![]() |
Para peserta talkshow berfoto bersama |
Resistensi antimikroba menjadi salah satu ancaman terbesar kesehatan global, tidak hanya pada kesehatan manusia, namun juga pada kesehatan hewan. Setiap tahunnya, 700.000 orang diperkirakan meninggal akibat infeksi bakteri yang resisten terhadap antimikroba. Hal yang sama terjadi juga pada hewan ternak.
Informasi tersebut disampaikan oleh Syamsul
Ma’arif, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner yang mewakili Dirjen PKH I
Ketut Diarmita. Sambutan tadi disampaikan pada acara Peluncuran Materi
Komunikasi Informasi dan Talk Show
Pengendalian Laju Resistensi Antimikroba di IICC Bogor, 19 November 2019.
Antibiotik
merupakan salah satu jenis antimikroba yang digunakan untuk menyembuhkan
infeksi bakteri pada manusia dan hewan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat di
sektor peternakan, pertanian, perikanan serta masyarakat mempercepat laju
resistensi bakteri menjadi kebal (superbugs).
Tanpa adanya upaya pengendalian global, AMR diprediksi akan menjadi pembunuh
nomor 1 di dunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa
per-tahun, melampaui penyakit jantung, kanker dan diabetes, serta dapat
menimbulkan krisis ekonomi global.
Di
sektor peternakan, ancaman AMR tidak hanya mengancam keberlangsungan kemampuan
dalam mengendalikan penyakit infeksi pada ternak, akan tetapi juga sangat
mengancam ketahanan pangan terutama produktivitas sektor peternakan dalam
menyediakan sumber pangan hewani bagi masyarakat.
Pada
Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia / World Antibiotic Awareness Week (WAAW)
yang berlangsung sejak tanggal 18 November 2019, Ditjen PKH bersama dengan FAO
Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) dan USAID Indonesia
merangkai berbagai kegiatan kolaborasi dengan pemerintah daerah, institusi
akademisi dan sektor swasta di tiga kota yakni Bogor, Lampung, dan
Surabaya.
"Tujuannya
kegiatan ini adalah untuk memperkuat kesadaran akan bahaya nyata dari AMR dan
menyuarakan penggunaan antibiotik dan antimikroba lainnya secara bijak, cerdas
dan bertanggung jawab" tutur Syamsul.
Ia
juga menambahkan bahwa tantangan dalam memerangi laju resistensi antimikroba
dan mengendalikan penyakit infeksi baru harus dipandang sebagai kewajiban dan
tanggung jawab semua pihak, untuk itu semuanya harus senantiasa berupaya
meningkatkan kompetensi profesional dan selalu menjaga agar antimikroba tetap
efektif.
Team
Leader FAO ECTAD James McGrane menambahkan bahwa pelaku usaha peternakan dan
industri peternakan sangat berperan dalam solusi pengendalian laju resistensi
antimikroba. Menurutnya Kementerian Pertanian bersama FAO ECTAD dengan dukungan
USAID terus menggaungkan praktik-praktik peternakan yang baik (good farming
practices) dan Infection Prevention and Control (IPC), dimana didalamnya
terdapat implementasi biosekuriti 3 zona, vaksinasi secara regular, dan pola
hidup bersih dan sehat.
"Hal
ini menjadi solusi pengurangan penggunaan antimikroba di peternakan.
Harapannya, dengan peternakan yang bersih dan terjaga, tercipta ternak yang
sehat dan tidak mudah terkena penyakit,” ujar James. (CR)