Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini AMR | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KOLABORASI KEMENTAN & FAO TANGGULANGI RESISTENSI ANTIMIKROBA

Para peserta talkshow berfoto bersama


Resistensi antimikroba menjadi salah satu ancaman terbesar kesehatan global, tidak hanya pada kesehatan manusia, namun juga pada kesehatan hewan. Setiap tahunnya, 700.000 orang diperkirakan meninggal akibat infeksi bakteri yang resisten terhadap antimikroba. Hal yang sama terjadi juga pada hewan ternak.
Informasi tersebut disampaikan oleh Syamsul Ma’arif, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner yang mewakili Dirjen PKH I Ketut Diarmita. Sambutan tadi disampaikan pada acara Peluncuran Materi Komunikasi Informasi dan Talk Show Pengendalian Laju Resistensi Antimikroba di IICC Bogor, 19 November 2019. 
Antibiotik merupakan salah satu jenis antimikroba yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi bakteri pada manusia dan hewan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat di sektor peternakan, pertanian, perikanan serta masyarakat mempercepat laju resistensi bakteri menjadi kebal (superbugs). Tanpa adanya upaya pengendalian global, AMR diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per-tahun, melampaui penyakit jantung, kanker dan diabetes, serta dapat menimbulkan krisis ekonomi global.
Di sektor peternakan, ancaman AMR tidak hanya mengancam keberlangsungan kemampuan dalam mengendalikan penyakit infeksi pada ternak, akan tetapi juga sangat mengancam ketahanan pangan terutama produktivitas sektor peternakan dalam menyediakan sumber pangan hewani bagi masyarakat.
Pada Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia / World Antibiotic Awareness Week (WAAW) yang berlangsung sejak tanggal 18 November 2019, Ditjen PKH bersama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) dan USAID Indonesia merangkai berbagai kegiatan kolaborasi dengan pemerintah daerah, institusi akademisi dan sektor swasta di tiga kota yakni Bogor, Lampung, dan Surabaya. 
"Tujuannya kegiatan ini adalah untuk memperkuat kesadaran akan bahaya nyata dari AMR dan menyuarakan penggunaan antibiotik dan antimikroba lainnya secara bijak, cerdas dan bertanggung jawab" tutur Syamsul.
Ia juga menambahkan bahwa tantangan dalam memerangi laju resistensi antimikroba dan mengendalikan penyakit infeksi baru harus dipandang sebagai kewajiban dan tanggung jawab semua pihak, untuk itu semuanya harus senantiasa berupaya meningkatkan kompetensi profesional dan selalu menjaga agar antimikroba tetap efektif.
Team Leader FAO ECTAD James McGrane menambahkan bahwa pelaku usaha peternakan dan industri peternakan sangat berperan dalam solusi pengendalian laju resistensi antimikroba. Menurutnya Kementerian Pertanian bersama FAO ECTAD dengan dukungan USAID terus menggaungkan praktik-praktik peternakan yang baik (good farming practices) dan Infection Prevention and Control (IPC), dimana didalamnya terdapat implementasi biosekuriti 3 zona, vaksinasi secara regular, dan pola hidup bersih dan sehat. 
"Hal ini menjadi solusi pengurangan penggunaan antimikroba di peternakan. Harapannya, dengan peternakan yang bersih dan terjaga, tercipta ternak yang sehat dan tidak mudah terkena penyakit,” ujar James. (CR)


KOLABORASI KEMENTAN, FAO DAN AFKHI HASILKAN BUKU BARU


Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bersama Badan Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO) Indonesia, dan Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI) menuntaskan buku bertajuk Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas.

Buku tersebut menjelaskan isu-isu kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat terkait strategi pencegahan serta pengendalian Emerging Infectious Disease (penyakit infeksi baru/berulang-PIB) dengan pendekatan One Health, masalah kesehatan unggas, termasuk rantai produksi dengan potensi terjadinya zoonosis seperti penyakit Avian Influenza (AI) serta isu penting dan perkembangan resistensi antimikroba (AMR).

Menurut Dirjen PKH, I Ketut Diarmita dalam acara peluncuran buku tersebut, Kementerian Pertanian sangat serius dalam penanggulangan zoonosis atau penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia atau sebaliknya.Ketut menganggap langkah Kementan menuangkan pengalaman penanggulangan zoonosis dan AMR serta penanganan kesehatan unggas sangat penting dilakukan, hal ini merupakan kontribusi Kementan untuk kemajuan pendidikan masyarakat luas, dan sumber daya manusia, khususnya di dunia kedokteran hewan di Indonesia.

“Kegiatan di lapangan yang telah dilakukan oleh Kementan dan kementerian terkait lain banyak memberi masukan dan pembelajaran tentang praktik terbaik dalam pencegahan, deteksi, dan respon terhadap ancaman zoonosis, PIB, dan AMR,” ujar Ketut. Lanjut Ketut menambahkan bahwa penyusunan Buku Pengayaan Materi Perkuliahaan One Health, Resistensi dan Penggunaan Antimikroba, dan Rantai Pasar Unggas ini merupakan dukungan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian dalam pengembangan kapasitas SDM sejak sebelum masuk dunia profesional dan upaya keberlanjutan dari hasil kerjasama Kementan dengan FAO dan sebelas lembaga perguruan tinggi di Indonesia.

Sementara itu, perwakilan FAO ECTAD, James McGrane mengatakan bahwa materi-materi pengayaan ini adalah hasil intisari pengalaman dan studi lapangan jangka panjang bersama Kementan di bidang pengendalian penyakit AI atau FB serta kerjasama kuat di sektor perunggasan sejak tahun 2006 yang turut didukung oleh Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID)."FAO mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan Ditjen PKH, terutama dalam pengendalian AI/FB yang bersifat zoonosis. Keberhasilan Indonesia mengendalikan AI berdampak positif bagi perkembangan perunggasan," tambahnya. 

Dirjen PKH dan Dekan FKH IPB saat peluncuran buku (Foto : FAO)


Sedangkan, Ketua AFKHI, Srihadi Agungpriyono menyambut gembira selesainya pengayaan materi perkuliahan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan ini.“Topik-topik terkait One Health, kesehatan unggas, dan AMR telah menjadi rekomendasi Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) untuk dijadikan materi ajar di Fakultas Kedokteran Hewan. Ini membuktikan hadirnya peran Pemerintah, akademisi, pakar kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, serta dunia Internasional yang diwakili oleh FAO dan USAID untuk mewujudkan materi kurikulum kedokteran hewan yang komprehensif dan mutakhir," ungkapnya. 

Menurut Srihadi kerjasama seperti ini merupakan yang pertama di dunia, dimana peran pemerintah, khususnya sektor pertanian dan organisasi internasional seperti FAO langsung terjun mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk upaya dalam mencapai konsep Day 1 Competency yang disarankan oleh OIE.

Buku yang terdiri dari 5 (lima) bab utama, setebal 73 halaman, masing-masing membahas tentang Implementasi One Health dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksi Baru; Pengendalian Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba.Serta Implementasi Kesehatan Unggas dan Rantai Pasar Unggas ini kemudian diserahterimakan secara simbolis oleh Dirjen PKH, Dr. Drh. I Ketut Diarmita, M.P., dan Team Leader FAO ECTAD, Dr. James McGrane kepada ketua AFKHI, Prof. Srihadi Agungpriyono untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar. (FAO)



ZOETIS ANTIBIOTIC STEWARDSHIP SEMINAR

Foto bersama seluruh peserta dan panitia seminar Zoetis di Senayan, Jakarta. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimicrobial Resistance (AMR) atau resistensi antimikroba telah muncul sebagai salah satu tantangan kesehatan terbesar di berbagai belahan dunia. Persoalan tersebut terus menjadi isu hangat yang dibicarakan dan semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan maupun industri yang bidang peternakan di seluruh dunia.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri,  virus, jamur dan parasit mengalami perubahan, sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan menjadi tidak efektif. Contoh dari resistensi antimikroba adalah penggunan antibiotika yang tidak bijak, di peternakan khususnya industri perunggasan salah satunya penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) yang saat ini sudah dilarang pemerintah awal 2018 kemarin.

PT Zoetis Animalhealth Indonesia yang merupakan perusahaan kesehatan hewan global, terus berkontribusi memberikan edukasi dan informasi terbaru dalam rangka meminimalisir adanya AMR di Indonesia dengan menggelar “Zoetis Responsible Use of Antibiotics Stewardship Seminar” secara maraton pada 17-18 Juli 2019.

“Topik AMR terus berkembang dan menjadi pembicaraan di berbagai tempat di dunia. Di Indonesia aturan mengenai AMR sudah diatur pemerintah awal 2018 kemarin, kita tentunya berusaha untuk mengimplementasikan peraturan tersebut,” ujar General Manager Zoetis Indonesia, Drh Ulrich Eriki Ginting, saat menyambut peserta seminar, Kamis (18/7/2019), di Mulia Hotel, Senayan, Jakarta.

Ia mengatakan, pihaknya terus memberikan komitmennya dalam membantu sektor perunggasan yang bijak dalam menggunakan antibiotik. “Zoetis berkomitmen untuk memberikan informasi baru yang relevan terkait AMR, sehingga efektivitas atau produktivitas di industri peternakan bisa dicapai. Kami juga terus berdiskusi bersama pemangku kebijakan, sebab komunikasi menjadi hal penting untuk membawa perubahan  yang lebih baik,” katanya.

Pada seminar tersebut menghadirkan tiga pembicara yang ahli dibidangnya, diantaranya Ben Santoso (Senior Analyst - Animal Protein Raboresearch Food & Agribusiness), Dr Jeffrey L. Watts, PhD (Research Director External Innovation - Anti-Infectives Zoetis Inc) dan Dr Choew Kong Mah DVM (Director International COE Outcomes Research Zoetis Inc), serta dimoderatori Prof Wayan T. Wibawan (Guru Besar FKH IPB).

Sehari sebelumnya, pada Rabu (17/7/2019), Zoetis Indonesia juga melaksanakan agenda serupa dengan mengundang instansi pemerintah yang bergerak di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Seminar digelar di Aston Hotel TB Simatupang. (RBS)

KESADARAN MASYARAKAT TERHADAP RESISTENSI ANTIMIKROBA PERLU DITINGKATKAN

Isu mengenai resistensi antimikroba hingga kini masih menjadi topik yang kerap kali dibicarakan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Faktanya penggunaan antimikroba baik di dunia kesehatan manusia dan hewan yang masih serampangan menimbulkan resistensi antimikroba. Berbagai ahli dari bermacam disiplin ilmu medis hadir dalam Seminar Studium Generale bertajuk Peningkatan Kesadaran tentang Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba di Jakarta (8/5) lalu. Acara tersebut diprakarsai oleh ASOHI, PB PDHI, Kementan, dan didukung oleh FAO serta USAID.

Ketua panitia yang juga merupakan pengurus ASOHI Drh Andi Widjanarko mengatakan bahwa resistensi antibiotik merupakan tanggung jawab dari semua disiplin ilmu medis. “ Mudah – mudahan terjadi kolaborasi yag baik dari semua lini medis, dokter, dokter hewan, serta ilmu lain yang berkaitan. Karena masa depan generasi selanjutnya juga dipertaruhkan sekarang,” tuturnya.

Para peserta dan pemateri berfoto bersama (Dok : CR)


Dalam seminar tersebut Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Dr Harry Parathon Sp.OG menyampaikan kekhwatirannya akan resistensi antimikroba. Bisa jatuh korban sekitar 10 juta jiwa pada tahun 2050 akibat resistensi antimikroba menurut studi WHO pada 2014, ini kan mengkhawatirkan sekali,” tutur Harry. Selain itu Harry juga menunjukkan beberapa contoh kasus resistensi antimikroba yang terjadi di Indonesia yang bahkan menyebabkan kematian.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diwakili oleh Kasubdit POH Drh Ni Made Ria Isriyanthi mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia melalui Kementan dan Kementerian terkait telah mengambil langkah strategis dengan adanya Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) yang merupakan tidak lanjut dari Rencana Aksi Global. 

Selain itu sejak 2014 yang lalu Kementan telah melakukan kegiatan peningkatan kesadaran dan pemahaman terkait resistensi antimikroba pada berbagai kesempatan. Misalnya melalui kegiatan Pekan Kesadaran Antibiotik sedunia, seminar bagi mahasiswa kedokteran hewan di 11 universitas di Indonesia, seminar bagi peternak unggas melalui sarasehan, Expo dan pameran (Indolivestock, ILDEX dan Sulivec) dengan melibatkan sektor kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan.

PB PDHI yang diwakili oleh Drh Tri Satya Putri Naipospos, menyampaikan bahwa dalam mengendalikan AMR harus digunakan pendekatan one health yang melibatkan multisektor dan semua aktor dari peternakan ke konsumen, dan dari fasilitas kesehatan ke lingkungan. Penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab juga harus dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam sektor peternakan, termasuk dokter hewan dan kesadaran tersebut harus ditularkan kepada seluruh lapisan masyarakat. 

"Ke depan mereka dapat menjadi agen perubahan dalam penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab di tingkat peternakan dan masyarakat veteriner untuk mengurangi risiko resistensi antimikroba di sektor peternakan dan kesehatan hewan" ujar wanita yang akrab disapa Ibu Tata tersebut.

Selain Kementan dan PB PDHI ASOHI juga tidak mau ketinggalan. Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari menekankan pentingnya peran dokter hewan sebagai petugas lapang dalam memastikan pemberian antibiotik yang tepat dan bijak. “Jangan hanya terpaku karena omzet, pemakaian antibiotik nanti jadi serampangan, harus ada tanggung jawab moralnya juga dong,” tuturnya. 

Ira juga menambahkan bahwa selama ini ASOHI selalu dan akan selalu mendukung serta menjadi partner Pemerintah dalam implementasi berbagai peraturan, seperti peraturan terkait pelarangan penggunaan antibiotik untuk imbuhan pakan, juga petunjuk teknis untuk medicated feed.

Menutup pertemuan tersebut Ketua Umum PB PDHI yang diwakili oleh Drh B. Suli Teruli Sitepu mengapresiasi semua pihak yang telah mensukseskan serta turut mengampanyekan isu resistensi AMR. Selain itu ia juga mengingatkan kembali akan landasan etika profesi dokter hewan terkait isu resistensi AMR. “Sebagai seorang dokter hewan, yang telah disumpah maka harus professional dalam setiap langkahnya, termasuk dalam bidang pengobatan. Saya setuju dengan Ibu Ketum ASOHI, bahwa jangan hanya terpacu karena keuntungan materil saja, tetapi etika dan tanggung jawab moral sebagai dokter hewan terabaikan,” tukasnya. (CR)

KOMITMEN ONE HEALTH BUKA PELUANG EKSPOR PRODUK PETERNAKAN KE JEPANG

Dirkeswan saat menyampaikan presentasinya di Tokyo AMR One Health Conference. (Foto: Istimewa)

Tokyo AMR One Health Conference yang dihelat Jumat (8/3/2019), Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping Tjatur Rasa hadir mewakili Indonesia. Acara ini juga turut dihadiri delegasi dari 17 negara Asia Pasifik.

Indonesia saat ini terus menyiapkan diri menuju pertanian modern. Pernyataan itu disampaikan oleh Dirkeswan.

"Kami siapkan secara terpadu dari hulu sampai ke hilir, kemudian menyiapkan sistem pengawasan obat-obatan hewan, prasarana dan sarana kesehatan serta pengkajian efek samping," kata Fadjar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/3/2019).

Selain itu, persiapan lain yang juga terus digencarkan adalah pengaturan penggunaan antibiotik serta populasi dan distribusi ternak. Di sisi lain, ada juga pematangan legislasi dan pengawasan pakan ternak maupun kompetensi sumber daya manusia medik dan paramedik veteriner.

"Langkah ini sudah kami rintis sejak tahun 2015 yang bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dan FAO dalam mengembangkan peta jalan dan pengembangan pengendalian AMR di Kementerian Pertanian," katanya.

Menurut Fadjar, semua upaya itu sudah membuahkan hasil yang cukup bagus, juga sangat strategis. Di antaranya telah menghasilkan produk olahan hasil peternak yang didukung dengan izin ekspor ke Jepang.

"Indonesia akan menjadi satu-satunya eksportir SFM untuk bahan baku pupuk dan pakan ternak pertama untuk Jepang. Karena itu, kami kawal dengan baik rencana dan prosedur ekspor ini," ungkapnya.

Fadjar menambahkan, permintaan impor juga terjadi pada tepung bulu, bahkan sudah memperoleh permintaan impor sosis daging sapi bersetifikat halal dari Sugitomo Co Ltd Jepang. Selanjutnya, ada juga produk lain yang akan menyusul memperoleh permintaan impor dari Jepang.

"Dua perusahaan Jepang, Saiwa Shaji Co Ltd dan Kyushu Koeki Co Ltd akan menjadi importir steamed feather meal (SFM) atau tepung bulu dari Indonesia. SFM ini akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk dan pakan ternak di Jepang," lanjutnya.

Kendati demikian, kata dia, pengakuan sertifikasi halal Indonesia yang dilabeli MUI jauh lebih tinggi ketimbang sertifikasi halal yang berlaku di Jepang. Posisi ini sangat membantu karena produk hasil peternakan asal Indonesia tidak perlu mengajukan sertifikasi di Jepang.

"Keunggulan ini harus kita jaga bersama dengan cara menjamin kualitas produk. Apalagi pasar produk halal akan semakin meningkat karena wisata salju dan sakura di Jepang semakin diminati. Lebih dari itu, wisatawan yang sebagian besar muslim akan semakin mudah menemukan produk halal," tandasnya.

Fadjar menambahkan, pertemuan ini juga telah membawa dampak positif, utamanya pada sektor peternakan Indonesia. Dampak positif itu ditandai dengan munculnya berbagai industri pabrik pakan ternak yang bebas antibiotik.

"Ada juga pabrik pemacu pertumbuhan dan peningkatan biosekuriti di farm atau produk unggas olahan bebas residu antibiotik serta kompartemen farm yang bebas penyakit unggas. Inilah yang akan mendorong peningkatan permintaan pemasukan produk unggas olahan dari Indonesia ke Jepang," katanya.

Pertemuan ini juga turut dihadiri para perwakilan FAO, WHO, OIE, NIID, dan SEARO. Indonesia sendiri dalam presentasinya mengambil judul ”National Action Plan on AMR Indonesia”.

"Jadi, supaya One-health ini bisa optimal sesuai Rencana Aksi Nasional, maka perlu lebih mengadvokasi kembali K/L dan berbagai pihak terkait untuk ikut berkolaborasi dalam survei yang disebut Tri-cycle Surveillance AMR One-Health untuk memonitor dalam mencegah terjadinya kuman resisten," tutup Fadjar. (NDV)


Perlunya Evaluasi Setelah Pelarangan AGP di Indonesia

Setahun pasca pelarangan AGP dalam pakan unggas perlu mendapat evaluasi dan pengkajian mendalam guna mencapai tujuan menekan AMR. (Sumber: Google)

Oleh: Budi Tangendjaja

Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promotor) sudah berjalan selama satu tahun semenjak pelarangannya digaungkan awal 2018 kemarin. Pemerintah masih mengijinkan penggunaan antibiotik dalam pakan melalui Petunjuk Teknis untuk Pakan Terapi (Medicated Feed). Penggunaan antibiotika pada tingkat peternak juga masih berjalan tanpa banyak perubahan.

Tetapi kelihatannya terjadi pergeseran penggunaan antibiotika, baik di peternak maupun di pabrik pakan. Berbagai upaya telah dikerjakan oleh para stakeholder industri peternakan, tetapi alangkah baiknya jika perjalanan satu tahun kebijakan pelarangan penggunaan AGP dalam pakan dievaluasi.

Hal penting yang perlu dipertimbangkan lagi untuk mencapai tujuan akhir menurunkan Antimicrobial Reistence (AMR) atau resistensi antimikroba pada manusia seperti diamanahkan oleh FAO dan WHO, perlu dibuatkan suatu rencana startegi jangka panjang bagi Indonesia. 

Perlunya Evaluasi
Belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu melakukan pelarangan penggunaan AGP, salah satunya yakni Denmark yang sudah melarang AGP selama 20 tahun. Ketika pelarangan dilakukan, ternyata pemakaian antibiotika yang diberikan resep oleh dokter hewan meningkat tajam, tetapi juga pemberian antibiotika pada manusia tetap berjalan dan tidak menurun. Pemakaian antibiotika untuk pengobatan meningkat sampai 2009-2010 setelah pelarangan lebih dari 10 tahun.

Perubahan pemakaian antibiotika di Denmark setelah pelarangan AGP dalam 20 tahun.

Berbeda dengan Denmark, adapun Belanda yang juga telah melakukan pelarangan AGP, penjualan antibiotika untuk hewan secara total...



Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Atasi AMR, Dokter Hewan jadi Garda Terdepan

Panitia penyelenggara bersama para peserta seminar CIVAS, Sabtu (1/12). (Foto: Istimewa)

Antimicrobial Resistance (AMR) masih menjadi isu global yang terus mendapat perhatian banyak pihak. Fenomena ini tidak hanya terjadi di manusia, tetapi juga pada hewan dan lingkungan. Hal ini terjadi akibat penggunaan antibiotik yang berlebihan, tidak bijak dan tidak bertanggung jawab pada sektor kesehatan manusia dan hewan.

Hal tersebut mendasari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) melaksanakan seminar dan dialog bertema “Pendekatan One Health dalam Upaya Mengatasi Meningkatnya Ancaman Resistensi Antimikroba (AMR)” pada Sabtu (1/12).

Seminar tersebut dihadiri peserta dokter hewan dari beragam institusi, baik dari pemerintah, swasta dan dokter hewan praktisi. Ketua Pelaksana, Drh Sunandar, menyebut, saat ini peran dokter hewan telah menjadi dasar penting untuk keberhasilan penerapan strategi, tindakan, dan metode untuk memajukan, melindungi, serta mengembalikan kesehatan hewan dan populasi penduduk guna melindungi kesehatan manusia.

“Kita butuh inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat yang peduli, yang bersedia untuk berpartisipasi secara proaktif dan ingin menyumbangkan kemampuannya di bidang kedokteran hewan untuk memastikan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat melalui kesehatan hewan,” ujar Sunandar.

Sementara, Ketua Badan Pengurus CIVAS, Drh Tri Satya Putri Naipospos, mengungkapkan, edukasi mengenai AMR menjadi sesuatu hal penting untuk dokter hewan di mana pun mereka bekerja. Menurutnya, saat ini Indonesia telah memiliki lebih dari 20 ribu dokter hewan, rata-rata mereka memberikan pelayanan teknis di pemerintahan atau swasta, sehingga mereka harus paham dan mengerti AMR. Ke depannya diharapkan mereka dapat menjadi agen yang dapat mengubah cara pandang masyarakat dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar.

“Para dokter hewan, mereka adalah garis terdepan yang dalam praktek sehari-harinya melakukan pemberian antibiotik kepada hewan, baik melalui suntikan, pakan atau air minum. Mereka kurang tersentuh dengan kampanye sosialisasi tentang masalah AMR, ini tidak benar, kalau mau menurunkan kasus AMR itu sendiri pada manusia sebagai konsumen produk ternak, maka yang perlu dilakukan adalah edukasi dokter hewannya yang secara langsung bersentuhan dengan pemicu terjadinya AMR,” tutur wanita yang akrab disapa Tata.

Tata menambahkan, profesi dokter hewan harus turut berpartisipasi aktif dalam menghadapi masalah AMR dengan pendekatan terpadu One Health. “Untuk memitigasi risiko AMR, dokter hewan harus mengubah dengan cara-cara pemberian antibiotik lama yang dianggap berlebihan (overuse) dan menyimpang (misuse) menuju penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab,” imbuhnya. 

Senada dengan hal itu, Dr Joanna McKenzie, salah satu pembicara dari Massey University, New Zealand, menyatakan AMR merupakan ancaman nyata yang dapat menyebabkan kematian lebih dari 10 juta orang pada tahun 2050 mendatang jika tidak bergerak dari sekarang. “Ini akan menjadi kenyataan yang terjadi pada generasi kita. Saat ketika kita telah meninggalkan mereka dengan musibah besar, yakni AMR,” kata Dr Joanna.

AMR sendiri, lanjut dia, merupakan masalah komplek dan multisektorial yang membutuhkan pendekatan One Health, serta peran semua pihak terutama dokter hewan. Profesi kesehatan hewan sangat penting dalam penggunaan antimikroba dengan bijak, sebab 80-99% penggunaan antimikroba terdapat di industri peternakan. 

Ditambahkan oleh Dr Tikiri Wijayathilaka, spesialis AMR dari Sri Lanka, mengungkapkan bahwa Benua Asia merupakan salah satu epicenter terjadinya AMR di dunia, hal ini disebabkan masih lemahnya penegakkan peraturan dan pengawasan penggunaan antibiotika untuk kesehatan manusia dan ternak. Selain ancaman juga datang dari antibiotik palsu yang 78% diproduksi di negara-negara Asia, 44% diantaranya digunakan di kawasan ini. “Sudah saatnya pemerintah bersama-sama dengan profesi kesehatan melakukan hal yang progresif untuk mengatasi AMR,” katanya. (Sadarman)

Pemerintah Gandeng Peternak Tekan Antimicrobial Resistance

Kasubdit POH, Ni Made Ria Isriyanthi (tengah), saat menjadi pembicara pada Sarasehan Peternak Unggas di Malang, Jumat (16/11). (Foto: Istimewa)

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menggandeng peternak yang tergabung dalam Pinsar Petelur Nasional (PPN) Cabang Jawa Timur, Pinsar Indonesia Cabang Jawa Timur dan Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN), serta Komunitas Peternak Ayam Indonesia dalam mendukung pengendalian resistensi antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR).

Hal tersebut dikatakan Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Ni Made Ria Isriyanthi dalam kegiatan Sarasehan Peternak Unggas, pada rangkaian kegiatan Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia di Malang, Jumat (16/11).

“Peternak merupakan salah satu subyek yang memungkinkan dalam pengguna antibiotik untuk ternak. Dikhawatirkan jika penggunaan dalam dosis yang cukup tinggi, maka dapat berkontribusi mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR,” ujar Ria dalam keterangan persnya.

Menurutnya, penggunaan antimikroba di sektor peternakan Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Hal itu terlihat dari hasil survey penggunaan antimikroba yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama FAO Indonesia pada 2017 lalu di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

“Hasilnya cukup mencengangkan, 81,4% peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan, 30,2% untuk pengobatan, serta 0,3% digunakan untuk pemacu pertumbuhan,” ungkap dia.

Oleh karena itu, melalui Permentan No. 14/2017 yang berlaku awal tahun ini, pemerintah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) pada pakan ternak. “Ini dilakukan untuk mengendalikan penggunaan antibiotik di peternakan, sekaligus mendorong peternak menghasilkan produk yang sehat untuk masyarakat,” ucapnya.

Lebih lanjut, peternak harus mulai bisa menerapkan biosekuriti tiga zona dan beternak dengan bersih, termasuk melakukan vaksinasi dengan tepat. “Antibiotik tetap diizinkan untuk tujuan terapi dan diberikan dengan resep dokter hewan, serta di bawah pengawasan dokter hewan,” papar Ria.

Pada kesempatan yang sama, Tri Satya Putri Naipospos, dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), menyampaikan, pada 2010 Indonesia merupakan negara nomer lima pengonsumsi antibiotik tertinggi di dunia. Tanpa adanya pengendalian, posisi ini dapat menanjak pada 2030 mendatang. “Apalagi populasi ternak kita cukup tinggi, terutama unggas,” kata dia. Untuk mengganti AGP, ia menyarankan peternak menggunakan alternatif seperti probiotik, prebiotik, asam organik, minyak esensial maupun enzim.

Sementara, Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Harri Parathon, menyebutkan, peternak harus lebih aktif dalam pengendalian bakteri resisten. Sebab, saat ini obat kolistin untuk memerangi bakteri resisten terhadap antibiotik terkuatpun telah dilaporkan tidak efektif lagi. “Makin sering kita minum antibiotik, bakteri makin bermutasi dan menjadi ganas. Demikian juga pada produk unggas yang dapat menyimpan residu lalu masuk ke tubuh manusia ketika dikonsumsi,” katanya. (RBS)

Komunikasi Tingkat ASEAN Bahas Ancaman AMR

Pertemuan ACGL di Yogyakarta. (Foto: Istimewa)
Resistensi Antimikrobia (AMR) menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan. Hal itu menjadi bahasan dalam pertemuan ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) di Yogyakarta, 7-10 Agustus 2018. 

Pertemuan yang keenam kali ini bertujuan merumuskan langkah-langkah komunikasi tepat dalam menyampaikan bahaya AMR dan peran masyarakat dalam pencegahannya. Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan, AMR menjadi masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan multi-sektoral. Menurutnya, saat ini sudah terlihat ada peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan kapasitas teknis di kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengandalian AMR.

“Risiko AMR tercatat lebih tinggi di negara-negara dimana peraturan perundang-undangan, pengawasan regulasi dan sistem pemantauan mengenai penggunaan antimikroba hampir tidak ada. Pencegahan dan pengendalian AMR yang tidak memadai dan lemah di beberapa negara akan meningkatkan risiko penyebarannya,” ujar Fadjar.

Dalam pertemuan ini dirumuskan kegiatan komunikasi dan pesan kunci AMR kepada seluruh pemangku kepentingan khususnya masyarakat. “Strategi komunikasi dan advokasi resistensi antimikroba tingkat regional yang telah sepakati oleh para Menteri Pertanian se-Asia Tenggara merupakan pedoman bagi negara anggota ASEAN dalam pelaksanaan kerangka kerja, serta menyempurnakan dan mengembangkan kesadaran AMR” tambah Delegasi Indonesia, Pebi Purwo Suseno.

Pada kesempatan itu, Indonesia juga berbagi pengalaman dalam mengimplementasi pencegahan dan pengendalian AMR, serta implementasi One Health dalam mencegah dan mengendalikan penyakit infeksi baru dan zoonosis. “Bentuk kegiatan edukasi yang sudah dilakukan seperti kuliah umum di perguruan tinggi, kampanye di CFD, perlombaan essay, pembuatan video pendek terkait AMR,  penyabaran informasi melalui media,” sambung Delegasi Indonesia lainnya, Imron Suandi.

Kendati begitu, masih ada tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pemahaman AMR, yakni koordinasi lintas sektor, keterbatasan anggaran dan prioritas kegiatan AMR, pengembangan pesan kunci, Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi peternak dan motivasi sektor swasta untuk ikut berperan terhadap pengendalian AMR. “Diharapkan ke depan ada peningkatan pemahaman masyarakat dalam penggunaan antimikroba yang cerdas dan bijak,” pungkasnya. (INF)

AMR MENGANCAM, KESADARAN ANTIBIOTIK MUTLAK DIBUTUHKAN

Dari ki-ka: Dirkeswan, Syamsul Maarif, Dirjen PKH I Ketut Diarmita
dan Team Leader FAO ECTAD James Mc Grane.
Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba, terus diupayakan oleh Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), dengan mengadakan “Pekan Kesadaran Antibiotik”, yang akan diselenggarakan pada 13-19 November 2017.
“Kegiatan ini merupakan kampanye global peduli penggunaan antibiotik sebagai salah satu wadah untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba/AMR,” ujar Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat acara Media Briefing, Rabu, (8/11), di Kantor Kementan.
Menurutnya, antimikroba merupakan salah satu temuan penting bagi dunia, mengingat manfaatnya, terutama untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan kesejahteraan hewan. Kendati begitu, kata dia, antibiotik juga menjadi “pisau bermata dua”, jika digunakan secara tidak bijak dan tidak rasional, justru menjadi pemicu kemunculan bakteri yang kebal terhadap antibiotik (AMR).
Saat ini AMR sendiri telah menjadi ancaman yang tak mengenal batas geografis dan memberikan dampak yang merugikan. “Untuk itu, harus kita sadari bahwa ancaman resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor peternakan dan kesehatan hewan,” katanya.
Berdasarkan laporan di berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, namun di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik berjalan lambat. “Para ahli di dunia memprediksi bahwa jika masyarakat tidak melakukan sesuatu dalam mengendalikan laju resistensi, maka AMR diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu didunia pada tahun 2050 mendatang, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia,” ucapnya.
Ia berpendapat, bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Karena itu, diperlukan pendekatan “One Health” yang melibatkan berbagai sektor. Pihaknya pun telah bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pertahanan, dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional penanggulangan AMR. “Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi kompleksitas dalam mengendalikan masalah resistensi antimikroba dengan pendekatan One Health,” terang dia.
Guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya AMR, pihaknya juga bekerjasama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (FAO ECTAD), ReAct, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), Center for Indonesian Veterinary Analytical Study (CIVAS), Pinsar Petelur Nasional (PPN) dan universitas.
Dalam kesempatan yang sama, Sujith Chandy, Ketua ReAct Asia Pasifik, menyatakan, pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai resistensi antimikroba melalui upaya komunikasi, edukasi dan pelatihan.
Sementara pendiri YOP, dr Purnamawati Sujud, menghimbau kepada semua pihak untuk meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dalam mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor, agar dunia tidak kembali ke era sebelum ditemukannya antibiotik, yaitu era ketika infeksi bakteri dan penyakit ringan tidak lagi bisa ditangani.
Team Leader FAO ECTAD, James Mc Grane, beranggapan, saat mikroba menjadi kebal terhadap antimikroba, infeksi yang dihasilkan akan sulit untuk disembuhkan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Mikroba yang kebal ini dapat menyebar ke lingkungan sekitar, rantai makanan, bahkan manusia. “Jika tidak diperlukan penggunaan antimikroba pada ternak sebaiknya tidak perlu digunakan,” tegasnya.
Menurutnya, salah satu pengendalian penggunaan antimikroba yang dapat dilakukan yakni melalui implementasi biosekuriti tiga zona. Melalui upaya tersebut, kata James, tidak hanya menghasilkan produk peternakan yang sehat, namun praktik-praktik manajemen yang baik juga terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi peternak, karena akan mengurangi resiko kematian. (RBS)

ELANCO DAN PINSAR GELAR SEMINAR ANTIMIKROBIAL

Bertempat di Hotel Santika Premiere Gubeng Surabaya, Pinsar Indonesia bekerjasama dengan Majalah Infovet dan Elanco Animal Health Indonesia menggelar seminar teknis “Antimikrobial dalam Industri Peternakan”, Rabu, 4 Oktober 2017. Seminar ini diikuti oleh para peternak dan pabrik pakan dari wilayah Jawa Timur dan sejumlah tamu undangan.
Dari kiri-kanan: Suaedi Sunanto, Sri Widayati, Fajar Sumping Tjatur Rasa, Agus Prastowo.
Seminar menghadirkan pembicara Direktur Pakan Ir Sri Widayati, Direktur Kesehatan Hewan Drh Fajar Sumping Tjaturrasa dan Technical Manager Elanco Animal Health Indonesia, Drh Agus Prastowo. Para peserta sangat antusias mengikuti seminar ini karena hadir pejabat penting dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang juga didampingi Kepala Sub Direktorat (Kasubdit)-nya. Direktur Pakan didampingi Kasubdit Mutu Pakan, Ir Joko Purwanto, sedangkan Direktur Kesehatan Hewan didampingi Kasubdit Pengawasan Obat Hewan (POH), Drh Ni Made Ria Istriyanthi.
Tidak ada negara di dunia yang membebaskan diri dari penggunaan antibiotik dalam industri peternakan, namun penggunaan antibiotik sebagai alat untuk pemacu pertumbuhan adalah sesuatu yang tidak sesuai lagi dengan ‘etika global’. Demikian benang merah yang bisa diambil dari seminar ini.
Ketua Bidang Promosi dan Usaha Pinsar Indonesia, Ricky Bangsaratoe, pada sambutannya menyampaikan, seminar ini adalah seminar teknis mengenai antimikrobial dalam Industri peternakan yang kedua, setelah yang pertama diselenggarakan di Jakarta, 25 Juli 2017 lalu.
Sementara itu Direktur Elanco Animal Health Indonesia, Suaedi Sunanto, mengatakan, seminar ini diselenggarakan sebagai kepedulian Elanco Animal Health Indonesia, Pinsar Indonesia dan Infovet dalam mensosialisasikan Permentan No. 14/ 2017 mengenai Klasifikasi Obat Hewan, serta Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan.
Suaedi menuturkan, diharapkan dengan seminar ini kalangan usaha perunggasan dapat menyiapkan diri menyambut berlakunya pembatasan AGP per Januari 2018 mendatang. Hal itu pun dibenarkan oleh Dirkeswan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, dalam materinya soal regulasi obat hewan yang disampaikannya mengenai pembatasan penggunaan antibiotik dalam pakan. (WK)



INDONESIA KENDALIKAN AMR DENGAN KONSEP “ONE HEALTH”

JAKARTA, Kamis 16 Maret 2017. Bertempat di Hotel Pullman Jakarta, FAO ECTAD Indonesia dan USAID bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan Seminar One Health.
Foto bersama para pembicara seminar dan tamu undangan kehormatan.
Seminar ini ditujukan untuk memperkuat kerjasama dan komitmen lintas pemangku kepentingan dalam mengatasi ancaman global terkait resistensi antimikroba di bidang pertanian, produksi ternak, kesehatan manusia dan akuakultur, serta bertepatan dengan kunjungan Asisten Direktur Jenderal dan Perwakilan Regional FAO untuk Asia dan Pasifik.
Hadir dalam acara ini Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita dan Asisten Direktur Jenderal, Wakil Duta Besar AS Brian McFeeter dan Perwakilan Asia-Pasifik, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Ms. Kundhavi Kadiresan.
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita menjelaskan bahwa ancaman Resistensi Antimikroba (AMR) menjadi ancaman tanpa mengenal batas-batas geografis, dan berdampak pada kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan lingkungan. Selain itu, ancaman Resistensi Antimikroba juga dipandang sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor perternakan, pertanian dan perikanan. Sebab, pertumbuhan populasi dunia, globalisasi dan degradasi lingkungan yang sangat cepat, ancaman-ancaman terhadap kesehatan manusia menjadi semakin kompleks dan tidak dapat dipecahkan oleh hanya satu sektor saja.
Menurut Ketut, untuk mengendalikan ancaman Resistensi Antimikroba, diperlukan Konsep One Health. Konsep ini memastikan seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Pendekatan One Health mencakup pemikiran bahwa permasalahan yang memberikan dampak kepada kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dapat diselesaikan secara efektif melalui komunikasi dan kolaborasi yang lebih baik diantara para pemangku kepentingan dari berbagai disiplin ilmu dan kelembagaan, menuju pada masyarakat yang lebih sehat dan bahagia.
"AMR dapat ditangani secara sangat efektif melalui pendekatan One Health. Penggunaan antibiotik secara tidak hati-hati baik pada kesehatan manusia maupun agrikultur hanya dapat dikurangi melalui tindakan yang dilakukan bersama-sama secara kolaboratif oleh seluruh sektor terkait: kesehatan manusia, hewan, ikan termasuk juga budidaya air, dan ekosistem serta kesehatan lingkungan," ujar Ketut.
Lebih lanjut, Ketut mengungkapkan tindakan-tindakan nyata dalam bidang AMR yang akan dan telah dilaksanakan oleh Kementan, melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan antara lain pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Pertanian, melalui Keputusan Menteri Pertanian. Kemudian, pembuatan draf Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia (PERMENTAN) tentang Pengendalian Resistensi Antimikroba di Peternakan dan Kesehatan Hewan.
"Selain itu, Keikutsertaan Kementrian Pertanian bersama dengan Kementerian Kesehatan dalam penulisan draf Rencana Aksi Nasional mengenai AMR," imbuh Ketut.
Sementara itu, Asisten Direktur Jenderal dan Perwakilan Asia-Pasifik, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Ms. Kundhavi Kadiresan mengucapkan FAO sepenuhnya berkomitmen pada pendekatan One Health. Saat ini FAO sedang mengembangkan inisiatif One Health di tingkat regional; memperluas cakupan penanganannya menjadi tidak hanya pada penyakit zoonosis endemik dan emerging, AMR dan isu keamanan makanan.
Acara ini juga dihadiri berbagai perwakilan asosiasi dan organisasi profesi bidang peternakan, termasuk ASOHI. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer