-->

Komunitas TS Berbagi Ceria Ramadan Bersama Anak Yatim

Kebersamaan anak-anak di Asrama Cinta Yatim dan Dhuafa dengan anggota K-POPP
Tangerang Selatan, INFOVET - Bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh dengan keistimewaan dan kemuliaan. Berbuka puasa bersama serta berbagi keceriaan dengan anak-anak yatim, diadakan Komunitas K-POPP pada Sabtu (2/6/2018) bertempat di Asrama Cinta Yatim dan Dhuafa, Tangerang Selatan.

Komunitas K-POPP yang beranggotakan para technical service (TS) perusahaan obat hewan, pakan ternak sekaligus peternak layer sekitar wilayah Tangerang, tahun ini kali ketiga menggelar kegiatan sosial dalam rangka menyemarakkan Ramadan.

“Kegiatan buka bersama dan bakti sosial tahun ini merupakan kali ketiga sejak komunitas berdiri,” kata Koordinator Acara, Drh Catur Fajrie Diah Astuti atau yang akrab disapa Caca.

Selain buka bersama, Komunitas K-POPP juga memberikan bantuan dana. “Semoga dana yang terkumpul dapat bermanfaat untuk keperluan biaya pendidikan mereka,” ungkap Caca.

Ustadz Ahmad Yazid selaku Pengurus Asrama Cinta Yatim dan Dhuafa mengaku sangat gembira dengan kepedulian dari masyarakat sekitar terutama para karyawan dari berbagai perusahaan yang berkecimpung dalam bidang obat hewan serta pakan ini.

Alhamdulillah, kegiatan berbagi ceria dengan anak yatim terlaksana dengan baik. Terimakasih untuk semua yang sudah berpartisipasi baik hadir maupun yang sudah berpartisipasi lewat doa dan rejekinya. Semoga tahun berikutnya dan tidak hanya di bulan Ramadan saja, kita dapat mengadakan bakti sosial lagi,” harap Caca usai selesai acara. (NDV)

Penguatan Pengawasan Karantina Menuju Kalimantan Barat Bebas Rabies

Rapat koordinasi rabies regional Kalimantan Barat 2018.
(Foto: Karantina)
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit menular ganas  yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas, bahkan manusia. Penyakit ini ditularkan umumnya melalui gigitan anjing penderita rabies. Penderita rabies selalu diakhiri dengan kematian. Oleh karena itu, salah satu dampak kejadian rabies adalah ketakutan dan keresahan masyarakat.

Data dari Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, menyebutkan selama 2017 di seluruh Indonesia dilaporkan terjadi kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) sebanyak 65.429 kasus. Sebanyak 45.250 orang diantaranya diberi Post Exposure Treatment melalui pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR). Namun dari kasus GHPR tersebut, sebanyak 95 orang meninggal dunia. Kasus tertinggi kematian pada manusia terdapat di Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat (Kalbar) masing-masing sebanyak 22 orang.

Kasus rabies di Kalbar terjadi pertama kali pada 2005 dan terkendali. Selama sembilan tahun tak pernah ada kasus, Kalbar dinyatakan bebas rabies oleh Kementerian Pertanian dengan SK Nomor 885/Kpts/PD.620/8/2014. Namun dengan adanya pengembangan fasilitas lalu-lintas, serta lemahnya implementasi pengendalian rabies pada September 2014, dilaporkan rabies menular di beberapa desa perbatasan Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat dengan wilayah Kalimantan Tengah. Kurun waktu September-Oktober 2014 terjadi 47 kasus kasus gigitan. Kemudian menyebar ke daerah lainnya yakni Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu, hingga terjadi 730 kasus gigitan anjing dalam kurun waktu September 2014-Agustus 2015, dan sampai saat ini rabies dilaporkan terjadi di beberapa desa di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat.

Merujuk data tim koordinasi Rabies Kalimantan Barat, selama Januari-April 2018 dilaporkan 599 kasus gigitan yang belum terjangkau vaksinasi. Hasil surveilan Balai Veteriner Banjarbaru menunjukkan identifikasi agen infeksi atau diagnosis rabies menggunakan Fluorescent Antibody Test (FAT) 97% positif pada anjing. Sedangkan persentase titer protektif hasil uji serologis Elisa Rabies menunjukkan masih kurang dari 70%.

Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa rabies masih menjadi penyakit yang menakutkan, bahkan bagi manusia. Namun demikian, rabies bukanlah penyakit yang tidak bisa dicegah. Rabies bisa diatasi dengan kerjasama dan kemauan bersama dalam mengatasinya. Penerapan konsep One World One Health, melalui koordinasi langsung  instansi terkait hendaknya diperkuat agar pengendalian rabies secara teknis dapat dilaksanakan secara tepat dan cepat.

Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan dalam upaya pembebasan dan pencegahan rabies di Kalimantan Barat. Vaksinasi sebagai strategi prioritas dalam pengendalian rabies harus dilaksanakan secara maksimal dengan cakupan vaksinasi di wilayah tertular minimal 70% dari populasi HPR. Vaksinasi ini bisa berjalan efektif melalui pendataan populasi HPR yang akurat sampai tingkat dusun/desa, pen-zoningan wilayah secara berjenjang yang membagi wilayah menjadi wilayah tertular, terancam dan bebas. Wilayah tertular dan terancam harus mendapat prioritas kegiatan pengendalian. Eliminasi anjing liar dan diliarkan juga diperlukan dengan memperhatikan aspek kesejahteraan hewan dalam pelaksanannya.

Vaksinasi HPR masal perlu dilakukan di wilayah perbatasan antar propinsi. Hal ini diperlukan guna membentuk sabuk kebal rabies di wilayah wilayah perbatasan tersebut. Namun demikian, pembebasan rabies seyogyanya dilakukan per pulau tidak per provinsi atau per kabupaten/kota, karena HPR adalah hewan yang bergerak, dapat berjalan lintas kabupaten/kota bahkan lintas provinsi. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan vaksinasi rabies yang dilaksanakan serentak sepulau Kalimantan.

Peran Karantina
Sebagai garda terdepan dalam pencegahan masuk dan tersebarnya HPHK, Badan Karantina Pertanian melalui Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas I Pontianak ikut berperan dalam rangkaian pelaksanaan menuju Kalimantan Barat Bebas Rabies 2020. Sebagai acuan, selama 2017, BKP I Pontianak mencatat terjadi lalu-lintas masuk anjing ke Provinsi Kalimantan Barat melalui pintu-pintu pemasukkan dan pengeluraan yang ditetapkan sebanyak 142 kali dengan jumlah 270 ekor. Sedangkan lalu-lintas masuk hewan kucing terjadi sebanyak 32 ekor.

Penguatan pengawasan dilakukan di pintu-pintu pemasukkan dan pengeluaran yang telah di tetapkan seperti di Pelabuhan Laut Dwikora Pontianak, Bandar Udara Supadio Kubu Raya, Pelabuhan Laut Sintete Sambas, Bandar Udara Rahadi Osman Ketapang, Pelabuhan Laut Suka Bangun Ketapang, serta Pelabuhan Laut Kendawangan Ketapang. Pengawasan pemasukkan dan pengeluaran dilakukan oleh BKP Kelas I Pontianak dengan mengacu pada Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 87/Kpts/KR.120/L/1/2016 Tentang Petunjuk Teknis Tindakan Karantina Hewan Terhadap Hewan Penular Rabies.

Penguatan pengawasan juga dilakukan melalui kegiatan patroli bersama yang melibatkan Kepolisian Daerah seperti Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) dan Direktorat Kepolisian Air dan Udara (Ditpolairud), serta TNI. Untuk meningkatkan sinergitas antar instansi, BKP Kelas I Pontianak juga turut terlibat dalam koordinasi dan kerjasama dengan Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat, serta dinas terkait yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan di kota/kabupaten se-Kalimantan Barat.

Dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat, BKP Kelas I Pontianak senantiasa melakukan sosialisasi baik langsung maupun tidak langsung melalui sarana komunikasi, informasi dan edukasi. Selain itu BKP I Pontianak juga ikut melibatkan masyarakat sekitar untuk lebih peduli terhadap pengendalian rabies dan HPHK lainnya. Dengan sinergitas diharapkan BKP I Pontianak dapat turut berperan serta dalam pembebasan rabies di Kalimantan Barat. ***

Drh Taryu, MSi
Kepala Seksi Pengawasan dan
Penindakan Balai Karantina Pertanian Kelas I Pontianak

“Gelatin”, Produk Peternakan yang (juga) masih Impor

Indonesia memiliki potensi besar memproduksi gelatin dalam negeri.
(Sumber: Daily Health Post)
Perubahan zaman yang semakin menuju modern menjadikan perubahan lifestyle yang sangat cepat. Banyak produk makanan menggunakan gelatin sebagai bahan tambahan. Sebuah ironi dengan kebutuhan gelatin semakin hari semakin meningkat, namun pemenuhan gelatin dalam negeri masih tergantung dari impor.

Indonesia mengimpor sekitar 2.000-3.000 ton gelatin per tahun. Wajar bila kebutuhan gelatin tinggi melihat keunikan dan sifat fungsionalnya yang luas untuk aplikasi dalam berbagai industri dan juga untuk meningkatkan kandungan protein pada bahan pangan. Namun, masyarakat Indonesia tidak mengerti mengenai produk maupun manfaat gelatin. Manfaat gelatin dalam kehidupan sehari hari sangat banyak. Untuk industri pangan digunakan sebagai bahan pengikat (binder agent), penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), perekat (adhesive), pengikat viskositas (viskositas agent) dan pengemulsi (emulsifier).

Penduduk Indonesia mayoritas adalah muslim, sehingga masalah kehalalan gelatin menjadi utama. Pertimbangannya asal tulang atau kulit yang digunakan sebagai bahan baku gelatin sering tidak dicantumkan sumber jenis hewan ternak yang digunakan. Di luar negeri tidak dapat dipastikan bahan baku yang digunakan, gelatin dapat terbuat dari tulang dan kulit babi, serta hewan-hewan lainnya yang pemotongannya tidak menggunakan syariat islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembuatan gelatin dari babi memang jauh lebih murah dibandingkan dengan gelatin yang berbahan baku kulit atau tulang ternak lainnya. Kontribusi gelatin dunia dipasok dari 44% gelatin yang berasal dari babi dan 56% berasal dari tulang dan kulit sapi. Hal inilah yang menimbulkan keraguan kehalalan pada masyarakat Indonesia bila pemenuhan gelatin masih tergantung impor. Ketergantungan akan gelatin impor harus dicarikan solusi alternatif, salah satu solusinya yaitu dengan memanfaatkan bahan baku lokal sebagai bahan baku gelatin.

Cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang tertuang pada UUD 1945 dan UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Selain itu, demi mewujudkan ketahanan pangan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketergantungan akan impor harus ditanggulangi agar tersedianya pangan yang cukup dan aman bagi masyarakat Indonesia.

Gelatin dari hasil ikutan pemotongan ternak
sapi dan unggas. (Foto: Antara)
Gelatin merupakan protein yang didapat dari proses pengolahan kolagen dari kulit, jaringan ikat dan tulang hasil ikutan pemotongan hewan. Sampai saat ini bahan baku yang banyak digunakan untuk produksi industri gelatin adalah tulang sapi, kulit sapi dan kulit babi. Sumber bahan baku gelatin yang saat ini telah banyak diteliti dan dilaporkan antara lain berasal dari tulang dan kulit ikan, tulang domba serta kaki (ceker) ayam. Pemotongan ternak di Indonesia cukup besar, dengan jumlah ternak yang dipotong setiap tahunnya sebesar 1.207.170 ekor sapi, 34.960 ekor kerbau, 212.589 ekor kambing dan 99.987 ekor domba (BPS, 2015).

Pemenuhan kebutuhan gelatin dalam negeri dengan melihat potensi kulit yang ada akan tercukupi. Dengan asumsi bobot potong 350 kg (sapi), 360 kg (kerbau), 30 kg (domba dan kambing). Dengan rata-rata persentase kulit yang telah diketahui pada masing-masing ternak, maka kulit yang akan dihasilkan sebesar 35.321.749,2 kg untuk sapi, 1.341.624,96 kg untuk kerbau, 398.604,37 kg untuk kambing dan 259.766,226 kg untuk domba. Karena rendemen pada setiap jenis ternak telah diketahui maka Indonesia memiliki potensi produksi gelatin sebesar 5.495.697,6 kg, bila konversi dalam rupiah akan mencapai nilai Rp 549.569.760.000, asumsi harga per kg Rp 100.000. Hanya perlu memerlukan 70% dari setiap jenis ternak yang disembelih telah memenuhi kebutuhan nasional apabila 100% produksi kulit digunakan untuk produksi gelatin. Bahan baku tersebut dapat bertambah apabila dapat memanfaatkan ternak lain beserta hasil ikutan lainnya seperti tulang.

Dengan memanfaatkan potensi hasil ikutan ternak menjadi bahan baku produksi gelatin harusnya dapat dilakukan karena pertimbangan untuk mengurangi impor yang dapat mengakibatkan ketergantungan, serta menghilangkan keraguan kehalalan di masyarakat. Di sisi lain, mayoritas jumlah ternak yang dipotong setiap tahunnya tinggi dan menghasilkan hasil ikutan pemotongan ternak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pengolahan hasil ikutan menjadi gelatin dapat digunakan sebagai alternatif utama dalam mengoptimalkan hasil ikutan pemotongan ternak sebagai upaya memenuhi kebutuhan gelatin dalam negeri dengan melihat potensi bahan baku berupa ternak nasional. Karena itu tak heran jika Indonesia masih memiliki potensi besar untuk memproduksi gelatin dalam negeri. ***

Rifqi Dhiemas Aji, S.Pt
Konsultan Peternakan, PT Natural Nusantara

Gratisss..! Seminar Kehumasan Peternakan


Potensi Pengambangan Ayam Walik

Ayam Walik (Sumber: Istimewa)
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan plasma nutfah, baik tanaman maupun hewan. Salah satu plasma nutfah yang unik ialah ayam Walik atau di Jawa Barat dikenal dengan nama ayam Rintit, yang memiliki penampilan bulu keriting atau terbalik ke arah depan atau belakang. Kondisi bulu yang terbalik pada jenis ayam ini hanya terdapat di Indonesia dan satu-satunya di dunia, yaitu berada di daerah Bogor, Sukabumi dan Sumedang, Jawa Barat (Jabar).

Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor, memasukkan kategori ayam Walik sebagai “Jenis ayam lokal yang perlu dieksplorasi”, seperti halnya ayam Tukong (Kalimatna Barat), ayam Jantur (Pamanukan, Jabar), ayam Ciparage (Karawang, Jabar). Oleh karena itu, karakteristik produksi dan reproduksinya belum banyak digali dan dikenal, namun karena keunikan ayam Walik ini, masyarakat menempatkannya sebagai ayam hias dan memiliki nilai ekonomis tinggi.

Penampilan Fisik (Performance)
Ayam Walik atau ayam Rintit berperawakan tubuh hampir sama dengan ayam Kampung, dengan bobot badan dewasa berkisar 1-3 kg dan memiliki warna bulu beraneka ragam, antara lain hitam, cokelat, kemerahan, cokelat kekuningan, putih, blorok bintik-bintik merah dan hitam, serta kombinasi warna lainnya. Kulit kaki dan paruh berwarna putih kuning atau kehitaman/kelabu tua, jengger berbentuk tunggal (pea) dan bergerigi berwarna merah.

Menurut Rahmat (2003), terdapat tiga macam ayam Walik, yaitu Walik Sekul, ditandai dengan seluruh bulu terbalik. Walik Sura, bulunya berwarna hitam dan bulu yang keriting relatif sedikit. Walik Tulak, ditandai dengan bulu yang seluruhnya keriting, berwarna hitam di bagian dadanya, tetapi pada ujung kedua sayap dan ekornya berwarna putih.

Kerja Genetik dan Fisiologis
Munculnya keunikan ayam Walik yang menyebabkan penampilan fisik yang berbeda dari ayam lokal lainnya, menurut para ahli dipengaruhi oleh Gen-i, yang menimbulkan produksi pigmen Melanin. Pigmen melanin terbagi atas dua tipe, yaitu Eumelanin dan Pheomelanin. Eumelanin membentuk warna hitam serta biru pada bulu ayam, sedangkan Pheomelanin membentuk warna merah, cokelat, salmon dan kuning tua (Brunbaugh & Moore, 1968).

Menurut Somes (1990), ayam Walik memiliki metabolisme basal yang cepat, produksi kelenjar hormon tiroid dan adrenal yang tinggi, sehingga berpengaruh pada kenaikan asupan pakan, konsumsi oksigen, detak jantung dan peningkatan sirkulasi darah. Kondisi fisiologis ini menjadikan ayam Walik mampu bertahan dipelihara di lingkungan beriklim panas, namun pada saat DOC harus benar-benar diperhatikan periode masa brooding-nya.

Kendala Pengembangan
Ayam Walik menghasilkan produksi telur 12 butir per periode (atau 13%), daya tetas hanya 74% dan frekuensi bertelur tiga kali per tahun dengan pemeliharaan ekstensif dan dierami induknya. Oleh karena itu, ayam Walik lambat dalam berkembangbiak. Kendati demikian, solusinya bisa dilakukan pemeliharaan secara semi-intensif/intensif. Purwanto salah satu peternak ayam Walik asal Jembulwuhut, Gunungwungkal, Pati, Jawa Tengah, membagi pengalamannya memelihara ayam Walik secara semi-intensif. Ternyata cukup memberikan keuntungan karena rata-rata setiap bulan mendapatkan pendapatan antara Rp 4-6 juta per bulan.

Ayam Walik hitam memiliki harga yang cukup tinggi.
(Sumber: Google)
Purwanto mengungkapkan, bahwa harga ayam Walik putih dan warna lainnya bisa berkisar Rp 500 ribu per ekor, sedang yang berwarna hitam mengkilap bisa dijual dengan harga Rp 1 juta per ekor.

Setiap minggu pembeli datang dari berbagai daerah untuk membeli ayam Walik sebagai ayam hias. Penetasan yang dilakukan Purwanto tidak dierami oleh induknya, melainkan menggunakan mesin tetas, sehingga dapat memproduksi DOC ayam Walik yang lebih banyak karena tidak dierami langsung oleh indukannya.

Namun begitu, pengembangan ayam Walik masih perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah, serta stakeholder perunggasan lokal, agar ayam Walik tetap lestari dan terhindar dari kepunahan. Dukungan bisa dilakukan dengan memperkenalkan ayam Walik pada tiap pameran ataupun seminar perunggasan, pendampingan peternak dalam hal pemeliharaan dan penyuluhan secara intensif. Agar pemanfaatan ayam Walik sebagai peluang bisnis bisa terbuka lebar dan memperluas lapangan pekerjaan di pedesaan. ***

Ir Sjamsirul Alam
Penulis praktisi perunggasan,
alumni Fapet Unpad

Sandekala Bisnis Feedlot

Oleh: Rochadi Tawaf
Dosen Fakultas Peternakan Unpad dan Penasehat PP Persepsi

Bisnis penggemukan sapi potong (feedlot) mulai diintoduksikan di negeri ini sekitar awal tahun 1980-an.  Bisnis ini, tumbuh dan berkembang, setelah usaha rancher yaitu usaha ternak sapi potong berbasis padang penggembalaan  gulung tikar di era tahun 1970-an. Bisnis rancher kala itu, telah berhasil melakukan ekspor ternak sapi bali ke Hongkong. Usaha rancher tersebut tersebar di Sumatera Selatan (PT Gembala Sriwijaya) dan di Padang Mangatas Sumatera Barat, di Sulawesi Selatan (PT Bina Mulia Ternak dan PT Berdikari United Livestock), Serta  di NTT (PT Timor Livestock Co). Kehancuran bisnis rancher waktu itu, diduga kuat karena ketidak-mampuan bersaing dengan peternakan rakyat dan masuknya sapi kuning dari daratan China ke Hongkong.

Bisnis Feedlot
Bisnis feedlot tumbuh dan berkembang dengan cepat, karena daya dukung sumber daya yang kondusif. Utamanya, bahwa negeri ini menghasilkan produk ikutan dari industri perkebunan dan pertanian yang melimpah ruah. Murahnya harga bahan baku pakan tersebut, telah mendorong korporasi di sentra produksi industri pertanian, memanfaatkan peluang ini mendirikan usaha penggemukan sapi potong. Pada awal pertumbuhnnya, bahan baku sapi bakalan berasal dari sentra peternakan sapi di Jawa Timur. Namun karena kesulitan keberlanjutan ketersediaan sapi bakalan di dalam negeri, para pengusaha feedlot mulai melakukan importasi ternak dari Australia di awal tahun 1990-an.

Setelah sepuluh tahun sejak diintroduksikannya yaitu disekitar awal tahun 1990-an bisnis ini berkembang pesat, yang ditandai lahirnya Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) di tahun 1994. Dalam euphoria pertumbuhannya, asosiasi ini beranggotakan sekitar 65 perusahaan feedlot. Situasi perbankan sangat mendukung bisnis ini, kala itu. Bayangkan saja, hanya dengan modal 10% dari volume impor, pengusaha feedlot bisa mendapatkan fasilitas kredit perbankan dalam bentuk Usance L/C dengan lama pengembalian enam bulan. Bisnis ini, telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian di perdesaan. Misalnya, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan limbah dan penyediaan pupuk kandang bagi usaha tani.

Krisis Ekonomi
Booming bisnis feedlot ternyata tidak berjalan lama, hanya sekitar tujuh tahunan. Pada  tahun 1997-1998, merupakan tahun bencana bagi bisnis ini untuk pertamakalinya. Pasalnya, pada saat krisis ekonomi di tahun 1997 telah terjadi penurunan nilai tukar Rupiah terhadap USD yang sangat signifikan. Kondisi ini, telah memorak-porandakan bisnis feedlot yang menggantungkan hidupnya dari sapi bakalan impor. Bayangkan saja, di awal tahun 1997 sebelum krisis ekonomi nilai tukar rupiah sebesar Rp 1.750-2.000 per USD, bergerak menjadi sekitar Rp 15.000-17.500 per USD di akhir tahun 1998. Semua bisnis yang mengandalkan impor kolaps, para pengusaha feedlot kala itu mengalami kesulitan membayar kepada perbankan paling tidak sekitar 3 juta USD/perusahaan. Jumlah ini diperhitungkan dari enam shipment @500 ribu USD/shipment, berdasarkan fasilitas Usance L/C yang belum dibayar.

Feedlot. (Foto: beefcentral.com)
Bisnis Feedlot Kondusif
Pasca krisis ekonomi di tahun awal 2000-an bisnis feedlot cepat terecovery, pasalnya iklim usaha yang kondusif dan sistem perbankan serta tingginya permintaan konsumen akan daging sapi yang meningkat. Namun, para pengusaha feedlot pun mulai terseleksi secara alamiah. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah anggota APFINDO yang hanya tinggal sekitar 30 perusahaan. Dengan berubahnya pola usaha yang semula berorientasi terhadap kualitas daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), saat itu berubah menjadi BASUH (Bayar Aman Sehat Utuh dan Halal). Hal ini diakibatkan berubahnya kebijakan perbankan yang tidak ada lagi memberikan fasilitas kredit (L/C) dengan tenggang waktu enam bulan.

Di periode tahun (2000-2010), pemerintah melahirkan program swasembada daging sapi. Dalam program ini, pemerintah memberikan peran penting terhadap bisnis feedlot dan importasi daging. Bisnis ini sempat booming kembali di tahun 2009, dengan omzet usaha sekitar Rp 2,7 triliun/tahun dan berdampak positif bagi pembangunan ekonomi secara nasional. Di era ini pembangunan bisnis feedlot masih mengacu kepada konsep Soehadji (1994/1996) yaitu program Gaung Lampung atau “tiga-ung dari lampung”. Program ini, mengatur rasio peran peternakan rakyat (sebagai tulang punggung), industri feedlot (sebagai pendukung) dan impor daging sapi (sebagai penyambung). Pada 2012, pemerintah melakukan pengetatan impor sapi bakalan. Hal ini dilakukan berdasarkan sensus BPS (2011), bahwa populasi ternak sapi saat itu berada pada kondisi swasembada. Maka, sejak itu dimulainya kondisi harga daging melambung tinggi. Namun, kala itu Menteri Pertanian Suswono, secara jantan mengakui bahwa kegagagalan swasembada daging sapi 2010 karena salah hitung.

Sandekala
Karut-marut masalah daging sapi terus berlanjut hingga saat ini. Di era pemerintahan Jokowi, kemelut ini bertambah ruwet dan tidak menentu arahnya. Pemerintah menggelontorkan dana triliunan rupiah tidak lagi berorientasi dan berpihak kepada usaha peternakan sapi potong di dalam negeri, tapi lebih berorientasi kepada importasi daging. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang tidak memberikan kesempatan hidup kepada peternakan rakyat maupun industri feedlot yang ada. Indikasi dan dampaknya terhadap pembangunan ekonomi tampak jelas, yaitu pemerintah telah menetapkan standarisasi harga daging yang berada di bawah biaya produksi dan membuka keran impor dari berbagai negara seluasnya tanpa perhitungan dan perlindungan terhadap kondisi peternakan di dalam negari. Kondisi ini lah yang disebut sebagai “sandekala” bisnis feedlot di dalam negeri. pasalnya, dari kebijakan tersebut peternak rakyat dan perusahaan feedlot merugi, sebagian besar (50%) telah menurunkan volume impor dan usahanya bahkan tidak lagi melakukan importasi. Namun importasi daging beku dari India meningkat tajam (100%). Peternakan rakyat tidak lagi mampu menyuplai rumah potong hewan, karena pangsa pasarnya di intervensi oleh daging beku impor asal India. Selain itu, program pemerintah dalam bentuk Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting, menjadi tiada artinya karena harga produknya tidak merangsang peternak untuk meningkatkan produksi.

Akan mampu bertahan berapa lama lagi kah usaha peternakan sapi potong di dalam negeri untuk bangkit kembali? Atau akan muncul model bisnis baru integrasi sapi potong dengan industri pertanian? Namun, semuanya sangat bergantung kepada keberpihakan pemerintah terhadap usaha ternak rakyatnya itu sendiri, semoga industri ini cepat pulih. ***

Tangani Problem Gangguan Produksi dan Pencernaan pada Layer

Kasus penurunan produksi telur disebabkan beberapa faktor penting,
diantaranya pakan dan penerapan biosekuriti. (Foto: Aktual.com)
Problem/kasus gangguan produksi dengan pola 90/40, menyebabkan terjadinya penurunan produksi secara drastis, bahkan diawal produksi yang lebih dari 90% bisa turun dalam hitungan waktu yang sangat singkat menjadi sekitar 30%. Fenomena ini belakangan terjadi pada ayam petelur yang mendasarkan pada pengamatan dan analisa di beberapa peternakan/lokasi peternakan yang bermasalah dengan problem tersebut.

Penulis menyimpulkan ada beberapa faktor utama yang disinyalir menjadi akar masalah dan faktor pemicu kasus itu bisa terjadi, yakni 1) Berkenaan dengan kualitas pakan (dugaan mikotoksikosis yang menyebabkan terjadinya immunosupresi). 2) Lemahnya praktek biosekuriti yang diterapkan di lapangan sebelum terjadinya kasus. 3) Problem wet droping (kotoran cenderung basah) berkepanjangan dialami kelompok ayam yang bermasalah tersebut sebelum terjadinya kasus infeksi virus ditambah infeksi sekunder oleh bakteri.

Berkaitan dengan kualitas pakan yang disinyalir sebagai salah satu pemicu problem tersebut, dari analisa dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, ditemukan adanya cemaran beberapa jenis mikotoksin (aflatoksin, fumonisin, zearalenon, ochratoksin dan T-2 toksin) yang ada dalam sediaan pakan yang dibuat/diberikan pada ayam yang bermasalah dengan problem kasus 90/40. Adanya polikontaminasi mikotoksin dalam level rendah dari masing-masing jenis mikotoksin yang mencemari pakan tersebut dan diberikan dalam jangka waktu cukup panjang pada ayam, menyebabkan terjadinya gangguan stuktur dinding saluran pencernaan, gizzard erotion (lesi pada gizzard), gangguan fungsi hati dan juga gangguan fungsi organ penghasil zat kebal tubuh (limpa, timus dan sumsum tulang), sehingga menyebabkan terjadinya immunosupresi. Terjadinya immunosupresi karena mikotoksikosis menyebabkan ayam menjadi peka terhadap infeksi berbagai agen penyakit.

Faktor pemicu lainnya terjadi karena ayam mengalami gangguan pencernaan berkepanjangan, di mana ayam mengalami wet droping (kotoran basah), amoniak tinggi dalam lingkungan kandang dan populasi lalat yang tidak terkontrol sebagai vektor penyebaran agen penyakit, termasuk juga vektor dari cacing pita.

Lemahnya praktek biosekuriti yang semestinya secara konsisten harus dilakukan menyebabkan tingginya tingkat tantangan (challenge) agen penyakit yang ada di lingkungan peternakan, menyebabkan tingkat patogenitas dan virulensi virus penyebab infeksi penyakit menjadi meningkat, sehingga menyebabkan infeksi dan gangguan produksi pada ayam.

Dari adanya faktor pemicu tersebut di atas, membuat terjadinya penurunan status kekebalan tubuh ayam (immunosupresi), sehingga ayam menjadi sangat peka terhadap infeksi agen penyakit, baik yang disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri dan atau infeksi campuran oleh virus dan bakteri.

Penyebab sendiri dari agen infeksius yang menyebabkan gangguan produksi di mana produksinya turun secara signifikan mulai dari 90% menjadi 40% persen bahkan sampai turun menjadi 30%, diantaranya ada yang disebabkan oleh infeksi virus AI (H9N2 maupun H5N1), atau oleh infeksi virus IB, ND, EDS dan juga IBH, serta infeksi kuman Salmonella dan E. colli (Kolibasilosis) dan Coryza.

Penanganan dan Pencegahan
Solusi penanganan sekaligus mencegah problem tersebut di atas agar tak terulang bisa dilakukan dengan beberapa tindakan yang disarankan, diantaranya:

1. Jalankan praktek biosekuriti, yakni lakukan secara konsisten sanitasi agar terjaganya kebersihan lingkungan peternakan, membatasi pihak luar (manusia) untuk keluar masuk lokasi peternakan dan lakukan juga program disinfeksi secara rutin pada lingkungan sekitar peternakan untuk tujuan mengurangi cemaran kuman/virus yang ada di dalam kandang atau lingkungan peternakan, baik pada saat periode istirahat kandang maupun fase pemeliharaan.

2. Gunakan bahan baku pakan yang berkualitas baik untuk membuat ransum/pakan lengkap untuk ayam, seperti memilih dedak, MBM, Jagung dan bungkil kedelai yang berkualitas baik, agar meminimalisir cemaran toksinnya (seperti mikotoksin).

3. Tambahkan anti-mikotoksin/toxin absorbent yang punya kemampuan mengikat secara optimal semua jenis mikotoksin/toksin dalam campuran pakan untuk mencegah ayam dari efek mikotoksin/toksin yang menyebabkan immunosupresi (melemahnya sistem kekebalan tubuh ayam).

4. Untuk mengatasi dan mencegah wet droping (kotoran ayam yang keluar dari kloaka seperti diare/fesesnya pecah dan basah), melalui pakan (dicampurkan dalam sediaan pakan) disarankan pemakaian obat anti diare dan yang mampu menyerap racun dibarengi dengan pemberian zat yang mengandung sodium butyrate double buffer yang didesain khusus untuk pemakaian unggas dan hewan kecil, yang berfungsi  memperbaiki kondisi vili-vili usus yang rusak akibat keracunan atau pemberian antibiotik (AGP) secara terus menerus sebelumnya, serta dikombinasi dengan pemberian zat yang mengandung minyak esensial dan asam organik yang berfungsi sebagai pengganti AGP untuk menekan populasi kuman entero-patogen pada saluran pencernaan bagian bawah (illium dan colon).

5. Bila terjadi kasus 90/40 tersebut kuat dugaan-nya karena infeksi virus, maka untuk mempercepat proses kesembuhan ayam dari serangan virus IB tersebut, melalui air minum dapat diberikan produk minyak esensial sebagai antivirus dan sediaan antimikrobial untuk mencegah pembentukan eksudat pada saluran pernafasan, sehingga ayam mudah bernafas (untuk menghirup sebanyak mungkin oksigen).

6. Lakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin apapun yang berkualitas baik dan waktu vaksinasi yang sesuai anjuran.

7. Pastikan selalu memberikan air minum yang telah disterilisasi dengan cara klorinasi untuk mencegah penularan agen penyakit yang mencemari sumber air minum. Pastikan kadar aktif klorin tetap tersedia dalam air minum pada level minimum 0.5 ppm dan maksimum 1 ppm.

8. Bila penyebab gangguan produksi 90/40 karena infeksi bakteri, akan sangat dianjurkan melakukan pengobatan secara tuntas menggunakan antibiotik dengan kualitas terbaik dan disertai pemberian minyak esensial, yang membantu mencegah infeksi virus dan juga bakteri lain yang dapat memperparah problem pencernaan maupun pernafasan.

Demikian solusi komprehensif yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat membantu mengatasi, sekaligus mencegah problem kesehatan dan gangguan produksi yang dihadapi pengusaha peternakan ayam petelur di lapangan. ***

Drh Wayan Wiryawan
PT Farma Sevaka Nusantara,
Pengurus/anggota ADHPI
(Asosiasi Dokter Hewan
Perunggasan Indonesia)

Menghindari Serangan IBH (Inclusion Body Hepatitis) di Farm Broiler

Pemeliharaan broiler prosesnya sangat cepat. Untuk mencapai finish dengan normal
diperlukan kondisi fit sejak kedatangan DOC di farm, yang tidak hanya berpedoman pada
kondisi fisik secara kasat mata, melainkan kualitas DOC secara internal quality.
(Foto: Ridwan)

Oleh: Suryo Suryanta
Konsultan Manajemen Ayam

Lagi-lagi kasus gangguan kesehatan menyeruak di lapangan yang mengakibatkan kerugian yang signifikan karena kematian ayam dengan kisaran 5-65%, sehingga konversi pakan menjadi membengkak. Kasus IBH menjadi pelik karena gejala infeksinya agak sulit dibedakan dengan kasus Gumboro (IBD), meskipun disebutkan bahwa kontaminasi IBH dapat terdeteksi sejak dini saat penerimaan DOC bila terjadi kontaminasi di breeder ataupun di hatchery, ditulis Drh Eko Prasetio, Infovet edisi Februari 2018.

Kejadian infeksi IBH muncul setelah ayam sudah mulai besar (800 gr) atau di umur sekitar 18 hari dengan meningkat kematiannya. Yang paling repot kejadian tidak terdeteksi, namun kematian tinggi saat pelaksanaan panen, baik kematian saat penangkapan hingga saat  ayam sudah di kendaraan. Berikut tanda-tanda IBH yang terjadi di lapangan dari (kontributor Dokter Hewan yang aktif di lapangan):

Gambar: Dok. Pribadi
Contoh kasus di lapangan, pada flok yang terdiri dari tiga kandang, hanya satu kadang yang mengalami serangan IBH tersebut yang diikuti dengan gejala ND dan colli, sehingga kematian menjadi meningkat tajam hingga 20%. Meskipun yang terkena hanya satu kandang, namun memberikan kerugian secara total menyeret kandang lain yang performance-nya normal. Tentunya kondisi ini merugikan bagi peternak broiler, meskipun harga livebird tinggi tetap tidak memberi keuntungan, hanya mampu mengurangi tingkat kerugian yang dialami peternak.

Meskipun tingkat morbiditas kasus IBH ini tidak meluas atau dapat disebutkan hanya spot-spot, namun kejadian ini seolah menjadi trauma bagi peternak atau “down mental”, karena mereka ragu-ragu untuk melakukan chick-in lagi, karena khawatir akan terserang kasus IBH kembali. Mereka sadar masih belum dapat mengatasi secara preventif apalagi mengatasi setelah terjadi wabah. Oleh karena itu, perlu dituntaskan mengenai kasus IBH ini untuk menghindarkan dari farm, sehingga mendorong semangat para peternak untuk kembali berusaha.

Budidaya Broiler seperti Lomba Lari Sprint
Pemeliharaan broiler hanya sampai 30-35 hari dengan bobot panen mencapai 1,6-2,2 kg, bahkan tidak sedikit yang dipanen pada umur 22-25 hari dengan bobot 0,9-1,2 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan broiler adalah proses yang sangat cepat ibarat lomba lari sprint. Untuk mencapai finish dengan kecepatan normal diperlukan kondisi yang fit sejak kedatangan DOC di farm. Kondisi yang fit sampai sekarang masih berpedoman hanya pada kondisi fisik yang kasat mata, seperti tidak cacat, berat DOC, kekeringan, warna bulu dan kelincahan. Tentu sudah perlu diarahkan pada pedoman kualitas DOC secara internal quality, yaitu dari aspek kecukupan nutrisi penyusunnya, serta memastikan bebas kontaminasi dari induk, baik bebas salmonella, bebas jamur atau fungus, bebas bakterisidal, seperti colli dan pseudomonas dan bebas kontaminasi yang bersifat virusidal.

Mengapa DOC harus full nutrisi, karena jumlah sel dasar dan kekebalan tubuh terstruktur oleh nutrisi yang akan menjadi pondasi dasar untuk pertumbuhan dan pembentukan organ kekebalan. Dengan pertumbuhan broiler yang cepat, maka harus diimbangi dengan perkembangan organ kekebalan yang cepat pula, sehingga jumlah sel dasar penyusunnya harus dalam jumlah yang ideal.

Sebagai ilustrasi sederhana ayam breeder 32 minggu dengan standar berat HE 60 gram, sehingga akan memiliki variasi berat DOC 35-47 gram, selanjutnya pada umur 40 minggu akan memiliki standar berat HE sudah 65 gram, sehingga berat DOC akan bervariasi dari 40-52 gram, artinya pada umur 40 minggu harus sudah tak lagi ditemukan berat DOC di bawah 40 gram. Namun kondisi yang dihadapi di lapangan belum tentu bisa terwujud dengan baik, sehingga masih dijumpai berat DOC di bawah 40 gram meskipun umur induk sudah di atas 40 minggu.

Apakah yang Mengganggu Nutrisi Telur Tetas (HE)
Ada anomali gangguan yang sangat riskan pada breeder broiler, yaitu jatuhnya telur ke perut ayam, disebut anomali karena kejadian yang tidak mudah dideteksi secara dini, namun hanya bisa diketahui dari akibatnya. Kejadian ini pun bisa diketemukan karena ada faktor lain yang involve yaitu bila ada kontaminasi bakteri, sehingga muncul yang disebut Egg Peritonitis dengan kejadian mortalitas yang tinggi. Lebih lanjut disebut anomali karena kejadian telur jatuh atau bisa disebut internal laying disebakan oleh yang disebut Erratic Oviposition And Defective Egg Syndrome (EODES), yaitu terjadi ketika ayam memiliki terlalu banya folikel ovarium yang besar, sehingga akan banyak kejadian double yolk dan prolapsus. Kejadian EODES karena terjadi stimulasi cahaya dini pada ayam ayam yang underweight atau yang juga overweight, sehingga cara preventif mengatasi EODES hanya dengan menunda stimulasi cahaya pada ayam pullet yang underweight, serta menghindari ayam yang overweight.

Gambar: Dok. Pribadi
Kejadian telur jatuh ke perut juga akan aman karena akan diserap kembali ke tubuh ayam sejauh bila tidak ada kontaminasi bakteri. Namun bila muncul gangguan Toksikasi, yaitu adanya toksin yang masuk meracuni atau  terjadi akumulasi toksin di dalam tubuh ayam. Toksikasi menyebabakan daya tahan tubuh menurun (imunosupresi), maka salmonella ataupun colli di dalam tubuh akan mengalami replikasi dan mampu mengintervensi tubuh ayam. Proses replikasi menjadi berkepanjangan bila ada kuning telur ada di perut ayam karena menjadi tempat tinggal dan berkembangbiak.

Kondisi ini akan menjadi problem yang berkepanjangan karena tidak akan mudah diatasi dengan perkembangbiakkan bakteri di perut ayam. Kondisi inilah yang menjadi “biang bertunas” ke telur tetas yang dihasilkan ayam tersebut, sehingga menjadi HE yang terkontaminasi bakteri colli dan salmonella. Meskipun secara jumlah telur yang tertunas tidak banyak namun seperti menyimpan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak saat proses inkubasi, sehingga menjadi spreading atau penyebaran yang meluas pada telur yang embrionya sudah berkembang, serta waktu yang krusial di hatcher pada saat telur piping atau ayam sudah siap menetas dengan mulai paru DOC keluar dari cagkang, maka DOC akan menghirup kontaminan colli maupun salmonella ke saluran pernapasan dan pencernakan DOC tersebut.

Resiko Berganda dan Solusi
Dengan adanya telur jatuh ke perut dan terkontaminasi bakteri maka menjadi simpanan kontaminan yang siap bertunas di telur yang diproduksi pada ayam tersebut. Meskipun semua ini menjadi potensial yang aman bila tidak ada “si pemantik api” yaitu toksin. Dengan adanya toksin menyebabkan gizzard errotion dan usus juga terjadi enteritis maka penyerapan nutrisi menjadi menurun, akibatnya nutrisi penyusun dalam telur menjadi tidak optimal.

Dapat disimpulkan bahwa akibat Toksikasi di breeder akan menyebabkan kematian tinggi, menyebabkan kontaminasi telur tetas, sehingga hatchability turun dengan kualitas DOC juga menurun. Selanjutnya DOC yang dihasilkan juga memiliki nutrisi yang kurang, serta memungkinkan tertunas atau terkontaminasi bakteri colli dan salmonella sehingga culling juga tinggi.

Dengan DOC yang seperti ini tentu pertumbuhan juga kurang optimal, serta pertumbuhan organ kekebalan juga tidak maksimal yang akan mudah terserang oleh bakteri maupun virus. Kondisi broiler farm yang terwabah IBH muncul tanda gizzard errotion, artinya juga terjadi munculnya IBH oleh adanya Toksikasi. Dengan adanya Toksikasi maka penyerapan nutrisi menjadi kurang maksimal, serta terjadi penurunan daya tahan tubuh yang akan memunculkan outbreak IBH.

Perlu digaris-bawahi bahwa kronologis munculnya kasus IBH di farm broiler bukan IBH-nya diturunkan dari induk breeder, namun diawali dengan kontaminasi bakteri dan salmonella pada DOC, serta komposisi nutrisi penyusunnya yang kurang sempurna, sehingga daya tahan tubuh DOC menjadi rendah. Selanjutnya DOC yang lemah ini menjadi rentan untuk masuknya outbreak IBH. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara kronologis munculnya IBH dipicu oleh pengaruh toksin yang melanda di induk breeder, serta di farm broiler-nya. Oleh karena itu, hanya satu solusi yang harus dilakukan secara simultan di farm breeder dan farm broiler dengan menjinakkan toksin melalui Detoksikasi.

Detoksikasi
Mengambil istilah dari proses perawatan kesehatan untuk manusia, Detoksikasi merupakan proses menurunkan toksisitas pada tubuh ayam, sehingga mampu menetralisir efek toksisitas dari toksin yang mampu mengondisikan gizzard menjadi lebih baik, vili-vili usus sempurna, serta organ hati memiliki tingkat kekenyalan yang normal.

Dengan kondisi organ dalam yang sempurna ini mampu mendorong pertumbuhan sel-sel telur atau ovum dan ovarium juga sempurna. Hasil dari penerapan Detoksikasi yang sudah konsisten mampu memberikan pengaruh yang baik pada performance produksi, sehingga HD di breeder akan dimudahkan mencapai produksi HD 88-90%, serta berkelanjutan pada broiler yang dimulai dari kualitas DOC yang baik hingga bisa disebut zero komplen, serta memiliki performa broiler yang terbebas dari kasus IBH. ***

Gambar: Dok. Pribadi

Belajar dari Sang Nelayan


Alkisah seorang turis kaya asal Amerika Serikat liburan di sebuah pantai Meksiko yang terletak di dusun nelayan. Waktu makan siang, turis ini melihat para nelayan pulang dan menurunkan hasil tangkapan ikan mereka. Kemudian segera bersiap untuk pulang. Merasa penasaran, turis ini menghampiri nelayan dan bertanya, “Tuan, kalau tidak keberatan, bolehkah saya bertanya apa yang sedang kalian lakukan?”  Salah satu nelayan menjawab,” Saya baru pulang dari melaut, dan akan pulang ke rumah untuk makan siang dengan keluarga. Setelah itu saya akan tidur siang. Terus bermain dengan anak-anak. Nanti malam, saya akan ke warung, ngobrol santai bersama beberapa teman,” ucap sang nelayan.

Mendengar penjelasan nelayan, sang turis dalam merasa heran, betapa malasnya nelayan ini. Ia pun berkata, “Tuan, apabila tidak keberatan saya mau memberikan beberapa saran. Saya adalah profesor ahli bisnis di sebuah Universitas di Amerika. Saya bisa membantumu agar usaha berkembang lebih maju. Bagaimana kalau tuan pergi melaut lagi sehabis makan siang?”
Turis itu melanjutkan, “Dengan melaut lagi, Tuan bisa mendapat ikan lebih banyak. Mungkin dua kali lipat dari biasanya. Bisa mendapat lebih banyak uang. Dengan uang itu, bisa menggaji pegawai beberapa bulan ke depan dan bisa menambah sebuah perahu lagi. Sehingga jumlah ikan yang tuan tangkap bisa jadi berkali-kali lipat.”

Si turis ini meyakinkan bahwa apabila sang nelayan melakukannya, dia akan menjadi juragan pemilik armada berpuluh-puluh perahu nelayan hanya dalam kurun waktu 5 sampai 6 tahun saja. “Setelah itu tuan bisa memindahkan lokasi perusahaan ke sebuah kota besar dan mengembangkan usaha ke bidang-bidang bisnis lainnya. Tuan bisa jadi pengusaha yang punya banyak duit. Setelah itu bisa pensiun dengan nyaman,” terangnya.

Si turis yang profesor itu meyakinkan bahwa berdasarkan analisanya sang nelayan akan bisa jadi kaya raya dalam tempo waktu beberapa tahun ke depan.
Sang nelayan mendengarkan penjelasan profesor dengan penuh perhatian. Di akhir percakapan itu, sang nelayan bertanya, “Tapi tuan, apa yang akan saya lakukan dengan uang yang sangat banyak itu?” Profesor berpikir sejenak. Dia belum bisa menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya adalah bagaimana caranya bisa menghasilkan banyak uang.

Lantas profesor itu menjawab, “Dengan uang itu nanti tuan bisa pensiun dan bisa menikmati hidup dengan santai. Mungkin bisa liburan ke kampung nelayan yang tenang dan nyaman, seperti kampung ini. Bisa membeli perahu kecil dan pergi menangkap ikan untuk bersenang-senang di pagi hari dan pulang siang hari untuk makan siang bersama istrimu. Kemudian bisa tidur siang dan bermalas-malasan atau bermain dengan anak-anak. Petang harinya tuan bisa bebas menikmati hidup, pergi ke warung dan menghabiskan waktu dengan teman-teman,” jelasnya.
Tapi sang nelayan itu dengan cepat menjawab, “Bukankah semua momen menyenangkan yang tuan ceritakan itu sama seperti yang aku jalani saat ini?”
Sang professor pun terdiam dan tak mampu berkata-kata lagi.

*****
Begitulah jika tujuan hidup sukses itu semata-mata untuk mendapatkan harta berlimpah. Ujung-ujungnya ketika semua kemewahan didapatkan, yang dicari kemudian adalah kesederhanaan hidup. Cerita di atas oleh beberapa penulis dipakai untuk memberikan saran bahwa hidup itu tidak perlu muluk-muluk karena pada akhirnya yang dicari adalah hidup damai dengan kesederhanaan. Nikmatilah hidup dengan sederhana saja.

Kali ini saya mencoba mengambil hikmah dari persepektif yang berbeda. Mengembangkan usaha skala kecil menjadi besar adalah sebuah cita-cita yang baik. Membuat usaha yang menciptakan lapangan kerja untuk orang banyak adalah sebuah kemuliaan. Kesibukan menjalankan bisnis untuk mengembangkan ekonomi keluarga dan masyarakat sekitar adalah sebuah ibadah.
Jadi bukan sebuah kesalahan jika Anda memiliki harta berlimpah. Yang perlu dicermati adalah untuk apa semua itu. Kalau bekerja keras hanya untuk terlihat keren dengan mobil dan rumah mewah, ketahuilah Anda akan terjerat pada keinginan untuk tetap terlihat mewah hingga hidup selalu dikejar-kejar urusan dunia semata. Ibarat semut yang ingin menikmati lebih banyak madu, ia mati karena menceburkan diri ke dalam cairan madu. Padahal yang dibutuhkan hanyalah menikmati sedikit madu saja, lainnya bisa digunakan untuk semut yang lain.

Jika Anda punya usaha kecil, dimana Anda sudah bisa bersantai bersama keluarga setiap hari, pikirkanlah juga kemungkinan-kemungkinan untuk membuat usaha Anda berperan lebih banyak untuk lingkungan Anda. Pikirkanlah kemungkinan untuk menambah karyawan setiap tahun dengan memperbesar skala usaha atau membuat cabang baru. Pikirkanlah untuk menerapkan teknologi yang lebih efisien dan sejumlah kemungkinan lain yang berpotensi memajukan usaha.
Itu semua perlu pengorbanan waktu untuk belajar mengelola usaha skala yang lebih besar,mencari tambahan modal, bahkan mungkin juga pada tahap tertentu perlu mengencangkan ikat pinggang, mendahulukan usaha dibanding merenovasi rumah.

Manakala seorang nelayan yang punya banyak waktu luang, kemudian mengembangkan usaha sebagaimana saran profesor sebagaimana cerita di atas, kehidupan menjadi penuh dengan tantangan. Mungkin di tengah jalan bisa terbelit hutang, ada kasus kredit macet, ditinggalkan karyawan dan sebagainya. Namun jika semua itu diniatkan untuk ibadah, semuanya akan terasa indah.

Dan ketika sampai pada titik kesuksesan dunia, ia tetap menikmati hidup, tanpa rasa sesal telah menghabiskan banyak energi hanya untuk bisa kembali hidup dengan sederhana di pinggir pantai.


Selamat menjalankan ibadah puasa. ***

Refleksi Majalah Infovet Edisi 287-Juni 2018

Hasil Survei: Masyarakat Lebih Pilih Pulsa Dibanding Daging

Daging ayam. (Sumber foto: meatworld.co.za)
Pantauan tim Infovet di lapangan membuktikan bahwa beberapa masyarakat Indonesia kini lebih cenderung gemar “mengonsumsi” pulsa ketimbang protein hewani.

Hal ini dibuktikan dari salah satu narasumber yang Infovet temui di daerah Depok, Jawa Barat. Irawan (30) saat berbincang dengan Infovet mengaku, rata-rata mengeluarkan tak kurang dari Rp 200 ribu per bulan untuk membeli “amunisi” telepon seluler miliknya. “Kadang bisa lebih,” ungkapnya.

Ketika ditanya, seberapa sering ia membeli daging ayam untuk konsumsi dalam sebulan, pekerja pabrik garmen di kawasan Ciputat ini hanya tersenyum. Ia mengatakan, jarang mengonsumsi daging ayam. Ia lebih suka membeli ikan air tawar. Kalau dirata-rata membeli daging ayam, katanya, hanya sekitar Rp 30 ribu per bulan. Artinya, perbandingan antara biaya beli pulsa dan beli daging ayam Irawan dalam sebulan adalah 200:30.

Di lain kesempatan, Infovet mencoba untuk mencari perbandingan dengan narsumber lain. Kali ini sasarannya seorang karyawati minimarket yang lokasinya masih berada di kawasan Depok. Yulianti-nama narasumber ini, mengaku dalam sebulan rata-rata mengeluarkan biaya lebih dari Rp 100 ribu untuk membeli pulsa.

Untuk membeli daging ayam ia mengaku kurang begitu suka. Wanita ini lebih sering mengonsumsi mie instan, atau makanan olahan instan lainnya yang ia stok dalam sebulan. “Sesekali aja mengonsumsi ayam, paling dua atau tiga kali dalam sebulan. Kurang begitu suka,” katanya.

Anggap saja, sekali membeli sepotong daging ayam goreng, Yulianti mengeluarkan uang Rp 12 ribu. Maka, dalam sebulan ia hanya membeli daging ayam Rp 36 ribu per bulan, perbandingan yang didapat dengan pembelian pulsa adalah 100:36. 

Data BPS Membuktikan
Dari contoh dua narasumber di atas, membuktikan bahwa konsumsi pulsa lebih tinggi daripada mengonsumsi daging ayam. Fenomena ini sebenarnya sudah diendus dalam beberapa tahun oleh para peneliti dan surveyor di Indonesia.



Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas, BPS) 2016 menunjukkan, dalam enam tahun terakhir, biaya pengeluaran pulsa bulanan masyarakat Indonesia terus meningkat. Rata-ratanya mengalahkan jumlah pengeluaran pembelian buah dan daging (termasuk daging ayam).

Jumlah rata-rata pengeluaran pulsa secara nasional per bulan pada 2016 mencapai Rp 22.182 per kapita. Sedangkan pengeluaran buah Rp 19.268 dan daging Rp 20.526 per kapita. Meski begitu, nilai pengeluaran pembelian pulsa belum mengalahkan rata-rata pengeluaran bulanan untuk kebutuhan pokok seperti beras, sebanyak Rp 64.566.

Dengan selisih sedikit berbeda, biaya pengeluaran pulsa telepon bulanan ini lebih tinggi dari biaya rata-rata pengeluaran SPP bulanan anak sekolah, yakni sebesar Rp 21.276 per kapita pada 2016. Dengan pengeluaran sebesar itu, kini posisi pulsa dalam masyarakat Indonesia bukan lagi kebutuhan tersier, melainkan kebutuhan sekunder-setelah terpenuhinya kebutuhan pokok.

Dalam sebuah rilis Kementerian Keuangan empat tahun lalu menyebutkan, membanjirnya ponsel di Indonesia mendorong tingginya konsumsi atau pembelian pulsa di masyarakat. Peningkatan jumlah kepemilikan telepon seluler terlihat paling tidak dalam dua tahun terakhir. Pada 2015, persentase kepemilikan mencapai 56,9%, sedangkan pada 2016 mencapai 58,3% atau sebanyak 137 juta jiwa.

Kalangan berumur 18-55 mendominasi kepemilikan telepon seluler. Sebanyak 76,2% diantaranya memiliki ponsel. Sedangkan usia di atas 55 tahun yang memiliki telepon seluler sebanyak 32,4% dan rentang usia 5-17 tahun sebanyak 32,1%.


Ilustrasi (Sumber: Google)
Dari 34 provinsi di Indonesia, kepemilikan telepon seluler terbanyak di DKI Jakarta (75,78%), Provinsi Kalimantan Timur (74,47%), Kepulauan Riau (73,77%), Kalimantan Utara (68,72%), Bali (65,19 %). (lihat kartogram warna skala merah).

Perputaran Uang Pulsa vs Daging 
Fenomena konsumsi pulsa jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging ayam mendapat perhatian dari para pakar gizi. Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto, menyebutkan, fenomena semacam ini sungguh miris. Kebutuhan asupan gizi dikalahkan oleh kebutuhan pulsa hanya untuk gaya hidup.


Yuny Erwanto
“Dapat dibayangkan dengan Rp 20 ribu daging, berarti kalau diasumsikan sebagai daging unggas atau ayam hanya sekitar 0,5 kg sebulan. Kalau diasumsikan dengan daging sapi malah prihatin lagi, 20 ribu hanya setara dengan 200 gram per bulan per kapita,” ujar Erwanto.

Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini berpendapat, perputaran uang untuk biaya komunikasi, dalam hal ini pulsa, hanya akan berputar pada kurang dari 10 perusahaan besar saja. Sementara untuk konsumsi daging perputaran uangnya sangat luas, mulai dari petani jagung dan bahan pakan lain, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha restoran, usaha pemotongan hewan, beserta jalur pasar yang mereka lewati melibatkan banyak pelaku usaha.

“Artinya, kalau semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk daging akan mempunyai daya ungkit bagi usaha yang terlibat dan akan membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang berputar untuk biaya pulsa,” ungkapnya.

Erwanto tak sependapat dengan anggapan peningkatan daya beli pulsa masyarakat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Sederhananya, masyarakat mau makan pulsa atau makan daging yang akan meningkatkan produktivitas? Jadi tidak ada hubungannya antara biaya pulsa yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan.

Menurutnya, kalangan yang menggunakan telepon atau data internet dalam rentang yang panjang dan kadang tidak terkontrol dapat terjadi pada semua segmen ekonomi. Bahkan, sampai yang tidak punya uang sekalipun, bila ada kesempatan mereka kadang akan menggunakan pulsa dan data tanpa kendali. “Pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan budaya kita memang lebih suka ngobrol dan kurang produktif,” ucapnya.

Melihat kondisi di atas, lanjut dia, idealnya adalah seluruh komponen bangsa melakukan rekonstruksi ulang dan perubahan tata nilai, serta memulai sesuatu dengan budaya literasi atau pengetahuan yang semakin diperkuat. Selama pengetahuan masyarakat tidak dibimbing kepada faktor pemahaman yang lebih mendasar, maka mereka akan terjebak pada pragmatis, serta budaya melihat dan berbicara, bukan budaya berpikir dan membaca. “Kalau budaya berpikir, membaca dan berdiskusi semakin meningkat, maka perlahan budaya ngobrol akan berkurang,” jelas dia.

Menurut pakar gizi ini, penyebab rendahnya konsumsi masyarakat terhadap daging ayam tidak sekadar karena faktor pengetahuan atau pemahaman. Kalau pengetahuan dan pemahaman lebih cenderung keseimbangan gizi yang sering tidak dipahami. Namun dalam kasus daging, faktor utamanya adalah pendapatan. Semakin maju negara, maka semakin meningkat konsumsi dagingnya.

Seperti diketahui, saat ini konsumsi Indonsesia untuk total daging sekitar 10 kg, Malaysia sekitar 50 kg dan negara maju sekitar 100 kg per kapita per tahun. Secara karakter makanan yang lebih bercita rasa akan dihargai lebih tinggi, karena manusia membutuhkan lebih dibanding yang kurang bercita rasa. (Abdul Kholis)

Frisian Flag Undang 5.000 Peternak Sapi Buka Puasa Bersama

Para keluarga peternak tengah menantikan waktu berbuka puasa (Sumber:galamedianews.com) 


Sebanyak 5.000 peternak yang tergabung dalam anggota Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) diundang berbuka puasa bersama Frisian Flag Indonesia (FFI) di Lapangan Secata Rindam, Pangalengan, Bandung, Kamis (24/5/2018). Buka puasa bersama dengan keluarga peternak sapi terbanyak ini telah menciptakan rekor baru Museum Rekor Indonesia (MURI).

Informasi yang dirangkum dari galamedianews.com, acara buka puasa bersama ini dihadri juga oleh perwakilan dari MURI, Triyono. 

"Buka bersama ini kami gagas sebagai salah satu wujud apresiasi serta ajang silaturahmi bagi mitra peternak khususnya di Pangalengan," tutur Corporate Affairs Director FFI, Andrew F Saputro.

Menurut Andrew, para peternak inilah yang jadi tulang punggung dalam mendukung pemenuhan kebutuhan susu dalam negeri. Peternak juga membantu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui produk susu segar yang bergizi.

Lebih lanjut kata Andrew, bukan hanya para peternak, anggota keluarga peternak yang menjadi lingkar terdepan dalam mendukung keseharian para peternak menjadi bagian tak terpisahkan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, Indonesia memiliki populasi sapi perah 544.791 ekor dengan produksi 929,1 ribu ton susu segar dan masih terpusat di Pulau Jawa, terutama di daerah dataran tinggi termasuk Jawa Barat. Saat ini anggota KPBS Pangalengan yang aktif berjumlah lebih dari 2.700 peternak.

Cetak Rekor MURI

Kegiatan buka puasa bersama yang digagas FFI yang dihadiri 5.000 keluarga peternak sapi perah ini mencetak rekor baru MURI. Perwakilah MURI, Triyono hadir menyerahkan secara langsung piagam rekor MURI kepada Corporate Affairs Director FFI.

Salah seorang warga memegang Piagam Rekor MURI

"Kategori buka puasa bersama peternak susu sapi ini merupakan rekor baru. Dengan dipecahkannya rekor MURI ini, terdapat nilai lain yakni terjalinnya hubungan emosional antar peternak susu sapi di Pangalengan," ujar Triyono.

Imbuh Triyono, kategori kegiatan tersebut merupakan yang pertama kalinya. “Ini sangat langka sekali dan yang pertama di Indonesia. Untuk itu, saya atas nama MURI menyerahkan piagam rekor untuk Kategori Berbuka Puasa Bersama Keluarga Peternak Susu Sapi Terbanyak," ungkapnya. (NDV)
-


Kerjasama dengan PT Suryo Agro Pratama dan Infrabanx, IPB Kembangkan Sekolah Peternakan Rakyat

Penandatanganan MoU berlangsung di Ruang Sidang Rektor Kampus IPB (sumber: media.ipb.ac.id)


Bertempat d Ruang Sidang Rektor Kampus IPB Dramaga, Selasa (22/5/2018), diselenggarakan acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara IPB dengan PT Suryo Agro Pratama, serta Infrabanx. Kerjasama ini dalam bidang bidang peningkatan kapasitas peternak, pemanfaatan ilmu dan teknologi, serta penerapan bisnis kolektif melalui Program Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) di seluruh Indonesia.

Rektor IPB, Dr Arif Satria berharap dengan adanya kerjasama IPB dan PT Surya Agro Pratama, inovasi kelembagaan yang telah diciptakan oleh tenaga ahli IPB dapat memecahkan problem social capital yang biasanya ada dalam usaha peternakan. Apa yang  dikembangkan dapat  mengarah pada penguatan sistem.

“Ini dapat menjadi kekuatan kita ke depan. Semoga dengan hadirnya Infrabanx akan lebih masif, lebih baik lagi dan dapat meningkatkan kesejahteraan para peternak,” ujarnya.

Selain itu, SPR dapat menjadi pusat pembelajaran dan penyuluhan yang berbasis pada riset. Kemudian, prinsip social capital dapat terus dikembangkan dan dapat menjadi solusi dari permasalahan, baik di bidang sumberdaya alam, hubungan antar kelompok, hubungan peternak dengan pihak luar atau investor.

Sementara itu, komisaris PT Surya Agro Pratama, Cipto Santosa menyampaikan bahwa perusahaannya bergerak di bidang agroindustri pertanian dengan produk utama olahan daging. PT Surya Agro Pratama telah mengembangkan prinsip tumbuh berkembang bersama masyarakat.

Perusahaan ini telah bermitra dengan masyarakat di wilayah Probolinggo. Ia berharap MoU dengan IPB dapat berkontribusi dalam mendorong swasembada sapi.

"Kami juga bermaksud ikut berkontribusi dalam pembangunan ketahanan pangan khususnya daging sapi dan susu yang saat ini masih ada gap antara kebutuhan dan jumlah yang tersedia secara mandiri," ujar Cipto yang juga merupakan alumni IPB.

Cipto menambahkan, perusahaannya berterimakasih kepada IPB bersedia kerjasama melalui pengembangan SPR, memberikan pencerahan, peningkatan kapasitas peternak melalui SPR yang didukung Infrabanx. Kesepakatan tiga pihak dan kesepahaman pelaku usaha ini diharapkan bisa menelurkan hasil dan proses yang ditargetkan bersama.

Acara penandatanganan MoU ini dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Sistem Informasi Prof Dodik Ridho Nurochmat, Wakil Rektor Bidang Inovasi Bisnis dan Kewirausahaan Prof Erika B Laconi, Prof Muladno selaku inovator SPR, dan beberapa tamu undangan lainnya. (Humas IPB/NDV)


ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer