Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Zoonosis | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

AVIAN INFLUENZA MEREBAK DI INDIA

Angsa liar, salah satu biang keladi merebaknya AI di India

India dibuat heboh dengan munculnya wabah flu burung di lima negara bagian, saat pandemi virus corona masih melanda. Hal ini menyebabkan Kementerian Lingkungan India segera mengeluarkan peringatan nasional.

“Flu burung telah menginfeksi unggas - unggas di sabuk Barwala, distrik Panchkula di utara negara bagian Haryana, kami sejauh ini sampai tanggal 6 Januari 2021 tercatat 350.000 unggas mati di distrik itu, semuanya diduga mati karena flu," papar Mukesh Kumar Ahuja, wakil komisaris departemen peternakan.

"Arahan dari Kementerian terkait sedang diikuti dan distrik itu berada di bawah pengawasan ketat terhadap gejala pada hewan lain," ungkap Ahuja.

Wabah itu juga menewaskan 2.400 burung migran di negara bagian utara Himachal Pradesh. 
“Hingga Senin malam, kami telah mencatat kematian 2.403 ekor angsa liar yang semuanya positif virus H5N1. Ini serius dan kami mengikuti pedoman dari Kementerian untuk menghentikan penyebaran virus ke unggas peliharaan,” ujar Dr Munish Batta, wakil direktur epidemiologi di departemen peternakan.

Angsa - angsa liar tersebut tiba di Danau Bendungan Pong, yang terletak di negara bagian Himachal, dari Asia Tengah, Rusia, Mongolia, dan wilayah lain pada musim dingin setelah melintasi pegunungan Himalaya. Januari lalu, lebih dari 100.000 burung itu berada di danau.

Batta lebih lanjut mengatakan radius 10 kilometer di wilayah sekitar danau dalam pengawasan ketat setelah lima bangkai angsa pertama dinyatakan positif flu burung, dan pariwisata telah ditangguhkan.

Kebun binatang juga jadi korban

Sebanyak 589 bangkai burung gagak dan merpati di sebuah kebun binatang di Gopalpur, negara bagian Rajasthan, ditemukan positif flu burung.

“Kami tidak mengetahui sumber pasti darimana virus AI tersebut berasal, sejauh ini kami memastikan bahwa unggas yang mati dikubur atau dibakar dan area tersebut didisinfeksi, sesuai pedoman Kementerian,” papar Dr Virender Singh, direktur departemen peternakan negara bagian Rajasthan.

Sementara itu negara bagian tengah Madhya Pradesh dan negara bagian selatan Kerala juga melaporkan lebih dari 10.000 unggas mati, termasuk bebek, gagak, dan merpati, selama sepekan terakhir.

Menurut media lokal Mathrubhumi, negara bagian Kerala telah menyatakan flu sebagai "bencana" dan mengatakan akan memusnahkan 48.000 bebek.

Untuk menghindari penyebaran unggas peliharaan dan unggas ternak, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan peringatan nasional kepada negara-negara bagian dan mengarahkan mereka mengambil langkah serius dalam hal ini.

“Mempertimbangkan situasi gawat ini, kementerian meminta semua negara bagian atau teritori serikat untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang mungkin untuk mencegah penularan penyakit, jika ada, pada hewan, burung dan manusia lain. Pengawasan terhadap kematian satwa liar, terutama perlu menjadi prioritas, dan negara bagian diminta melaporkan kejadian kematian tersebut kepada kementerian ini,” papar pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup tersebut. (Reuters/CR)

HARI RABIES SEDUNIA 2020 : MENGEDUKASI ANAK MENGENAI RABIES MELALUI DRAMA VIA DARING

 

Drama via daring zoom, ramai diminati anak - anak

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, FAO ECTAD, dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mengadakan kampanye rabies kepada 481 Sekolah Dasar siswa/i di Kalimantan Barat serta provinsi lainnya yang mendaftar melalui saluran Youtube Ditkesmavet.

Kampanye rabies ini dikemas dalam bentuk pentas drama virtual anak "Aku dan Hewan Kesayanganku Bebas Rabies" yang menyuguhkan informasi tentang apa itu rabies, bahaya rabies, tindakan yang dilakukan jika digigit hewan penular rabies, cara menghindari gigitan anjing serta memelihara hewan kesayangan yang baik melalui konsultasi ke dokter hewan dan pentingnya vaksinasi rabies secara rutin pada hewan.

Dalam pengantarnya, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, drh. Syamsul Ma’arif M.Si mengatakan bahwa rabies adalah salah satu zoonosis yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner bertanggungjawab terhadap pengendalian dan penanggulangan zoonosis, utamanya agar penyakit ini tidak menular kepada manusia.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah peningkatan partisipasi masyarakat dengan memperhatikan kesehatan lingkungan dan kesejahteraan hewan. Syamsul menambahkan bahwa sebagai wujud tanggungjawab kepada hewan peliharaan, maka setiap orang yang memiliki atau memelihara hewan wajib menjaga dan mengamati kesehatan hewan dan menjaga kebersihan serta kesehatan lingkungannya. Jika mengetahui terjadinya kasus zoonosis misalnya rabies pada manusia dan/atau hewan, wajib melaporkan kepada petugas yang berwenang baik itu petugas kesehatan maupun petugas kesehatan hewan.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Kalimantan Barat Drs. H. Ria Norsan, MM, MH, sangat mengapresiasi bahwa kegiatan edukasi rabies kepada anak-anak sekolah dasar dalam rangka Peringatan hari rabies Sedunia tahun 2020 ini dilaksanakan di wilayahnya, mengingat Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah endemis rabies di Indonesia.

Norsan menyatakan bahwa pada Bulan Agustus 2014 Kalimantan Barat pernah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies. Namun pada akhir tahun 2014 provinsi ini kembali dinyatakan sebagai daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies setelah ditemukannya kasus gigitan anjing positif rabies di Kabupaten Ketapang, Melawi, dan terus menyebar ke seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Barat kecuali Kota Pontianak.

“Kasus tertinggi terjadi tahun 2018 dengan jumlah korban meninggal sebanyak 25 orang dari 3.873 kasus gigitan. Pada tahun 2019, ada 14 orang korban meninggal dari 4.398 kasus gigitan. Di tahun 2020 tertanda sampai 21 September ini korban meninggal sebanyak 2 orang dari 1.398 kasus gigitan,” tuturnya.

Norsan mengharapkan agar edukasi tentang rabies ini dapat terus diingat oleh anak-anak, sehingga tidak ada lagi anak-anak di Kalimantan Barat yang tertular rabies, sesuai dengan visi misi Kalimantan Barat, zero infeksi rabies tahun 2023.

Team Leader a.i FAO ECTAD Luuk Schoonman menambahkan bahwa kegiatan KIE yang menargetkan anak-anak di sekolah dasar ini dapat menjadi pengingat kepada sekitarnya untuk saling menjaga kesehatan hewan agar terhindar dari penyakit rabies.

“Anak-anak dapat menjadi agent of change dalam mengingatkan ancaman penyakit rabies kepada orang tua, saudara, maupun teman bermain di lingkungan disekitarnya. Dengan metode penyampaian pesan yang dekat dengan dunia anak, seperti menyanyi dan pentas drama, diharapkan anak-anak dapat lebih mengerti tentang bahaya rabies dan pencegahan jika terjadi gigitan rabies,” ujar Luuk.

Pelaksana Tugas Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia Pamela Foster mengatakan bahwa tahun ini lebih baik dari sebelumnya karena kita dapat melihat bukti bahwa penyakit menular seperti rabies tidak mengenal batas wilayah dan menimbulkan ancaman serius bagi individu, negara, dan dunia.

“Pemerintah Amerika Serikat, melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), telah bermitra dengan Indonesia selama lebih dari sepuluh tahun sebagai bagian dari komitmen bersama kami terhadap Agenda Ketahanan Kesehatan Global, untuk mengendalikan dan mencegah penyakit menular. Peringatan Hari Rabies Sedunia tahun ini menggarisbawahi peran penting yang dapat dilakukan generasi muda untuk membantu mengatasi tantangan ini dan menjaga diri mereka tetap aman,” tutur Pamela.

Dalam sambutan pembukaanya Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Dr. Ir. Nasrullah, M.Sc mengatakan dan edukasi tentang rabies khususnya kepada anak-anak usia sekolah dasar di daerah endemis ini sangat penting, mengingat mayoritas korban gigitan adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun.

Nasrullah menambahkah bahwa rabies merupakan salah satu zoonosis yang mematikan di dunia. Mengutip informasi dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) bahwa setiap sembilan menit satu orang meninggal dunia karena rabies. dan setiap tahun, rabies membunuh hampir 59.000 orang di seluruh dunia.

Lebih dari 95 % kasus rabies pada manusia akibat gigitan anjing yang terifeksi rabies. Walaupun mematikan, rabies pada manusia 100 % dapat dicegah. Vaksinasi anjing terhadap rabies merupakan cara yang terbaik dalam mencegah penularan rabies dari hewan ke manusia. Dengan melakukan vaksinasi setidaknya 70 % dari populasi anjing, kita dapat mencegah penularan rabies dari hewan ke manusia.

Tentang Hari Rabies Sedunia 2020

Hari Rabies Sedunia diperingati setiap tanggal 28 September. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian – FAO ECTAD – USAID mengadakan serangkaian kegiatan kolaborasi dengan Kementerian Kesehatan, WHO, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Dinas Pendidikan Kalimantan Barat, dan Dinas Pangan, Peternakan, dan Kesehatan Hewan Kalimantan Barat.

Serangkaian kegiatan Hari Rabies Sedunia yang dilakukan secara virtual, terdiri dari lomba foto dan video rabies, pentas drama untuk anak-anak, konferensi pers kepada media, dan webinar acara puncak Hari Rabies Sedunia 2020. Seluruh rangkaian kegiatan ini difokuskan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya pemberantasan rabies di Indonesia. (CR)

MEWASPADAI RE-EMERGING DISEASE AKIBAT GIGITAN EKTOPARASIT

Caplak Rhipicephalus microplus menjadi vektor penyakut SFTS


Beberapa waktu belakangan dunia kembali dihebohkan dengan wabah baru. Kembali lagi ke negeri tirai bambu sana, sejauh ini di Provinsi Jiangsu Tiongkok, sebanyak 7 orang dinyatakan meninggal dunia dan 64 orang positif terinfeksi penyakit yang bernama Severe Fever Trombocytopenia Syndrome (SFTS). 

Memang penyakit ini bukan penyakit baru, Menurut Dicky Budiman seorang epidemiolog Universitas Griffith Australia penyakit ini sudah ditemukan sejak tahun 2009 yang lalu. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus dari famili bunyaviridae yang menular akibat gigitan caplak (tick) atau sejenis arthropoda seperti kutu.

Salah satu caplak yang bisa menjadi vektor penyakit ini adalah Rhipichepalus microplus alias caplak sapi. Caplak ini biasanya menjadi ektoparasit pada tubuh sapi dan pernah dilaporkan ada pada sapi - sapi asal Australia.

"Kasus pertama penyakit ini ditemukan pada 2009 dan virusnya sudah diisolasi pada 2011. Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2013 di Jepang, dan Korea Selatan," kata Dicky.

Dicky juga mengatakan, yang harus diwaspadai dari penyakit ini adalah potensi penularan dari manusia ke manusia, artinya memiliki potensi untuk menyebar ke wilayah lain.

"Namun, dari sisi mekanisme penularannya, maka potensi adanya wabah berskala besar relatif kecil. Termasuk potensi masuk ke Indonesia relatif masih kecil," kata Dicky. 

Ia menjelaskan, virus ini menular lewat paparan darah dan mukosa penderita. Penularan juga hanya dapat terjadi lewat adanya paparan terhadap luka dan saluran pernafasan.

"Gejala yang terjadi berupa demam, batuk, dan gejala mirip flu," jelas Dicky. "Bila melihat gejala klinis yang terlihat maka penyakit ini lebih mirip demam berdarah. Seperti demam trombocytopenia dan perdarahan, bisa berupa gusi berdarah dan bercak di kulit," imbuhnya.

Sementara itu dilansir oleh Detik.com yang mengutip pernyataan Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, Msc. 

Dirinyaa mengatakan agar perlu pengecekan lebih dahulu mengenai caplak pembawa virus tadi apakah keberadaan spesiesnya ada atau tidak di Indonesia. 

“Kalau itu memang zoonosis, kita lihat si caplaknya itu ada nggak di Indonesia? Kalau nggak ada ya kita nggak perlu khawatir,” ujar Tri. 

“Kecuali kalau vektor (caplaknya) ada ya baru kita perlu khawatir dan waspada,” lanjutnya. 

Tidak lupa pula Tri mengajak masyarakat agar tidak panik dan tetap menjaga kesehatan dan kebersihan diri maupun lingkungan dalam rangka mencegah penyakit infeksius apapun jenis penyakitnya (INF).


APARVI ADAKAN WEBINAR NASIONAL PARASITOLOGI

Webinar APARVI menggandeng HaloVet 



Asosiasi Parasitologi Veteriner Indonesia (APARVI) mengadakan Webinar Nasional Parasitologi yang terbagi dalam dua sesi. Hari pertama berlangsung pada Kamis (9/7/2020) dan hari kedua, Jumat (10/7/2020).

Sesi pertama mengusung topik “Zoonosis Parasitik”  dan sesi kedua mengupas “Parasit Penting pada Hewan Domestik”. Dalam webinar ini, APARVI juga turut menggandeng HaloVet.

Ketua APARVI Dr Drh R Wisnu Nurcahyo dalam sambutannya berharap materi yang akan disampaikan dalam webinar ini dapat memberi manfaat bagi para dokter hewan praktisi ataupun pengambil kebijakan akan pentingnya dunia parasitologi.

Dalam kesempatan yang sama Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh H M Munawaroh MM menyambut baik webinar nasional ini.



“Saya mengucapkan terima kasih pada Ketua APARVI, Dr Wisnu Nurcahyo yang mempunyai gagasan untuk menggelar kegiatan seminar selama pandemi COVID-19 ini. PDHI sangat bangga dan kami memberikan apresiasi yang sangat tinggi,” ungkapnya.

Lebih lanjut Munawaroh mengemukakan dalam beberapa bulan lalu, WHO telah memberikan pernyataan tentang penyakit Zoonosis yang bisa menular dari hewan ke manusia dan kurang lebih hampir 75% penyakit manusia ini berasal dari hewan.

Salah satu hal yang berkaitan dengan penyakit Zoonosis, lanjut Munawaroh, salah satunya bisa disebabkan oleh parasit yang menular pada manusia. “Oleh karena itu, sudah saatnya kita memberikan satu pencerahan untuk kolega kita para dokter hewan untuk selanjutnya dapat berkesinambungan melakukan sosialisasi tentang Zoonosis kepada masyarakat,” tandasnya.

Webinar ini banyak menghadirkan narasumber yang sudah dikenal ahli dalam bidang Parasitologi. Seperti Drh Fadjar Satrija MSc PhD, Prof drh Upik K Hadi MS PhD, April H Wardhana MSi PhD, Prof Drh Umi Cahyaningsih MS PhD, dan sebagainya. (NDV)      




WASPADA PANDEMI BARU, DKPP BINTAN BERGERAK CEPAT PERIKSA BABI


Petugas DKPP Bintan, mengecek status kesehatan babi di wilayahnya

Merebaknya pemberitaan mengenai virus Flu Babi G4 menjadi perhatian Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian ( DKPP ) Bintan. Selain harus mengawai kesehatan hewan kurban jelang Idul Adha 1441 Hijriah, kini perhatian mereka harus terbagi untuk mengantisipasi gejala penyakit flu babi baru dengan nama G4 EA H1N1. Sebagaimana diketahui, penyakit asal Tiongkok ini disebut-sebut bakal menjadi pandemi baru selain Covid-19.

Begitu juga terkait merebaknya kasus penyakit demam babi afrika atau African Swine Fever yang telah mengakibatkan kematian cukup tinggi di berbagai peternakan babi di Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur ( NTT ) dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian ( DKPP ) Bintan, Khairul menuturkan, populasi ternak Babi di Kabupaten Bintan hingga saat ini tercatat lebih dari 1.024 ekor yang tersebar di 4 kecamatan di Wilayah Bintan. Empat kecamatan itu meliputi Kecamatan Bintan Timur, Toapaya, Gunung Kijang dan Kecamatan Teluk Sebong.

"Dengan banyaknya populasi ternak babi di Bintan ini, kami punya peran untuk menjaga kesehatannya," ucapnya, Senin (6/7/2020).

Kepala Seksi Kesehatan Hewan DKPP Bintan, drh Iwan Berri Prima menyampaikan, bahwa DKPP Kabupaten Bintan melalui tim kesehatan hewan memiliki tanggung jawab dan Tupoksi dalam melakukan pengawasan kesehatan hewan diwilayah Bintan, termasuk diantaranya kesehatan ternak babi. Apalagi ini berkenaan dengan zoonosis atau penyakit pada hewan yg dapat menular ke manusia atau sebaliknya. Penyakit flu babi termasuk kategori zoonosis.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang telah kami lakukan, hingga saat ini kami tidak menemukan kasus penyakit berbahaya pada ternak babi. Sehingga dapat kami sampaikan, kondisi ternak babi di Bintan dalam kondisi sehat dan aman," ungkapnya.

Drh Iwan Berri juga berharap kepada masyarakat, khususnya peternak babi agar senantiasa terus berkomunikasi dengan tim kesehatan hewan Bintan. Sehingga jika ditemukan kasus penyakit pada ternak babi dapat dengan cepat di lakukan penanganan. (INF)

INDONESIA TINGKATKAN KEWASPADAAN TERKAIT VIRUS FLU BABI G4

Babi, kembali menjadi sorotan karena penularan virus flu babi G4

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian,meningkatkan pengawasan terhadap hewan-hewan serta produk hewan yang masuk Indonesia yang berpotensi membawa penyakit.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita, menjelaskan bahwa para petugas karantina meningkatkan pengawasan sebagai bentuk antisipasi terhadap temuan sebuah galur (strain) virus flu baru yang berpotensi menjadi pandemi.

Galur virus yang disebut G4 EA H1N1 itu dibawa oleh babi, namun dapat menjangkiti manusia.

"Pengawasan sistematis terhadap virus influenza pada babi adalah kunci sebagai peringatan kemungkinan munculnya pandemi influenza berikutnya. Kita akan siapkan rencana kontingensinya juga," kata Ketut di Jakarta, Kamis (02/07).

Ketut menjelaskan bahwa pihaknya juga akan terus memperkuat kapasitas deteksi laboratorium kesehatan hewan di Indonesia, serta meminta jejaring laboratorium tersebut untuk melakukan surveilans untuk deteksi dini penyakit dimaksud.

Sebelumnya, kepada BBC, Prof Kin-Chow Chang, yang bekerja di Universitas Nottingham, Inggris, mengatakan dia dan para koleganya menemukan galur virus flu baru yang dibawa oleh babi.

Mereka khawatir virus yang disebut G4 EA H1N1 itu bisa bermutasi lebih jauh sehingga bisa menular dengan mudah dari satu orang ke orang lain dan memicu wabah penyakit sedunia.

Baru-baru ini para ilmuwan menemukan bukti penularan pada manusia yang bekerja di penjagalan dan industri peternakan babi di China.

Sejauh ini virus tersebut belum menimbulkan ancaman besar, namun menurut Prof Kin-Chow Chang dan kolega-koleganya yang tengah menelitinya, virus itu patut diawasi. Menurut Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita, temuan virus flu babi ini sempat membuat masyarakat bingung, karena menganggap flu babi sama dengan demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).

Ketut menegaskan bahwa flu babi dan demam babi Afrika adalah dua penyakit yang berbeda.

"Kasus penyakit pada babi yang ada di Indonesia pada saat ini adalah ASF dan bukan flu babi," kata dia.

Sejak akhir 2019, kasus ASF dilaporkan di Indonesia tepatnya di Sumatera Utara.

Kementan pun terus memantau perkembangan kasusnya, dan berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada laporan kejadian ASF menular pada manusia.

Ketut memastikan bahwa sejak ASF mulai dilaporkan di China pada 2018, Kementan secara konsisten terus melakukan pengendalian dan menyosialisasikan tentang ASF ke provinsi/kabupaten/kota melalui edaran dan juga sosialisasi secara langsung, pelatihan, dan simulasi.

Ketut menerangkan bahwa pada saat ini, kasus flu babi khususnya galur baru seperti pada pemberitaan, belum pernah dilaporkan di Indonesia.

"Jadi masyarakat tidak perlu khawatir terkait flu babi ini. Pemerintah akan terus memantau dan berupaya agar penyakit ini tidak terjadi di Indonesia," kata dia kepada

SATWA LIAR : BERPOTENSI MENULARKAN INFEKSI PENYAKIT BARU


Konsumsi Satwa Liar, Berpotensi Menularkan Zoonosis Jenis Baru

IPB University melalui Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis (DPIS) menyoroti penyebaran virus korona, sekaligus strategi mitigasi penyakit yang mengkhawatirkan masyarakat. Dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Drh Joko Pamungkas, mengatakan penyakit infeksi baru mulai bermunculan dalam beberapa dekade terakhir. Di antaranya virus Ebola, HIV, virus Nipah, virus Avian Influenza, SARS-CoV, MersCoV dan yang terakhir ialah virus korona (2019-nCoV) dari Kota Wuhan, Tiongkok.

"Hampir semua kejadiannya diketahui berjangkit lebih dahulu pada manusia. Setelah diteliti dan ditelusuri, baru diketahui wabah tersebut diindikasi kuat bersumber dari hewan atau satwa liar. Itu bersifat zoonotik dan lebih dari 70% berasal dari satwa liar sebagai reservoir atau inang alami," ujar Joko dalam diskusi bertema tema "Mengenal Lebih Jauh Virus Korona dan Strategi Mitigasi Dampak", melalui rilis yang diterima, Jum'at (31/1)
Dampak kerugian dan kematian yang ditimbulkan tentu tidak sedikit. Selain tingginya angka penularan dan korban kematian, segala upaya mitigasi saat wabah berjangkit pasti akan sangat besar dari aspek ekonomi. Itu belum menghitung dampak pada kegiatan sektor perdagangan dan pariwisata.
Joko menyarankan perlunya mengubah pendekatan praktik pola surveilans oleh kementerian teknis terkait. Persoalan kesehatan harus dilihat secara holistik dan ditangani secara bersama oleh kementerian terkait. Di antaranya, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurunya, pendekatan One Health sebagai jawaban atas masalah kesehatan yang berlangsung saat ini. Terutama, upaya pengendalian penyakit infeksius.
"Tidak seharusnya kita menunggu kejadian yang merugikan ini berjangkit pada manusia maupun hewan ternak, sehingga kerugian menjadi besar. Surveilans sentinel pada satwa liar secara periodik diharapkan memantau keberadaan virus dari satwa liar yang berpotensi ditularkan kepada manusia dan hewan ternak," tegasnya.
Hal senada disampaikan Kepala Divisi Patologi Fakultas Kesehatan Hewan (FKH), Bambang Pontjo Priosoeryanto. Dari sisi kesehatan hewan, merebaknya virus korona di Tiongkok dan sejumlah negara, menunjukkan penyebaran penyakit dapat berjalan dengan cepat. Virus yang berasal dari hewan liar maupun domestik dan kemudian berubah menjadi virus ganas, mengindikasikan peran hewan sebagai salah satu faktor utama.
"Fakta menunjukkan 60% dari penyakit patogen adalah zoonotik atau ditularkan dari hewan. Sekitar 80% adalah multi-host. Selain itu, 75% dari penyakit yang baru muncul berawal dari hewan. Hasil studi menunjukkan sejak 1940 ditemukan 335 penyakit, di mana 60,3% merupakan zoonosis dan 71,8% berawal dari satwa liar," jelas Bambang.
Kontak hewan liar dan berbagai spesies hewan dalam satu lokasi yang sangat intens, seperti pasar hewan yang sangat beragam, menjadi hal yang harus diperhatikan. Mengingat, adanya potensi dampak eksploitasi alam yang berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan.(CR)

KELELAWAR BUAH BERPOTENSI JADI PENYEBAR VIRUS CORONA DI INDONESIA

Konsumsi Daging Kelelawar, Faktor Risiko Penularan Virus Corona


Ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB University, Prof Drh Agus Setiyono MS, PhD, APVet, menilai virus corona berpeluang menyebar di wilayah Indonesia lewat kelelawar pemakan buah. Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil penelitian Prof Agus bersama Research Center for Zoonosis Control (RCZC), Hokkaido University, Jepang, tentang kelelawar buah. Dalam penelitian tersebut ditemukan enam jenis virus baru pada kelelawar buah dengan daerah sampel yaitu Bukittinggi, Bogor, Panjalu (Ciamis), Gorontalo, Manado, dan Soppeng (Sulawesi Selatan).

Enam virus tersebut adalah coronavirus, bufavirus, polyomavirus, alphaherpesvirus, paramyxovirus, dan gammaherpesvirus. Menurut Prof Agus, mengonsumsi kelelawar buah dapat berisiko terpapar virus corona bila preparasi kelelawar menjadi bahan makanan dilakukan secara kurang tepat. Virus corona dapat berada di dalam tubuh kelelawar tanpa menimbulkan persoalan medis bagi kelelawar dan virus ini tidak secara khusus hidup di dalam kelelawar buah. “Hewan lain juga memiliki kemungkinan menjadi induk semang virus ini,” ungkap Prof Drh Agus.

Ia menilai letak geografis kelelawar buah tidak menjadi penentu penyebaran virus karena virus ini secara umum terdapat pada kelelawar buah di mana pun berada. Prof Agus menilai penyebaran corona virus dari kelelawar buah di Indonesia terinfeksi virus corona. Menurut dia, kelelawar terbang sangat jauh dan dapat berpindah tempat tinggal (habitat) mengikuti musim buah sebagai makanan pokoknya. “Kelelawar memiliki sistem imun yang unik. Ada berbagai virus yang berdiam dalam tubuhnya dan bukan hanya virus corona, tapi banyak lagi patogen yang berpotensi zoonosis (penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya). Dan hal ini tidak 'dihalau' sebagai benda asing oleh kelelawar,” terang Prof Agus.

Coronavirus atau virus corona muncul di Wuhan, China, pada awal tahun 2020. Virus jenis baru ini telah menewaskan 80 orang dan telah menyebar ke berbagai negara. Spekulasi ataupun dugaan bermunculan mengenai penyebab asal virus tersebut. Salah satunya berasal dari sup kelelawar, sebuah makanan populer di Wuhan.

Prof Agus memberikan saran untuk dapat melakukan pencegahan terhadap serangan virus corona, yakni tidak bersentuhan dengan kelelawar, baik langsung maupun tidak langsung. Kedua, tidak memakan buah sisa masak pohon yang digerogoti kelelawar, meskipun biasanya ini yang paling manis.

Ketiga, sebaiknya bagi sebagian masyarakat dengan budaya mengonsumsi sayur atau lauk dari kelelawar mulai mempertimbangkan kembali untuk melanjutkan mengonsumsi kelelawar. “Masih banyak pangan fungsional yang baik dan menyehatkan,” tutupnya (CR).




27 ORANG DI GUNUNG KIDUL POSITIF ANTHRAX

Kenali cara penularan anthrax, agar tidak mudah terinfeksi

Puluhan orang diduga tertular penyakit antraks di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak Desember 2019 lalu. Namun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan tidak semua terduga kasus antraks pada manusia tersebut dinyatakan positif.

Berdasarkan data Kemenkes, terdapat 96 warga Gunungkidul yang sempat diduga tertular antraks. Dari jumlah itu, 27 orang dinyatakan positif tertular antraks. Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, data tersebut berdasarkan laporan hingga akhir Desember 2019.

Nadia mengatakan, satu di antara 27 warga itu meninggal dunia. Namun, kematian tersebut bukan karena antraks melainkan meningitis. Dia juga mengklaim tidak ada laporan warga Gunungkidul meninggal karena antraks.

"Jadi 27 orang total semuanya, satu meninggal tapi bukan karena antraks, karena meningitis," kata Nadia pada Kamis (16/1/2020), seperti dilansir Antara. Kata Nadia, sejak kasus Antraks dilaporkan muncul di Gunugkidul pada Desember 2019, sempat ada 607 warga di kabupaten itu yang diduga terpapar atau punya riwayat kontak dan memakan daging hewan yang terinfeksi antraks.

Namun, dari 607 warga itu, hanya sekitar 96 orang yang kemudian diduga terjangkit antraks karena mengalami gejala diare, penyakit kulit, dan batuk pilek. Ternyata, tidak semua dari 96 warga itu positif tertular Sejauh ini, Nadia mencatat, kematian yang diakibatkan oleh antraks di Gunungkidul hanya terjadi pada hewan ternak, yaitu tiga ekor sapi dan enam ekor kambing.

Mengingat kejadian yang dilaporkan sudah sejak Desember 2019, Kementerian Kesehatan bersama dengan dinas kesehatan dan dinas peternakan daerah setempat telah melakukan beberapa penanganan.

"Sejak 6 Desember sudah dilakukan penyelidikan epidemologi terkait antraks, diberikan pengobatan profilaksis yaitu dengan antibiotik kepada 607 orang yang terpapar di dua dusun di Kabupaten Gunung Kidul," ujar dia.

Penyakit antraks pada manusia terjadi karena tertular oleh hewan ternak sapi atau kambing yang sebelumnya memang sudah terjangkit penyakit antraks. Penularan antraks dari hewan ternak ke manusia bisa melalui cairan pada tubuh hewan dengan kontak tubuh, memakan daging hewan yang berpenyakit antraks, melakukan kontak dengan hewan ternak yang mati karena antraks, atau menghirup spora antraks.


Manusia yang terjangkit penyakit antraks sukar diketahui karena tidak memiliki gejala khas. Gejala umum yang terjadi jika tertular antraks ialah mengalami diare dan gatal-gatal yang hebat. (CR)


Kementan Bersama FAO dan USAID Tingkatkan Kerjasama Penanggulangan Zoonosis dan PIB


Kerjasama ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2016 melalui Program EPT-2 (Emerging Pandemic Threat fase 2) dan fokus pada kegiatan untuk mengurangi dan mengendalikan ancaman terhadap keamanan kesehatan Indonesia, baik kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, maupun kesehatan lingkungan/satwa liar.
Dalam pelaksanaan kerjasama ini melibatkan beberapa kementerian dan badan terkait, yakni Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), organisasi profesional kesehatan hewan dan kesehatan manusia, Universitas, dan badan-badan internasional seperti FAO dan Badan Kesehatan PBB, WHO. Sedangkan koordinasi program EPT-2 secara umum ditangani oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Dirjen PKH Ketut Diarmita dan FAO Representative Indonesia Stephen Rudgard bertukar Cinderamata

“Kami mengapresiasi dukungan dari USAID dan FAO ini, dan berharap kerjasama yang sudah baik ini akan terus berlanjut. Kementan bersama kementerian dan lembaga terkait akan terus berupaya untuk bersinergi dalam memperkuat kapasitas One Health Indonesia sesuai dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2019,” tambahnya.
Menyambung ucapan Ketut, Wakil Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn, mengakui peran Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Pertanian, atas langkah- langkah penting dalam pelaksanaan pendekatan One Health secara konsisten.
"Pemerintah AS melalui USAID telah bermitra selama lebih dari 13 tahun untuk meningkatkan kemandirian Indonesia dalam pencegahan dan pengendalian penyakit. Meskipun masih menjadi hotspot penyakit di kawasan ini, tapi komitmen Indonesia dalam penerapan pendekatan One Health telah meningkatkan kemampuan Indonesia dalam melakukan pencegahan, deteksi, dan respons. Kami gembira bisa merayakan keberhasilan ini sebagai bagian dari peringatan 70 tahun hubungan AS- Indonesia," demikian ujar Wakil Direktur USAID Indonesia Ryan Washburn.
Mengingat ancaman kesehatan yang masih ada tersebut, Stephen memastikan bahwa kerjasama dengan Kementan melalui dukungan USAID akan terus dilanjutkan melalui program Global Health Security (GHS) yang akan dimulai pada tahun 2020. “Proyek GHS Indonesia ini akan berfokus pada peningkatan kapasitas di empat bidang yaitu: a) Surveilans penyakit dan identifikasi risiko; b) Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan PIB; c) Sistem Diagnostik Laboratorium; dan d) Mitigasi Resistensi Antibiotik (AMR) dan Penggunaan Antibiotik (AMU),” pungkas Stephen. (CR)

USAID PREDICT-INDONESIA REKOMENDASIKAN KEWASPADAAN TERHADAP RISIKO TERJANGKITNYA ZOONOSIS PADA MASYARAKAT

USAID PREDICT Indonesia, yang diwakili oleh Pusat Studi Satwa Prima (PSSP) IPB University dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) menyampaikan hasil temuan kegiatan surveilans lapangan pada satwa liar dan kesehatan manusia yang telah dilakukan sejak dua tahun terakhir di wilayah Minahasa, Sulawesi Utara.
   
Dalam temuan surveilans yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu potensi zoonosis yang dibawa dari satwa liar ke manusia, didapati beberapa hal sebagai berikut.  Pertama, pola konsumsi bushmeat atau daging satwa liar menunjukkan tren yang terus meningkat di seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat dari tahun ke tahun (dengan variasi kenaikan dan penurunan permintaan jenis daging satwa liar tertentu).  Kedua, potensi terjangkitnya zoonosis pada manusia perlu tetap diwaspadai, mengingat budaya konsumsi makanan daging satwa liar, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan kurangnya pengetahuan tentang bahaya zoonosis itu sendiri.

Dr. drh. Joko Pamungkas, MSc., Koordinator USAID PREDICT-Indonesia mengatakan: “Kegiatan lapangan dimaksudkan untuk mengantisipasi timbulnya potensi zoonosis yang dibawa oleh satwa liar ke manusia berupa virus yang bersifat patogenik atau menimbulkan penyakit melalui berbagai interaksi yang mungkin timbul sebagai dampak perilaku manusia.”
“Adalah sebuah fakta yang tidak dapat dibantah bahwa 75% penyakit infeksius baru/berulang pada manusia ditularkan oleh hewan (zoonosis) dan 60% dari penyakit zoonotik tersebut ditularkan melalui satwa liar.”

Dr. drh Joko Pamungkas, MSc. Koordinator USAID-PREDICT Indonesia (kanan berdiri) memberikan paparan tentang temuan hasil surveilans lapangan (Foto : USAID)


Sementara itu, Dr. Ir. Yohannis R. L. Tulung, MSi, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi,  yang turut memberi dukungan kegiatan USAID PREDICT-Indonesia di lapangan mengatakan: “Kesehatan manusia sangat erat kaitannya dengan kontak, interaksi, dan konsumsi (daging) satwa liar – artinya satwa liar yang biasa dikonsumsi oleh manusia seperti ular, kelelawar, dan tikus sangat berpotensi menularkan penyakit zoonotik, seperti nipah, ebola, dan zika yang mematikan.

dr. Merry Mawardi, SpA, Kepala RSUD Noongan, menyambut positif kerjasama dengan USAID PREDICT-Indonesia: “Kerjasama ini berhasil meningkatkan kapasitas dalam melaksanakan kegiatan penelitian di pusat layanan kesehatan masyarakat, selain itu, juga terjadi peningkatan dalam penerapan biosafety secara komprehensif yang dapat meningkatkan praktik-praktik laboratorium yang baik.”


Peran Kelelawar dalam Keseimbangan Ekosistem
Sebagaimana diketahui, kelelawar memiliki fungsi sebagai polinator (pembantu penyerbukan tanaman) di alam.  Hilangnya kelelawar di alam, dapat mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman seluruh tanaman buah dan bunga (lebih dari 300 jenis).  Selain itu, kelelawar juga memiliki fungsi sebagai penyebar benih tanaman keras yang tumbuh di hutan atau sebagai agen reboisasi alamiah.

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh tim USAID PREDICT-Indonesia dari tahun 2017-2019, diketahui bahwa sebanyak 1 juta lebih kelelawar diburu per tahunnya untuk memenuhi permintaan pasar di pulau Sulawesi saja. Hal tersebut tentu sangat mengkhawatirkan dalam perspektif keseimbangan ekosistem di alam, karena hilangnya rantai polinator alami. Dalam kaitannya dengan konservasi kelelawar, Prof. Dr. HI Syamsu Qamar Badu, M.Pd Rektor Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Negeri Gorontalo mengatakan: “Salah satu hal yang kami sedang jalankan adalah konservasi kelelawar di desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo dan di Pulau Ponelo, Kecamatan Ponelo Gorontalo Utara sebagai upaya mempertahankan ekosistem alam yang berimbang.”

Di bagian lain, hasil surveilans terhadap sampel biologi manusia kelompok masyarakat berisiko tinggi di Sulawesi, didapati bahwa belum ditemukan virus patogenik zoonosis, tetapi tetap memiliki risiko tinggi berdasarkan hasil karakterisasi perilaku pada kelompok masyarakat tersebut. 

Dodi Safari, PhD. peneliti dari EIMB mengatakan: “Walaupun belum ditemukan virus zoonosis pada kelompok masyarakat berisiko tinggi di wilayah Sulawesi, tetapi tetap harus diwaspadai adanya risiko terpapar zoonosis yang lebih tinggi karena kegiatan berinteraksi dengan satwa liar yang tidak aman, misalnya perburuan kelelawar di alam liar.”

Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa, dr. Maya Rambitan, mengatakan: “Masukan dan rekomendasi dari kegiatan USAID PREDICT-Indonesia akan kami jadikan bahan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, khususnya mengenai bahaya paparan zoonosis akibat adanya kontak dengan satwa liar, baik dalam bentuk konsumsi maupun kegiatan berburu.”

“Terdapat hal penting lainnya selain fakta tersebut di atas, yaitu pentingnya mempraktekkan kegiatan hygienitas di tingkat kelompok masyarakat dan pemburu satwa liar agar tidak menjadi agen penyebar penyakit zoonosis di masyarakat.”

Dalam kesempatan diseminasi hasil surveilans ini, juga turut dibagikan dan dipopulerkan sebuah buku adaptasi dengan judul “Hidup Aman Berdampingan Dengan Kelelawar” dari tim USAID PREDICT-Indonesia sebagai salah satu jawaban menghindari penyakit zoonosis yang dibawa oleh kelelawar. Buku tersebut dapat di download di : 

KOLABORASI KEMENTAN, FAO DAN AFKHI HASILKAN BUKU BARU


Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bersama Badan Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO) Indonesia, dan Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI) menuntaskan buku bertajuk Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas.

Buku tersebut menjelaskan isu-isu kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat terkait strategi pencegahan serta pengendalian Emerging Infectious Disease (penyakit infeksi baru/berulang-PIB) dengan pendekatan One Health, masalah kesehatan unggas, termasuk rantai produksi dengan potensi terjadinya zoonosis seperti penyakit Avian Influenza (AI) serta isu penting dan perkembangan resistensi antimikroba (AMR).

Menurut Dirjen PKH, I Ketut Diarmita dalam acara peluncuran buku tersebut, Kementerian Pertanian sangat serius dalam penanggulangan zoonosis atau penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia atau sebaliknya.Ketut menganggap langkah Kementan menuangkan pengalaman penanggulangan zoonosis dan AMR serta penanganan kesehatan unggas sangat penting dilakukan, hal ini merupakan kontribusi Kementan untuk kemajuan pendidikan masyarakat luas, dan sumber daya manusia, khususnya di dunia kedokteran hewan di Indonesia.

“Kegiatan di lapangan yang telah dilakukan oleh Kementan dan kementerian terkait lain banyak memberi masukan dan pembelajaran tentang praktik terbaik dalam pencegahan, deteksi, dan respon terhadap ancaman zoonosis, PIB, dan AMR,” ujar Ketut. Lanjut Ketut menambahkan bahwa penyusunan Buku Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas ini merupakan dukungan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian dalam pengembangan kapasitas SDM sejak sebelum masuk dunia profesional dan upaya keberlanjutan dari hasil kerjasama Kementan dengan FAO dan sebelas lembaga perguruan tinggi di Indonesia.

Sementara itu, perwakilan FAO ECTAD, James McGrane mengatakan bahwa materi-materi pengayaan ini adalah hasil intisari pengalaman dan studi lapangan jangka panjang bersama Kementan di bidang pengendalian penyakit AI atau FB serta kerjasama kuat di sektor perunggasan sejak tahun 2006 yang turut didukung oleh Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID)."FAO mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan Ditjen PKH, terutama dalam pengendalian AI/FB yang bersifat zoonosis. Keberhasilan Indonesia mengendalikan AI berdampak positif bagi perkembangan perunggasan," tambahnya. 

Dirjen PKH dan Dekan FKH IPB saat peluncuran buku (Foto : FAO)


Sedangkan, Ketua AFKHI, Srihadi Agungpriyono menyambut gembira selesainya pengayaan materi perkuliahan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan ini.“Topik-topik terkait One Health, kesehatan unggas, dan AMR telah menjadi rekomendasi Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) untuk dijadikan materi ajar di Fakultas Kedokteran Hewan. Ini membuktikan hadirnya peran Pemerintah, akademisi, pakar kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, serta dunia Internasional yang diwakili oleh FAO dan USAID untuk mewujudkan materi kurikulum kedokteran hewan yang komprehensif dan mutakhir," ungkapnya. 

Menurut Srihadi kerjasama seperti ini merupakan yang pertama di dunia, dimana peran pemerintah, khususnya sektor pertanian dan organisasi internasional seperti FAO langsung terjun mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk upaya dalam mencapai konsep Day 1 Competency yang disarankan oleh OIE.

Buku yang terdiri dari 5 (lima) bab utama, setebal 73 halaman, masing-masing membahas tentang Implementasi One Health dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksi Baru; Pengendalian Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba.Serta Implementasi Kesehatan Unggas dan Rantai Pasar Unggas ini kemudian diserahterimakan secara simbolis oleh Dirjen PKH, Dr. Drh. I Ketut Diarmita, M.P., dan Team Leader FAO ECTAD, Dr. James McGrane kepada ketua AFKHI, Prof. Srihadi Agungpriyono untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar. (FAO)



IDUL ADHA DAN ZOONOSIS

Ternak kambing untuk kurban. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pada kalender masehi tahun 2019, hari raya Idul Adha 1440 H akan jatuh pada tanggal 11 Agustus 2019. Hari raya Idul Adha menjadi lekat dengan sektor peternakan karena pada hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan kurban yang juga hewan ternak. Dari segi bisnis, peternak ruminansia besar dan kecil memang sudah menunggu-nunggu datangnya hari tersebut. Pada event tahunan ini, peternak dapat mengambil keuntungan yang cukup besar karena harga hewan yang dijual melambung. Selain itu setelah disembelih, daging hewan kurban dibagikan kepada masyarakat secara cuma-cuma.

Ada satu hal yang kadang luput dari pengamatan kita, menjelang Idul Adha biasanya pedagang hewan kurban mulai menjamur di berbagai kota-kota besar. Mereka menjajakan dagangannya terkadang di trotoar, bahu jalan, lapangan, atau lahan yang kosong. Dengan adanya kegiatan ini, kontak antara manusia dengan hewan menjadi lebih intens dari biasanya. Bahkan, beberapa tahun yang lalu Pemda DKI Jakarta sampai mengeluarkan peraturan yang melarang penjualan hewan kurban di tempat umum seperti trotoar dan halte bus. Tidak sampai disitu, sempat pula ada celotehan mantan gubernur DKI pada saat itu yang melarang penyembelihan hewan kurban di tempat umum seperti sekolah, perkantoran dan sebagainya.

Hal tersebut langsung memicu amarah masyarakat, khususnya umat islam di Ibukota, terlebih lagi sang mantan gubernur beragama non-muslim. Lepas dari kontroversi itu semua, dari sisi kesehatan masyarakat veteriner, pendapat sang mantan gubernur memang ada benarnya. Misalnya saja, menjual hewan kurban di trotoar, siapa yang bisa menjamin kalau semua hewan kurban yang dijual disitu semuanya dalam keadaan sehat 100%? Secara klinis mungkin sehat, terlebih lagi dengan adanya dokumen surat kesehatan hewan dari dinas tempat ternak didatangkan. Namun begitu, ada beberapa penyakit hewan yang juga bersifat zoonosis tetapi tidak menimbulkan gejala klinis.

Antraks biasanya yang paling dikhawatirkan menjelang Idul Adha, selain karena mematikan, efek domino dari penyakit tersebut sangat besar terhadap sisi ekonomi dan kepanikan massa. Namun bukan berarti cuma antraks saja yang harus diwaspadai. Beberapa penyakit zoonosis yang “ringan” juga dapat menulari manusia menjelang Idul Adha. Misalnya saja Salmonellosis, bisa saja feses hewan kurban yang dijual di jalan-jalan mengandung bakteri Salmonella dan tanpa sepengetahuan kita dapat mengontaminasi makanan dan minuman yang dikonsumsi.

Belum lagi penyakit-penyakit seperti Scabies dan Orf yang umumnya menyerang kambing, baik penjual maupun pembeli dapat tertular penyakit ini. Tidak habis sampai disitu, setelah hewan disembelih pun kemungkinan tertular penyakit zoonosis masih ada. Bukan hanya pada daging babi, cacing pita juga terdapat pada daging sapi. Cacing pita dari spesies Taenia saginata juga dapat menginfeksi manusia. Limbah dari hasil penyembelihan hewan kurban berupa darah dan feses juga menjadi risiko yang dapat menjadi predisposisi penularan penyakit zoonotik. Oleh karenanya pengolahan limbah yang baik harus diterapkan oleh para penyelenggara kurban serta masyarakat setempat.

Berkaca pada itu semua, dapat disimpulkan bahwa hari raya Idul Adha, bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Karena, selain dapat meningkatkan konsumsi protein hewani bagi masyarakat, juga menjadi ancaman bagi pihak yang lengah dan serampangan dalam menyelenggarakannya.

Masyarakat dari segala kalangan wajib mengetahui dan diberi edukasi mengenai penyelenggaraan ibadah kurban yang baik. Dari mulai cara pemilihan hewan kurban yang baik dan memenuhi syarat kurban, cara penyembelihan yang sesuai syar’i dan memenuhi aspek kesejahteraan hewan (kesrawan), hingga cara mengolah dan mengonsumsi daging kurban yang higienis. Semua itu dibutuhkan kerjasama yang apik dan koordinasi yang baik dari semua stakeholder yang berperan di dalamnya.

Baik dokter hewan, sarjana peternakan, dokter manusia, ahli gizi dan pangan, semua harus bahu-membahu membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya ibadah kurban dari sisi medis dan kesehatan. Bila semua berkolaborasi dan sinkron dalam segala hal terkait ini, penularan zoonosis dapat dikendalikan dan diminimalisir. Jangan lupa, menjaga kesehatan hewan, masyarakat dan lingkungan juga merupakan pengejawantahan dari konsep One Health yang selama ini digaungkan. (CR)

KAMPANYE KESEHATAN HEWAN MELALUI SENI

Kementerian Pertanian, FAO dan USAID berkolaborasi meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan hewan, zoonosis dan biosekuriti. Kali ini mereka juga menggandeng pekerja seni teater. 

Tiga dari empat penyakit baru ditularkan dari hewan kepada manusia. Hal ini membuat Kementerian Pertanian, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan USAID mengadakan pertunjukan teater yang mengisahkan bagaimana kehidupan hewan dan manusia sesungguhnya saling terkait secara dinamis, ibarat "frenemies" – kawan tapi lawan.

Tiga lembaga ini ingin meningkatkan kesadaran publik tentang kemungkinan penularan penyakit dari hewan ke manusia. Hewan memainkan berbagai peran dalam kehidupan manusia sebagai peliharaan, sumber protein, dan pendukung kehidupan manusia dalam pertanian dan peternakan. Kelompok teater anak muda Indonesia, Teater Pandora beserta aktris Rachel Amanda ikut serta dalam kolaborasi ini.

“Penyakit hewan sering kali dilupakan sebagai sumber penyakit manusia. Kita membutuhkan kesadaran dan dukungan publik yang lebih besar untuk mengendalikan penyakit hewan agar tidak menginfeksi manusia serta mengganggu produksi pangan dari sektor peternakan,” kata I Ketut Diarmita, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian dalam sambutan pembukaan yang dibacakan oleh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH (12/7).

Dalam mendukung agenda pemerintah meningkatkan kesadaran publik, Stephen Rudgard, Perwakilan FAO di Indonesia menyatakan, “Kami senang dapat mempersembahkan prestasi Kementerian Pertanian dan FAO untuk memperkuat ketahanan pangan dengan meningkatkan kesehatan hewan melalui panggung teater. Teater dapat mendidik sekaligus menghibur masyarakat.”

Pertunujukan Teater, Salah Satu Media Dalam Mengampanyekan Kesehatan Hewan Kepada Masyarakat
(Foto : CR)


Bertempat di AtAmerica, Pusat Kebudayaan Amerika di Jakarta, hampir 300 penonton umum disambut oleh Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ms. Heather Variava. “Tahun ini menandai peringatan 70 tahun hubungan diplomatik AS-Indonesia. Amerika Serikat, melalui Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), bangga menjadi mitra pilihan dalam memperkuat kapasitas Indonesia mengendalikan dan mencegah penyakit sebagai bagian dari komitmen kedua negara terhadap Agenda Keamanan Kesehatan Global,” kata Variava.

Selain itu, Rachel Amanda, aktris yang berkolaborasi dengan kelompok teater kaum muda, Teater Pandora mengungkapkan kegembiraannya untuk berkolaborasi dalam pertunjukan teater pertama yang diangkat dari proyek PBB di Indonesia.

“Kolaborasi ini mengasah kekuatan kreativitas kami sebagai seniman muda untuk mempromosikan kesadaran tentang masalah kesehatan yang memengaruhi kehidupan sehari-hari kita,” kata Amanda yang berperan sebagai putri Pak Sun, seorang peternak yang berhasil bangkit dari wabah flu burung.

Pentas teater ini menceritakan ketiga anak Pak Sun yang memutuskan antara melanjutkan atau menutup peternakan ayahnya. Bagi mereka, peternakan sudah ketinggalan zaman dibandingkan dengan kehidupan perkotaan. Tetapi mereka takjub melihat bagaimana bantuan teknis dari program Emerging Pandemic Threats (EPT-2) kerjasama Kementerian Pertanian, FAO, dan USAID telah meningkatkan kesehatan hewan ternak secara signifikan, sehingga membuat bisnis pertanian lebih menguntungkan.

DEKAN FKH IPB : TETAP TENANG HADAPI CACAR MONYET

Indonesia sempat digemparkan dengan penyakit cacar monyet beberapa waktu yang lalu. Meskipun  ditemukan di Singapura, keberadaan penyakit tersebut membuat Indonesia sebagai negara tetangga patut waspada.

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Prof. Drh Srihadi Agungpriyono menyebut bahwa penyakit cacar monyet alias Monkeypox merupakan penyakit yang eksotik. Sebabnya, penyakit ini belum pernah dilaporkan penyebarannya di Indonesia.

Penyakit ini (cacar monyet) belum pernah dilaporkan ada di Indonesia baik pada hewan maupun manusia. Sehingga penyakit ini dalam istilah kesehatan hewan dikategorikan sebagai penyakit eksotik," kata pria yang akrab disapa Pak Yoni, dalam keterangannya kepada wartawan.

Lebih lanjut ia menambahkan, cacar monyet merupakan penyakit yang disebabkan virus monkeypox masuk ke dalam genus Orthopoxvirus, family Orthopoxviridae. Penyakit ini seperti smallpox (cacar) pada manusia, disebabkan variola yang berkerabat dengan cacar monyet, tetapi bersumber pada hewan.

"Hewan yang peka terhadap cacar monyet di antaranya monyet, kera, rodensia, dan mamalia kecil. Sumber virus di hewan bisa berasal dari lesio kulit, urin, feses, eksudat dari mulut, hidung, dan konjungtiva, serta semua jaringan hewan terinfeksi," imbuhnya.

Penularan dari hewan ke hewan melalui kontak langsung dengan sumber virus misalnya melalui gigitan, cakaran, dan endusan. Penularan diduga juga dapat terjadi melalui rute aerosol atau kontak dekat.
Sedangkan penularan dari hewan ke manusia dapat melalui kontak langsung dengan lesio (kulit), darah, dan cairan (eksudat) hewan terinfeksi, gigitan dan cakaran, melalui aerosol saat kontak dekat dengan hewan terinfeksi, serta konsumsi daging hewan liar yang dikenal 'bush meat' merupakan kasus pada manusia di Afrika.
Dari aspek kesehatan hewan, maka otoritas veteriner perlu membuat kebijakan tentang tindakan-tindakan preventif terkait masuknya hewan-hewan, terutama rodensia dan 'exotic pet' dari negara endemik.
Cacar monyet, memicu kekhawatiran masyarakat Indonesia

"Ini penyakit zoonotik, maka perlu ada koordinasi antara bidang kesehatan, kesehatan hewan, satwa liar, dan instansi terkait, untuk segera membuat serta mengambil langkah tindakan preventif termasuk kesiapsiagaan darurat atau emergency preparedness terkait masuknya virus Monkeypox," ungkap dia.
Pria yang merupakan dosen anatomi tersebut pun berharap komunikasi, informasi dan edukasi harus segera disusun untuk meredam keresahan dan kekhawatiran masyarakat terkait virus tersebut.
"Para pakar di FKH IPB sepakat agar masyarakat tidak perlu khawatir yang berlebihan namum tetap perhatikan himbauan dan saran yang disampaikan oleh pemerintah melalui instansi terkait," tutupnya.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer