Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini peternakan sapi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

AKIBAT PMK DOMPU GAGAL KIRIM SAPI KE JAKARTA

Petugas kesehatan hewan memeriksa sapi yang terindikasi PMK

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada sapi yang ditemukan di Jawa Timur berdampak pada penjualan ternak di Kabupaten Dompu. Kuota 500 ekor sapi untuk dikirim ke Jakarta untuk kebutuhan lebaran Idul Qurban tahun 2022 melalui tol laut, Senin, 16 Mei 2022 gagal dikirim akibat tidak mendapat rekomendasi dari daerah penerima.

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Dompu, Ir Zaenal Arifin, MSI mengungkapkan, pengiriman ternak antar daerah dan pulau melalui jalur darat kini dihentikan untuk antisipasi penyebaran PMK yang terindikasi sudah masuk di pulau Lombok untuk wilayah NTB. Tapi pengiriman ternak antar pulau melalui jalur tol laut masih dibolehkan selama ada rekomendasi dari daerah penerima dan ternak yang dikirim kondisinya sehat dan bebas dari penyakit.

Selama ini, ternak dari Dompu banyak dikirim melalui darat untuk memenuhi permintaan pasar menjelang lebaran Idul Qurban. Sementara jadwal pengiriman ternak melalui tol laut bagi pengusaha ternak Dompu pada 16 Mei 2022. Jadwal itu tidak terisi karena rekomendasi dari daerah penerima tidak didapat pengusaha ternak Dompu.

“Karena tidak ada rekomendasi dari daerah penerima, jadwal kita tanggal 16 Mei kemarin tidak terisi. Akhirnya dimanfaatkan oleh pengusaha dari Bima untuk tol laut dari Bima ke Jakarta,” kata Zaenal Arifin.

Jadwal tol laut bagi pengusaha ternak Bima pada 19 Mei ini. Untuk mengantisipasi pengiriman ternak antar daerah, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dompu akan meningkatkan pengawasan di sejumlah titik.

Pasca temuan kasus PMK pada sapi di Jawa Timur, Zaenal mengatakan pihaknya terus meningkatkan pengawasan pada kesehatan hewan di daerah. Termasuk pada rumah potong hewan (RPH). “Sejauh ini tidak ada PMK di pulau Sumbawa. Tapi kita akan intenskan pengawasan, termasuk melakukan penyemprotan pada ternak sapi dan ayam,” ungkapnya.

Penyakit mulut dan kuku itu sendiri tidak berbahaya bagi manusia. Penyakit ini hanya menyebar dari hewan ke hewan. Ternak yang terjangkit PMK, masa inkubasinya selama 14 hari. “PMK ini dampaknya pada ekonomi petani. Ketika terjangkit PMK, maka akan menimbulkan kematian ternak lebih cepat. Ini yang kita antisipasi,” katanya. (INF)

KETUM PB PDHI: SEGERA LAKUKAN VAKSINASI UNTUK MENCEGAH PMK

Vaksinasi untuk mencegah penyebaran PMK. (Foto: Istimewa)

Menyikapi mewabahnya kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh M. Munawaroh, menegaskan untuk segera melakukan tindakan pencegahan melalui vaksinasi agar virus tidak meluas.

"PMK ini virus, tidak ada obatnya. Bisa dilakukan pencegahan dengan vaksinasi. Ini tidak jauh beda dengan COVID-19. Dengan adanya vaksin akan memudahkan pencegahan," kata Munawaroh ketika menjadi narasumber dalam program Primetime News di Metro TV, Selasa (10/5/2022).

Ia mengimbau, apabila vaksinasi dalam negeri kurang atau tidak mencukupi, bisa dilakukan impor vaksin agar kejadian PMK tidak semakin menyebar ke wilayah  lain di Indonesia. Diketahui PMK merebak di Jawa Timur dan Aceh.

Disebutkan merebaknya penyakit PMK tak luput dari lalainya impor ternak maupun daging dari negara yang belum bebas PMK seperti India maupun Brasil, melalui PP No. 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.

"Kita sudah pernah beri masukan soal impor sapi atau daging dari negara yang belum bebas PMK. Aturan itu perlu ditinjau ulang. Ini menjadi kecerobohan kita. Karena untuk bebas dari PMK tidak mudah dan membutuhkan biaya," ucap Munawaroh. Hal ini menjadi keprihatinan mengingat Indonesia sudah bebas PMK sejak 1986 silam.

Kendati demikian tegas Munawaroh, masyarakat diimbau tak perlu risau untuk mengonsumsi daging sapi maupun ternak ruminansia lainnya. Karena PMK bukan merupakan penyakit zoonosis.

"Saya tegaskan PMK tidak menular kepada manusia, sehingga tidak perlu takut mengonsumsi daging sapi, asal daging tersebut benar-benar dimasak dengan matang," pungkasnya. (RBS)

AMANKAH MENGONSUMSI PRODUK PETERNAKAN YANG TERINFEKSI PMK?

Talkshow PMK : memberikan edukasi kepada masyarakat


Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Foot and Mouth Disease (FMD) baru - baru ini kembali muncul di Indonesia. Setelahada pernyataan resmi dari pemerintah terkait mewabahnya PMK di Provinsi Jawa Timur, semua stakeholder sudah mempersiapkan diri menghadapinya. 

Selain aspek kesehatan hewan, aspek kesehatan masyarakat tentunya juga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Untuk memberikan info kepada masyarakat terkait penyakit PMK dan hubungannya dengan aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat digelarlah acara talkshow "dadakan" pada Senin (9/5) yang lalu.

Penggagas acara tersebut yakni Drh Deddy F. Kurniawan selaku CEO Dairy Pro, narasumber yang dihadirkan dalam acara tersebut yakni Staff Pengajar sekaligus ahli Kesehatan Masyarakat Veteriner IPB University Drh Denny Widaya Lukman. Acara tersebut dihelat melalui kanal youtube Dairy Pro TV.

Drh Deddy mengatakan bahwa kegaduhan akibat wabah PMK yang juga datang mendadak ini menjadi semakin serius karena dalam waktu dekat umat islam di seluruh dunia juga akan merayakan hari raya Idul Adha. Dikhawatirkan dengan adanya isu ini masyarakat jadi ogah mengonsumsi daging ruminansia karena termakan hoax. 

Lalu kemudian Drh Deddy secara historis menceritakan perjalanan penyakit PMK dari masa ke masa beserta tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mengeliminir PMK. 

"1887 PMK ini mulai meledak di Malang lalu menyebar ke Kalimantan dan Sulawesi, pada tahun 1974 diadakan vaksinasi massal sampai 1982 tidak ada wabah, seolah - olah menghilang namun ternyata muncul lagi 1983 di Semarang dan menyebar kemana - mana. Pemerintah kemudian melakukan upaya lagi sampai kemudian di tahun 1986 Indonesia menyatakan diri bebas PMK, lalu di tahun 1987 diakui oleh ASEAN, dan 1990 diakui oleh OIE," tutur Drh Deddy.

Dan kini tahun 2022 PMK kembali "bangkit dari kubur" dan siap meneror industri peternakan negara ini, dimana bagi sebagian orang tentunya PMK adalah sesuatu yang baru, meskipun nyatanya bukan. Namun begitu dampak ekonomi dari penyakit ini dirasa akan sangat hebat mengingat waktunya yang juga dadakan (menjelang Idul Adha).

Drh Denny Widaya Lukman sendiri mengatakan bahwa banyak beredar di media sosial hoax yang mengatakan bahwa mengonsumsi produk hewani asal hewan yang terinfeksi PMK dapat menularkan PMK ke manusia.

"Ini hoax, PMK ini tidak tergolong zoonosis dan dapat menulari manusia, tetapi yang saya tekankan, perilaku manusia justru dapat menyebarkan virus PMK kepada hewan lain," tutur Denny.

Ia memberi contoh misalnya pedagang daging sapi atau soto yang membeli daging atau jeroan dari hewan terinfeksi PMK. Kemudian sebelum memasak mereka mencuci daging atau jeroan tersebut, lalu kemudian limbahnya masuk ke sungai atau sumber air bagi ternak yang peka, jika terkonsumsi akan menyebabkan infeksi pada hewan tersebut. 

Denny juga menjawab berbagai pertanyaan dan membagikan tips kepada para penanya yang hadir. Mulai dari teknik penanganan produk, prosedur penyembelihan di RPH, serta upaya dan tindakan yang harus dilakukan dalam mencegah penyebarluasan PMK. (CR)


DARURAT PENYAKIT MULUT DAN KUKU DI JAWA TIMUR

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) mewabah di Jawa Timur. (Foto: Istimewa)

Menyikapi kejadian munculnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Lamongan, Kementerian Pertanian (Kementan) lakukan upaya pencegahan penyebaran dan tracing PMK.

“Dua Laboratorium utama kita, Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates dan Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya sebagai laboratorium rujukan PMK telah melakukan tracing. Saat ini kita koordinasi dengan Pemerintah Daerah Jawa Timur untuk melakukan lockdown zona wabah,” kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (7/5/2022).

Ia menjelaskan, awalnya kasus ini diketahui setelah hasil pemeriksaan PCR menunjukkan positif PMK dan pihaknya telah melakukan rapat koordinasi bersama Gubernur Jawa Timur dan empat Bupati wilayah kasus PMK.

Adapun langkah darurat yang disiapkan untuk penanganan sebagai berikut:

1. Penetapan wabah oleh Menteri Pertanian berdasarkan surat dari Gubernur dan rekomendasi dari otoritas veteriner nasional sesuai dgn PP No. 47/2014.

2. Pendataan harian jumlah populasi positif PMK.

3. Pemusnahan ternak positif PMK secara terbatas.

4. Penetapan lockdown zona wabah tingkat desa/kecamatan di setiap wilayah dengan radius 3-10 km dari wilayah terdampak wabah.

5. Melakukan pembatasan dan pengetatan pengawasan lalu lintas ternak, pasar hewan dan rumah potong hewan.

6. Melakukan edukasi kepada peternak terkait SOP pengendalian dan pencegahan PMK.

7. Menyiapkan vaksin PMK.

8. Pembentukan gugus tugas tingkat provinsi dan kabupaten.

9. Pengawasan ketat masuknya ternak hidup di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang belum bebas PMK oleh Badan Karantina Pertanian.

"Sejak Jumat (6/5/2022), tim pusat dan daerah sudah bekerja di lapangan. Harapannya dapat melokalisir zona penyakit dan tidak menyebar ke wilayah sentra sapi lainnya," ucap Nasrullah.

“Masyarakat kita mohon bantuan dan kerja sama untuk tidak memindahkan atau memperjualbelikan sapi dari daerah wabah ke daerah yang masih bebas. Kita tangani bersama dan lokalisir wilayahnya." (INF)

WAGUB AUDY BERBAGI TIPS PETERNAKAN DI "NAGARI SERIBU SAPI"

Audy Joinaldy Meninjau Peternakan Sapi di Solok Selatan

Mendorong pengembangan industri peternakan, Wakil Gubernur Sumbar, Audy Joinaldy didampingi Wakil Bupati Solok Selatan, Yulian Efi meninjau “Nagari Seribu Sapi” di Kec. Sangir, Solok Selatan, Kamis (21/4/2022).

Merupakan hasil kolaborasi Pemprov Sumbar dan Kementrian Pertanian, Nagari ini sendiri merupakan gabungan dari lima kelompok tani di Kec. Sangir yang memperoleh bantuan seribu ekor sapi dari program pengembangan Desa Korporasi Sapi yang digagas Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sejak 2021 lalu.

Wakil Gubernur, Audy Joinaldy mengatakan program ini merupakan yang pertama kali nya di Sumatera Barat. Diharapkan nantinya keberadaan Desa Korporasi Sapi ini mampu meningkatkan populasi dan produksi hasil peternakan di Sumbar.

“Sumatera Barat baru pertama kali mendapat program bantuan semacam ini, selanjutnya tugas kita adalah bagaimana meyiapkan pakan yang layak supaya pertumbuhan ternak optimal dan memberikan added value untuk hasil yang lebih maksimal,” katanya berpesan.Lebih lanjut Audy berpesan pada kelompok tani agar menjaga kebersihan kandang, serta mempelajari dengan baik karakteristik, pola makan, pertumbuhan, dan pembiakan yang berbeda-beda pada setiap jenis sapi. Sebagai pakar di bidang peternakan Audy juga memberikan tips-tips pengembangan dan pengelolaan ternak pada para petani.

Si sisi lain, Taufik, ketua koperasi Sangir Serumpun Sejahtera, yang menaungi kelima kelompok tani penerima bantuan mengatakan saat ini sapi yang dikelola baru berjumlah 500 ekor, yang terdiri dari Sapi Simental, Peranakan Ongole, Frisian Holstate, dan Brahman. Sementara sisa 500 ekor lainnya akan diterima kembali pada Oktober mendatang.

“Sekarang baru datang 500 ekor, masing-masing 100 untuk setiap kelompok. Bulan Oktober nanti baru datang lagi indukan 500 ekor lagi, jadi totalnya seribu,” ujar Taufik.

Sementara untuk pakan dan added value yang menjadi perhatian utama Wakil Gubernur, ia menyampaikan sejauh ini kebutuhan pakan ternak berupa rumput dan konsetrat masih mampu dipasok secara swadaya oleh kelompok tani. Selain itu, kotoran ternak juga sudah diolah menjadi pupuk.

“Kotoran-kotoran kita tumpuk, diberi kapur dolomite dan disemprot dengan IM4 yang mengandung bakteri baik untuk mempercepat fermentasi, setelah itu kita keringkan selama 20 Hari. Dengan proses ini, setiap kelompok sekarang sudah memproduksi 5 ton pupuk setiap bulan dan Dijual Rp. 10.000,- per 5kg,” tuturnya saat ditanya oleh Wagub.

Di samping itu, guna meningkatkan produksi pupuk, Taufik juga meminta dukungan pada pemerintah untuk pembangunan rumah kompos bagi para kelompok tani. (INF)

KENALI PENYAKIT SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT

Hamparan perkebunan sawit di Indonesia memiliki potensi juga sebagai lahan pengembangan peternakan sapi

Indonesia memiliki potensi perkebunan kelapa sawit yang besar, tersebar luas di Sumatra dan Kalimantan. Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 15,08 juta hektare pada 2021, naik 1,5% dari tahun sebelumnya. Perkebunan Swasta Besar (PBS) memegang sebanyak 55,8% luas perkebunan sawit, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,8 juta hektare (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 ribu hektare (3,84%).

Konsumsi produk kelapa sawit untuk konsumsi naik 6%, oleo chemical naik 25% dan untuk biodisel naik 2% pada 2021. Pada tahun ini, konsumsi produk kelapa sawit diprediksi naik menjadi 800 juta ton/bulan. Produk kelapa sawit berupa CPO dan PKO memiliki potensi besar dalam menyumbang devisa dari ekspor. Dari produksi sebanyak 53,8 juta ton, terserap konsumsi lokal sebesar 20,59 juta ton dan ekspor sebesar 33,21 juta ton (Palm Oil Association, 2021).

Hamparan perkebunan sawit di Indonesia memiliki potensi juga sebagai lahan pengembangan peternakan sapi dan ternak lainnya seperti di Malaysia. Perkebunan sawit mampu menyediakan pasokan pakan dari rumput yang ada di bawah, sekitar pohon, hijauan dari daun sawit, maupun rontokan biji sawit serta produk samping dari pengolahan minyak sawit.

Masyarakat petani sawit di beberapa daerah Indonesia telah memanfaat perkebunan sawit untuk pengembangan sapi. Ras sapi Bali, PO atau silangan mudah di dapati di lokasi transmigrasi sawit. Sapi berkembang baik dan kondisinya relatif didominasi dengan kondisi tubuh yang sedang-gemuk, yang menandakan kecukupan pakan.

Beberapa perusahaan besar kelapa sawit telah mengembangkan sapi di perkebunan sawit di beberapa kabupaten. Sapi Brahman Cross (BX), telah mereka kembangkan untuk breeding dan fattening. Integrasi pemeliharaan sapi dalam perkebunan sawit oleh perusahaan besar sapi bisa dijumpai di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin  Timur di Kalimantan Tengah dan Tanah Bumbu serta Kabupaten Tabalong di Kalimantan Selatan.

Dalam pemeliharaan sapi di perkebunan sawit ada beberapa penyakit yang potensial bisa timbul, membawa kerugian ekonomi dan bahkan mematikan sapi. Kecacingan atau infestasi parasit gastrointestinal merupakan salah satu contoh penyakit pada sapi yang klasik dan mesti dikendalikan tiap tiga bulan sekali agar pertumbuhan dan pertambahan bobot badan sapi bisa optimal sesuai volume dan kualitas pakan yang diberikan dan diharapkan.

Beberapa penyakit penting pada sapi yang ditemukan pada di perkebunan sawit seperti yang terjadi di Kalimantan adalah… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2022

Ditulis oleh:
Sulaxono Hadi
Medik Veteriner Ahli Madya
Balai Veteriner Banjarbaru

DITJEN PKH GELAR WEBINAR BUILDING INDONESIAN DAIRY INDUSTRY

Webinar Building Indonesian Dairy Industry. (Foto: Infovet/Sjamsirul)

Selasa (29/3), dimulai pukul 09:00 WIB, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, bersama US Dairy Industry’s Experience menggelar webinar “Building Indonesian Dairy Industry”.

Dalam sambutannya, Direktur Pemasaran dan Pengolahan Hasil Peternakan, Ditjen PKH, Tri Melasari, mengemukakan bahwa hambatan pengembangan sapi perah di Indonesia karena kepemilikan rata-rata hanya 2-3 ekor sapi perah/keluarga. 

“Dengan rata-rata produksi susu hanya 12 liter/ekor/hari. Selain itu, regenerasi peternak yang juga berjalan lambat,” kata Tri.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah telah membuat pilot project sapi perah di Pasuruan, Jawa Timur sebagai percontohan bagi generasi milenial.

“Juga dirintis untuk mempelajari pengalaman pemeliharaan sapi perah peternak di Amerika Serikat dengan bentuk berbagai kerja sama,” tambahnya.

Dalam webinar tersebut turut menghadirkan narasumber diantaranya DR Sophie Eaglen PhD (National Association of Animal Breeders Inc), Paul Thomas (American Breeders Service), Sidney Anders (American Jersey Cattle Association), Timothy Anderson (Wisconsin Departement of Agriculture Trade and Consumer Protection) dan DR Deddy Fachruddin Kurniawan DVM (Dairy Pro Indonesia), dengan moderator Epi Taufik SPt MVPH MSi IPM PhD. (SA)

SEJAK FEBRUARI 2022, TOTAL 242 EKOR SAPI TERINFEKSI LSD DI RIAU

Vaksinasi LSD Sebagai Antisipasi dan Pengendalian Penyakit
                                                                   (Sumber : Kementan)

Ternak sapi di Provinsi Riau diserang penyakit eksotik. Penyakit yang diderita sapi-sapi tersebut merupakan penyakit kulit bernama Lumpy Skin Disease (LSD). Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Provinsi Riau mencatat sejak 9 Februari 2022, sejauh ini sudah ada 242 ekor sapi yang terkena penyakit tersebut.

"Sejak penyakit (LSD) ini ditemukan pada sapi ternak di Kabupaten Indragiri Hulu, kemudian berkembang di tujuh kabupaten dan kota di Riau," sebut Kepala Dinas PKH Provinsi Riau, Herman (10/3/2022).

Ia merincikan, ternak sapi di tujuh daerah yang terpapar LSD adalah, Kabupaten Indragiri Hulu sebanyak 114 ekor, Pelalawan 25 ekor, Kampar 8 ekor, Dumai 20 ekor, Bengkalis 12 ekor, Indragiri Hilir 13 ekor, dan Siak 50 ekor.

"Jadi, jumlah sapi yang sakit terkena penyakit itu ada 242 ekor. Dari 242 ini, terdapat 3 ekor sapi yang mati. Namun, tingkat kematian sapi akibat penyakit ini sangat kecil, maksimal 5 persen," kata Herman. Selain mati, sambung dia, terdapat 13 ekor sapi dipotong paksa oleh pemiliknya, karena takut mati. "Tapi setelah kita tangani secara intensif, angka kesembuhan sapi yang terkena LSD cukup tinggi, ada 84 persen dari total sapi yang terkena penyakit. Jadi, ciri-ciri sapi mulai sembuh dari LSD ini, sapi sudah mau makan. Karena, selama sakit sapi tidak makan sebab tenggorokannya sakit," ujar Herman.

Kemudian ciri-ciri lain sapi sembuh dari penyakit LSD adalah, ulas dia, luka dibagian kulit sapi mulai mengering, lalu benjolan mulai mengecil. Namun, bekas luka masih ada.

"Jadi, dari 114 sapi yang terpapar LSD di Kabupaten Indragiri Hulu itu, kalau kita lihat dari empat kategori itu, Alhamdulillah seratus persen sudah sembuh. Begitu juga di daerah lainnya seratus persen sudah sembuh setelah kita lakukan penyuntikan vitamin. Kecuali di Kota Dumai. Dari 20 ekor sapi yang terpapar, 10 ekor sudah sembuh," imbuh Herman.

Sebelumnya, tim Dinas PKH Riau bersama Kementan sudah turun tangan melakukan penanganan terhadap penyakit LSD yang menyerang sapi, pertama kali ditemukan di Kabupaten Indragiri Hulu. (INF)




VAKSINASI SERENTAK DILAKUKAN UNTUK MENCEGAH LSD MELUAS

Untuk mencegah meluasnya LSD, vaksinasi serentak dilakukan. (Foto: Istimewa)

Untuk mencegah meluasnya penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) pada ternak sapi, Kementerian Pertanian (Kementan) lakukan vaksinasi serentak mulai dari Provinsi Riau.

Hal tersebut disampaikan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan, Nasrullah dalam siaran persnya, Jumat (18/3/2022).

“LSD merupakan penyakit hewan dari Afrika yang menyerang sapi-sapi di Riau pada sebulan terakhir ini, sehingga untuk penanganan darurat, maka Kementan melakukan vaksinasi yang bertujuan mencegah kejadian dan perluasan penyakit," Kata Nasrullah.

Dijelaskan pada tahap pertama, vaksinasi difokuskan di desa tertular dan kemudian akan dilakukan pada zona kontrol (pengendalian) dengan radius 10 km dari desa kasus. "100 ribu dosis vaksin dan logistik vaksinasinya sudah siap," Kata dia.

Lebih lanjut dijelaskan, upaya pengendalian LSD di kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan, Indragiri Hilir, Dumai, Siak, Bengkalis dan Kampar, mendapatkan dukungan Pemda Riau dan kabupaten, serta Australia-Indonesia Health Security Partnership (AIHSP), serta Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO).

Kepala Dinas PKH Provinsi Riau, Herman, menyambut baik kegiatan vaksinasi, serta berharap kasus baru dan penyebaran LSD dari daerah tertular dapat ditekan. Menurutnya, sebanyak 188 orang petugas kesehatan hewan telah siap melaksanakan vaksinasi.

"Kami sampaikan terima kasih atas dukungan Kementan dan AIHSP serta FAO dalam pengendalian LSD di Riau," ucap Herman.

Secara terpisah Kepala Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal,  menyampaikan saat ini LSD telah menyerang Malaysia, Vietnam, Thailand dan Singapura, serta negara lain di Asia. Kerja sama internasional diperlukan dalam pengendalian penyakit yang dapat menular antar negara dan mengganggu perdagangan ini.

“FAO bekerja sama erat dengan Kementan dan mendukung Indonesia menangani wabah LSD dengan cepat, sebelum menimbulkan gangguan lebih lanjut pada kesehatan hewan dan sistem pangan,” ungkap Rajendra.

Hal senada juga disampaikan Team Leader AIHSP, John Leigh,  yang menyampaikan komitmennya mendampingi dan mendukung proses pengendalian LSD di Riau.

Sementara Direktur Kesehatan Hewan Kementan, Nuryani Zainuddin, menyebutkan bahwa selain tujuh kabupaten tertular, vaksinasi juga dilakukan di Kabupaten Rokan Hulu yang salah satu wilayahnya masuk ke dalam zona kontrol.

"Secara bertahap kita vaksinasi mulai dari desa tertular dan zona kontrol, setelah selesai semua kita bisa lanjutkan ke radius 50 km dari desa kasus atau zona surveilans," pungkas Nuryani. (INF)

IPB UNIVERSITY BERMINAT KEMBANGKAN PETERNAKAN SAPI DI BLORA

Pertemuan perwakilan IPB bersama Bupati Blora

Potensi populasi sapi di Kabupaten Blora yang jumlahnya besar mulai banyak dilirik perguruan tinggi yang memiliki disiplin ilmu peternakan dan turunannya.

Setelah beberapa waktu lalu ada UGM Yogyakarta dan PT. Andini Blora Gama Sejahtera (ABGS) yang akan mendirikan peternakan sapi modern hulu hilir di Desa Megeri.

Kini hadir Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga ingin berkontribusi dalam pembangunan peternakan sapi di Blora.

Jumat malam (11/3/2022), sekira pukul 20.00 WIB, Tim Departemen Agribisnis IPB Bogor datang langsung ke Blora untuk melakukan presentasi dan penjajakan pengembangan peternakan sapi dengan Bupati H. Arief Rohman, S.IP., M.Si.

Tim diterima langsung oleh Bupati di kantor Sekretariat Daerah, Jl. Pemuda no.12 Blora. Tim terdiri dari Dr. Ir. Suharno, M.Adev (Wakil Program Studi S2 Agribisnis IPB).

Kemudian Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si (Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Bidang Akademik dan Kemahasiswaan); serta Dr. Ir. Dwi Rachmina, M.Si (Ketua Departemen Agribisnis FEM IPB).

Ketiganya bersama anggota lainnya berdiskusi dengan hangat bersama Bupati H. Arief Rohman, S.IP., M.Si., didampingi Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pangan Pertanian Peternakan dan Perikanan, Sekretaris Dinas Pendidikan dan para Kabid DP4.

Kepada Bupati dan jajarannya, Dr. Ir. Suharno, M.Adev menyampaikan bahwa pihaknya bersama tim berminat ikut membangun peternakan Blora karena disini potensi sapi sangat besar.

“Komoditas unggulan peternakan Blora adalah sapi , terbesar di Jawa Tengah dan kedua terbesar di Indonesia. Jumlah ini meningkat sebesar 7.22%/tahun. Namun pengelolaan usaha ternak belum mengarah pada pengelolaan bisnis dan masih bersifat individu. Dan juga keterbatasan pakan ternak terbatas pada musim kemarau dan belum mengoptimalkan sumberdaya yang ada (limbah jerami, bungkil jagung, limbah tebu dan lainnya). Sehingga kami tertarik untuk ikut membantu,” ungkap Suharno.

“Kami ingin mengembangkan agribisnis peternakan di Kabupaten Blora, dengan menjalankan bisnis sapi potong sebagai ekonomi andalan kawasan berlandaskan ilmu dan teknologi . Kemudian meningkatkan pendapatan peternak dan mempercepat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blora,” tambahnya.

Gagasan ini menurutnya akan diwujudkan melalui program Kedaireka - Matching Fund Agribisnis - Pemda Blora. Serta Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong Melalui Inovasi Kelembagaan Sekolah Peternak Rakyat di Kabupaten Blora.

Diskusi berlangsung hingga larut malam bersama SKPD terkait untuk memetakan wilayah mana yang akan dijadikan percontohan program dari IPB ini.

Bupati H. Arief Rohman, S.IP., M.Si., menyampaikan rasa bangganya dan apresiasi setinggi-tingginya atas niat baik IPB Bogor dalam keikutsertaannya untuk bersama-sama membangun sektor peternakan di Kabupaten Blora.

“Ya semalam kita diskusi bersama di kantor hingga larut malam. InshaAllah IPB Bogor bersedia membantu kita lewat program Kedaireka - Matching Fund Agribisnis - Pemda Blora untuk Sesarengan mbangun Blora dalam hal Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong Melalui Inovasi Kelembagaan Sekolah Peternak Rakyat di Kabupaten Blora,” ungkap Bupati, Sabtu (12/3/2022) pagi.

Menurut Bupati, ada beberapa desa yanag akan dicurvei terlebih dahulu untuk menentukan mana lokasi yang cocok.

“Rencananya akan melakukan survei terlebih dahulu ke beberapa desa. Kita minta SKPD terkait untuk mendampingi, seperti ke Desa Palon Kecamatan Jepon, Desa Pengkolrejo Kecamatan Japah, dan beberapa desa lainnya.Mohon doa nya semoga tahapannya lancar agar kedepan para peternak di Kabupaten Blora semakin baik, dan dapat meningkatkan kesejahteraan nya. Dengan begitu perekonomian Blora dari sektor peternakan juga akan tumbuh,” jelas Bupati. (INF)

DOKTER HEWAN DAN PARAMEDIK DIKERAHKAN UNTUK TANGANI LSD DI RIAU

Tim dikerahkan tangani kasus LSD di Provinsi Riau. (Foto: Istimewa)

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), Nasrullah, siap kerahkan sumber daya untuk tangani penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) pada sapi di Provinsi Riau. Hal tersebut ia sampaikan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (5/3/2022).

"Untuk penanganan LSD di Riau, kita akan kerahkan dokter hewan dan paramedik staf Kementan di Riau untuk membantu melakukan vaksinasi," kata Nasrullah.

LSD pada sapi ditemukan di Provinsi Riau, setelah sebelumnya juga terjadi di beberapa negara di Asia termasuk di Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja.

Nasrullah menambahkan, Kementan telah melaksanakan berbagai pencegahan kewaspadaan sejak LSD masuk Asia Tenggara pada 2019.

Pada waktu yang sama Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Nuryani Zainuddin, juga telah mengeluarkan Surat Edaran kewaspadaan penyakit LSD kepada para pemangku kepentingan di seluruh Indonesia sebanyak empat kali.

"Kita gencarkan sosialisasi tentang LSD melalui berbagai media serta webinar berseri tentang kesiapsiagaan terhadap LSD pada 2021," tutur Nuryani.

Upaya peningkatan kewaspadaan tersebut, kata dia, membuat petugas lapangan dapat mendeteksi secara cepat kejadian LSD, melaporkan dan menanganinya.

"Sistem kita telah berhasil mendeteksi dengan cepat, hal ini didukung sistem pelaporan real time iSIKHNAS dan kemampuan laboratorium kesehatan hewan yang baik, sehingga penyakit dapat dikonfirmasi segera," ucapnya.

Sesuai arahan Menteri Pertanian, timnya bergerak melakukan berbagai langkah pengamanan untuk mencegah penyebaran LSD lebih lanjut.

"Strategi utama adalah vaksinasi, namun ini harus didukung deteksi dini dan penelurusan kasus, pengendalian lalu lintas, pengendalian vektor, serta komunikasi, informasi dan edukasi," ucapnya.

Namun menurutnya penanganan LSD akan menantang, karena selain dapat disebarkan oleh lalu lintas sapi tertular dan produknya yang mengandung virus, LSD dapat ditularkan melalui perantara mekanik seperti gigitan serangga.

Kendati demikian, ditegaskan bahwa LSD tidak menular dan tidak berbahaya bagi manusia. Nuryani mengimbau agar masyarakat tidak perlu panik dan ikut mendukung upaya penanganan oleh pemerintah. (INF)

PENGELOLAAN PAKAN HIJAUAN UNTUK SAPI DI LAHAN SAWIT

Integrasi sapi-sawit. (Sumber: iaccbp.org)

Integrasi ternak dalam usaha perkebunan sawit adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas kebun, bahkan keberadaan ternak tersebut dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sekaligus produksi ternaknya. Integrasi ternak tersebut bertujuan agar terjadi sinergi saling menguntungkan yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi biaya produksi.

Hal itu diuraikan oleh Ranch Manager Palm Cow Integration Dept, PT Buana Karya Bhakti, Wahyu Darsono, dalam sebuah seminar online tentang sistem pemberian pakan untuk sapi induk yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Jumat (15/5/2020). 

Wahyu mengatakan bahwa dalam integrasi sapi sawit maka kebun sawit harus diperankan sebagai lahan gembalaan atau sebagai pasture untuk pembiakan sapi atau produksi sapi grassfed. Dengan demikian, kebun atau pabrik sawit berperan menyediakan bahan pakan yang berkelanjutan bagi ternak, khususnya ternak ruminansia.

“Pengelolaan pasture di kebun sawit sebagai sumber pakan berkelanjutan perlu dilakukan secara terkontrol dengan alokasi paddock sesuai dengan grup atau status sapi dan berdasarkan stocking rate potensi biomass,” kata Wahyu. 

Demikian juga dengan optimalisasi pemanfaatan vegetasi gulma sebagai sumber pakan,  perlu didukung komitmen dan sinergi yang kuat antara kegiatan perkebunan dan kegiatan penggembalaan sapi, terutama pada aspek pemupukan, penanggulangan gulma dan panen TBS, serta pemanfaatan areal terbuka untuk introduksi tanaman hijauan pakan berkualitas.

“Untuk memenuhi kecukupan nutrisi sapi sesuai dengan status sapi dan pengaruh iklim terutama curah hujan, perlu diberikan pakan tambahan sebagai sumber protein, energi dan mineral,” pungkasnya. (IN)

PERADABAN BARU SAPI BX DI INDONESIA

Ternak sapi BX. (Foto: Kementan)

Heboh soal pemberitaan kantor berita ABC di berbagai media pada Desember 2019 lalu, bahwa ratusan sapi BX (Brahman Cross) asal Australia bantuan pemerintah Indonesia untuk program perbibitan sapi mengalami malnutrisi dan mati. Namun demikian hal itu dibantah pemerintah yang menyatakan bahwa sapi-sapi tersebut dalam kondisi baik.

Dalam kegiatan tersebut pemerintah menyalurkan sapi-sapi bantuan ini ke puluhan kelompok peternak dan UPTD disentra-sentra pengembangan sapi di Indonesia. Namun dikhawatirkan dampak dari pemberitaan tadi menjadi polemik baru mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan Australia. Seperti yang pernah terjadi pada peristiwa pemotongan brutal terhadap sapi BX asal Australia di RPH Indonesia 2011 silam, yang berakhir dengan penyetopan impor sapi asal Australia dan mengharuskan mengikuti standarisasi rantai pasok ternak sapi Australia (Exporter Supply Chain Assurance System/ESCAS).

Pemeliharaan Ekstensif
Sapi BX ini merupakan jenis sapi hasil persilangan antara sapi Brahman dengan berbagai bangsa sapi seperti Santa Gertrudies, Limousine, Simental, Angus, Hereford dan lainnya. Sapi-sapi persilangan tersebut lebih dikenal dengan ACC (Australia Commercial Cross) atau BX jika sapi Brahmannya lebih dominan.

Sapi-sapi ini hidup dan dikelola dalam sistem ranch, yaitu pemeliharaan secara ekstensif dilepas-liarkan di padang penggembalaan. Sapi-sapi ini tumbuh dan berkembang, serta bereproduksi di alam bebas. Boleh disebut tanpa sentuhan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan (IB) yang biasa dilakukan di dalam negeri.

Para peternak hanya menyiapkan makanan tambahan berupa mineral blok dan mengendalikan air yang berasal dari sumber air (embung) di tengah padang gembala. Pada musim tertentu mereka melakukan “mustering”, yaitu suatu periode untuk mengumpulkan ternak, menyeleksi, memilih, memisahkan ternak yang kecil dan besar, atau yang sakit, pemilihan jantan dan betina, untuk kemudian diatur kembali rasionya dalam kelompok ternak tersebut. 

Rasio lahan yang biasa digunakan di Australia bisa mencapai lebih dari 2 hektar per ekor. Bisa dibayangkan bila seorang peternak di Australia memiliki ternak 500 ekor, maka lahan yang dipakai tidak kurang dari 1.000 hektar. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Australia yang sekitar 24,5 juta orang, sedangkan jumlah populasi sapinya sekitar 25 juta ekor. Data ini bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia, dimana populasi penduduknya lebih dari 260 juta, sementara populasi sapinya hanya sekitar 16 juta ekor.

Kematian Sapi
Kematian sapi indukan dan anakannya yang terjadi selama ini pada kelompok peternak penerima bantuan, umumnya disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang dilakukan berbeda dengan pemeliharaan ternak tersebut di negara asalnya. Bisa dibayangkan bahwa sapi BX yang asalnya hidup di alam bebas, kini hidup dikurung dengan hidung yang dikeluh. Apalagi sapi ini juga memiliki sifat berahi tersembunyi (silent heat) yang akan sulit diketahui manusia. Biasanya peternak di Indonesia menyebut gejala birahi ini dengan 3B (Beureum, Bareuh, Baseuh). Jadi jika sapi-sapi ini minta kawin, hanya jantannya saja yang mengetahuinya. Kesimpulannya bahwa para peternak akan sulit mendeteksi sapi ini kapan akan dilakukan IB.

Selain itu, sapi BX ini juga ternyata memiliki sifat keibuan (mothering ability) yang rendah. Ditambah lagi jika sapi ini terlalu gemuk atau terlalu kurus, akan sulit bunting. Sifat-sifat inilah yang tidak dipahami peternak rakyat, sehinga sapi sulit bunting. Namun, seandainya sapi tersebut bunting (bawaan dari Australia) sampai melahirkan, ternyata pedet yang baru dilahirkan tersebut sudah mati di kandang, hal ini diakibatkan pedet terinjak-injak karena sifat mothering ability yang rendah.

Berdasarkan kondisi tersebut, sapi-sapi ini harus sangat diperhatikan agar pakan yang diberikan tidak menimbulkan kegemukan maupun kekurangan, serta diberikan kandang khusus untuk melindungi pedet dari sifat induknya yang agak liar. Hal ini berbeda dengan sapi-sapi lokal di Indonesia, khususnya sapi Bali, dalam kondisi apapun mereka tetap bisa bunting dan melahirkan pedet dengan baik.

Sebenarnya sapi BX lebih jinak ketimbang bangsa sapi lainnya. Namun pada kasus ini, dapat dibayangkan dari kehidupan bebas di alam terbuka tanpa hadirnya manusia, kini mereka dikandangkan yang serba tertutup dengan kesibukan manusia di sekitarnya.

Berdasarkan pengamatan, ternyata sebaiknya distribusi sapi kepada peternakan rakyat perlu dilakukan domestikasi terlebih dahulu oleh industri atau korporasi/lembaga peternakan yang memahami perilaku sapi BX. Sebab hasil dari domestikasi ini dipastikan anak keturunannya (pedet) sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan peternak sapi potong rakyat di Jawa, usahanya tidak berbasis lahan (non-land based). Peternak memberikan hijauan pakan dan konsentrat berasal dari hasil ikutan usaha taninya. Sebagian besar usaha ternak sapi potong di Jawa memberikan jerami padi sebagai hijauan pakan utamanya. Hanya sebagian kecil yang memberikan tambahan berupa ampas tahu, singkong (onggok), ataupun dedak padi. Pada kondisi ini para ahli pakan sudah menduga bahwa kasus kematian pedet dan indukan pasca melahirkan, utamanya disebabkan karena kualitas pakan yang tidak standar. Sehingga sapi-sapi terlihat kurus pasca melahirkan atau gemuk melibihi dari yang diharapkan bagi masa suburnya seekor sapi betina.

Peradaban Baru
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada kasus penyebaran sapi indukan dan ketidakberhasilan pengembangan sapi BX beberapa waktu lalu. Penulis menyimpulkan bahwa sapi BX asal Australia sesungguhnya tengah menjalani peradaban baru. Yaitu perubahan kultur atau budaya pemeliharaan yang bersifat ekstensif, dimana sapi-sapi bebas mencari pakan dan kawin, kini berada pada kultur budidaya intensif yang dikandangkan.

Perubahan ini telah disalahartikan oleh khalayak, bahwa sapi-sapi tersebut telah dibuat steril, diberikan sapi-sapi potong bukannya produktif dan sebagainya. Padahal sesungguhnya, sapi-sapi tersebut sedang melakukan proses adaptasi terhadap perubahan budaya pemeliharaan. Jika dibandingkan dengan sapi-sapi yang dipelihara di kebun sawit, tampak lebih banyak keberhasilan ketimbang yang dilakukan atau dipelihara secara intensif di kandang peternakan rakyat. Hal ini disebabkan perbedaan sistem pemeliharaan tidak terlalu signifikan dari negara asalnya.

Distribusi Sapi BX
Berdasarkan beberapa pengalaman baik dan buruknya sistem pemeliharaan sapi BX di tingkat peternak maupun perusahaan, kiranya perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, pengembangan sapi BX sebaiknya tidak diberikan kepada peternak rakyat secara langsung dari negara asalnya. Sapi-sapi ini perlu dilakukan domestikasi oleh korporasi yang kredibel. yaitu perusahaan/lembaga yang sangat paham terhadap pemerliharaan sapi BX sebagaimana di negara asalnya. Kondisi ini sesuai dengan amanat UU No. 41 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa perbibitan dan pengembangbiakan adalah tugas pemerintah. Oleh karenanya, kegiatan breeding dan pembiakan harus dilakukan oleh UPTD Pemerintah atau program sapi sawit yang dikelola pemerintah/swasta, kemudian anakannya (pedet) disebarkan kepada masyarakat peternak. Hal ini mengingat pemerintah bertekad bahwa pada 2020 ini akan melakukan importasi sebayak 1.500 ekor sapi betina bahkan bisa melebihi target.

Kedua, distribusi kepada peternak rakyat yang dilakukan secara intensif dalam kandang sebaiknya berupa sapi bakalan untuk penggemukan. Jadi pada masalah ini peternakan rakyat tidak dibebankan oleh usaha perbibitan dan pembiakan.

Ketiga, partisipasi menghasilkan pedet-pedet asal sapi BX impor dapat pula dilakukan oleh para pengusaha feedlot yang difasilitasi pemerintah sebagai insentif. Program ini akan mempercepat kehadiran sapi-sapi bakalan asal sapi BX bagi pengembangan peternakan sapi potong rakyat. Perusahaan feedloter nantinya dapat menghasilkan pedet-pedet jantan/betina yang didistribuskan kepada peternakan UPTD/sapi sawit maupun peternakan rakyat yang berminat.

Pola-pola pengembangan ini mungkin bisa menjadi jawaban atas ketidakberhasilan pengembangan sapi yang terjadi selama ini. Semoga pemerintah dapat mengkaji ulang arah pengembangan sapi potong di dalam negeri jika akan menggunakan sapi indukan BX sebagai salah satu model pengembangannya. ***

Rochadi Tawaf
Dewan Pakar Yayasan CBC Indonesia

Kementan Siapkan Naskah Kebijakan Penguatan Kemitraan di Sub Sektor Peternakan

Kemitraan sebenarnya sudah berjalan lama di bidang peternakan (Foto: Infovet)


Kementerian Pertanian sedang melakukan penyusunan naskah kebijakan untuk merevisi regulasi setingkat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang nantinya akan menjadi payung hukum tentang pelaksanaan kemitraan. Hal tersebut disampaikan oleh Fini Murfiani Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam siaran persnya, Rabu (28/11/2018).

Hal ini tentunya menepis anggapan beberapa pihak yang menyampaikan bahwa dengan adanya revisi Permentan 26 Tahun 2017, maka Pemerintah tidak mempunyai kedaulatan di negeri sendiri dan justru tunduk kepentingan asing.

Fini Murfiani

“Anggapan tersebut tidak benar” kata Fini. Ia tekankan bahwa Indonesia sebagai negara anggota WTO tentunya harus fleksibel dan bersedia memenuhi aturan perdagangan internasional, namun bukan berarti Pemerintah lantas tidak berupaya melakukan sesuatu.

Menurutnya, kemitraan ini sebenarnya sudah berjalan lama di bidang peternakan, cuma selama ini pelaksanaan kemitraan belum dilengkapi dengan perjanjian tertulis antar para pihak yang bermitra yang diketahui oleh Pemerintah, dalam hal ini oleh Kepala Dinas Provinsi maupun Kadis Kabupaten/Kota.

"Unsur Pemerintah ini perlu ada dalam perjanjian tertulis kemitraan karena sejak awal akan dinilai terkait dengan "fairness" isi dari perjanjian tersebut", ungkap Fini.

Lebih lanjut Ia jelaskan bahwa prinsip kemitraan adalah saling menguntungkan, saling percaya dan saling membutuhkan. Selain itu menurutnya, dengan adanya unsur Pemerintah, bila terjadi selisih pendapat antara para pihak yangg bermitra, Pemerintah dapat berperan sebagai "wasit" atau penengah atau mediator.

Terkait dengan pemanfaatan skim kredit, Fini berpendapat akan lebih baik bila disalurkan kepada peternak/kelompok ternak yang memiliki kemitraan dengan pelaku usaha menengah/besar, dimana pelaku usaha menengah/besar berperan sebagai avalis atau off-taker.

Untuk mendukung dari sisi pembiayaan ke peternak, Fini Murfiani menyebutkan bahwa Pemerintah juga telah memfasilitasi subsidi bunga Kredit Usaha rakyat (KUR). “Untuk peternakan ada KUR Khusus, ke-khususannya yaitu selain suku bunga KUR sebesar 7%, juga ada fasilitas grace period dengan jangka waktu maksimal 3 tahun”, ungkap Fini.

Ia katakan bahwa KUR yang telah disalurkan untuk bidang peternakan sampai dengan 31 Oktober 
2018 tercatat Rp.4,2 trilyun untuk 186.569 debitur.

"Selain KUR, Alhamdulillah, saat ini untuk para peternak sapi perah yang tergabung dalam koperasi primer, juga telah disalurkan skim kredit berbunga rendah melalui program PKBL dengan bunga 3% yang berasal dari beberapa BUMN, seperti:  PT. Sucofindo, PT. Pelindo III, PT. Jasindo dan PT. KAI,” ungkap Fini.

Menurutnya, melalui program tersebut tercatat sejak tahun 2000 sampai dengan 2018 sudah mencapai sebanyak Rp.20,16 milyar. PT Bank BTN juga sedang memproses penyaluran PKBL untuk peternak sapi perah.

Selain itu, untuk Mitigasi Resiko, Pemerintah juga telah menyalurkan menyediakan subsidi melalui Asuransi Usaha Ternak Sapi dan Kerbau (AUTS/K) berupa fasilitasi bantuan premi untuk 120.000 ekor per tahun sejak 2016.

Tumbuh Signifikan

Diwawancara secara terpisah, M. Koesnan Pengurus Koperasi Peternakan sapi Perah (KPSP) Setia Kawan Kabupaten Pasuruan manyampaikan, usaha peternakan sapi perah miliknya, akhir-akhir ini mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan karena adanya kemitraan yang diinisiasi oleh Pemerintah.

Dalam penyediaan modal/pinjaman dan bunga lunak, Koesnan menyebutkan bahwa Koperasinya bekerjasama  dengan BUMN, yakni PT. Sucofindo dan PT. Pelindo sejak tahun 2000, terutama dalam pengadaan bibit sapi perah dan bantuan sarana dan prasarana.

“Pemasaran susu segar hampir 100% kita salurkan ke PT. Indolakto dan sebagian kecil produksi susu dipasarkan lokal dalam bentuk susu olahan sederhana”, ungkapnya.

Ia sebutkan bahwa produksi susu segar koperasinya saat ini meningkat menjadi 108 ton litter/hari dengan populasi sapi perah sebanyak 22.500 ekor.

“Dengan meningkatnya produksi susu sapi di koperasi kami, tentunya ini berdampak dalam peningkatan pendapatan dan perekonomi para peternak”, ungkapnya.

Lebih lanjut Koesnan menjelaskan, untuk meningkatkan produktifitas sapi perah milik anggotanya, mereka melakukan program Penyediaan Pakan Ternak yang berkualitas, baik pakan konsentrat maupun hijauan pakan ternak secara berkelanjutan.

“Untuk pengembangan Hijauan Makanan Ternak (HMT), kami menyediakan bibit-bibit yang berkualitas, bahkan untuk menjamin dan pengawasan mutu pakan, kami kerjasama dengan Balai Penelitian Ternak Loka Grati Pasuruan”, ujar Koesnan.

Lanjut dia, kerjasama juga dijalin dengan PUM Belanda untuk meningkatkan SDM dan perbaikan nutrisi pakan ternak.

KPSP Setia Kawan saat ini juga tengah mengembangkan susu organik bekerjasama dengan ARLA Denmark.

“Untuk perlindungan usaha anggotanya, Koperasi ini juga telah dilindungi oleh Asuransi Ternak (AUTS) kerjasama dengan PT. Jasindo yang difasilitasi oleh Kementan”, ucap Koesnan. (Rilis Kementan)

KESEJAHTERAAN PETERNAK SAPI LOKAL KIAN MENURUN

Suasana konferensi pers Pataka di Hotel Ibis Jakarta, (19/9).
Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), mempersembahkan hasil riset mengenai peternakan sapi lokal di Indonesia, pada acara Konferensi Pers Tinjauan Kebijakan Peternakan Sapi Indonesia, di Hotel Ibis, Jakarta.

“Tujuan kami ini ingin melihat bagaimana tingkat kesejahteraan peternak sapi lokal dari tahun ke tahun, dengan mengukur pendapatannya dan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan mereka,” ujar Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika, Selasa, (19/9).

Ia memaparkan, riset yang dilakukan pihaknya terdapat di empat Provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung, dengan 12 Kabupaten dan melibatkan 215 responden, diantaranya 148 peternak sapi dengan berbagai kriteria, 24 blantik, 18 jagal, 7 RPH/TPH dan 18 pedagang daging. “Kami juga membedakan peternak dengan tiga klasifikasi, diantaranya peternak breeder atau pembibitan, peternak rearing atau pembesaran dan peternak feedloter atau penggemukan,” jelas dia.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dari hasil riset didapat bahwa, harga rata-rata pembelian sapi 2014-2017 untuk sapi indukan betina, sapi pedet jantan dan betina, sapi bakalan jantan dan betina, masih mengalami kenaikan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Untuk sapi indukan betina meningkat sebesar 46,5% per tahun, pedet jantan 8,62% per tahun, pedet betina 10,83% per tahun, kemudian bakalan jantan 3,74% per tahun dan bakalan betina 4,86% per tahun.

“Jadi semua jenis sapi mengalami peningkatan harganya dari tahun ke tahun. Untuk indukan betina bila bobotnya tinggi, harganya relatif rendah, sementara pedet betina dan jantan walaupun bobotnya kecil, harga per kilo hidupnya lebih tinggi. Ini yang sering kali kita tidak melihat, pada intinya ini sebagai modal pembelian para peternak,” ungkapnya.

Ia menambahkan, “Kalau dilihat dari sisi bobot sapi, ada kekhawatiran bahwa bobot sapi yang dibeli para peternak ada kecenderungan menurun. Jadi, jenis sapi yang dipelihara oleh para peternak ini dari tahun ke tahun makin kecil, konsekuensinya otomatis umur pemeliharaannya lebih lama,” tambahnya.

Kesejahteraan peternak sapi semakin menurun
karena biaya yang semakin meningkat
dan kebijakan yang tidak kondusif.
Lebih lanjut, untuk perkembangan sapi yang dijual, Yeka menuturkan, dari ketiga peternak (breeder, rearing dan feedloter), terjadi penurunan penjualan. “Jadi logis saja dari data kenaikan harga, ternyata jumlah sapi yang dipasok ke pasar mengalami penurunan tiap tahunnya,” terang dia. Penurunan terjadi untuk breeder 50%, rearing 10% dan feedloter 7,6%.

Di sisi lain, untuk ketiga klasifikasi peternak tadi, harga pakan baik hijauan dan konsentrat ikut mengalami peningkatan, dengan total kenaikan rata-rata (2014-2017) untuk hijauan 52% dan konsentrat 14%. Ditambah lagi dengan biaya tenaga kerja yang juga ikut naik sebesar 10%, kemudian untuk biaya pengobatan khusus untuk breeder mengalami kenaikan 123%.

Sedangkan untuk biaya pemeliharaan, kata Yeka, untuk breeder pejantan mengalami kenaikan sebesar 9,83%, rearing bakalan jantan naik 19,87% dan feedloter sapi siap potong meningkat 13,26%. Berdasarkan data setiap tahunnya, keuntungan yang didapatkan peternak sapi tidak terlalu besar bahkan mengalami kerugian. “Bila menghitung seluruh biaya yang ada, maka kesejahteraan peternak terus menurun, khususnya untuk peternak pembesaran (rearing) dan penggemukkan (feedloter),” tandasnya.

Sementara, menurut Rochadi Tawaf dari Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia (LSPPI), yang juga Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), menuturkan, penurunan kesejahteraan peternak sapi di Indonesia ikut dipengaruhi oleh beberapa kebijakan yang kontroversial, seperti kebijakan pembebasan impor daging dan sapi, kebijakan impor dari negara yang belum bebas PMK dan kebijakan rasio impor sapi bakalan dengan indukan.
“Kebijakan itu harusnya memiliki naskah akademik (scientific based policy). Tidak hanya sesaat tapi bersifat futuristic, low risk dengan pendekatan berbasi kearifan budaya lokal (local wisdom),” katanya.

Kebijakan-kebijakan tersebut, lanjut dia, berpotensi menghilangkan peluang usaha bagi peternak rakyat dan juga dapat berdampak pada tutupnya bisnis usaha feedloter di Indonesia. “Solusinya pemerintah perlu menciptakan iklim kondusif bagi pembangunan peternakan sapi potong nasional melalui harmonisasi kebijakan yang berlandaskan kajian scientific yang kredibel,” pungkasnya. (RBS)

Keputusan MK; Impor Daging Berbasis Zona Dibolehkan Jika Keadaan Darurat

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pemohon, namun memberlakukan syarat pengamanan maksimum impor ternak dan produk ternak, baik berbasis zona maupun country. Demikian Hermawanto, advokat dan konsultan hukum pemohon uji materi UU no 41 /2014, usai Sidang Mahkamah Konstitusi di gedung MK Jakarta, Selasa 7 Februari 2017.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer