Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini AMR MENGANCAM, KESADARAN ANTIBIOTIK MUTLAK DIBUTUHKAN | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

AMR MENGANCAM, KESADARAN ANTIBIOTIK MUTLAK DIBUTUHKAN

Dari ki-ka: Dirkeswan, Syamsul Maarif, Dirjen PKH I Ketut Diarmita
dan Team Leader FAO ECTAD James Mc Grane.
Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba, terus diupayakan oleh Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), dengan mengadakan “Pekan Kesadaran Antibiotik”, yang akan diselenggarakan pada 13-19 November 2017.
“Kegiatan ini merupakan kampanye global peduli penggunaan antibiotik sebagai salah satu wadah untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba/AMR,” ujar Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat acara Media Briefing, Rabu, (8/11), di Kantor Kementan.
Menurutnya, antimikroba merupakan salah satu temuan penting bagi dunia, mengingat manfaatnya, terutama untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan kesejahteraan hewan. Kendati begitu, kata dia, antibiotik juga menjadi “pisau bermata dua”, jika digunakan secara tidak bijak dan tidak rasional, justru menjadi pemicu kemunculan bakteri yang kebal terhadap antibiotik (AMR).
Saat ini AMR sendiri telah menjadi ancaman yang tak mengenal batas geografis dan memberikan dampak yang merugikan. “Untuk itu, harus kita sadari bahwa ancaman resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor peternakan dan kesehatan hewan,” katanya.
Berdasarkan laporan di berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, namun di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik berjalan lambat. “Para ahli di dunia memprediksi bahwa jika masyarakat tidak melakukan sesuatu dalam mengendalikan laju resistensi, maka AMR diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu didunia pada tahun 2050 mendatang, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia,” ucapnya.
Ia berpendapat, bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Karena itu, diperlukan pendekatan “One Health” yang melibatkan berbagai sektor. Pihaknya pun telah bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pertahanan, dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional penanggulangan AMR. “Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi kompleksitas dalam mengendalikan masalah resistensi antimikroba dengan pendekatan One Health,” terang dia.
Guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya AMR, pihaknya juga bekerjasama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (FAO ECTAD), ReAct, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), Center for Indonesian Veterinary Analytical Study (CIVAS), Pinsar Petelur Nasional (PPN) dan universitas.
Dalam kesempatan yang sama, Sujith Chandy, Ketua ReAct Asia Pasifik, menyatakan, pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai resistensi antimikroba melalui upaya komunikasi, edukasi dan pelatihan.
Sementara pendiri YOP, dr Purnamawati Sujud, menghimbau kepada semua pihak untuk meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dalam mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor, agar dunia tidak kembali ke era sebelum ditemukannya antibiotik, yaitu era ketika infeksi bakteri dan penyakit ringan tidak lagi bisa ditangani.
Team Leader FAO ECTAD, James Mc Grane, beranggapan, saat mikroba menjadi kebal terhadap antimikroba, infeksi yang dihasilkan akan sulit untuk disembuhkan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Mikroba yang kebal ini dapat menyebar ke lingkungan sekitar, rantai makanan, bahkan manusia. “Jika tidak diperlukan penggunaan antimikroba pada ternak sebaiknya tidak perlu digunakan,” tegasnya.
Menurutnya, salah satu pengendalian penggunaan antimikroba yang dapat dilakukan yakni melalui implementasi biosekuriti tiga zona. Melalui upaya tersebut, kata James, tidak hanya menghasilkan produk peternakan yang sehat, namun praktik-praktik manajemen yang baik juga terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi peternak, karena akan mengurangi resiko kematian. (RBS)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer