Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Industri Perunggasan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

FLU BURUNG KEMBALI ANCAM PERUNGGASAN BENUA BIRU

Migrasi unggas liar ditengarai sebagai biang keladi outbreak AI di Eropa


Beberapa pekan terakhir kasus flu burung ditemukan di beberapa negara benua biru seperti Prancis, Belanda, Jerman, Inggris, Belgia, Denmark, Irlandia, Swedia, dan untuk pertama kalinya pada pekan ini ditemukan di Kroasia, Slovenia dan Polandia, setelah melanda Rusia, Kazakhstan, dan Israel.

Sebagian besar kasus terjadi pada unggas liar yang bermigrasi tetapi kini wabah telah dilaporkan sampai ke peternakan, yang menyebabkan kematian atau pemusnahan setidaknya 1,6 juta ayam dan bebek sejauh ini di seluruh wilayah, menurut laporan Reuters, 27 November 2020.

Di Belanda sendiri, sebagai pengekspor daging dan telur ayam terbesar di Eropa, terhitung hampir 500.000 ayam mati atau dimusnahkan karena virus pada musim gugur ini, dan lebih dari 900.000 ayam mati di satu peternakan tunggal di Polandia minggu ini, kata kementerian kedua negara tersebut.

"Risiko penularan di peternakan unggas dan lebih banyak kasus di antara unggas liar lebih tinggi daripada dua tahun terakhir karena kemunculan masif berbagai virus flu burung di Eropa," kata juru bicara Institut Friedrich-Loeffler, sebuah badan penelitian penyakit hewan federal Jerman.

Unggas yang mati di Rusia mencapai 1,8 juta ekor pada akhir Oktober, dengan hampir 1,6 juta di antaranya terjadi di satu peternakan dekat Kazakhstan, menurut data Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE).

Strain utama virus flu burung yang ditemukan tahun ini di Eropa adalah H5N8, yang memusnahkan ternak pada 2016/17 ketika wilayah tersebut mencatat wabah terbesar pada unggas dan burung liar, tetapi ada juga laporan H5N5 dan H5N1.

Meskipun risiko terhadap manusia rendah, Badan Keamanan Pangan Eropa (EFSA) mengatakan minggu ini bahwa evolusi virus perlu dipantau secara ketat. Suatu strain H5N1 telah diketahui bisa menyebar ke manusia.

Pelaku industri unggas Uni Eropa mengatakan mereka sangat prihatin dengan wabah terbaru tetapi mereka yakin sekarang lebih berpengalaman dalam menangani wabah.

"Kami telah bekerja sangat keras untuk meningkatkan keamanan, untuk melatih peternak dan meningkatkan keterlacakan sehingga kami berharap jika ada kasus, kami dapat mengatasinya," kata Anne Richard, kepala lobi industri unggas ANVOL di Perancis.

Sebagian besar kabupaten telah menaikkan status kewaspadaan mereka ke level "tinggi", yang menyiratkan bahwa unggas dan burung dari semua jenis dipelihara di dalam ruangan atau dilindungi untuk menghindari kontak dengan burung liar.

Wabah flu burung seperti penyakit hewan lainnya seringkali mendorong negara pengimpor untuk memberlakukan pembatasan perdagangan.

Tindakan ini akan menambah beban akibat lockdown virus corona yang sudah diberlakukan, dan mengancam penjualan selama liburan akhir tahun.

"Sudah sulit untuk mengekspor dengan adanya COVID, itu akan membuatnya lebih buruk," kata Denis Lambert, kepala eksekutif grup unggas terbesar Prancis LDC, mengatakan pada Rabu.

Namun, pendekatan negara pengimpor unggas untuk membatasi pembatasan ke wilayah yang terkena virus akan membantu meringankan dampaknya.

Cina, misalnya, telah menghentikan impor produk unggas dari empat wilayah di Rusia karena flu burung, kantor berita TASS melaporkan pada hari Rabu. (INF/Reuters)

POULTRY INDONESIA FORUM: WUJUDKAN DEMOKRASI EKONOMI DENGAN BERKOPERASI

Webinar Poultry Indonesia Forum mengenai koperasi peternak, Sabtu (7/11/2020). (Foto: Dok. Infovet)

“Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Jalan Peternak Berkoperasi” menjadi tema pada webinar Poultry Indonesia Forum seri ke-IV yang diselenggarakan Sabtu (7/11/2020).

Dalam pembukaan acara dikatakan koperasi di bidang peternakan, khususnya perunggasan, menjadi penolong bagi para pelaku usaha kecil untuk menghadapi tantangan industri dan mencari solusinya secara bersama-sama.

“Koperasi secara ide memang memberikan satu harapan yang dapat menjawab kebutuhan pengembangan industri perunggasan dan sektor pangan di Indonesia.” 

“Koperasi sesungguhnya memberikan satu solusi bagi kelompok strategis masyarakat perunggasan untuk dapat berperan meningkatkan daya saing, kapasitas dan menjadi pilar utama pemenuhan protein hewani,” ujar Menteri Koperasi dan UKM, diwakili Deputi Bidang Pengawasan Kemenkop UKM, Ahmad Zabadi.

Sebab jelas dia, kondisi yang terjadi di industri perunggasan dalam dua tahun terakhir sangat memprihatikan. Pada 2018-2019 sempat terjadi aksi demo peternak unggas rakyat, karena harga jual ayam hidup hanya Rp 8.000-10.000/kg , sementara ongkos produksinya Rp 18.500.

“Seharusnya bisnis unggas memberi manfaat bagi peternak, tapi kenyataannya tidak begitu. Sehingga dibutuhkan satu perencanaan yang baik, sistematik, berkoodinasi dengan pihak-pihak terkait termasuk pemangku kebijakan,” katanya.

Sementara disampaikan Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia, Suroto, jika ingin berjalan dengan baik, koperasi didasarkan pada nilai menolong diri sendiri, tanggung jawab, persamaan, keadilan dan solidaritas. Serta dijalankan dengan prinsip keanggotaan sukarela dan terbuka, pengendalian oleh anggota secara demokratis, patisipan ekonomi anggota, otomoni dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, serta informasi, kerja sama antar koperasi, hingga kepedulian terhadap komunitas/lingkungan.

“Kita harus perkuat sistem koperasi peternak rakyat. Tidak hanya fokus pada on farm-nya saja seperti yang terjadi pada kerja sama berbasis korporasi yang hanya mengatur dan membuat ketergantungan peternak akan DOC, pakan dan sapronak lainnya dari perusahaan ternak unggas kapitalis,” kata Suroto.

Manfaat koperasi rakyat ternyata banyak memberi semangat bagi peternak ayam petelur di daerah Kendal. Hal itu dikatakan Ketua Koperasi Peternak Unggas Sejahtera Kendal, Suwardi.

“Diantaranya memperpendek rantai distribusi, menjaga keseimbangan harga pasar, menjaga kecukupan stok bahan baku pakan sekaligus menyediakan jasa angkut pakan dan penyediaan DOC/pullet dengan harga terjangkau,” jelas Suwardi. Pihaknya pun bekerja sama dengan Bulog maupun perusahaan bidang perunggasan.

Hal senada juga disampaikan Ketua Koperasi Ternak Unggas Wirasakti Bogor, Sugeng Wahyudi. Dirinya memaparkan bahwa berkoperasi menjadi sangat penting apalagi sepanjang dua tahun belakangan peternak unggas broiler rakyat/mandiri kerap merugi.

“Merugi akibat harga sapronaknya tinggi, sementara harga jual ayam di tingkat peternak sangat rendah. Persaingan usaha tidak seimbang dan tidak ada perlindungan terhadap peternak. Ini juga yang membuat kami membentuk koperasi agar usaha kami tetapi eksis,” kata Sugeng.

Dijelaskan Sugeng, dengan berkoperasi identitas peternak mandiri lebih jelas karena memiliki bentuk badan usaha. Selain itu bargaining untuk akses ke supplier dan penjualan ke pasar lebih kuat.

Anggota berperan sebagai produsen dan konsumen. Akses dukungan modal juga menjadi lebih kuat baik berasal dari anggota maupun perbankan, serta kami dilindungi oleh regulasi,” pungkasnya. (RBS)

REMBUK PERUNGGASAN NASIONAL, SEBUAH PERTANDA BAIK?

Seluruh peserta tembug perunggasan tengah berdiskusi


Selasa 15 September 2020 seluruh stakeholder perunggasan nasional berkumpul di Hotel Aston Sentul, Kabupaten Bogor. Acara ini diinisiasi oleh PINSAR dan GOPAN dalam rangka mencari solusi dan menstabilkan harga ayam hidup.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan peternak PINSAR & GOPAN, integrator, dan pemerintah (Kementan dan Kemendag). Bisa dibilang pertemuan kali ini “lengkap” dihadiri delegasi dari semua stakeholder.

Dalam sambutannya mewakili Dirjen PKH, Sugiono selaku Direktur Perbibitan dan Produksi ternak mengakui bahwa mudah – mudahan pertemuan hari ini dapat memberikan solusi dan tidak berujung ricuh. Dirinya juga mengakui sudah jenuh dengan urusan perunggasan yang makin carut – marut.

“Saya berharap hari ini momen yang pas, jangan ada lagi demo – demo. Apalagi caci maki, kami dari Dirjen PKH sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik di perunggasan, namun memang masih terus saja dinilai kurang,” tutur Sugiono.

Sugiono juga menjabarkan mengenai beberapa data dan fakta terkait pengendalian populasi yang masih over supply. Padahal menurut Sugiono berdasarkan Surat Edaran yang terkahir kali terbit bulan Juli lalu sudah ada instruksi untuk melakukan cutting HE, afkir dini dan lain – lain dalam rangka mengurangi populasi DOC yang beredar.

“Sampai hari ini penyerapan live bird target 41 juta baru tercapai 21,8 juta (62%) cutting HE dari target 14 juta di bulan September ini realisasinya sudah 9,4 juta (67%), pengurangan jumlah setting HE dari target 7,5 juta baru sekitar 652 ribu (8%), dan afkir dini PS betina umur 50 minggu dari target 4 Juta baru 600 ribu,” tutur Suigono.

Sugiono melanjutkan bahwa Surat Edaran yang terbit bulan Juli lalu tidak mendapat tanggapan yang baik dari para stakeholder khususnya integrator.

“Saya menghimbau agar Surat Edaran itu diaplikasikan. Padahal menurut BPS data permintaan ayam kita menurun, tapi kok teman – teman integrator bukannya ngerem produksi bibit tapi malah genjot terus?. Ini kan ada ketimpangan antara supply dan demand, harusnya nggak begitu dong?,” tukas Sugiono.

Ia terus menghimbau agar para produsen DOC, juga GPPU khususnya agar menertibkan anggotanya dalam menjalankan Surat Edaran tadi, karena hal di hulu juga akan mempengaruhi sektor hilir.

“Tolong dong teman – teman integrator, kalau memang mau nambah produksi main di luar dong, ekspornya ditingkatkan saya tuh pengennya integrator main di liga – liga Eropa lawan Barcelona, lawan Real Madrid, jangan lokalan terus lawan Persikabo, Persija, kasihlah ini teman – teman peternak mandiri kesempatan,” pungkas Sugiono.

Dalam kesempatan yang sama Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Johni Martha juga mengakui bahwa permasalahan perunggasan nasional layaknya benang kusut yang basah. Hal ini diketahuinya setelah banyak mendengar dan menyelami permasalahan mengenai perunggasan nasional.

“Kami sudah berkoordinasi dengan Kementan dalam hal ini Dirjen PKH, kami sudah menyusun langkah yang sampai saat ini belum kami berani pastikan, karena selain masalahnya banyak, asosiasinya perunggasan juga banyak. makanya belum berani, jadi ribet juga kan,” tutur Johni.

Namun begitu Johni bilang bahwa pemerintah akan mengendalikan impor GPS dengan baik dengan berkoordinasi dengan Kementan. Terkait tata niaga ayam hidup, ketika permasalahan harga ayam ditimpakan kepada Kemendag, Johni menjawab dengan jawaban yang sedikit normatif.

“Apakah harga urusan Kemendag?, bisa iya bisa tidak. Iya kalau tata niaganya diatur oleh kemendag, tetapi kalau urusan harga diserahkan kepada mekanisme pasar, ya disitu berarti berlaku hukum sedehana supply dan demand,” kata Johni.

Selain itu Johni mengaku bahwa dirinya juga tahu mengenai jumlah GPS dari data rekomendasi dan realisasi impor dari importir. Menurutnya data yang ada kurang lebih sama dengan data dari Kementan, namun menjadi ambigu ketika di cross – check kepada pelaku indsutri.

“Yang saya tahu kita kebanjiran DOC, tapi pelaku beda – beda bilangnya, enggak juga tuh kata pelaku. Pokoknya macem – macem, ada yang bilang over supply ada yang bilang over stock. Saya mah yang ngurusin perdagangan ga ada bedanya over supply dan over stock. Kalau saya lihat sih sebenarnya masalah pasar, tapi pasar mana nih?, becek, modern, apa internasional?,” tuturnya.

Johni juga bercerita bahwa selama ini Kemendag sudah mencoba membendung impor daging ayam dari Brazil. Ia pun mengakui bahwa Kemendag juga babak belur tak kuasa menahan Brazil dalam hal ini, karena Indonesia statusnya juga sudah kalah di WTO dan perlindungan dari aspek halal yang selama ini jadi tempat bernaung juga sudah bisa dipenuhi Brazil.

“Jadi mungkin sebentar lagi bakal ada ancaman dari luar, kalau kita masih cakar-cakaran di sini. Entah nanti bagaimana deh, pokoknya ini harus selesai. Jangan sampai kita lagi berantem, Brazil datang habis deh kita porak – poranda,” pungkasnya.

Yang menarik Johni menjabarkan beberapa program yang akan dilakukan Kemendag dan Kementan dalam mengatur komoditi khususnya daging ayam. Pertama yakni penegakan Permendag tentang ketentuan impor GPS. Jika realisasi impor GPS tidak dilaporkan sampai tanggal 15 di bulan berikutnya maka langsung akan di blacklist.

Kedua bekerjasama dengan retail modern untuk memasarkan frozen carcass. Ketiga yakni akan digalakkan kampanye untuk mengubah pola konsumsi masyarakat dari konsumsi daging segar menjadi daging beku. Keempat bekerja sama dengan Pemda untuk menegakkan Perda terkait perunggasan. Yang kelima membuat integrator untuk menguatkan cold storage sebagai buffer stock dikala over supply.

Program Jangka Pendek

Herry Dermawan Ketua Umum GOPAN langsung memimpin sesi kedua, hal yang dibicarakan adalah tentu saja mengenai harga live bird.

“Kita langsung saja ke topik utama ini, intinya bagaimana harga naik, tidak perlu nunggu ada pertemuan, ada demo - demo tapi harga naik dan stabil. Kita akan jujur – juruan, ini harga bisa kita naikkan nggak?, makanya mari kita diskusikan,” tukas Herry.

Ia juga memohon kepada para pejabat agar tidak menyangkut pautkan masalah harga ini dengan KPPU.

“Intinya mengatur harga di sini bukan untuk menguasai dan monopoli, tapi untuk menyelamatkan peternak. Jadi bapak dan ibu pejabat di sini nggak usah khawatir dengan KPPU, kalau ada apa – apa kan kita kena juga semua,” tuturnya sembari berkelakar.

Pada sesi ini perwakilan peternak dan integrator saling buka – bukaan mengenai harga, stok dan fakta di lapangan yang terjadi terkait dengan faktor yang mempengaruhi harga di lapangan. Ada fakta menarik yang disampaikan dalam sesi ini.

Menurut Ketua Umum GPPU Ahmad Dawami mengatakan bahwa berdasarkan data milik ARPHUIN yang ia kutip, diperkirakan stok yang ada saat ini 120 ribu ton karkas, artinya ada 120 juta karkas ayam yang ada di cold storage. Sedangkan pada bulan Maret ketika Covid-19 merebak dan heboh, stok yang ada yakni 170 ribu ton karkas.

Masih menurut Dawami, pada bulan Mei sebenarnya terjadi shortage di sektor live bird sehingga harga bisa terkatrol sedikit. Namun di bulan Mei juga terjadi pencairan ayam – ayam yang disimpan dalam cold storage. Bulan juni pun demikian, shortage semakin menjadi, dan harga juga naik.

“Pada bulan Juni ini kami GPPU dan anggotanya meilhat optimisme karena harga naik, oleh karenanya kami meningkatkan produksi. Tapi pertambahan ini tidak bisa dikontrol dengan demand yang tidak bisa diperkirakan. Akhirnya bulan Juni terjadi lagi over supply karena demand menurun sampai sekarang,” tutur Dawami.

Kemudian turun Surat Edaran dari Ditjen PKH mengenai cutting dan sebagainya, menurut Dawami cutting itu tidak mengindahkan animal welfare dan ia beralasan bahwa dengan melakukan cutting lagi – lagi GPPU harus merugi dengan cara yang tidak animal welfare dan Kementan melegalkan itu, sehingga Indonesia dapat dicap sebagai Negara pembunuh.

Dawami melanjutkan bahwa terbitnya SE yang harus segera ditindaklanjuti apalagi sampai melakukan afkir PS tentunya akan berakibat panjang di depannya. Selain itu menjual afkiran PS dalam waktu yang singkat juga menjadi PR besar bagi perusahaan integrator. Namun begitu ia sepakat bahwa adanya pengaturan supply dan demand itu memang penting dan mutlak harus dilakukan dalam waktu dekat.

Pendapat Dawami mendapat tanggapan “panas” dari beberapa perwakilan peternak yang memandang bahwa dirinya terlalu melindungi integrator. Namun begitu Dawami tetap tenang dan juga menyoroti tentang efek psikologis dari pengaruh broker.

“Kalau memang mau naik cepat terserah, tetapi yang saya perlu soroti ya itu. Nanti kalau harga naik dan broker bisa mengendalikan gimana?, coba saja. Tapi saya setuju kalau memang harus ada pengaturan supply dan demand. Langsung saja kita to the point di sini,” tuturnya.

Berbuah Keputusan

Menjelang akhir sesi diskusi, Dirjen Peternakan dan Keswan Nasrullah tiba di lokasi pertemuan. Dirinya mengapresiasi semua stakeholder yang menyempatkan diri untuk datang dan menghargai semua pendapat mereka masing – masing.

Menurut pengakuannya ia sudah beberapa kali didatangi oleh Duta Besar Brazil ke kantornya. Hal ini tentu saja perihal impor daging ayam asal Brazil yang tentu saja sudah harus masuk ke Indonesia.

“Saya sudah dihantam terus sama Brazil, saya bilang belum bisa. Dan saya masih menolak untuk melakukan importasi dengan cara saya sendiri. Dari situ saya berpikir, ini kalau nggak diselesaikan segera mungkin bisa hancur ini perunggasan kita. Yang kecil, besar, sama saja pasti bakal kena imbas,” tuturnya.

Akhirnya setelah menjabarkan data – data dan fakta yang ada, disepakatilah beberapa keputusan yang akhirnya menutup pertemuan hari itu. Diantaranya adalah mengeluarkan referensi harga live bird di beberapa daerah untuk hari rabu dan kamis (16-17 September 2020), menambah keikutsertaan integrator yang berpartisipasi dalam program on – off berjualan, dan membentuk satuan tugas (task force) perunggasan nasional yang melibatkan stakeholder perunggasan.

Semoga saja semua keputusan yang diambil oleh seluruh stakeholder yang datang dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Selain itu, perlu diingat juga bahwa semua orang juga sudah jenuh dengan persoalan perunggasan ini, dan oleh karenanya harus segera dituntaskan. Perlu diingat juga, musuh sebenarnya, Brazil kini tengah mengintai kita untuk memangsa perunggasan Indonesia, idealnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan stakeholder lainnya untuk menjaga kondusifitas perunggasan di negeri ini. Semoga ini adalah pertanda baik (CR).

MENYOROTI PERMENTAN 32/2017, DICABUT ATAU DIREVISI?



Kamis 16 Juli 2020, Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) bersama beberapa asosiasi di bidang peternakan bersama melakukan Webinar via daring. Seminar tersebut membahas Permentan No. 32 tahun 2017 tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras dan telur konsumsi. Sekitar 70 orang dari kalangan peternak, instansi pemerintah, dan swasta hadir dalam acara tersebut. Yeka Hendra Fatika selaku direktur dari PATAKA sendiri yang bertindak sebagai moderator dalam acara hari itu.

Sigit Prabowo dari PPUN sebagai presenter pembuka diskusi menjelaskan berbagai perbedaan definisi peternak berdasarkan tiap regulasi UU peternakan terkini. Dalam hal ini ia menyoroti bahwa peternak mandiri UMKM disandingkan dengan koorporasi tanpa adanya pembinaan yang jelas dari pemerintah. Padahal peternak mandiri memerlukan pendampingan dari pemerintah daerah dan hal itu tadi juga ada di dalam UU No. 18 tahun 2019.

“Kami merasa peternak belum terbina dengan baik oleh pemerintah daerah, dan juga TS dari koorporasi obat hewan. Oleh karenanya kita harus berekonsiliasi dengan berbagai pihak. Apalagi belakangan ini saya merasa TS masih fokus dengan omzet, bukan pembinaan. Entah karena peternak sudah pintar – pintar, atau gimana saya nggak tahu juga,” tutur Sigit.

Sigit juga menekankan bahwa urgensi berkonsolidasi dengan pemda yakni terkait pemasaran dan pemetaan pasar. Jadi apabila terjadi over supply berlebih, maka tujuan pasar akan jelas mau dikemanakan kelebihan produksi tersebut. Selain itu juga ia menyebutkan bahwa peternak harus melek dengan regulasi dan peraturan perundangan yang ada.

Selain itu Sigit menyoroti bahwa apakah regulasi yang ada saat ini sudah diterapkan oleh pemerintah sebagai turunan dari UU peternakan yang sudah ada?. Dan apakah peraturan perundangan tadi sudah tepat sasaran dan menguntungkan bagi semua stakeholder?. Tentunya ini sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan. 

Pada kesempatan yang sama, Joko Susilo selaku Sekjen ISPI juga memaparkan beberapa hal yang perlu disoroti. Utamanya adalah kemampuan akses peternak mandiri terhadap sapronak, harga, dan produksi dimana pada akhirnya peternak mandiri dianggap tidak efisien dan efektif. Ia juga menyoroti kegaduhan di dunia perunggasan yang terus gaduh meskipun beberapa Permentan tentang pengaturan supply dan demand telah banyak dikeluarkan.

“Saya jadi mempertanyakan implementasi permentan – permentan yang tadi, sudah efektif belum sih ini peraturannya?. Sudahkah dapat memproteksi peternak mandiri?. Atau jangan – jangan malah menambah keruwetan permasalahan?,” tutur Joko.

Yang terpenting menurut Joko adalah mengenai pengawasan dari implementasi regulasi yang telah diterbitkan. Ia merasa bahwa kegaduhan – kegaduhan masih terjadi karena fungsi pengawasan masih belum benar – benar fungsional. Jika memang benar fungsi pengawasan telah dijalankan dengan benar, ia merasa kegaduhan yang terjadi pasti dapat diminimalisir bahkan tidak ada. 

ISPI sendiri melihat situasi ini dan mengusulkan melalui surat rekomendsinya kepada Ditjen PKH selaku pemangku kebijakan. Mulai dari pendefinisian peternak, pembibit, dll nya sampai yang terpenting adalah mengaktifkan fungsi pengawasan.

“Siapa yang mau mengawasi?, pemda kah?, pemerintah pusat kah?. Jadi ini harus dilaksanakan dan sangat urgent. Jadi kalau ini luput, maka ya kegaduhan akan tetap terjadi kedepannya. Jika perlu pengawasan juga dilakukan berjenjang mulai dari pemerintah daerah sampai pusat,” tutur Joko. 

Jenny Soelistiyani perwakilan Pinsar Petelur Nasional yang juga hadir dalam acara tersebut juga merespon hal yang diwacanakan oleh Joko Susilo. Ia memberi contoh misalnya ketika ada masalah di broiler, masalah tersebut kemudian merambat kepada peternak layer yang menyebabkan harga telur turun. Ditambah lagi beberapa waktu yang lalu beredar “telur putih” yang merusak harga telur konsumsi.

“Kami sudah melakukan dokumentasi, pelaporan, bahkan terkait telur infertil yang beredar di pasaran, kami sudah melapor bahkan ke polisi, tapi apa?, tidak ada tanggapan dan tidak ada yang meberikan sanksi kepada pengedarnya. Artinya apa?, tidak ada fungsi pengawasan yang berjalan, padahal itu juga sudah tertuang di dalam regulasi, masa enggak ada tindak lanjutnya?. Makanya saya setuju dengan Mas Joko, bila perlu ini harus dinaikkan jadi perpres, atau peraturan lainnya,” tutur Jenny.

Ia berharap juga bahwa adanya komitmen dari semua stakeholder agar terjadi harmonisasi di bidang perunggasan. Hal ini agar tidak terjadi lagi kegaduhan di dunia perunggasan Indonesia sendiri, karena jika terus gaduh, maka Indonesia akan hanya berkutat di situ-situ saja, padahal musuh dari luar sudah siap menjajah pasar Indonesia.

Sementara itu Tri Hardiyanto sebagai Dewan Penasihat GOPAN meyoroti satu persatu pasal yang ada di Permentan No. 32 tahun 2017. Ia menguliti satu persatu pasal – pasal yang ada, yang menguntungkan, yang merugikan, dan yang siftnya multi tafsir. 

“Saya beri contoh pasal 5,6, dan 7 ini kan masalah kuota. Kita juga masih butuh tim analisis. Mereka harus difasilitasi dan diberi keleluasaan lebih dan kewenangan untuk melakukan observasi, sehingga lebih baik dalam memberikan saran dan masukan kepada pemerintah. Jadi tim ini harus diberi previlige dalam hal kewenangan dan fasilitas. Sehingga nantinya tidak dipermalukan termasuk oleh pemerintah sendiri,” tukas Tri.

Tri juga menyebutkan bahwa pasal 8 dalam permentan tersebut harus dirombak, para integrator harus difokuskan di pasar ekspor bukan dalam negeri. Sehingga kebutuhan dalam negeri dapat lebih banyak dipenuhi oleh pelaku UMKM mandiri. 

Achmad Dawami selaku Ketua Umum GPPU yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menguraikan bahwa peraturan perundangan kini dirasa lebih mengacu pada efisiensi dan produksi bukan kepada kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dengan kegaduhan yang diakibatkan oleh terbitnya beberapa peraturan perundangan baru.

“Sekarang begini, kalau enggak gaduh kan artinya ya sudah beres masalahnya kan?, kalau masih gaduh, ya pasti ada masalah toh. Kan kesimpulannya begitu?,” tukasnya.

Meskipun begitu ia setuju bahwa jika dirasa kurang ampuh, utamanya dalam segi pengawasan dan sanksi, permentan memang harus dinaikkan levelnya. Entah perppu, entah kepres, yang intinya adalah penerapan sanksi dan wewenang.

Haris Azhar selaku praktisi hukum yang juga hadir sebagai pembahas mengatakan bahwa semua aturan hukum, utamanya permentan seharusnya merupakan bentuk pengejewantahan dari peraturan diatasnya. Ia juga mengatakan bahwa permentan 32 ini juga harus ditinjau dari legal sains, sehingga jelas apakah perementan ini merupakan penerapan dari UU peternakan atau malah “pembelokan” dari masalah yang selama ini terjadi.

“Saya mau bilang dengan kondisi seperti ini, acuannya banyak, jadi permentan ini mau menertibkan pasar, menerapkan keberpihakan kepada yang lemah, atau mengemankan produksi dan distribusinya?. Ini terlalu banyak warnanya, jadi enggak fokus, jadi malah ribet,” tukas Ketua Umum LBH Lokataru tersebut.

Ia juga sepakat bahwa industri pangan ini harus serius dalam peningkatan kualitas hidup manusia dan kehidupan di dunia kerja. Jika dilihat dari kacamata HAM, sektor pangan ini hal yang luar biasa dan perlu fokus dalam aspek legaltasnya. 

Haris melihat di masa kini bahwa peternak rakyat menjadi kelompok rentan, karena perusahaan integrator semakin besar. Karena mengguritanya perusahaan tadi, maka tidak menghasilkan pemberdayaan. Ia juga bilang bahwa semakin urgent sekarang ini untuk mendorong Negara agar menolong para peternak.

“ Menurut saya apapun dasar hukum yang dipakai, minta peraturan baru yang memang melindungi peternak kecil. Konsekwensinya ya nanti mungkin ada beberapa pasal yang dihilangkan, masa anusia mengikuti permentan, salah itu, harusnya permentan yang mengikuti manusianya, itu baru adil,” tukas Haris.

Dirinya juga menyarankan agar mendorong pemerintah agar membuat peraturan baru yang lebih pro peternak. Hal ini dirasa perlu untuk menguji keberpihakan pemerintah terhadap rakyat (peternak). Ia juga bilang bahwa permentan 32 ini tidak bisa dipakai dalam menyelamatkan peternak rakyat mandiri karena masih bias. 

Pada sesi diskusi, kritik juga datang dari Wayan Suadnyana, salah satu peserta diskusi yang mengeritik keras permentan tersebut. Menurutnya permentan tersebut juga banyak melanggar peraturan perundangan lainnya, bukan malah mengejawantahkan peraturan perundangan yang ada.

Saya merasa peternak diperdayai, bukan diberdayakan. Tolonglah supaya peternak itu diberdayakan, jangan diperdayai. Jadi permentan ini jangan sampai jadi pelegalan dari kesalahan – kesalahan yang terjadi sebelumnya,” tutur Wayan.

Salah satu peserta yang juga mendukung pendapat Wayan yakni Ashwin Pulungan. Menurutnya, karena bersifat quick yield, sektor peternakan unggas ini tentunya cocok untuk pemberdayaan masyarakat. 

“Perputaran uang di situ kan cepat, ini lah yang dilihat oleh para investor besar, sehingga PMA banyak masuk. Oleh karenanya perlu difokuskan terutama pasal perlindungan peternak dan pembagian pasar,” kata Ashwin.

Ashwin juga mengatakan bahwa selama ini pemerintah banyak membuang energi untuk mengatur perunggasan dengan permentan yang tidak penting. Masalah hanya berkutat disitu -situ saja, tidak selesai – selesai. 

Yang disayangkan adalah, meskipun ada peserta diskusi yang berasal dari kalangan pemerintah, tetapi tidak ada yang ikut berdiskusi, menanggapi, atau sekedar mendengarkan saran dan kritik dari para peserta dalam acara yang berlangsung selama 3 jam tersebut. Begitu pula dari kalangan perusahaan integrator.

Akhir kata, Permentan 32 dirasa masih kurang greget dan belum ada sesuatu yang bisa disimpulkan dari diskusi ini. Entah butuh revisi atau sekalian diganti/dicabut, Permentan No.32 harus fokus terhadap satu hal, misalnya perlindungan peternak, pembagian pasar, dan lain sebagainya.

Selain itu memang dirasa perlu membuat peraturan perundangan baru yang nantinya tidak menyebabkan kegaduhan dan menjadi win – win solution agar perunggasan tidak lagi gaduh dan fokus dalam produksi yang efisien. (CR)

REMBUK PERUNGGASAN NASIONAL HASILKAN BEBERAPA KEPUTUSAN

Industri perunggasan Indonesia masih dihantui bayang-bayang over supply. (Foto: Dok. Infovet)

Awal tahun pasti semua kalangan berharap bahwa tahun 2020 menjadi tahun yang lebih baik daripada tahun sebelumnya, tanpa terkecuali kalangan perunggasan nasional. Sebagaimana diketahui bersama bahwa industri perunggasan nasional terus diterpa oleh kenyataan pahit, dimana harga jual live bird yang sangat sulit distabilkan tiap tahunnya.

Para pelaku usaha sudah jengah dengan memburuknya sektor perunggasan nasional, hampir setiap beberapa bulan sekali mereka para peternak mau tidak mau, suka tidak suka, dari hulu ke hilir banyak pihak yang memang sangat bergantung kehidupannya dari sektor ini.

Dalam rangka duduk bersama dan menuntaskan permasalahan tersebut, atas dasar inisiasi dari peternak dan asosiasi peternakan unggas, digelarlah rapat bersama dengan tema "Rembuk Perunggasan Nasional" di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (22/1/2020).

Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan peternak, asosiasi peternakan unggas, integrator, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Satgas Pangan.

Keadaan over supply yang makin tak terkendali, tentunya menjadi biang keladi atas anjloknya harga jual live bird di tingkat peternak. Tercatat sejak September 2019 hingga kini, pemerintah masih harus melakukan "rekayasa" berupa cutting telur tetas DOC FS hingga Januari 2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga harga jual live bird tetap stabil dan menguntungkan untuk peternak mandiri.

Hingga pada Rabu, 22 Januari 2020, ada sekitar 117,9 juta butir telur tetas yang di cutting, angka tersebut sebetulnya masih kurang dari target seharusnya yang sebanyak 127 juta butir. Dengan kata lain, baru 92,38% dari target yang terealisasi.

Dalam pertemuan rembuk perunggasan nasional, menghasilkan beberapa keputusan untuk menjaga harga jual live bird tetap stabil di atas HPP, diantaranya: 

1. Wilayah Jawa Barat mulai Kamis (23/1/2020), ayam yang berukuran 1,2 kg ke bawah agar ditahan untuk dijual selama empat hari. Kalaupun hendak dijual, harganya minimal Rp 16.000/kg atau boleh dijual dengan syarat dipotong di RPA sendiri. Sedangkan untuk ayam berukuran di atas 1,2 kg, mulai Kamis (23/1/2020), harus dijual dengan harga terendah Rp 16.000/kg.
2. Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai Kamis (23/1/2020), harga ayam yang dijual terendah Rp 16.000/kg (Jawa Tengah) dan Rp 16.000/kg (Jawa Timur).
3. PT Charoen Pokphand Indonesia, Japfa Comfeed dan Malindo di wilayah Jawa Tengah mulai Kamis (23/1/2020), tidak boleh sama sekali melakukan penjualan live bird.
4. PT CJ Feed Indonesia, Wonokoyo, CISF, Sinta Prima, New Hope dan peternak mandiri tidak boleh melakukan penjualan live bird pada Jumat (24/1/2020) di wilayah Jawa Tengah.
5. Harga jual minimal live bird adalah Rp 16.000/kg.
6. Hari Sabtu dan Minggu (25-26 Januari 2020), semua perusahaan diperbolehkan menjual live bird dengan harga minimal Rp 16.000/kg.
7. Harga DO yang berlaku sesuai dengan tanggal tangkap.
8. Pemerintah wajib melakukan pengawasan.
9. Harga akan dievaluasi kembali tiap empat hari, dimulai pada senin (27/1/2020).
10. Harga DOC FS yang dijual kepada peternak mandiri skala kecil, jangan dinaikkan dulu. (CR)

NASIONALISME PERUNGGASAN, TANTANGAN DI NEGERI SENDIRI



Komoditas perunggasan masih menjadi primadona dalam sektor peternakan di Indonesia, salah satunya ayam broiler. Sejak pertama kali ayam broiler diperkenalkan pada 1980-an oleh pemangku kekuasaan di Indonesia, terbukti dapat memberikan keuntungan yang cukup baik bagi peternak dengan masa periode produksi yang saat ini hanya sekitar 28-35 hari, sehingga peternak dapat langsung menikmati hasilnya. Oleh karena itu, penyediaan produk ayam perlu dijaga kuantitas dan kualitas dari segi kehalalan dan higienitasnya agar mampu bersaing.

Namun akhir-akhir ini sedang terjadi tantangan besar bagi pelaku usaha perunggasan di Tanah Air, karena akan adanya kebebasan impor ayam dari Brasil yang dinaungi oleh World Trade Organization (WTO).

WTO merupakan organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan dari WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam melakukan kegiatannya. WTO terdiri dari beberapa negara anggota, diantaranya merupakan negara berkembang termasuk Indonesia. Sehingga kita harus siap dan bijak dalam menyikapi perdagangan bebas yang terjadi.

Dalam hal ini komoditi pangan yang berkaitan dengan perunggasan sedang menjadi sorotan oleh berbagai pihak, khususnya kekhawatiran peternak ataupun penyedia daging unggas. Dimana kebebasan penyediaan daging dapat berasal dari manapun, salah satunya dari Brasil yang ingin memasok daging unggas ke Indonesia. Brasil saat ini merupakan salah satu negara pengekspor unggas terbesar di dunia yang sudah menargetkan Indonesia sebagai pangsa pasarnya. Brasil pun sudah berusaha mengekspor daging ayam ke Indonesia hingga membawa permasalahan perdagangan ayam ke WTO sejak 2014 dan memenangkan gugatan pada 2017. Brasil kemudian kembali membawa permasalahan tersebut ke WTO, karena Indonesia belum juga membuka keran impor ayam. Diketahui ayam dari Brasil tidak bisa masuk ke Indonesia karena belum mengantongi sertifikasi sanitasi internasional dan sertifikat halal.

Bagi masyarakat Indonesia, bisa jelas dibayangkan apabila terjadi proses impor daging ayam dari Brasil, tentunya akan mengakibatkan gejolak industri perunggasan makin besar, dan peternak menjadi korban pertama yang merasakan dampaknya. Seperti gejolak harga karena produk unggas Brasil harganya lebih kompetitif atau lebih murah. Begitupula komoditi dalam negeri yang juga akan mengalami penurunan. Hal ini yang harus menjadi fokus bersama karena di Indonesia masih mampu memproduksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dapat dilihat bahwa setiap tahun produksi ayam ras pedaging terus meningkat, dari data BPS tercatat pada 2016 sejumlah 1,63 miliar ekor, 2017 sebanyak 1,85 miliar ekor dan 2018 meningkat menjadi 1,89 miliar ekor.

Kekhawatiran selanjutnya yaitu terjadinya kemungkinan sektor bisnis ini akan ditinggalkan oleh produsen dan peternak, yang akan menyebabkan industri ini akan kalah bersaing. Padahal dari sektor perusahaan peternakan unggas di Indonesia yang melakukan kegiatan pembibitan dan budidaya unggas pada 2018 terdapat sebanyak 394 perusahaan, yang terdiri dari 129 perusahaan pembibitan dan sebanyak 265 perusahaan usaha budidaya.

Sama halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, dari data BPS sebagian besar perusahaan berbentuk PT/CV/Firma (97,72%), kemudian yayasan (1,27%), BUMN (0,76%) dan koperasi (0,25%). Belum lagi dari perusahaan pakan yang ada di Indonesia, bahkan beberapa usaha tersebut dimiliki oleh anak bangsa. Sehingga dari data tersebut kita bisa bayangkan berapa banyak pekerja yang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari sektor perunggasan.

Oleh karena itu, perlu bersama-sama mencari strategi terbaik untuk menghadapi tantangan yang terjadi di negeri sendiri. Perlu penguatan kebersamaan dan rasa gotong-royong dalam menghadapinya, sehingga persatuanlah yang menjadi solusi. Dari ranah peneliti, akademisi, pelaku usaha dan pemerintah, yang kemudian berkolaborasi dengan organisasi, asosiasi dan kelompok ternak bisa bersinergi dalam menguatkan sektor perunggasan, baik teknis maupun strategis.

Kemudian diharapkan terjadi pertukaran informasi untuk meningkatkan efisiensi produksi dengan memanfaatkan teknologi, seperti teknologi pakan yang ramah lingkungan maupun teknologi genetik. Peternak melalui kelompok juga dipermudah untuk membuat kandang closed house atau rumah pemotongan ayam. Dengan ini diharapkan dapat menekan angka kematian ternak dan meningkatkan efisiensi, serta produktivitas saat produksi maupun pasca produksi. Kemudian untuk masyarakat diharapkan dapat mengonsumsi produk, baik daging maupun olahannya yang diproduksi oleh Anak Bangsa.

Generasi muda yang produktif perlu diarahkan dan ditumbuhkan “ruh” dalam membangun peternakan Nasional, mengingat peternakan masih merupakan sektor penting bagi kebutuhan pangan Nasional. Tidak sedikit saat ini mulai bermunculan inovasi-inovasi hasil kreasi anak muda di bidang peternakan yang sangat diperlukan. Dengan pengetahuan dan kemampuannya dalam sektor IT, generasi penerus ini harus menyadari bahwa kontribusi dalam dunia peternakan sedang ditunggu-tunggu, baik sebagai tenaga ahli, pelaku usaha, pemerintahan, entrepreneur maupun sociopreneur yang bergerak dalam memajukan peternakan Tanah Air.

Sehingga jangan sampai kebutuhan pangan yang sangat mendasar ini dibebankan hanya pada salah satu sektor dan saling menyalahkan. Ini merupakan “pekerjaan rumah” besar bagi semua kalangan. Semua harus dihadapi, memang sudah saatnya bertarung dengan dunia global, jangan sampai kita terlambat dan terlena. Karena untuk menjadikan produk peternakan Indonesia berdaya saing tinggi di pasar internasional harus menggunakan cara-cara cerdas dan kreatif.

Tidak ada salahnya kita belajar dari negara lain yang bisa menjaga kedaulatan dan kesejahteraan peternaknya tapi tetap menjaga keseimbangan perdagangan internasional, sehingga bisa melakukan antisipasi, bertahan dan memenangkan pertarungan. ***

Oleh: Rifqi Dhiemas Aji
Konsultan Teknis Peternakan PT Natural Nusantara

SEMINAR TUNGGAL & LAUNCHING BUKU BERSAMA TONY UNANDAR

Launching buku Tony Unandar. (Foto: Dok. Infovet)

Dalam budidaya unggas, kesehatan menjadi prioritas untuk mencapai produksi maksimal. Kasus penyakit yang kerap merepotkan menjadi musuh utama bagi peternak. Apalagi ditambah dengan adanya perubahan iklim dan dilarangnya penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Tentunya ini membutuhkan beberapa trik dalam pemeliharaan ternak unggas modern.

Melihat kondisi itu, PT Gallus Indonesia Utama (GITA) melalui divisi Infovet bekerjasama dengan GITA Pustaka dan GITA Organizer, menyelenggarakan seminar Manajemen Kesehatan Unggas Modern di Era Bebas AGP, dengan narasumber utama Tony Unandar selaku private consultant farm, sekaligus me-launching bukunya yang berjudul "Manajemen Kesehatan Unggas Modern" terbitan Gita Pustaka.

"Dalam seminar kali ini kita sekaligus launching buku Pak Tony. Beliau selama ini juga turut membantu memberikan informasi seputar kesehatan unggas melalui artikel-artikel yang dimuat di Infovet sejak 1992," ujar Direktur Utama PT Gallus, Bambang Suharno, yang juga Pimpinan Redaksi Majalah Infovet dalam sambutannya.

Seminar yang dimulai sejak pukul 13:00 WIB dihadiri Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, dan dipadati sekitar 70 orang peserta yang terdiri dari kalangan praktisi kesehatan unggas, feedmill dan perwakilan perusahaan yang bergerak di industri perunggasan.

Seminar dipadati puluhan peserta yang berkecimpung di bidang perunggasan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Dimoderatori oleh Direktur HRD PT Gallus, Rakhmat Nuriyanto, seminar diawali dengan pembahasan oleh Tony mengenai bagaimana peternak bisa memanajemen kesehatan unggas dengan baik.

Menurutnya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam manajemen kesehatan unggas modern, khususnya di era pelarangan AGP.

"Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian dalam memanajemen kesehatan unggas modern, yakni genetik ayam itu sendiri baik broiler maupun layer, kemudian manajemen pemeliharaan dan lingkungan. Semuanya akan saling berkaitan," kata Tony.

Selanjutnya Tony juga menjabarkan lebih jauh mengenai faktor-faktor baik ekstrinsik maupun intrinsik yang mempengaruhi performa di lapangan beserta cara menangani performa unggas agar tetap terjaga. (INF)

AWAS! PERNAPASAN TERSUMBAT KEUNTUNGAN TERHAMBAT

Kepadatan ayam yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kemungkinan infeksi penyakit pernapasan. (Foto: Dok. Infovet)

Sudah dipelajari ditingkat sekolah dasar, menengah dan bahkan pendidikan tinggi bahwa salah satu dari beberapa ciri mahluk hidup adalah bernapas. Tanpa terkecuali ternak unggas, penyakit pernapasan masih menjadi hal yang mendominasi dan ditakuti para peternak karena dapat berakibat fatal.

Mengingat masa perkuliahan, bahwa ada tiga organ vital yang dapat menjadi penyebab kematian hewan maupun manusia, yakni otak, jantung dan paru-paru. Otak tentunya berkaitan dengan sistem syaraf, bisa dibilang otak adalah prosesor dari suatu organisme. Jantung, tentunya berkaitan dengan sistem sirkulasi dan peredaran darah. Sedangkan paru-paru berkaitan dengan sistem respirasi atau pernapasan. Jika salah satu diantara ketiga sistem tersebut tidak bekerja dengan baik, maka sistem akan rusak. Pada unggas, terutama unggas komersil, sistem pernapasan merupakan sistem yang sering menjadi kendala dalam usaha budidaya, baik skala kecil maupun besar.

Hukum Sebab-Akibat
Mengapa penyakit pernapasan sering terjadi dan cenderung berulang? Jawabannya adalah karena industri perunggasan yang berkembang pesat ditambah perkembangan unggas modern saat ini yang pertumbuhannya sangat cepat. Peternak kawakan sudah pasti memahaminya. Ayam ras dahulu butuh waktu lebih lama untuk mencapai panen, kurang lebih hampir 2 bulan. Namun ayam ras modern kini tidak memerlukan waktu yang lama, cukup 4-5 minggu pun sudah bisa dipanen dengan bobot badan lebih dari 1 kg. Tentunya dengan beberapa syarat, seperti manajemen yang baik, biosekuriti dan lain sebagainya.

Namun sangat disayangkan, perkembangan genetik ayam ras yang sangat cepat dan baik masih terkendala dengan cara budidaya yang monoton. Sehingga impaksinya dapat terlihat dari indeks performa dan hasil panen yang kurang memuaskan, serta mudahnya ayam terserang penyakit yang mengakibatkan mortalitas tinggi serta kerugian besar.

Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Prof Wayan Teguh Wibawan, ayam ras masa kini merupakan ayam dengan profil genetik yang baik dan unggul, tetapi... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019)

Oleh Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

PANAS! DITJEN PKH GELAR PUBLIC HEARING PERMENTAN PERUNGGASAN

Salah satu peserta sedang diskusi menanggapi panelis. (Foto: Infovet/CR)

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) menggelar public hearing terkait revisi Permentan No. 32/2017 tentang Penyediaan, Distribusi dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.

Dari pantauan Infovet, acara yang sedianya berlangsung pukul 08:00 WIB baru dimulai pada pukul pukul 09:00 WIB. Public hearing dihadiri stakeholder bidang perunggasan, asosiasi perunggasan, peternak kecil dan integrator, termasuk Biro Hukum Kementan.

Dihadapan para undangan Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Sugiono, mewakili Dirjen PKH, membacakan revisi dari Permentan No. 32/2017. Acara dilanjutkan dengan mendengar tanggapan dari para stakeholder dan pelaku perunggasan terkait isi rencana dari revisi Permentan tersebut.

Jalannya diskusi pun memanas dan diwarnai beberapa kali debat kusir, saling sindir, tuding-menuding dan serang pendapat antar stakeholder perunggasan, buah dari pro-kontra yang terjadi.

Misalnya saja pada salah satu pasal yang menyatakan dimana integrator diwajibkan membuat rumah pemotongan unggas (RPU) dengan tenggat waktu paling lama lima tahun. Aturan tersebut ditanggapi kecewa oleh mantan Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Drh Hartono.

Menurut Hartono, pada demonstrasi 26 September lalu, seharusnya tenggat waktu tersebut telah disetujui maksimal dua tahun. “Kok jadi lima tahun? Padahal waktu tanggal 26 kemarin kan dua tahun, kami keburu mati kalau begini,” pungkas dia.

Hingga berita ini diturunkan, diskusi masih berlanjut dan belum membuahkan hasil. (CR)

TOXIN BINDER DAN PERANANNYA

Kualitas pakan secara fisik ataupun laboratories sangat menentukan seberapa perlu penggunaan toxin binder dan kriteria/jenis penggunaannya sesuai dengan keperluan. (Sumber: zootecnicainternational.com)

Indonesia adalah negara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa, beriklim tropis dengan kelembaban udara yang relatif tinggi dari waktu ke waktu (sehingga sering disebut sebagai negara dengan iklim tropis basah). Indonesia memiliki iklim laut yang sifatnya lembab dan banyak mendatangkan hujan. Pada musim penghujan jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap kelembaban lingkungan dibanding saat musim kemarau. Hal ini juga karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana sebagian besar tanah daratannya dikelilingi lautan dan samudera. Sehingga potensi pembentukkan uap air jauh lebih tinggi dibanding negara yang daratan lebih besar.

Lembab dan Faktor Resiko Munculnya Jamur
Pola suhu dan kelembaban di Indonesia dalam 24 jam sangat menciri sekali. Dimana pada saat tengah malam menuju ke dini/pagi hari, rendahnya suhu lingkungan biasanya akan diikuti oleh tingginya kelembaban, dan sebaliknya saat tingginya suhu siang hari secara umum kelembaban akan menurun signifikan.

Salah satu keunikan yang terjadi di Indonesia adalah dijumpainya kemarau basah yang berkepanjangan. Tingginya cekaman panas pada musim kemarau akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebihan dan berdampak pada terkumpulnya awan yang mengandung uap air yang pada titik kondensasi tertentu akan berubah menjadi hujan. Sehingga tidak jarang dijumpai kondisi pada saat cuaca panas, namun hujan turun yang menyebabkan kelembaban lingkungan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pola kelembaban tidak hanya dipengaruhi rendahnya suhu pada malam hari, namunn juga suhu yang relatif tinggi yang berakibat penguapan berlebih pada saat siang hari.

Konsekuensi logis dari kondisi geografis tersebut membuat peternak harus lebih rinci dan detail dalam menjalankan aktivitas budidaya perunggasannya agar bisa meminimalkan efek atau resiko buruk dari kelembaban tinggi yang berdampak pada performa produksi ayam. Bahkan kelembaban relatif lingkungan bisa mencapai 100%. Tidak hanya sekedar dalam memainkan setting kipas dan tirai, upaya menjaga kualitas litter, mencegah adanya kepadatan semu, juga harus fokus terhadap ancaman penurunan kualitas pakan oleh adanya jamur dan mikotoksin. Mengingat efek yang dihasilkan sangat berbahaya dan merugikan, baik yang secara kasat mata mapun yang tidak.

Jamur dan Mikotoksin
Banyak para peternak yang belum bisa membedakan antara keduanya. Ada beberapa diantara peternak yang menganggapnya...

Drh Eko Prasetio
Commercial Broiler Farm Consultant


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

MENILIK UNTUNG - RUGI PASCA PELARANGAN AGP

Setahun berlalu sejak terbitnya Permentan No.17/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Salah satu poin dalam peraturan tersebut yakni dilarangnya Antibiotic Growth Promoter (AGP) ke dalam pakan ternak.  Banyak hal yang terjadi di lapangan, baik dalam hal teknis maupun dari segi bisnis. Apa saja perkembangan yang terjadi sejak pelarangan tersebut?.

Permentan no 14/2017 bisa dikatakan sebagai Permentan yang paling menghebohkan di jagat peternakan nasional. Judul Permentan tampak sederhana “ Klasifikasi Obat Hewan”. Sekilas terkesan sekedar sebuah aturan penggolongan saja yang hanya berdampak pada pengelompokan dalam bidang keilmuan. Namun di dalamnya ada pasal yang membuat industri obat hewan, pakan  dan budidaya perunggasan harus melakukan perubahan yang signifikan. Tak heran jika proses penerbitan peraturan ini membutuhkan diskusi yang cukup panjang dan alot. Utamanya pada poin pelarangan AGP di dalam pakan.

Ketika dikonfirmasi oleh Infovet, Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh. I Ketut Diarmite mengatakan bahwa pemerintah mengambil langkah tersebut untuk melindungi hewan, masyarakat, dan lingkungan. “Penggunaan antibiotik sebagai growth promoter memang kita stop, tapi untuk medikasi masih boleh,” tukas Ketut.

Ia melanjutkan, menurut beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para ahli baik di dalam dan luar negeri penggunaan AGP dapat memacu resistensi antimikroba pada ternak selain dan menimbulkan efek residu pada produk peternakan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.“Intinya peraturan ini juga sudah diaturdi Undang –Undang peternakan dan pemerintah berniat pula menjalankan amanat itu,” tutur Ketut.  

Ketut juga menyadari bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah sudah barang tentu akan menimbulkan pro dan kontra di dunia peternakan Indonesia khususnya unggas karena AGP paling banyak digunakan didalam pakan unggas, oleh karenanya ia selalu berusaha untuk terbuka, mendekatkan diri, berdiskusi dan menerima saran serta kritikan yang konstruktif dalam menanggapi permasalahan ini.

Kekhawatiran Akan Performa Ternak

Menyoroti pelarangan AGP tersebut, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) Drh. Desianto Budi Utomo berpendapat bahwa fine – fine saja melarang AGP tetapi harus berdasarkan kajian yang mendalam. “Maksud saya begini, Indonesia lain dari negara – negara barat sana, kita ini negara beriklim tropis, tahu sendiri lah bagaimana risikonya tinggal di negara tropis,” pungkasnya. Negara dengan iklim tropis kata Desianto, berisiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksius karena iklim tropis mendukung mikroorganisme untuk tumbuh.

Ia melanjutkan bahwa para integrator besar bisa saja menyiasati penggunaan antibiotik karena teknologi dan manajemen yang lebih modern dan canggih, namun bagaimana dengan para peternak kecil yang mungkin akan kerepotan karena masih menggunakan cara tradisional. “Pelarangan AGP ini kan bukan cuma soal medis, tapi ada dampak di sisi non-medisnya, ekonomi misalnya, kan jadi nambah cost pemeliharaan, apakah pemerintah berpikir sampai kesitu?,” kata Desianto.

Selain itu, Desianto berujar bahwa pemerintah juga tidak boleh hanya melarang saja, tetapi juga harus ikut berperan mengawasi pelarangan AGP ini. “Saya berharap pemerintah aktif melakukan pengawasan, bisa saja nanti ada pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab karena merasa tidak diawasi dia tetap pakai AGP, sementara yang lain tidak pakai, kan tidak fair. Intinya jangan sampai kebijakan yang diambil menimbulkan masalah baru,” tutur Desianto.

Sejak jauh hari, GPMT telah melakukan riset mengenai hal tersebut, hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 1. di bawah ini :

Tabel 1. Hasil trial penggunaan AGP dan non AGP pada broiler

(Sumber : GPMT, 2017)


Dari data dapat disimpulkan bahwa penurunan performa akan terjadi ketika penggunaan AGP distop. Ternyata kekhawatiran akan penurunan performa terbayar kontan, beberapa peternak unggas baik broiler dan layer di seluruh Indonesia mengeluhkan kebijakan tersebut. Seperti yang dikeluhkan Wahidin, peternak broiler asal Demak, Jawa Tengah. Sejak menggunakan pakan non-AGP, ayam – ayam di kandangnya tumbuh lebih lambat dan sering sakit. “Berkali – kali kena nyekrek (ngorok) Mas, sudah dua periode begini, sudah gitu lebh lambat naik bobot badannya,” Kata Wahidin.

Hal yang serupa dirasakan oleh beberapa peternak layer di Jawa Timur, sejak dilarangnya AGP performa produksi dari ayam – ayam petelur menurun. Selain itu ayam juga rentan sakit. Penurunan performa kemudian berimbas pada harga telur yang sempat naik dan menjadi pemberitaan di media – media mainstream beberapa waktu yang lalu, dilarangnya AGP ditengarai menjadi biang keladi dari semua persoalan tersebut.

Mencari Solusi Kesana-Kemari

Sebenarnya jauh hari sebelum AGP dilarang di Indonesia, berbagai subtituen pengganti AGP telah banyak ditemukan dan digunakan di seluruh dunia. Misalnya saja herbal, enzim, probiotik & prebiotik, asam organik, essential oil dan bahkan bateriofag. Namun begitu, tetap saja dari segi performa bisa dibilang tidak sebaik AGP. Selain itu, faktor cost menjadi pertimbangan lain yang membuat para formulator di pabrik pakan harus lebih sering memutar otak. Pasalnya harga subtituen AGP jauh lebih mahal daripada AGP.

Intan Mustika Herfiana formulator PT. Agrosari Nusantara telah mengujicoba beberapa jenis produk subtituen AGP dalam formulanya, menurutnya hasil yang didapat memang belum bisa sebaik AGP. “Misalnya probiotik, ketika saya pakai itu hasilnya bias. Ketika saya coba di kandang closed house hasilnya bagus, tetapi ketika saya coba di kandang tradisional hasilnya lebih sering kurang bagus, jadi bingung sendiri karena sebenarnya ini faktor kandang atau faktor AGP-nya?,” pungkas wanita yang akrab disapa Ika tersebut.

Closed house atau sistem kandang tertutup juga bisa dibilang solusi dalam meningkatkan performa. Hal tersebut karena di dalam closed house, peternak dapat mengontrol semua parameter seperti suhu, iklim, pencahayaan, kelembapan dna lain sebagainya sehingga performa ayam tetap baik. Namun sayang, pembangunan closed house memakan biaya yang besar dan peternak – peternak tradisional sulit menjangkaunya, terlebih lagi dengan harga ayam yang sangat fluktuatif. Mereka masih berpikir keras untuk mendirikan closed house, apalagi kalau – kalu ditengah jalan tiba-tiba harga ayam turun, selain keuntungan mereka berkurang, beban tanggungan mereka akan bertambah karena cicilan pembangunan closed house.

Solusi lain dalam mengakali performa adalah peningkatan biosekuriti di dalam peternakan. FAO ECTAD Indonesia beberapa tahun belakangan gencar dalam mengampanyekan konsep biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut. Padahal penerapan biosekuriti adalah suatu kewajiban dalam peternakan khususnya unggas.

“Kami dalam beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred. Ia mengakui bahwa usaha yang dilakukan timnya tidak mudah dan cukup alot, namun begitu beberapa peternak yang menyadari akan pentingnya biosekuriti secara perlahan tapi pasti mulai mengadopsi konsep yang lantang digaungkan oleh FAO.

“Beberapa peternak di Jawa Tengah, Lampung, dan daerah lainnya sudah mengadopsi. Dari yang sederhana sampai cukup mewah, yang ingin kita sampaikan pada peternak adalah biosekuriti itu wajib dan tidak harus yang mewah / mahal. Ada kok di Ungaran sana peternak yang biosekuriti tiga zonanya sederhana banget, tapi performa ternaknya tetap stabil,” pungkas Alfred.

Ketika ditanya mengenai sisi ekonomi dari penerapan biosekuriti, Alfred menjabarkan lebh jauh hal tersebut. Ia mencontohkan misalnya pada peternakan layer, imbas dari penerapan biosekuriti tiga zona selain menaikkan performa, produk yang dihasilkan juga jadi punya added value. “Di Lampung kami bekerja sama dengan Dinas setempat agar peternak yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona direkomendasikan untuk mendapatkan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sertifikat ini adalah jaminan bahwa produk yang dihasilkan sudah aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Produk yang ber-NKV ini juga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi ketimbang produk biasa,” tukas Alfred. Jadi dengan memiliki NKV, selain dapat dijual di pasar becek, peternak juga punya kesempatan agar produknya dapat dijual ke modern market sehingga walaupun ada cost untuk investasi biosekuriti adapula output yang dihasilkan.Walaupun begitu nampaknya Alfred dan timnya masih harus berjuang lebih keras karena konsep sebaik itupun masih sulit diterima oleh peternak, karena masih banyak peternak enggan mengeluarkan cost lebih.


Dampak Sisi Bisnis Obat Hewan

Ketika banyak pihak yang khawatir dengan pelarangan AGP. Dampak buruk terhadap performa rupanya telah banyak yang memikirkan matang - matang. Beberapa perusahaan obat hewan sudah melakukan antisipasi terhadap pelarangan ini sehingga ketika pelarangan diberlakukan mereka sudah menyiapkan produk substitusinya.

Seorang narasumber Infovet di sebuah perusahaan obat hewan multinasional mengatakan, ketika ada isu yang berhembus tentang terbitnya peraturan baru tersebut dari jauh hari, pihaknya langsung mempelajari isinya dan memberikan informasi ke pihak mitra di luar negeri bahwa di dalam peraturan baru tadi ada pasal yang menyebutkan bahwa AGP akan dilarang di Indonesia.

Informasi ini sangat berharga bagi perusahaan tersebut, mereka kemudian melakukan sejumlah riset agar bisa meluncurkan produk pengganti AGP. Tahun 2018 ketika pelarangan diberlakukan, perusahaan ini sudah siap melakukan registrasi produk baru. Ini adalah contoh bagus dimana perusahaan harus mencermati perkembangan peraturan di Indonesia dan melakukan antisipasi atas rencana pemerintah dalam memberlakukan peraturan baru.

Banyak pihak mengatakan Indonesia belum siap untuk memberlakukan pelarangan AGP, namun sebenarnya kalau dihitung sejak terbit UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2009, berarti ada waktu 8 tahun untuk persiapan pelarangan AGP, karena pelarangan baru diberlakukan Januari 2018 melalui Permentan tahun 2017. Mungkin ada yang mengira bahwa pelarangan AGP tidak akan “secepat“ ini karena beberapa negara lain juga belum memberlakukannya. Sejak pelarangan AGP diberlakukan awal tahun 2018, beberapa perkembangan dalam industri peternakan di sektor hulu dan hilir terjadi.

Seperti yang disebutkan tadi di atas, dilarangnya AGP memunculkan banyak produk baru sebagai pengganti. Produk-produk yang beredar di pasaran sebagai pengganti AGP adalah sediaan alami (jejamu), probiotik, prebiotik, enzim,  asam organic (acidifier) dan lain sebagainya. Data  Direktorat Kesehatan Hewan menunjukkan, sebelum tahun 2017 terdapat 294 produk imbuhan pakan dalam kategori non AGP.

Selanjutnya tahun 2017 terjadi banyak penambahan registrasi baru produk pengganti AGP, yaitu 21 produk enzim, sediaan alami dan acidifier. Terdapat pendaftaran 31 produk yang semula indikasinya sebagai feed additive (sebagai AGP), berubah indikasi menjadi kategori farmasetik (kuratif). Perubahan ini dalam istilah registrasi obat hewan dikenal dengan istilah perubahan “F ke P”. Selain itu ada juga pendaftaran 3 produk vaksin Koksidiosis, yang semula (sebelum pelarangan AGP), produk ini belum populer.

Direktur Kesehatan Hewan Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, tidak perlu khawatir dengan pelarangan AGP karena produk penggantinya sudah cukup banyak, dan terus bertambah. Data terbaru (2018) dari Ditkeswan menunjukkan, saat ini sudah ada 104 jenis enzim yang sudah mendapat nomor registrasi, 66 produk kategori asam organik,  85 produk probiotik dan prebiotik,  dan 36 produk obat alami. Sebagaimana terlihat pada diagram 1 di bawah ini :

Diagram 1 Produk pengganti AGP yang terdaftar di DItjen PKH
 
(Sumber : Direktorat Kesehatan Hewan, 2018)
 
Market Obat Hewan Melonjak

Ternyata Dilarangnya AGP juga menyebabkan market obat hewan yang beredar meningkat tajam. Data yang dirilis ASOHI pada acara Seminar Nasional Bisnis Peternakan yang berlangsung akhir 2018 lalu menyebutkan, nilai market obat hewan golongan feed additive dan feed supplement tahun 2018 diperkirakan sebesar Rp 8,5 triliun , meningkat 75% dibanding tahun 2017 sebesar  Rp 4,8 triliun. Baru pertama dalam sejarah, pertumbuhan market obat hewan sebesar itu. Datanya sebagaimana terlihat dalam Tabel 2., Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 2. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2017



 Tabel 3. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2018






                                                     
(Sumber : ASOHI, 2018)

ASOHI juga menyebut, secara total market  obat hewan tahun 2018 sebesar Rp 13,8 triliun, naik 65% dibanding tahun 2017 sebesar Rp 8,4 triliun. Penyebab kenaikan tinggi (melebihi pertumbuhan populasi) ini disebabkan oleh peningkatan revisi data populasi,  adanya pelarangan AGP yang menyebabkan biaya pakan meningkat, serta adanya pelemahan kurs rupiah sehingga harga obat hewan naik.

Walaupun banyak menuai kontroversi pada awal diberlakukannya kebijakan pelarangan AGP, namun ada dampak yang cukup signifikan dari sisi ekonomi. Namun begitu, penerapan pelarangan AGP masih perlu dibenahi, misalnya saja meningkatkan kesadaran peternak terhadap resistensi dan residu antimikroba yang tidak hanya membahayakan hewan, tetapi juga manusia dan lingkungan.

Pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya juga tidak boleh abai dengan peternak, mereka juga tetap harus didampingi, diawasi dan dibina. Jangan hanya menikmati keuntungan saja akibat naiknya nilai market obat hewan, adalah kewajiban bagi semua stakeholder dalam berkontribusi memajukan sektor peternakan di Indonesia (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer