Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini KESEJAHTERAAN PETERNAK SAPI LOKAL KIAN MENURUN | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KESEJAHTERAAN PETERNAK SAPI LOKAL KIAN MENURUN

Suasana konferensi pers Pataka di Hotel Ibis Jakarta, (19/9).
Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), mempersembahkan hasil riset mengenai peternakan sapi lokal di Indonesia, pada acara Konferensi Pers Tinjauan Kebijakan Peternakan Sapi Indonesia, di Hotel Ibis, Jakarta.

“Tujuan kami ini ingin melihat bagaimana tingkat kesejahteraan peternak sapi lokal dari tahun ke tahun, dengan mengukur pendapatannya dan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan mereka,” ujar Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika, Selasa, (19/9).

Ia memaparkan, riset yang dilakukan pihaknya terdapat di empat Provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung, dengan 12 Kabupaten dan melibatkan 215 responden, diantaranya 148 peternak sapi dengan berbagai kriteria, 24 blantik, 18 jagal, 7 RPH/TPH dan 18 pedagang daging. “Kami juga membedakan peternak dengan tiga klasifikasi, diantaranya peternak breeder atau pembibitan, peternak rearing atau pembesaran dan peternak feedloter atau penggemukan,” jelas dia.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dari hasil riset didapat bahwa, harga rata-rata pembelian sapi 2014-2017 untuk sapi indukan betina, sapi pedet jantan dan betina, sapi bakalan jantan dan betina, masih mengalami kenaikan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Untuk sapi indukan betina meningkat sebesar 46,5% per tahun, pedet jantan 8,62% per tahun, pedet betina 10,83% per tahun, kemudian bakalan jantan 3,74% per tahun dan bakalan betina 4,86% per tahun.

“Jadi semua jenis sapi mengalami peningkatan harganya dari tahun ke tahun. Untuk indukan betina bila bobotnya tinggi, harganya relatif rendah, sementara pedet betina dan jantan walaupun bobotnya kecil, harga per kilo hidupnya lebih tinggi. Ini yang sering kali kita tidak melihat, pada intinya ini sebagai modal pembelian para peternak,” ungkapnya.

Ia menambahkan, “Kalau dilihat dari sisi bobot sapi, ada kekhawatiran bahwa bobot sapi yang dibeli para peternak ada kecenderungan menurun. Jadi, jenis sapi yang dipelihara oleh para peternak ini dari tahun ke tahun makin kecil, konsekuensinya otomatis umur pemeliharaannya lebih lama,” tambahnya.

Kesejahteraan peternak sapi semakin menurun
karena biaya yang semakin meningkat
dan kebijakan yang tidak kondusif.
Lebih lanjut, untuk perkembangan sapi yang dijual, Yeka menuturkan, dari ketiga peternak (breeder, rearing dan feedloter), terjadi penurunan penjualan. “Jadi logis saja dari data kenaikan harga, ternyata jumlah sapi yang dipasok ke pasar mengalami penurunan tiap tahunnya,” terang dia. Penurunan terjadi untuk breeder 50%, rearing 10% dan feedloter 7,6%.

Di sisi lain, untuk ketiga klasifikasi peternak tadi, harga pakan baik hijauan dan konsentrat ikut mengalami peningkatan, dengan total kenaikan rata-rata (2014-2017) untuk hijauan 52% dan konsentrat 14%. Ditambah lagi dengan biaya tenaga kerja yang juga ikut naik sebesar 10%, kemudian untuk biaya pengobatan khusus untuk breeder mengalami kenaikan 123%.

Sedangkan untuk biaya pemeliharaan, kata Yeka, untuk breeder pejantan mengalami kenaikan sebesar 9,83%, rearing bakalan jantan naik 19,87% dan feedloter sapi siap potong meningkat 13,26%. Berdasarkan data setiap tahunnya, keuntungan yang didapatkan peternak sapi tidak terlalu besar bahkan mengalami kerugian. “Bila menghitung seluruh biaya yang ada, maka kesejahteraan peternak terus menurun, khususnya untuk peternak pembesaran (rearing) dan penggemukkan (feedloter),” tandasnya.

Sementara, menurut Rochadi Tawaf dari Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia (LSPPI), yang juga Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), menuturkan, penurunan kesejahteraan peternak sapi di Indonesia ikut dipengaruhi oleh beberapa kebijakan yang kontroversial, seperti kebijakan pembebasan impor daging dan sapi, kebijakan impor dari negara yang belum bebas PMK dan kebijakan rasio impor sapi bakalan dengan indukan.
“Kebijakan itu harusnya memiliki naskah akademik (scientific based policy). Tidak hanya sesaat tapi bersifat futuristic, low risk dengan pendekatan berbasi kearifan budaya lokal (local wisdom),” katanya.

Kebijakan-kebijakan tersebut, lanjut dia, berpotensi menghilangkan peluang usaha bagi peternak rakyat dan juga dapat berdampak pada tutupnya bisnis usaha feedloter di Indonesia. “Solusinya pemerintah perlu menciptakan iklim kondusif bagi pembangunan peternakan sapi potong nasional melalui harmonisasi kebijakan yang berlandaskan kajian scientific yang kredibel,” pungkasnya. (RBS)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer