Kepala Dinas Peternakan Jombang, Meninjau Kegiatan Vaksinasi PMK
Dinas Peternakan (Disnak) Jombang sukses menekan penyebaran kasus peyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak di Jombang. Bahkan, saat ini mereka mengklaim sudah tidak ada hewan ternak yang terjangkit alias zero kasus.
Kepala Disnak Jombang Agus Susilo Sugioto mengatakan, sejak dirilis Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur pada tanggal 5 Mei tahun lalu, telah terjadi adanya wabah PMK yang telah menyerang 1.247 ekor ternak sapi di empat kabupaten, yakni Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto.
”Jombang tidak luput dari kasus PMK. Diawali pada kasus pertama yang terjadi terduga PMK pada 5 ekor sapi potong milik satu peternak di Desa Pulorejo, Kecamatan Tembelang dan di Dusun Sidolegi, Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam pada 10 ekor sapi potong,” katanya.
Sebagai langkah, lanjut Agus, dinas melakukan upaya investigasi ke lapangan oleh Tim dari Laboratorium Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta untuk peneguhan diagnosa dan didapatkan hasilnya positif PMK.
Dirinya mengungkapkan, jumlah hewan ternak yang rentan PMK di Kabupaten Jombang tercatat sapi potong sebanyak 60.860 ekor, sapi perah 6.160 ekor, kerbau 48 ekor, kambing 112.995 ekor dan domba 64.013 ekor. Jumlah kejadian kasus PMK, juga terus meningkat mulai dari awal Mei sampai puncaknya di awal Juli 2023. Berdasarkan data, jumlah kasus PMK mencapai 8.393 kasus, sembuh 7.857 kasus, mati 249 kasus, potong paksa 292 kasus, dan sisa sakit 0.
"Jadi untuk Kini, sudah zero kasus sejak juli 2023 dan bertahan sampai sekarang,” bebernya.
Ia menambahkan, disnak berupaya untuk mempertahankan zero kasus dengan berbagai cara. Diantaranya, meningkatkan pengamanan lalu lintas hewan rentan PMK yang keluar dan masuk Jombang. Baik itu sapi, kambing, dan domba dengan mensyaratkan harus memiliki Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKH) dan sudah tervaksin PMK. Disnak juga melakukan sosialisasi ke seluruh peternak tentang manfaat vaksinasi dan dipastikan vaksin aman.
"Apabila dilakukan pada ternak yang sehat serta terbukti sangat efektif untuk melindungi ternak dari serangan virus PMK,” pungkasnya. (INF)
Ketika terjadi wabah PMK di Indonesia sejak
Mei 2022 lalu, banyak orang terkejut melihat betapa banyaknya kerugian yang
diderita peternak. Masyarakat baru
tersadar bahwa sejak 1990 Peternakan Indonesia dibuai oleh situasi yang nyaman
tanpa PMK. Kondisi baik bertahun-tahun ini dirasakan sebagai hal yang biasa
saja, hingga masyarakat lupa (atau melupakan) bahwa sebelum tahun 1990 negeri
ini harus berjibaku menghadapi ancaman PMK yang menghabiskan dana triliunan
rupiah.
Masyarakat juga banyak yang tidak tahu
bahwa pada periode bebas PMK tahun 1990 hingga 2022, Indonesia mengalami masa
heroik dalam upaya mempertahankan diri dari masuknya wabah PMK. Masa itu
berlangsung tahun 1999-2003 berupa pandemi PMK dimana banyak negara yang semula
bebas PMK diserbu wabah PMK yang sangat tidak mudah diberantas.
Negara Eropa yang menerapkan sistem yang
sangat ketat seperti Inggris dan Perancis
kebobolan wabah PMK dan harus memusnahkan jutaan ekor sapi (stamping
out) sebagai upaya agar segera kembali mendapat status bebas PMK.
Mengapa Indonesia, sebagai negara
berkembang, kali ini bisa bertahan dengan status bebas PMK? Ini karena
Pemerintah waktu itu menerapkan kebijakan
maximum security (pengamanan maksimum). Konsep kebijakan ini digagas dan diterapkan langsung oleh Dirjen
Peternakan saat itu, Dr. Drh. Sofjan Soedardjat MS. Keputusan menerapkan
kebijakan Maximum Security adalah keputusan yang berani, karena sebagai pejabat
eselon satu ia harus meyakinkan atasannya (Menteri Pertanian), juga Menteri
terkait lainnya, Lembaga DPR, MPR dan
juga presiden bahwa kebijakan ini akan efektif. Ia harus berkejaran dengan
waktu antara berkordinasi dengan atasan, bawahan, lintas kelembagaan, dan
sekaligus juga segera melakukan langkah taktis agar Indonesia tidak kebobolan
PMK.
Obrolan Tentang PMK bersama Dr Sofjan
Harap ditonton sampai selesai
Konsekuensi dari kebijakan Maximum
Security, Sofjan sebagai Dirjen Peternakan harus tegas menolak bantuan daging
dari negara lain yang tertular PMK, menolak kapal bermuatan jagung dari negara
Argentina dan Brasil yang tengah dilanda wabah PMK, menerapkan disinfeksi
terhadap Pangeran Charles yang berkunjung ke Indonesia karena Inggris sedang
mengalami wabah PMK, menerapkan disinfeksi super ketat terhadap pemimpin negara
G-20 yang waktu itu mengadakan pertemuan di Indonesia, menolak impor kulit dari
negara Afrika, membatalkan rencana presiden Libya Muammar Khadafy yang
berencana menunggang unta di Indonesia
dengan unta yang dibawa dari Libya, dan berbagai kebijakan yang pastinya
harus melalui proses birokrasi yang tidak sederhana.
Untunglah akhirnya upaya yang dianggap
“berlebihan” oleh sebagian orang ini, berhasil membuat Indonesia lolos dari
serangan wabah PMK. Waktu itu wabah melanda ratusan negara ini hanya menyisakan
5 negara yang tetap bebas PMK, dimana salah satunya adalah Indonesia.
Sebagai apresiasi atas keberhasilan
Indonesia saat itu, tahun 2003 Menteri Pertanian Prof Bungaran Saragih
didampingi Dirjen Peternakan Sofjan
Soedardat diundang oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des
Epizooties /OIE) untuk berpidato di depan para Menteri anggota OIE. Menteri
Pertanian Indonesia saat itu berbagi pengalaman tentang keberhasilan Indonesia
tetap bebas PMK. Inilah momen yang pastinya sangat membanggakan.
Sayangnya, kisah sukses menyelamatkan
negara dari serangan wabah PMK periode ini sepi dari berita. Masyarakat
menganggap bahwa tidak ada PMK adalah hal biasa saja.
Sofjan begitu gigih mempertahankan
Indonesia bebas PMK bukanlah tanpa sebab. Pengalamannya sebagai ketua tim
operasional pemberantasan PMK yang mewabah tahun 1983 menjadikan ia punya
pemahaman dan pengalaman yang mendalam tentang PMK. Di usianya yang masih 30an tahun, Sofjan saat
itu dipercaya sebagai ketua tim operasional yang harus mampu berurusan dengan
lintas kementerian hingga Polri dan TNI. Ia ditempa dengan situasi wabah. Bukan
saja ditempa dalam keahlian sebagai dokter hewan yang menangani wabah,
melainkan kemampuan berkordinasi dengan pejabat lintas sektoral, memimpin tim
peternakan di pusat dan daerah, juga
berkordinasi dengan pejabat TNl dan POLRI, serta yang tidak kalah pentingnya,
melakukan penyediaan vaksin dan obat-obatan dengan cepat.
Keberhasilan Indonesia mendapat pengakuan
bebas PMK tahun 1990, tak lepas dari peran dia bersama timnya. Tak heran jika,
di tahun 1999-2003 dengan jabatannya sebagai Dirjen, ia berjuang keras agar PMK tidak masuk ke
Indonesia.
Dia juga bersama seniornya Dr Soehadji dan
beberapa tokoh peternakan pada tahun 2010 melakukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) gara-gara UU no 18/2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan membolehkan impor komoditi peternakan
dari negara yang belum bebas MK.
Kini tatkala wabah PMK benar-benar terjadi
di Indonesia, kita perlu kembali melihat sejarah. Mengambil pelajaran penting
dari semua kejadian.
Itu sebabnya melalui kanal Youtube Infovet saya juga melakukan wawancara dengannya agar setidaknya pengalamannya bisa deketahui lebih banyak orang (klik layar video youtube di artikel ini atau klik di sini.
Saya juga mendorong Dr Sofjan
Sudardjat untuk segera menulis buku tentang “Pengamanan Maksimum Kesehatan
Hewan dan Risalah Khusus PMK di Indonesia”, agar publik punya referensi
keilmuan, kebijakan dan pengalaman yang telah terbukti berhasil diterapkan.
Alhamdulillah usulan ini diterima dan penulisan
buku langsung dikebut untuk segera terbit. Semoga lancar dan bermanfaat bagi
masyarakat.**
Penulis adalah Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Infovet
“Sampai
saat ini, peternakan babi kita tidak atau belum kena penyakit mulut dan kuku
(PMK). Namun demikian, kiita tetap harus waspada,” tandas Ketua Umum Asosiasi
Monogastrik Indonesia (AMI), Dr Sauland Sinaga SPt Msi.
Pernyataan
tersebut disampaikan Sauland dalam sesi akhir webinar nasional “Dampak dan Antisipasi
Masuknya PMK di Indonesia Bagi Peternakan Babi” yang diadakan Jumat (27/5)
secara daring.
Pembicara
webinar yaitu Dewan Pakar Bidang Kesehatan Hewan AMI, Drh Tri Satya Naipospos
Hutabarat MPhil PhD yang berhalangan hadir, pemaparan presentasi diwakili oleh
Drh Yohanes Simarmata MSc selaku Anggota Dewan Pakar Bidang Kesehatan Hewan AMI
dan Ketua AMI Nusa Tenggara Timur.
Dipaparkan
Yohanes diantaranya mengenai wabah PMK yang melanda peternakan babi yang
terjadi di negara Asia Timur seperti di China, Taiwan, Korea Selatan, Korea
Utara, dan Hongkong.
“Ada
7 kali wabah PMK yang terjadi sepanjang tahun 2010-2011 di peternakan babi pada
negara tersebut. Wabah PMK pada babi paling besar terjadi di taiwan pada tahun
1997,” sebut Yohanes.
Sebanyak
6.147 ribu peternakan babi dengan lebih dari 4 juta ekor trinfeksi dan 37,7%
babi di Taiwan baik karena mati (0,18 juta ekor) atau dimusnahkan (3,85% juta
ekor). Akibat wabah PMK, Taiwan tidak bisa melakukan ekspor babi dan produk
babi selama 24 tahun.
Sementara
Sauland menambahkan, kasus PMK di Inggris terjadi di tahun 2001 merujuk pada
sumber DEFRA (Departement of Environment, Food, & Rural Affairs UK). Sebanyak
146.000 ekor babi dimusnahkan.
Lebih lanjut Sauland mengatakan ternak babi berpotensi terinfeksi PMK banyaknya melalui oral. “Bagaimanapun paling penting upaya mencegah
PMK masuk ke peternakan babi dengan memperketat lalu lintas ternak antar pulau,
antar provinsi maupun zona,” tegasnya.
Pada
acara yang sama, Drh Arif Wicaksono selaku Kasubdit Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Hewan Ditkeswan mengemukakan perihal pelaksanaan biosekuriti dan
pengolahan swill feeding. Salah satu poin pentingnya adalah tidak disarankan
memberikan pakan kepada ternak babi menggunakan sisa makanan.
Arif
juga menjelaskan pengendalian lalu lintas ternak dalam hal ini pada tingkat peternak,
pemerintah dengan bantuan berbagai pihak terkait melakukan pendampingan pada
peternak untuk tidak menjual ternak sakit dengan melakukan terapi supportif
pada hewan sakit. (NDV)
Vaksinasi untuk mencegah penyebaran PMK. (Foto: Istimewa)
Menyikapi mewabahnya kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh M. Munawaroh, menegaskan untuk segera melakukan tindakan pencegahan melalui vaksinasi agar virus tidak meluas.
"PMK ini virus, tidak ada obatnya. Bisa dilakukan pencegahan dengan vaksinasi. Ini tidak jauh beda dengan COVID-19. Dengan adanya vaksin akan memudahkan pencegahan," kata Munawaroh ketika menjadi narasumber dalam program Primetime News di Metro TV, Selasa (10/5/2022).
Ia mengimbau, apabila vaksinasi dalam negeri kurang atau tidak mencukupi, bisa dilakukan impor vaksin agar kejadian PMK tidak semakin menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Diketahui PMK merebak di Jawa Timur dan Aceh.
Disebutkan merebaknya penyakit PMK tak luput dari lalainya impor ternak maupun daging dari negara yang belum bebas PMK seperti India maupun Brasil, melalui PP No. 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.
"Kita sudah pernah beri masukan soal impor sapi atau daging dari negara yang belum bebas PMK. Aturan itu perlu ditinjau ulang. Ini menjadi kecerobohan kita. Karena untuk bebas dari PMK tidak mudah dan membutuhkan biaya," ucap Munawaroh. Hal ini menjadi keprihatinan mengingat Indonesia sudah bebas PMK sejak 1986 silam.
Kendati demikian tegas Munawaroh, masyarakat diimbau tak perlu risau untuk mengonsumsi daging sapi maupun ternak ruminansia lainnya. Karena PMK bukan merupakan penyakit zoonosis.
"Saya tegaskan PMK tidak menular kepada manusia, sehingga tidak perlu takut mengonsumsi daging sapi, asal daging tersebut benar-benar dimasak dengan matang," pungkasnya. (RBS)