Tahun
1967 Indonesia sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur Peternakan dan Kesehatan
Hewan, yaitu UU nomor 6/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
kesehatan hewan. Seiring berjalannya waktu, UU tersebut dianggap makin kurang
relevan dengan perkembangan zaman. Sekitar tahun 1993 mulai muncul gagasan
perlunya penyempurnaan UU tersebut dengan alasan antara lain UU no 6/1967 belum
lengkap, baru berupa ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. Bahkan UU
tersebut belum mengatur ketentuan pidana.
Forum
Masyarakat Peternakan Indonesia (Forum Masterindo) yang saat itu dipimpin oleh
Jenderal (Purn) M. Kharis Suhud adalah salah satu organisasi yang pernah
mengadakan kajian perubahan atau penyempurnaan pasal-pasal dalam UU tersebut.
Disusul dengan Munas III ASOHI yang berlangsung tahun 1994, salah satu
agendanya adalah membahas rancangan penyempurnaan UU.
Proses
diskusi tentang penyempurnaan berlangsung lama di beberapa organisasi. Pemerintah
kemudian membentuk tim penyempurnaan UU yang terdiri dari pakar dan perwakilan
masyarakat peternakan.Singkat
cerita setelah melalui berbagai diskusi antar pemerintah dan masyarakat
Peternakan dan kesehatan hewan, akhirnya tahun 2009 terbitlah UU nomor 18/2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang artinya UU no 6/1967 tidak berlaku
lagi.
Namun
ada pasal yang cukup mengganggu di UU tersebut yaitu tentang aturan impor
ternak yang membolehkan impor dari negara yang belum terbebas dari penyakit
menular utama (a.l penyakit mulut dan kuku/PMK) asalkan negara tersebut
memiliki zona yang bebas penyakit dimaksud (zone
base).
Padahal sebelumnya Indonesia berprinsip melarang impor ternak dari negara yang belum bebas penyakit menular utama (country base). Jadi dengan menganut aturan berbasis negara (country base), maka negara tertentu yang punya satu negara bagian yang bebas PMK, tetap tidak bisa ekspor ternak ke Indonesia, karena yang kita butuhkan adalah seluruh negara terjamin bebas PMK dan penyakit melunar utama lainnya .
Oleh
karena itu tokoh-tokoh peternakan dan kesehatan hewan melakukan judisial review
(uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka antara lain Dr. Rochadi Tawaf, Ir.Teguh Boediyana, dan beberapa tokoh lainnya, disertai saksi
ahli antara lain Dr Soehadji (mantan Dirjen Peternakan), Dr Sofjan Sudardjat (mantan
Dirjen Peternakan).
Era
itu MK dipimpin oleh Mahfud MD. Melalui proses yang tidak terlalu lama akhirnya
tahun 2010 uji materi dikabulkan MK. Dengan demikian indonesia hanya bisa
mengimpor ternak dan daging ternak sapi dari negara yang benar-benar bebas PMK.
Pemahaman
kita, keputusan MK adalah bersifat tetap dan final. Artinya sudah mengikat penyelenggara
negara agar tidak mengimpor ternak dan daging ternak dari negara yang belum
bebas penyakit menular utama, demi melindungi negara dari status bebas penyakit
hewan tertentu, khususnya bebas penyakit PMK.
Namun
entah kenapa secara diam-diam ada inisiatif DPR dan pemerintah untuk membuat
UU baru yang merevisi UU NO 18/2009, yang usianya masih balita. Di tengah
keramaian pesta demokrasi tahun 2014 ternyata ada diskusi perubahan UU no 18
/2009, sehingga masyarakat peternakan tidak memantau upaya pengajuan UU baru
itu. Bahkan tidak ada kabar adanya public
hearing dengan masyarakat peternakan untuk mengajukan Uu baru tersebut.
Menjelang
pergantian presiden, pada tanggal 17 Oktober 2014 Presiden SBY menandatangani UU no 41/2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan , yang disebut sebagai penyempurnaan UU no
18/2009. Presiden Jokowi dilantik 20 Oktober 2014.
Anehnya UU baru ini salah satu pasalnya mengembalikan pasal yang sudah disempurnakan Mahkamah Konstitusi melalui Judicial review para tokoh peternakan dan kesehatan hewan. Ini artinya, keputusan MK dianggap angin lalu. UU ini jelas-jelas mengembalikan aturan impor yang menurut MK harus berbasis negara (country base), justru sekarang kembali menjadi berbasis zona (zone base).
Melihat
situasi ini tokoh-tokoh Peternakan kembali mengajukan judicial review ke MK terhadap UU No 41/2014. Hal ini agar kembali
pada aturan semula, dimana Indonesia yang sudah bebas PMK, jangan ambil resiko
impor daging dan ternak dari negara yang belum bebas PMK.
Sidang
gugatan judicial review sudah selesai pertengahan 2016. Di tengah proses
menunggu ini, tiba-tiba terdengar kabar Operasi Tangkap Tangan (OTT) seorang
Hakim MK dengan dugaan suap terkait dengan UU peternakan dan kesehatan hewan.
Kita
tidak bermaksud berpolemik mengenai tertangkapnya hakim MK tersebut. Yang
paling penting adalah masyarakat peternakan terlindungi dari ancaman masuknya
penyakit PMK dan penyakit hewan berbahaya lainnya yang belum ada di Indonesia. Indonesia sedang berupaya swasembada daging, jika PMK masuk, maka
cita-cita swasembada akan makin sulit dicapai. Padahal program swasembada daging sapi semenjak dicanangkan tahun 2005 sudah
menghabiskan dana triliunan rupiah. Itupun belum berhasil.
Kini dengan berpedoman pada UU no 41/2014, pemerintah leluasa mengimpor daging kerbau dari India untuk menekan harga daging sapi nasional. Upaya
inipun belum berhasil juga. Padahal impor daging daging India jelas sangat
beresiko terhadap mewabahnya PMK. Jika wabah PMK terjadi harga daging
kemungkinan besar akan semakin mahal lagi. Kita berharap pemerintah lebih jeli
dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan para peternak.***
Bambang Suharno
0 Comments:
Posting Komentar