan jagung dengan harga murah dan stok cukup serta berlakukan larangan import tepung telur, sehingga pengusaha kue bisa membeli telur fresh dari para peternak.
"Kami mohon presiden menemui kami walaupun hanya sebentar. Biar tahu kondisi yang sebenarnya, jangan hanya menerima laporan baik-baik saja. Kami menuntut copot Mentan Amran yang membiarkan kami peternak makin sekarat," teriak koordinator aksi, Sukarman saat orasi jelang keberangkatan di depan SPBU Srengat Kab Blitar, Rabu (29/3/2017).
Menurut Sukarman, kinerja mereka hanya sebatas pencintraan. Ini terbukti dengan naiknya harga jagung sebagai pakan ternak di kisaran Rp 4.400 per kg.
"Kondisi kami makin parah dengan naiknya harga jagung. Belum lagi aturan yang masih memperbolehkan telur tunas dijual ke pasar 'becek' (Istilah pasar tradisional)," katanya.
Saat ini, jelas dia, harga telur di tingkat peternak masih dikisaran Rp 14.200/kg. Sementara berdasarkan hitungan matematis, peternak bisa mendapat keuntungan jika harga telur sama dengan 3,5 kali harga pakan.
"Jadi kalau diambil rata-rata harga pakan Rp 5 ribu/kg, peternak baru untung jika harga telur Rp 17.500/kg," tuturnya kepada wartawan.
Peternak menuntut dihentikannya budidaya yang dilakukan oleh perusahaan Integrator. 
Kerugian Rp 3.300/kg ini harus ditanggung peternak sejak Desember 2016, hingga banyak dari peternak yang harus menggadaikan harta benda mereka.
"Ini sudah banyak yang sertifikat rumah, tanah dan kandangnya yang masuk pegadaian dan bank. Buat nambah kredit modal biar mampu bertahan. Tapi kalau kondisi seperti ini belum berubah, bulan depan peternak sudah tidak bisa bayar cicilan, sekarat semua," tambah Rofi Yasifun, peternak ayam petelur.
Sebelumnya, pada 8 Maret 2016 lalu Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) diundang Kementan di Jakarta untuk forum grup diskusi membahas revisi Permentan No 61 tahun 2016.
Saat itu disepakati bahwa pembagian DOC (Day Old Chick: bibit ayam petelur) untuk layer yang keluar dari breding farm integrated. Peternak minta DOC 2% untuk internal integrated test farm, dan 98% untuk peternak rakyat atau UMKM koperasi. Namun sampai saat ini, ternyata aturan itu belum ditandatangani Kementan.
Sebelum berangkat, seorang peternak membanting beberapa telur sebagai simbol makin terpuruknya kondisi peternak, tidak hanya di Blitar namun seluruh Indonesia. Sekitar pukul 09.00 wib, satu per satu bus yang membawa rombongan peternak mulai berjalan untuk memulai perjalanan menuju Jakarta. (RBS,WK/detik.com)

BEGINI LANGKAH KEMENTAN ATASI GEJOLAK HARGA DAGING DAN TELUR AYAM

JAKARTA, 30 Maret 2017. Dalam rangka mengatasi permasalahan perunggasan di Indonesia saat ini, terutama terkait adanya penurunan harga ayam hidup (broiler dan jantan layer) serta telur dibawah harga pokok produksi, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017 tentang Pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer tanggal 29 Maret 2017.
“Ini merupakan kebijakan pemerintah di bagian hulu untuk menata bisnis perunggasan di Indonesia, dengan tujuan melakukan supply management (manajemen pasokan). Pemerintah bersama-sama dengan Tim Analisis dan Tim Asistensi perunggasan dengan mempertimbangkan kondisi pasar saat ini, maka perlu mengatur kembali pasokan bibit agar sesuai dengan naik turunnya permintaan, sehingga tidak terjadi over supply,” ungkap Dirjen PKH I Ketut Diarmita.
Dirjen PKH Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita
siap mendampingi pihak Istana menerima
perwakilan peternak yang berdemo siang ini Kamis, (30/3).  
Tujuh (7) langkah yang dilakukan Kementan untuk mengatasi masalah perunggasan di bagian hulu yaitu: 1). Penerbitan Permentan Nomor 61 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras; 2). Pembentukan Tim Analisis, Tim Asistensi dan Tim Pengawas dalam mendukung pelaksanaan Permentan Nomor 61 Tahun 2016; 3). Analisis daging dan telur ayam ras; 4). Pertemuan dengan stakeholder terkait dengan dinamika perunggasan nasional; 5). Pemantauan ke pelaku usaha terkait pelaksanaan Permentan Nomor 61 Tahun 2016 oleh Tim Pengawas Ayam Ras dalam kesiapan Sertifikasi Produk DOC FS; 6). Penerbitan Surat Edaran Dirjen PKH No. 02926/SE/PK.010/F/03/2017 tentang Pengurangan DOC FS Broiler, dan SE Dirjen PKH Nomor 03035/SE/PK.010/F/03/2017 perihal Pengurangan DOC FS Jantan Layer; 7). Penerbitan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017 untuk menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer.
Menurut I Ketut Diarmita, kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan harga Live Bird Broiler dan Live Bird Jantan Layer yang berada di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) dan berdasarkan rekomendasi dari Tim Analisis dan Tim Asistensi pada tanggal 22 Maret 2017, sehingga pada tanggal 24 Maret 2017 dikeluarkan Surat Edaran (SE) Dirjen PKH tentang Pengurangan DOC FS.
Kebijakan ini diputuskan dengan mempertimbangkan perhitungan potensi produksi DOC FS Broiler rata-rata 63.000.000 ekor/minggu, sehingga perlu dilakukan pengurangan produksi DOC FS Broiler sebanyak 5.000.000 ekor/minggu secara nasional dari Pembibit PS Broiler yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan suplai dan demand. Oleh karena itu, peningkatan populasi ayam ras harus diimbangi dengan seberapa besar kebutuhan atau permintaan untuk menghindari terjadinya penurunan harga akibat over supply daging ayam.
“Para Pembibit Parent Stock (PS) Broiler untuk melakukan pengurangan produksi DOC FS sebanyak 8% dari total produksi di perusahaan melalui setting telur tertunas. Selain itu juga,  Pembibit PS Jantan Layer untuk melakukan pengurangan produksi DOC FS Jantan Layer sebanyak 20% dari total produksi,” kata I Ketut Diarmita.
Perwakilan peternak yang diterima di Istana Negara. 
Lebih lanjut disampaikan, dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian tersebut juga disebutkan mengenai pengurangan FS layer dilakukan melalui afkir FS layer usia diatas 70 minggu pada peternak yang memiliki FS layer di atas 100.000 ekor.
“Pengurangan ini dilakukan secara bertahap mulai tanggal 27 Maret 2017 dan akan ditinjau kembali setiap 2 minggu oleh Ditjen PKH. Selanjutnya para pelaku usaha dalam melaksanakan pengurangan DOC FS Broiler dan DOC FS Jantan Layer serta FS Layer wajib menyampaikan laporannya secara tertulis kepada Dirjen PKH,” jelas I Ketut Diarmita.
“Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang melaporkan ke kami bahwa mereka sudah mulai melaksanakan himbauan seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Dirjen PKH. Beberapa perusahaan memanfaatkan dana CSR mereka dengan cara membagikan telur ke panti asuhan, panti jompo, pondok pesantren dan lain-lain,” tambahnya.
“Pengawasan akan dilakukan cross monitoring oleh Tim Analisis dan Pengawas Bibit Ternak Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya,” ungkap I Ketut Diarmita.
Langkah-langkah yang akan dilaksanakan Ditjen PKH selanjutnya, yaitu: 1) Revisi Permentan Nomor 61 Tahun 2016 dengan memasukkan pengaturan terhadap distribusi DOC Layer; 2). Pemantauan terhadap pengurangan produksi DOC FS di perusahaan PS di sentra produksi utama (hatchery); 3). Evaluasi dampak pengurangan produksi DOC FS; 4). Perbaikan data dari sumber data yang dapat dipertanggungjawabkan; 5). Penyusunan Road Map Ras Pedaging dan Petelur Tahun 2017-2019; 6). Pemetaan wilayah produksi dan distribusi Ayam Ras Pedaging dan petelur yang disinkronkan dengan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota terkait.
Sedangkan untuk di hilir, Ditjen PKH juga terus mendorong tumbuhnya usaha pemotongan, penyimpanan dan pengolahan. Sehingga hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar atau telur segar melainkan ayam beku, ayam olahan, tepung telur ataupun inovasi produk lainnya. “Hal ini mengingat pasar untuk komoditi unggas di Indonesia didominasi fresh commodity, sehingga produk mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply demand menjadi faktor penting penentu harga, sehingga intervensi pemerintah perlu dilakukan dari hulu hingga hilir”, tambah Dirjen PKH menjelaskan.
Lebih lanjut I Ketut Diarmita, MP menghimbau agar peternak memperbaiki manajemen pemeliharaan dan menerapkan prinsip-prinsip animal welfare, biosecurity dan treacibility. Selain itu juga perlu modernisasi supply chain from farm to table. I Ketut Diarmita menyampaikan, saat ini perusahaan yang memiliki Rumah Pemotongan Ayam (RPA) telah melakukan penyimpanan dengan fasilitas cold storage, hanya mampu menampung stock sebesar 15-20% dari total produksi.
“Peternak mandiri maupun integrator saat ini sama-sama menjual ayam hidup, maka keduanya terjebak pada commodity trap (jebakan komoditi dimana harga tergantung pada supply demand), sehingga jika harga jatuh, peternak dengan modal kecil yang umumnya tidak memiliki cadangan dana ketika harga jatuh akan mudah mengalami kebangkrutan,” ungkap I Ketut Diarmita.
Untuk itu, Pemerintah telah mewajibkan bagi pelaku usaha dengan kapasitas produksi produksi paling sedikit 300.000 (tiga ratus ribu) per minggu harus mempunyai Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) yang memiliki fasilitas rantai dingin. Sehingga angka penjualan ayam beku dapat ditingkatkan untuk mengurangi terjadinya commodity trap yang terjadi selama ini.
“Pemerintah melalui Ditjen PKH juga terus melakukan kampanye Ayam Dingin Segar yang sudah dilakukan di 20 titik untuk wilayah Jabodetabek saat ini,” kata I Ketut Diarmita. “Selain itu juga Ditjen PKH terus mendorong perusahaan integrator untuk membuka pasar di luar negeri. Para pelaku industri perunggasan diharapkan dapat menjual produk daging ayamnya ke pasar di luar negeri, sehingga pasar dalam negeri dapat diisi oleh peternakan unggas rakyat,” kata I Ketut Diarmita menambahkan.
Dirjen PKH menjelaskan, untuk daging ayam olahan kita juga sedang mengupayakan dan mendorong agar beberapa unit usaha pengolahan daging ayam yang telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Jepang agar segera merealisasikan ekspornya. “Hal ini tentunya diharapkan dapat menyusul keberhasilan Indonesia ekspor ke PNG saat ini, dan sejak tahun 2015 Indonesia juga telah mengekspor telur ayam tetas (Hatching Eggs) ke negara Myanmar,” ungkap I Ketut Diarmita.
“Jika semua sudah berjalan sebagaimana mestinya, cara ini tentunya akan efektif untuk mengurangi gejolak harga yang tidak wajar,” ujar I Ketut Diarmita. (wan)

AUDIENSI ASOHI DENGAN KEPALA BBPMSOH BARU

Foto bersama Pengurus ASOHI Nasional
dengan Kepala BBPMSOH Drh Sri Mukartini. 
BOGOR, Senin 13 Februari 2017. Bertempat di ruang kerja Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Pengurus ASOHI Nasional beraudiensi dengan Kepala BBPMSOH yang baru dilantik 20 Desember 2016, Drh. Sri Mukartini, M.App.Sc.
Pengurus ASOHI Nasional yang hadir diantaranya Ketua Umum ASOHI Drh. Irawati Fari, Wakil Sekretaris Jenderal Drh.  Forlin Tinora, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Drh. Andi Wijanarko, dan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Drh. Haryono Djatmiko. Kunjungan resmi ini merupakan lawatan pengurus ASOHI pertama sejak pergantian kepemimpinan di BBPMSOH.
Maksud dan tujuan kunjungan ini menurut Irawati Fari adalah untuk lebih saling mengenal antara ASOHI dengan Kepala BBPMSOH Drh Sri Mukartini dan menjalin silaturahmi. Karena ditilik dari sejarahnya BBPMSOH dan ASOHI merupakan mitra kerja dalam pembangunan bisnis obat hewan di Tanah Air.
Bahkan menurut Wasukjen ASOHI Drh. Forlin Tinora diskusi dengan Kepala BBPMSOH yang akrab disapa Tini ini sangat menarik. Banyak pemikiran baru dan pencerahan untuk pengembangan BBPMSOH dan ASOHI ke depan.
Kepala BBPMSOH Drh Sri Mukartini menyambut baik pertemuan ini. Sebagai pejabat baru dilingkungan baru ia mengaku perlu mendapat masukan dari berbagai pihak. Khususnya dari mitra kerja yang selama ini sudah menjalin kerjasama dengan BBPMSOH. Seraya pihaknya berharap kerjasama ini bisa terjalin lebih intens guna meningkatkan pelayanan institusi yang dipimpinnya. (wan).

CLOSED HOUSE DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG, Jumat 27 Januari 2017. Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, kini memiliki fasilitas teaching farm, yaitu kandang tertutup atau closed house. Closed house merupakan kandang ayam broiler tertutup yang menggunakan teknologi mumpuni serta peralatan kandang yang inovatif.  Pembuatan kandang tersebut merupakan hasil kerjasama Undip dengan PT. Medion.
Peresmian fasilitas teaching farm Closed House oleh perwakilan Undip dan Medion.
Closed house tersebut diresmikan oleh perwakilan Undip yaitu Rektor Undip Prof Yos Johan Utama dan Dekan Fakultas Peternakan dan Pertanian Prof Mukh Arifin, serta Peter Yan selaku Corporate Communication and M&D Director PT. Medion. “Kerjasama dengan Undip telah berlangsung lama. Banyak lulusan Undip yang hingga kini masih bekerja di PT. Medion,” ujar Peter.
Medion memang rutin melakukan edukasi peternak sebagai bagian dari misinya, yaitu meningkatkan pengetahuan peternak. Program ini sejalan dengan misi tersebut.Dengan dibangunnya closed house tersebut, diharapkan mahasiswa dapat memahami praktik langsung dunia peternakan, sehingga ketika lulus mahasiswa memiliki kompetensi dan akrab dengan teknologi mutakhir.
“Selain itu, 20% dari hasil yang didapatkan Undip akan dialokasikan untuk keperluan beasiswa dan kegiatan lainnya yang menunjang pendidikan. Hal tersebut akan menunjang perkembangan industri peternakan Indonesia di masa yang akan datang,” pungkas Peter Yan. (wan)

1 MARET 2017, PENDAFTARAN OBAT HEWAN HARUS VIA ONLINE

JAKARTA, Selasa 21 Februari 2017. Melalui surat resminya bernomor 21003/PK.350/F.4/02/2017 Direktur Kesehatan Hewan memberitahukan kepada segenap pelaku bisnis obat hewan untuk mulai melakukan proses pendaftaran obat hewan via online.
Hal ini dilakukan merujuk pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 1992 terkait obat hewan serta dalam rangka meningkatkan peran pelayanan di bidang obat hewan diperlukan peningkatan kapasitas sistem registrasi obat hewan secara online melalui website www.obathewan.ditjennak.pertanian.go.id.
Mulai tanggal 20-28 Februari 2017 diharapkan kepada seluruh pelaku usaha obat hewan baik produsen, importir, dan eksportir untuk melakukan pendaftaran akun melalui website tersebut.  Selanjutnya para pelaku usaha juga dihimbau agar segera menggunggah semua dokumen yang terakit dengan pendaftaran obat hewan untuk yang sudah mendapatkan nomor pendaftaran obat hewan juga melalui website tersebut.
Selain itu sejak tanggal 1 Maret 2017, seluruh pendaftaran obat hewan, Sertifikasi Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB), pelaporan obat hewan, semua harus dilakukan secara online melalui website tersebut. Untuk informasi lebih lanjut terkait website aplikasi obat hewan secara online dapat menghubungi no telp/fax (021) 7812938 atau alamat email pohkeswan.pkh@yahoo.com. (wan)

INDONESIA KENDALIKAN AMR DENGAN KONSEP “ONE HEALTH”

JAKARTA, Kamis 16 Maret 2017. Bertempat di Hotel Pullman Jakarta, FAO ECTAD Indonesia dan USAID bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan Seminar One Health.
Foto bersama para pembicara seminar dan tamu undangan kehormatan.
Seminar ini ditujukan untuk memperkuat kerjasama dan komitmen lintas pemangku kepentingan dalam mengatasi ancaman global terkait resistensi antimikroba di bidang pertanian, produksi ternak, kesehatan manusia dan akuakultur, serta bertepatan dengan kunjungan Asisten Direktur Jenderal dan Perwakilan Regional FAO untuk Asia dan Pasifik.
Hadir dalam acara ini Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita dan Asisten Direktur Jenderal, Wakil Duta Besar AS Brian McFeeter dan Perwakilan Asia-Pasifik, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Ms. Kundhavi Kadiresan.
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita menjelaskan bahwa ancaman Resistensi Antimikroba (AMR) menjadi ancaman tanpa mengenal batas-batas geografis, dan berdampak pada kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan lingkungan. Selain itu, ancaman Resistensi Antimikroba juga dipandang sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor perternakan, pertanian dan perikanan. Sebab, pertumbuhan populasi dunia, globalisasi dan degradasi lingkungan yang sangat cepat, ancaman-ancaman terhadap kesehatan manusia menjadi semakin kompleks dan tidak dapat dipecahkan oleh hanya satu sektor saja.
Menurut Ketut, untuk mengendalikan ancaman Resistensi Antimikroba, diperlukan Konsep One Health. Konsep ini memastikan seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Pendekatan One Health mencakup pemikiran bahwa permasalahan yang memberikan dampak kepada kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dapat diselesaikan secara efektif melalui komunikasi dan kolaborasi yang lebih baik diantara para pemangku kepentingan dari berbagai disiplin ilmu dan kelembagaan, menuju pada masyarakat yang lebih sehat dan bahagia.
"AMR dapat ditangani secara sangat efektif melalui pendekatan One Health. Penggunaan antibiotik secara tidak hati-hati baik pada kesehatan manusia maupun agrikultur hanya dapat dikurangi melalui tindakan yang dilakukan bersama-sama secara kolaboratif oleh seluruh sektor terkait: kesehatan manusia, hewan, ikan termasuk juga budidaya air, dan ekosistem serta kesehatan lingkungan," ujar Ketut.
Lebih lanjut, Ketut mengungkapkan tindakan-tindakan nyata dalam bidang AMR yang akan dan telah dilaksanakan oleh Kementan, melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan antara lain pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Pertanian, melalui Keputusan Menteri Pertanian. Kemudian, pembuatan draf Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia (PERMENTAN) tentang Pengendalian Resistensi Antimikroba di Peternakan dan Kesehatan Hewan.
"Selain itu, Keikutsertaan Kementrian Pertanian bersama dengan Kementerian Kesehatan dalam penulisan draf Rencana Aksi Nasional mengenai AMR," imbuh Ketut.
Sementara itu, Asisten Direktur Jenderal dan Perwakilan Asia-Pasifik, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Ms. Kundhavi Kadiresan mengucapkan FAO sepenuhnya berkomitmen pada pendekatan One Health. Saat ini FAO sedang mengembangkan inisiatif One Health di tingkat regional; memperluas cakupan penanganannya menjadi tidak hanya pada penyakit zoonosis endemik dan emerging, AMR dan isu keamanan makanan.
Acara ini juga dihadiri berbagai perwakilan asosiasi dan organisasi profesi bidang peternakan, termasuk ASOHI. (wan)

PROGRAM FARMER2FARMER, TINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETERNAK SAPI PERAH

PT Frisian Flag Indonesia (FFI) melanjutkan program Farmer2Farmer tahun ini sebagai bentuk kontribusi perusahaan untuk memajukan industri peternakan sapi perah di Indonesia. Komitmen tersebut terbukti efektif meningkatkan kesejahteraan peternak sapi perah lokal binaan Farmer2Farmer yang mencapai 20% dalam kurun waktu satu tahun saja.
Foto bersama usai pemberian hadiah kepada para peserta terbaik Program Farmer2Farmer.
Program Farmer2Farmer telah diselenggarakan sejak 2013 kemarin dan telah menjangkau total 899 peternak sapi perah lokal yang akan terus ditingkatkan. Program ini mengajarkan pelatihan sekaligus pengawasan dan pemantauan intensif dalam menerapkan tata kelola dan tata laksana peternakan dengan baik. Materi pelatihan meliputi pakan hewan, pemeliharaan pedet, praktik pemerahan susu yang higienis, perawatan mesin pemerah susu, serta desain kandang ternak yang sesuai.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian pada Desember 2016, akan terus terjadi peningkatan konsumsi susu di Indonesia hingga mencapai 4,1% peningkatan setiap tahunnya selama 2017 hingga 2020, atau akan mencapai sekitar 1,14 juta ton konsumsi susu di tahun 2020. Sementara itu, peningkatan produksi susu lokal diperkirakan hanya mencapai 3% saja tiap tahunnya, ini berarti akan terjadi kekurangan pasokan susu jika tidak didukung program di sektor usaha sapi perah.
“Fakta ini lah yang mendorong FFI untuk mendukung pemerintah dalam upaya penyediaan suplai susu melalui program Farmer2Farmer ini. Program kami juga menunjukkan hasil positif terhadap peningkatan kesejahteraan peternak sapi perah lokal dengan pelatihan yang kami berikan kepada mereka selama beberapa tahun terakhir ini,” ujar Direktur Operasional FFI, Jan Wegenaar, dalam sambutan acara “Ngariung Bersama Farmer2Farmer 2017” yang digelar di Jakarta, Jumat, (24/3).
Sementara, Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Dedi Setiadi, memberikan apresiasinya terhadap keberhasilan program tersebut. “Kami telah melihat adanya peningkatan dari tata kelola dan tata laksana peternakan yang baik diantara para anggota peternak sapi perah lokal. FFI telah memfasilitasi sesi diskusi dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dari para ahli, dan bahkan membawa peternak binaan FrieslandCampina dari Belanda untuk memfasilitasi sesi tersebut kepada para peternak kami. Kami optimis ke depan banyak peternak yang mulai menjalankan tata kelola dan tata laksana peternakan yang baik saat mereka melihat peternak lain sudah mulai sukses,” kata Dedi.
Salah satu partisipan Program Farmer2Farmer dari KPSBU (Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara) Lembang, Nenih, yang juga mendapat juara tiga nominasi peserta terbaik Farmer2Farmer 2016, mengungkapkan, bahwa program ini banyak memberikan pengetahuan yang belum banyak diketahui peternak “Saya tidak pernah menyangka bahwa menjalankan tata kelola dan tata laksana peternakan yang baik akan berkontribusi secara signifikan terhadap penghasilan kami. Selama ini kami hanya menjalankan sistem peternakan tradisional, sekarang kami memahami bagaimana menjalankan tata kelola dan tata laksana peternakan yang baik, dan kami siap untuk semakin memperbaiki peternakan kami yang nantinya dapat meningkatkan kondisi perekonomian kami,” ungkap Nenih.
Sebagai informasi, Program Farmer2Farmer diselenggarakan melalui kerjasama antara FrieslandCampina dan FFI, serta dukungan penuh dari pemerintah Belanda melalui kerjasama pemerintah dan swasta dari Kementerian Luar Negeri Belanda, yakni FDOV (Faciliteit Duurzam Ondernemen en Voedselzekerheid) yang dimulai sejak 2013. Melalui FDOV, FFI bersama dengan para mitra (Wageningen University, The Friesian, Agriterra, Koperasi Lembang dan Pangalengan) mengambil kesempatan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan di tingkat peternakan secara berkelanjutan. Implementasi dari Program Farmer2Farmer ini diharapkan dapat menjadi solusi tantangan ekonomi peternak sapi perah lokal di Indonesia. (rbs)

SEMINAR ASOHI : DAMPAK LA NINA TERHADAP KESEHATAN UNGGAS

Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) akan kembali menyelenggarakan seminar nasional kesehatan unggas, yang merupakan seminar yang membahas masalah kesehatan unggas yang aktual. Kali ini seminar mengangkat tema "Dampak La Nina Terhadap Kesehata Unggas di Indonesia".

SEGERA DAPATKAN BUKU BIOSEKURITI PETERNAKAN UNGGAS

Kita ketahui bersama Biosekuriti merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam suksesnya budidaya peternakan, oleh karena itu para pelaku budidaya peternakan maupun para petugas lapangan dari perusahaan sarana produksi peternakan (perusahaan obat hewan, pakan, bibit, kemitraan), serta  petugas penyuluh dari pemerintah perlu terus meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya mengenai biosekuriti mulai dari konsep hingga pelaksanaannya.
Prinsip dalam pencegahan dan pengendalian penyakit di dalam sebuah industri peternakan unggas adalah dengan cara penerapan manajemen flock, biosekuriti, tindakan vaksinasi, dan sanitasi. Sampai saat ini, biosekuriti masih menjadi salah satu metode terbaik untuk meminimalisir mikroorganisme di dalam peternakan. Dengan menyusun program biosekuriti, kita tidak hanya menciptakan lingkungan peternakan yang sehat namun juga dapat mencegah penyebaran penyakit zoonosis dan menjamin kesehatan masyarakat.
Kebutuhan informasi dalam bentuk buku seperti Buku Biosekuriti Peternakan Unggas ini diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih lengkap mengenai manfaat biosekuriti dan bagaimana implementasinya di lapangan. Diharapkan para peternak, penyuluh peternakan, mahasiswa, tenaga lapangan dari perusahaan sarana produksi peternakan dapat memanfaatkan buku ini sebagai salah satu referensi penting untuk menjalankan biosekuriti.
Buku setebal 128 halaman ini juga dilengkapi dengan katalog peralatan penunjang biosekuriti dan daftar obat antiseptik dan desinfektan. Sehingga buku ini sangat layak menjadi salah satu referensi penting untuk menjalankan biosekuriti di farm anda!
Segera dapatkan bukunya melalui GITAPustaka (Infovet Group) di no kontak 082311962430 atau 08568800752. (wan)

LAHIRNYA “GATOT KACA” SAPI BELGIAN BLUE DI INDONESIA


Jakarta, Rabu 15 Februari 2017. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) melalui salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawahnya, yaitu Balai Embrio Transfer (BET) Cipelang telah berhasil memproduksi sapi Belgian Blue dari hasil pengembangan teknologi TE (Transfer Embryo).
“Kita harapkan dengan lahirnya sapi Belgian Bue ini, maka akan dapat membantu upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia melalui peningkatan mutu genetik ternak,” ungkap Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Ditjen PKH, Dr. Ir. Surachman Suwardi.
Lebih lanjut Surachman Suwardi menyampaikan, penggunaan semen beku Belgian Blue dan TE (Transfer Embryo) sudah dilakukan sejak tahun 2016.  “Saat ini telah lahir 7 ekor sapi Belgian Blue di BET Cipelang, baik hasil persilangan antara semen beku Belgian Blue maupun hasil TE,” ungkapnya.
Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Dr. Ir. Surachman Suwardi
berfoto dengan Gatot Kaca. 
Lebih lanjut disampaikan bahwa persilangan dilakukan antara semen beku Belgian Blue dengan sapi Frisian Holstein  (FH) dan sapi Simmental. Sapi-sapi yang lahir dari hasil persilangan sapi Belgian Blue dengan sapi FH maupun sapi Simmental mampu lahir secara normal dengan berat lahir berkisar antara 43-55 kg, dengan rata-rata berat lahir 46 kg.
Kepala BET Cipelang Drh. Oloan Parlindungan, MP menyampaikan, sapi Belgian Blue merupakan hasil TE pertama di BET Cipelang berjenis kelamin jantan lahir pada tanggal 30 Januari 2017, dengan berat lahir 62,5 kg dan warna bulu hitam (pie-noire).  Ukuran pedet yang besar merupakan alasan sapi ini lahir dengan bantuan Caesar. Secio Caesaria merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk membantu kelahiran pedet yang mungkin disebabkan oleh besarnya ukuran pedet maupun ukuran tulang pelvis induk yang sempit.
Oloan menjelaskan, sapi Belgian Blue ini merupakan keturunan dari Induk Fripoulle De Cras Avernas (BE 6-26472629) dan Pejantan Adajio De Bray (BE 2-55530745). Fripoulle De Cras Avernas (BE 6-26472629) merupakan sapi BB betina dengan berat badan mencapai 1.023 kg, tinggi 139cm (Withblauw,2015), dengan warna bulu hitam (pie-noire).  Sedangkan Adajio De Bray (BE 2-55530745) adalah pejantan dengan berat badan mencapai 1.130 kg dan tinggi 145 cm (http://www.netbbg.com/netbbg.site/index.php/bull/adajio-de-bray/).  Adajio De Bray (BE 2-55530745) dinyatakan bebas dari 7 kelainan genetik/genetic defect diantaranya adalah congenital muscular dystonia 1, congenital muscular dystonia 2, crooked tail syndrome, dwarfism, prolonged gestation, gingival hamartoma and osteoporosis serta arthrogryposis and cleft palate.
Drh. Oloan Parlindungan, MP bersama
pedet hasil persilangan BB dan Simmental.
Pada kelahiran pertama sapi Belgian Blue hasil TE ini, Dr. Surachman Suwardi langsung memberikan nama yaitu Gatot Kaca.  “Gatot Kaca merupakan simbol pewayangan sebagai tokoh yang sakti mandraguna sehingga dijuluki dengan ‘otot kawat tulang besi’ karena kesaktiannya,” ungkapnya menjelaskan.
“Diharapkan sapi Belgian Blue sang Gatot Kaca akan mampu menghasilkan keturunan dengan mutu genetik unggul dan memberikan andil yang besar bagi pemenuhan kebutuhan daging nasional,” tambahnya.
Drh. Oloan Parlindungan, MP menyampaikan, Gatot Kaca merupakan kebanggaan dan persembahan BET Cipelang untuk Balai Inseminasi Buatan (BIB) Nasional Indonesia dalam upaya pemenuhan bibit unggul dan peningkatan mutu genetik ternak dalam rangka untuk mewujudkan swasembada daging. “Untuk kedepannya, semen sapi Belgian Blue akan diproduksi oleh BIB Nasional dan semennya akan didistribusikan secara terbatas sesuai dengan rekomendasi dari Ditjen PKH Kementan” tutupnya. (wan)

14 Tahun Vakum, Charoen Pokphand Ekspor Perdana Ayam Olahan ke Papua Nugini

Serang, Banten – Senin, 13 Maret 2017. Setelah 14 tahun vakum ekspor, Indonesia melalui PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. kembali melakukan ekspor perdana produk ayam olahan ke Papua Nugini (PNG) sebanyak satu kontainer dengan berat bersih 6 ton senilai US$ 40.000. Pelepasan ekspor ini dilakukan di pabrik PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) yang berlokasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Provinsi Banten.
Presiden Komisaris PT CPI, T Hadi Gunawan mengatakan, aksi korporasi mengekspor ini baru dilakukan lagi sejak 14 tahun lalu, tepatnya tahun 2003, dikarenakan adanya larangan ekspor produk unggas sejak merebaknya flu burung di Indonesia.
"Saat ini kami kembali bisa mengekspor ayam olahan setelah melalui berbagai persyaratan ketat yang ditetapkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian. Ekspor kami mulai sedikit dulu ke Papua Nugini. Tidak menutup kemungkinan ekspor juga akan dilakukan ke negara-negara di Asia lainnya dan Timur Tengah, serta Eropa," ungkap Hadi di sela acara pelepasan ekspor perdana.
Hadi mengaku lega karena sejak maraknya flu burung di Indonesia pada tahun 2003 yang lalu, Indonesia mengalami kesulitan dalam melakukan langkah ekspor olahan ayam. "Kita menunggu sangat lama sekitar 14 tahun dan sekarang baru ada kesempatan langkah ekspor kembali. Kami yakin akan bisa merambah pasar internasional," imbuhnya.
Sambutan Presiden Komisaris PT CPI T. Hadi Gunawan. 
Dia menambahkan Pemerintah Jepang juga telah memberikan sinyal kepada usaha pengolahan daging ayam di Indonesia untuk merealisasikan ekspor daging ayam olahan ke negeri Sakura. "Kendati demikian, ada sejumlah persyaratan yang harus dilalui mengingat Indonesia masih belum bebas penyakit AI (Avian Influenza) atau flu burung," kata Hadi.
Dirkeswan Fadjar Sumping Tjaturasa saat memberikan
Sertifikat Veteriner kepada perwakilan dari CPI.  
Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan), Fadjar Sumping Tjaturasa menambahkan, Charoen Pokphand telah memperoleh Sertifikasi NKV (Nomor Kontrol Veteriner) sebagai bentuk penjaminan pemerintah terhadap keamanan produk hewan. Sertifikasi NKV ini menjadi suatu keharusan bagi setiap unit usaha yang akan mengekspor produk hewan.
Sementara itu Staf Ahli Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional Menteri Pertanian, Mat Syukur mewakili Menteri Pertanian mengatakan, ketersediaan ayam pedaging di Indonesia selalu surplus, sehingga bisa memenuhi berapapun jumlah permintaan pasar.
"Potensi kita sangat besar. Karena itu, salah satu caranya adalah mendorong perusahaan untuk melakukan ekspor ke luar negeri. Tak hanya dijual dalam keadaan segar, tapi juga diolah seperti produk yang diekspor PT CPI ini," ujarnya.
Mat Syukur melanjutkan, “Kita terus dorong pelaku usaha perunggasan untuk dapat berdaya saing dan meningkatkan ekspornya. Hal ini tentunya selain untuk meningkatkan GDP (Gross Domestic Product) Indonesia, juga sekaligus dapat menyelesaikan kendala yang dihadapi oleh masyarakat perunggasan di Indonesia saat ini yaitu harga ayam hidup dan daging ayam yang sangat berfluktuasi. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengendalikan harga ini adalah dengan membuka pasar di luar negeri. Kita harapkan para pelaku industri perunggasan dapat menjual produk daging ayamnya ke pasar di luar negeri, sehingga pasar dalam negeri dapat diisi oleh peternakan unggas rakyat,”ungkapnya.
Dr Mat Syukur secara simbolis melepas keberangkatan
truk kontainer yang membawa produk olahan PT CPI. 
Lebih lanjut, kata Mat Syukur, “Sertifikasi NKV merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan keamanan pangan, baik dalam aspek higiene-sanitasi pada unit usaha produk asal hewan. Sertifikat Veteriner diterbitkan dalam bentuk Veterinary Certificate, Sanitary Certificate, dan Health Certificate yang diterbitkan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Cq Kesehatan Masyarakat Veteriner."
Ia menambahkan, ayam yang akan dipotong dan diolah Charoen Pokphand berasal dari peternakan ayam yang telah menerapkan prinsip-prinsip animal welfare dan sistem kompartemen bebas AI, sehingga Kementan melalui Ditjen PKH telah mengeluarkan sertifikat kompartemen bebas AI.
"Untuk daging ayam olahan, kita juga sedang mengupayakan dan mendorong agar beberapa unit usaha pengolahan daging ayam yang memperoleh persetujuan dari pemerintah Jepang agar segera merealisasikan," imbuhnya.
Adapun unit usaha ayam olahan yang sudah mendapat sinyal dari Jepang antara lain PT Malindo Food Delight Plant Bekasi, PT So Good Food Plant Cikupa, PT Charoen Pokphand Plant Serang, dan PT Bellfood Plant Gunung Putri.
"Untuk daging ayam olahan kita sedang mengupayakan agar beberapa unit usaha dapat kembali memperoleh persetujuan dari Pemerintah Jepang dan segera merealisasikan ekspor daging ayam olahan ke Jepang. Sedangkan untuk susu cair, Indonesia saat ini sudah siap untuk mengekspor ke Myanmar," katanya.
Tim auditor dari Kementerian Pertanian Jepang telah datang ke Indonesia pada 5 Februari kemarin untuk melakukan audit surveilans terhadap keempat unit usaha yang telah disetujui tersebut. Ekspor akan dilakukan dalam bentuk daging ayam olahan yang telah melalui proses pemanasan dengan suhu lebih dari 70 derajat Celcius, selama lebih dari satu menit.
Sebagai informasi, sesuai protokol kesehatan hewan antara Kementerian Pertanian Indonesia dan Kementerian Pertanian Jepang, setiap unit usaha yang telah disetujui oleh Pemerintah Jepang harus dilakukan audit ulang (surveilans) setiap dua tahun sekali. Surveilans bertujuan untuk memastikan standar keamanan pangan yang dipersyaratkan oleh pemerintah Jepang dapat terus terpenuhi. (wan)

BALITBANGTAN LUNCURKAN VARIETAS AYAM LOKAL PEDAGING UNGGUL

Ciawi, Bogor - Balai Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) meluncurkan varietas Ayam Lokal Pedaging Unggul (SenSi-1 Agrinak) sebagai varian lanjutan dari Ayam KUB.
Varietas ayam lokal dari hasil permurnian ayam Sentul terseleksi ini menghasilkan ayam lokal pedaging yang memiliki keunggulan bobot tubuh dibandingkan ayam lokal non unggul (dengan bobot tubuh 800 - 1000 gr/umur 10 minggu) dan relatif lebih tahan terhadap penyakit flu burung dan tetelo.

Infovet - Gallus Tour & Travel, Selenggarakan Tour VIV Asia 2017 Bangkok

Pameran peternakan internasional terbesar di Asia, VIV ASIA 2017 , akan kembali digelar di Bangkok, Thailand pada tanggal 15-17 Maret 2017 yang berlokasi di hall pameran Bangkok International Trade & Exhibition Centre (BITEC).

Pameran ini menampilkan berbagai teknologi terkini di bidang industri unggas, babi, sapi, serta akuakultur. Bahkan tahun ini industri pet animal juga ikut bergabung dalam VIV Asia 2017. Pameran ini sangat bermanfaat sebagai referensi bagi peternak, pengusaha, dan pelaku usaha lainnya dalam industri peternakan dan Akuakultur baik di pusat maupun daerah untuk mengembangkan industri peternakan dan perikanan Indonesia.

Trouw Nutrition Selenggarakan Trouw Paper Competittion

Berani mencoba hal baru? Suka berinovasi? PT Trouw Nutrition Indonesia, perusahaan global di bidang animal nutrition asal Belanda mengajak para mahasiswa/i untuk berpartisipasi dalam perlombaan Paper Competition dengan mengusung topik Animal Nutrition, Food Safety and Raw Material Variability.
Nah, untuk kamu yang berminat , yuk buruan daftar , Ada hadiah menarik lho buat karya karya yang terpilih.
Info lebih lanjut : http://bit.ly/TrouwPaperComp
dan formulir bisa didownload di : http://bit.ly/TrouwPaperComp1

INDONESIA SIAP EKSPOR AYAM OLAHAN KE JEPANG

Kunjungan Dirjen PKH ke PT So Good Food Boyolali
dalam rangka persiapan ekspor produk unggas ke Jepang dan Myanmar.
Boyolali, 9 Februari 2017. Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus mendorong pelaku usaha di bidang industri peternakan untuk mengekspor produknya ke luar negeri.  Dirjen PKH, Drh. I Ketut Diarmita dalam kunjungannya ke Boyolali tanggal 9 Februari 2017 menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah mengupayakan ekspor beberapa produk peternakan, seperti produk daging ayam olahan dan susu cair ke luar negeri.
“Untuk daging ayam olahan kita sedang mengupayakan agar beberapa unit usaha pengolahan daging ayam dapat kembali memperoleh persetujuan dari Pemerintah Jepang dan segera merealisasikan ekspor daging ayam olahan ke Jepang. Sedangkan untuk susu cair, Indonesia saat ini sudah siap untuk mengekspor ke Myanmar. Hal ini tentunya diharapkan dapat menyusul keberhasilan Indonesia, dimana sejak tahun 2015 telah mengekspor telur ayam tetas (Hatching Eggs) ke negara tersebut,” ungkap Dirjen PKH.
Lebih lanjut I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa upaya untuk mengekspor daging ayam ke luar negeri ini sudah mulai dilakukan pada tahun 2014, dimana Pemerintah Jepang telah menyetujui 4 (empat) unit usaha pengolahan daging ayam untuk mengekspor daging ayam olahan ke negaranya. Keempat unit usaha tersebut yaitu: 1). PT. Malindo Food Delight Plant Bekasi; 2). PT. So Good Food Plant Cikupa; 3). PT. Charoen Pokphand Plant Serang, dan 4). PT. Bellfood Plant Gunung Putri.
Ekspor akan dilakukan dalam bentuk daging ayam olahan yang telah melalui proses pemanasan ≥ 70 oC selama ≥ 1 menit. Hal ini dilakukan mengingat Indonesia saat ini masih belum bebas penyakit AI (Avian Influenza), maka Indonesia tidak dapat mengekspor daging ayam dalam bentuk segar dingin atau beku. Sebelum tahun 2003, Indonesia telah mengekspor daging ayam segar dingin dan beku ke beberapa negara antara lain Jepang dan Timur Tengah. Namun dengan munculnya wabah Penyakit AI pada tahun 2003 menyebabkan pasar ekspor daging ayam Indonesia terhenti.
Untuk mendapatkan persetujuan dari negara calon pengimpor, maka ayam hidup harus berasal dari peternakan ayam yang telah mendapatkan sertifikat kompartemen bebas AI dari Kementerian Pertanian. Untuk itu, sejak tanggal 5 Februari 2017 tim auditor dari kementerian Pertanian Jepang telah datang ke Indonesia untuk melakukan audit surveilans terhadap keempat unit usaha yang telah disetujui tersebut. Disamping audit terhadap keempat unit usaha tersebut, pada hari ini tim auditor juga mengaudit PT. Cahaya Gunung Food Plant Boyolali yang merupakan salah satu unit usaha baru yang telah diusulkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2015.
Sesuai protokol kesehatan hewan yang telah disepakati antara Kementerian Pertanian Indonesia dan Kementerian Pertanian Jepang, setiap unit usaha yang telah disetujui oleh Pemerintah Jepang harus dilakukan audit ulang (surveilans) setiap 2 tahun sekali. Surveilans bertujuan untuk memastikan standar keamanan pangan yang dipersyaratkan oleh pemerintah Jepang dapat terus terpenuhi.
“Apabila tambahan unit usaha ini akan disetujui oleh Pemerintah Jepang, maka total unit usaha pengolahan daging yang disetujui adalah sebanyak 5 unit usaha. Saya sangat berharap dengan disetujuinya kelima unit usaha ini, maka Indonesia dapat segera mengekspor produk olahan daging ayam bukan saja ke Jepang yang terkenal dengan persyaratan keamanan pangannya tetapi juga dapat menembus ke negara-negara lainnya seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan sebagainya,” ungkap I Ketut Diarmita.
Saat ini produk pangan asal unggas masih menjadi bahan pangan yang sangat diminati oleh masyarakat luas bukan hanya di Indonesia tetapi juga hampir di semua negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan produk unggas memiliki kandungan gizi yang baik, rasa yang lezat, harga relatif terjangkau, mudah didapat dan diterima oleh semua lapisan masyarakat dengan latar belakang yang beragam.
Produksi ayam ras nasional di Indonesia saat ini mengalami surplus. Hal ini karena  konsumsi masyarakat terhadap daging ayam masih sekitar 10 kg/kapita/tahun. Berdasarkan data Statistik Peternakan tahun 2016, populasi ayam ras pedaging (broiler) mencapai 1,59 juta ekor, ayam ras petelur (layer) mencapai 162 ribu ekor dan ayam bukan ras  (buras) mencapai 299 ribu ekor atau mengalami peningkatan sekitar 4,2% dari populasi pada tahun 2015. Produksi daging unggas menyumbang 83% dari penyediaan daging nasional, sedangkan produksi daging ayam ras menyumbang 66% dari penyediaan daging nasional.
Berdasarkan informasi dari masyarakat perunggasan, industri perunggasan ayam di Indonesia dapat menyediakan produksi daging ayam ras berapapun jumlah yang diminta oleh pasar. Oleh karena itu, peningkatan populasi ayam ras ini harus diimbangi dengan seberapa besar kebutuhan atau permintaan untuk menghindari terjadinya penurunan harga akibat over supply daging ayam.
I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa kendala yang dihadapi oleh masyarakat perunggasan di Indonesia saat ini adalah harga ayam hidup dan daging ayam sangat berfluktuasi. “Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengendalikan harga ini adalah dengan membuka pasar di luar negeri” ungkapnya. “Kita harapkan para pelaku industri perunggasan dapat menjual produk daging ayamnya ke pasar di luar negeri, sehingga pasar dalam negeri dapat diisi oleh peternakan unggas rakyat,” tambahnya menjelaskan.
Asrul Ointu, Head of Manufacturing Operation PT. So Good Food (SGF) menyampaikan bahwa SGF pada prinsipnya siap untuk melakukan ekspor ke luar negeri. Lebih lanjut disampaikan bahwa SGF Boyolali Value Added Meat  beroperasi sejak Januari 2015, dengan produk yang dihasilkan yakni produk olahan fully cooked (siap saji). Perusahaan ini menyerap tenaga kerja sebanyak 180 orang dan beroperasi 3 shift/day, 6 hari per minggu. Saat ini SGF sedang dalam proses joint operasionil dengan PT. Cargill Foods Indonesia membentuk perusahaan baru dengan nama PT. Cahaya Gunung Food.
Lebih lanjut Asrul Ointu menyampaikan bahwa selain olahan daging ayam, PT. SGF saat ini juga sedang mempersiapkan untuk mengekspor susu cair Real Good ke Myanmar. “Pelaksanaan ekspor susu cair ini tinggal menunggu proses administrasi, begitu selesai kita siap ekspor,” ungkapnya. (wan)

Keputusan MK; Impor Daging Berbasis Zona Dibolehkan Jika Keadaan Darurat

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pemohon, namun memberlakukan syarat pengamanan maksimum impor ternak dan produk ternak, baik berbasis zona maupun country. Demikian Hermawanto, advokat dan konsultan hukum pemohon uji materi UU no 41 /2014, usai Sidang Mahkamah Konstitusi di gedung MK Jakarta, Selasa 7 Februari 2017.

TELAH HADIR BUKU BIOSEKURITI PETERNAKAN UNGGAS

Kita ketahui bersama Biosekuriti merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam suksesnya budidaya peternakan, oleh karena itu para pelaku budidaya peternakan maupun para petugas lapangan dari perusahaan sarana produksi peternakan (perusahaan obat hewan, pakan, bibit, kemitraan), serta  petugas penyuluh dari pemerintah perlu terus meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya mengenai biosekuriti mulai dari konsep hingga pelaksanaannya.
Prinsip dalam pencegahan dan pengendalian penyakit di dalam sebuah industri peternakan unggas adalah dengan cara penerapan manajemen flock, biosekuriti, tindakan vaksinasi, dan sanitasi. Sampai saat ini, biosekuriti masih menjadi salah satu metode terbaik untuk meminimalisir mikroorganisme di dalam peternakan. Dengan menyusun program biosekuriti, kita tidak hanya menciptakan lingkungan peternakan yang sehat namun juga dapat mencegah penyebaran penyakit zoonosis dan menjamin kesehatan masyarakat.
Kebutuhan informasi dalam bentuk buku seperti Buku Biosekuriti Peternakan Unggas ini diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih lengkap mengenai manfaat biosekuriti dan bagaimana implementasinya di lapangan. Diharapkan para peternak, penyuluh peternakan, mahasiswa, tenaga lapangan dari perusahaan sarana produksi peternakan dapat memanfaatkan buku ini sebagai salah satu referensi penting untuk menjalankan biosekuriti.
Buku setebal 128 halaman ini juga dilengkapi dengan katalog peralatan penunjang biosekuriti dan daftar obat antiseptik dan desinfektan. Sehingga buku ini sangat layak menjadi salah satu referensi penting untuk menjalankan biosekuriti di farm anda!
Segera dapatkan bukunya melalui GITAPustaka (Infovet Group) di no kontak 082311962430 atau 08568800752.


UU Peternakan dan Kesehatan Hewan : Maju Mundur Pasal Aturan Impor Ternak (Editorial)



Tahun 1967 Indonesia sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu UU nomor 6/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan kesehatan hewan. Seiring berjalannya waktu, UU tersebut dianggap makin kurang relevan dengan perkembangan zaman. Sekitar tahun 1993 mulai muncul gagasan perlunya penyempurnaan UU tersebut dengan alasan antara lain UU no 6/1967 belum lengkap, baru berupa ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Bahkan UU tersebut belum mengatur ketentuan pidana.

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer