LAGI, NUTRICELL KEMBALI EKSPOR PRODUKNYA KE BENUA BIRU !
PRODUK NUTRICELL RAMBAH NEGERI GINSENG
Pelepasan Ekspor Produk Obat Hewan Milik Nutricell Menuju Korea Selatan |
Senin (13/9) PT Nutricell Pacific kembali melakukan ekspor produknya, tidak tanggung - tanggung kali ini Korea Selatan yang jadi tujuan ekspor Nutricell. Acara seremonial ekspor tersebut dilangsungkan di Kantor Nutricell yang berlokasi di Komplek Pergudangan Taman Tekno, Tangerang Selatan.
Sebanyak 28 ton sediaan imbuhan pakan dengan nilai lebih dari USD 254 ribu (sekitar Rp 3,6 Milyar) dikirimkan ke Korea Selatan pada hari itu. Dalam sambutannya CEO PT Nutricell Pacific Suaedi Sunanto tak hentinya menyatakan rasa syukur atas raihan yang telah dicapai perusahaannya.
"Ini sudah yang ke-3 kalinya untuk kami, dan ini merupakan salah satu pencapaian yang apik bagi kami. Apalagi ini terasa sangat spesial karena perusahaan kami baru saja merayakan perayaan ulang tahun yang ke-6. Saya rasa ini adalah suatu karya yang dapat kami persembahkan untuk negeri ini, oleh karena itu semua saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah sudi membantu kami dalam mewujudkan hal ini," tutur Suaedi.
Ia juga mengatakan bahwa Nutricell memiliki komitmen untuk menghadirkan produk yang memenuhi standar kualitas global mulai dari kualitas produk, keamanan, ketelusuran (traceability), dan tentu saja standar keberlangsungan (sustainability).
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah juga mengapresiasi pencapaian Nutricell. Menurutnya Nutricell merupakan salah satu perusahaan yang dapat dijadikan contoh sukses dalam membantu pemerintah menjalankan program GRATIEKS Pertanian (Gerakan Tiga Kali Ekspor Pertanian).
"Seperti apa yang diamanatkan oleh Pak Menteri, kami selalu mendukung siapa saja yang ingin ekspor, akan kami gelar karpet merah bagi siapa saja yang ingin ekspor. Tentunya kami juga tidak akan mempersulit, malah akan kami bantu semaksimal mungkin, kalau untuk ekspor, Ditjen PKH Sabtu - Minggu tidak libur!," kata Nasrullah sembari berkelakar.
Sebagai informasi Nasrullah juga menyampaikan bahwa ekspor komoditas peternakan pada tahun 2021 periode bulan Januari-Juli tercatat mencapai 192.034 ton dengan nilai USD 807.587.385 atau setara Rp 11,7 triliun.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2020 (YoY), volume ekspor mencapai 175.022 ton dengan nilai sebesar USD 466.838.460, nilai ini meningkat sebesar 9,72% dan nilai ekspor meningkat sebesar 72,9%. Oleh karenanya dirinya akan terus menghimbau dan membantu perusahaan mana saja yang bergerak di bidang peternakan dalam melakukan ekspor, karena ekspor menunjukkan bahwa Indonesia tetap bisa bersaing dengan luar negeri.
Produk Unggulan, Kearifan Lokal
Direktur Technical Nutricell, Wira Wisnu Wardhana mengatakan bahwa sejatinya Indonesia memiliki potensi dalam hal sumber bahan baku. Banyak hal yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia karena kekayaan sumber daya alamnya.
"Bahan baku kita lakukan penelitian mendalam kandungannya, khasiatnya, keunggulan dan kekurangannya, lalu kita berikan nilai tambah agar dapat dimanfaatkan oleh ternak. Dengan begitu akan ada value yang didapat sehingga bermanfaat," tutur Wira.
Ia menuturkan Nutricell selalu berkomitmen dalam mengembangkan produk-produk feed additive dan feed supplement berbasis sumberdaya lokal, melalui riset, dan investasi dalam kemampuan analisa dan manajemen. (CR)
NUTRICELL BUKA KERAN EKSPOR KE BENUA BIRU
Pelepasan kontainer ekspor PT Nutricell Pacific |
Pandemi Covid-19 nyatanya tidak serta merta menutup kesempatan PT Nutricell Pasific untuk tetap membuka peluang. Nyatanya pada Kamis (8/10) PT Nutricell Pacific meresmikan ekspor mereka ke benua biru, lebih tepatnya Negara Jerman. Acara launching eskpor tersebut dilaksanakan di pabrik Nutricell yang berlokasi di Taman Tekno, Tangerang Selatan.
Dalam sambutannya, CEO PT Nutricell Pasific Suaedi Sunanto menyatakan kebanggaan dan kegembiraannya terkait kegiatan ekspor tersebut. Pasalnya setelah berhasil menembus pasar Asia pada 2019 yang lalu, kini Nutricell berhasil naik ke level yang lebih tinggi.
"2019 lalu kita tembus pasar Asia, kini Eropa. Dengan begini kita punya portofolio yang lebih baik lagi. Kita semua tahu bahwa pasar Internasional ini terutama Jerman dan Jepang memang sangat sulit ditembus, ini karena mereka menerapkan standar tinggi baik secara regulasi dan kualitas. Oleh karena itu saya juga berterima kasih kepada seluruh tim yang sudah bekerja keras mewujudkan hal ini," tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama mewakili Menteri Pertanian yang berhalangan hadir, Direktur Kesehatan Hewan Fadjar Sumping Tjaturrasa juga memberi apresiasi kepada Nutricell atas pencapaiannya. Menurut dia apa yang dilakukan Nutricell menunjukkan bahwa produk dalam negeri dapat bersaing di kancah dunia.
"Ini sangat luar biasa, kami sangat bangga dengan pencapaian ini. Saya juga berharap apa yang dilakukan oleh Nutricell juga bisa banyak ditiru oleh perusahaan obat hewan lain, dan industri obat hewan hingga kini memang merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia di kancah ekspor," tutur Fadjar.
Pada hari itu, sebanyak 5 ton bahan baku obat hewan berupa ekstrak jambu mete diekspor ke negeri Bavaria. Nilainya mencapai 917 juta rupiah atau sekitar 53.000 euro. Semoga saja setelah ini Indonesia kembali dapat membuka pasar di luar negeri, bukan hanya bahan baku tetapi juga produk obat hewan. (CR)
KINERJA EKSPOR OBAT HEWAN DIPACU MELALUI PROGRAM GRATIEKS
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat memberikan pengarahan. |
Para produsen obat hewan yang hadir di Gedung C, Kantor Kementan. |
EKSPOR OBAT HEWAN SUMBANG DEVISA RP 26 TRILIUN
Ekspor industri obat hewan menjadi penyumbang devisa terbesar di sektor peternakan. (Foto: Infovet/Ridwan) |
Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat rekomendasi ekspor produk peternakan sejak 2015 sampai semester I 2019 telah menyentuh nilai Rp 38,39 triliun. Kontribusi terbesar untuk ekspor peternakan datang dari kelompok obat hewan dengan jumlah transaksi senilai Rp 26 triliun.
“Terdapat lebih dari 90 negara yang menjadi tujuan ekspor utama obat hewan buatan Tanah Air. Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor antara lain Belgia, Amerika Serikat, Jepang dan Australia,” ujar Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, (Dirjen PKH) Kementan, I Ketut Diarmita, dalam keterangan persnya, Senin (19/8/2019).
Tingginya nilai ekspor obat hewan ini, kata Ketut, sangat menggembirakan bagi dunia usaha bidang obat hewan. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa industri obat hewan mempunyai kontribusi besar dalam peningkatan devisa negara.
“Di era perdagangan bebas dan pesatnya perkembangan teknologi mengharuskan pemerintah semakin kreatif dengan meningkatkan produksi dan ekspor obat hewan,” katanya.
Sejak diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2016 lalu, Kementan terus mendorong peningkatan jumlah produsen obat hewan dalam negeri. Berdasarkan data Direktorat Jenderal PKH, saat ini terdapat 61 dari 95 produsen obat hewan dalam negeri yang telah memiliki Sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).
Menurutnya, penerapan CPOHB dan percepatan administrasi pelayanan rekomendasi menjadi upaya yang terus didorong untuk peningkatan ekspor obat hewan. “Sertifikat CPOHB menjadi acuan bahwa obat hewan yang diproduksi terjamin mutu, keamanan dan khasiatnya, sehingga berdaya saing tinggi,” ucap dia.
Selain itu, pemerintah juga terus mendorong produsen obat hewan agar kreatif mengembangkan produk dari bahan lokal. Penggunaan bahan lokal diharapkan dapat mengurangi bahan baku obat hewan impor.
“Pelaku usaha didorong agar produk prebiotik dapat memanfaatkan bahan tanaman dan herbal, selain itu juga untuk produk immunostimulan, serta vaksin dari mikroorgamisne dan zat penambah yang ada di Indonesia,” tandasnya. (INF)
Ekspor Obat Hewan Datangkan Devisa 20 Triliun
![]() |
Pertemuan Dirjen PKH dengan para produsen obat hewan se-Indonesia (Foto: Humas Kementan RI) |
Sektor Peternakan Berkontribusi Besar dalam Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2018
![]() |
Ilustrasi (Foto: Pixabay) |
![]() |
Ilustrasi daging ayam (Foto: Pixabay) |
PEMERINTAH PERLU SEDERHANAKAN PROSEDUR EKSPOR OBAT HEWAN
Demikian kesimpulan dari presentasi Ketua Sub Bidang Eksportir ASOHI Peter Yan dalam rapat pleno pengurus ASOHI Februari lalu di Jakarta. Dalam paparannya, ia menyampaikan, masih ada beberapa kendala yang dihadapi oleh beberapa perusahaan eksportir obat hewan, yaitu mengenai prosedur di dalam negeri seperti registrasi dan prosedur ekspor, kemudian prosedur di negara tujuan ekspor.
![]() |
Peter Yan (berjaket hitam) ditengah rapat pleno ASOHI (24/02/2017) saat menyampaikan kendala soal ekspor obat hewan. |
“Kalau pemerintah serius mendukung ekspor, mestinya ada jalur khusus untuk produk registrasi berorientasi ekspor. Jangan disamakan dengan antrian produk impor,” ujar Peter.
Kemudian untuk proses pembuatan Health Certificate (HC) dan Surat Keterangan Ekspor (SKE) saat ini memakan waktu yang sangat lama kurang lebih 35 hari (2016) dan 45 hari (2017). Padahal negara lain cukup sehari atau beberapa jam saja.
“Sekarang kabarnya dengan penerapan e-billing bisa tujuh hari. Kalau bisa proses e-billing dapat dipercepat. Dan untuk tanda tangan HC serta SKE sebenarnya tidak perlu sampai Dirjen. Yang membuat lama adalah karena yang tandatangan harus Dirjen padahal negara tujuan ekspor tidak mempermasalahkan siapa yang tanda tangan, yang penting resmi dari Kementerian,” ucapnya.
Masih dalam permasalahan yang sama, untuk tarif layanan ekspor yang diatur dalam PP No. 35/2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Pertanian, mengatur bahwa jasa sertifikasi obat hewan, yakni SK Impor bahan baku dikenakan tarif Rp 100.000 per produk, SK Ekspor (Certificate of Free Sale, Certificate of the Origin, Certificate of Pharmaceutical Product, HC) dengan tarif Rp 100.000 per produk dan tarif Pre-Shipment Rp 830.000 per orang (minimal dua orang).
“Harusnya ada insentif untuk produk ekspor atau gratis. Kalau toh ada tarif, jangan per produk tapi per surat. Saat ini kalau ekspor 10 produk, walaupun suratnya satu lembar, bayarnya 10 kali tarif yang berlaku. Kami mengharapkan segala tarif untuk ekspor dihapus saja. Semuanya gratis. Ini sangat wajar karena eksporkan menghasilkan devisa,” tambahnya.
Masih soal yang sama, Peter juga menyoroti tentang proses karantina oleh Badan Karantina Pertanian sebelum pengiriman barang. Ia menilai adanya double check, karena di negara tujuan ekspor kembali dikarantina. Menurutnya lebih baik tidak perlu dilakukan proses karantina. Mestinya yang dikarantina adalah barang yang akan masuk ke Indonesia. Kalau yang mau dieksporkan yang akan menjalankan fungsi karantina adalah negara tujuan. “Sebenarnya apa fungsi Karantina untuk ekspor? Kan ini menghambat pengusaha yang sudah atau akan mengembangkan ekspor,” tambahnya.
Prosedur di Negara Tujuan
Peter memaparkan, secara umum sudah menjadi prosedur wajib sebelum melakukan registrasi untuk melengkapi format dokumen registrasi seperti CTD (Common Technical Documents) format dan GMP inspection/onsite inspection. Namun ada beberapa variasi kebijakan registrasi obat hewan di berbagai negara yang perlu dipahami oleh perusahaan yang akan ekspor. Misalnya di Malaysia, sudah melakukan registrasi online dari badan registrasi. Lembaga yang mengurus obat hewan bermacam-macam. Untuk produk antibiotik melalui Biro Pengawalan Farmaseutikal Kerajaan, vitamin melalui Departement of Veterinary Service) dan vaksin melalui Ministry of Health. Kemudian di Bangladesh yang menetapkan produk impor harus sudah ter-registrasi minimal di satu negara maju.
Sementara di Filipina, India dan Nepal membuat kebijakan larangan impor vaksin asal Indonesia, oleh karena Indonesia masuk dalam daftar OIE (World Organisation for Animal Health) sebagai negara endemik flu burung (Avian Influenza/AI). Peter mengharapkan pemerintah bisa melakukan lobby ke negara tersebut agar kebijakannya diubah.
Peter menjelaskan, kendala lain yakni soal kebijakan impor di negara ekspor, misalnya bea masuk produk impor yang lumayan cukup tinggi sekitar 20-30%, terutama di negara-negara Afrika. “Karena itu, saya usul agar ada kerjasama atau negosiasi antar pemerintah untuk melakukan tax reduce,” katanya.
Kendati begitu, Peter berterima kasih kepada Kementerian Perdagangan yang belakangan ini cukup membantu promosi produk obat hewan Indonesia di luar negeri, melalui pameran dan forum lainnya. Ini harus terus ditingkatkan. (RBS/BS/WK)
ARTIKEL POPULER MINGGU INI
-
Cara Menghitung FCR Ayam Broiler. FCR adalah singkatan dari feed convertion ratio, yaitu konversi pakan terhadap daging. FCR digunakan untuk...
-
Sumber: Balitbangtan Kementan Ayam KUB adalah ayam kampung galur (strain) baru, merupakan singkatan dari Ayam Kampung Unggul Balitbangtan. A...
-
Di dunia ini terdapat beberapa jenis ayam terbesar di dunia. Baik dari segi tinggi badannya, ukuran badannya, maupun berat badannya. Di anta...
-
Artikel ini membahas secara singkat anatomi ayam (struktur tubuh ayam) meliputi bagian tubuh ayam dan fungsinya. Juga organ tubuh ayam dan f...
-
Prof Dr Ismoyowati SPt MP, dari Unsoed, membawakan materi Mekanisme Kemitraan dalam Budidaya Ayam Broiler, dalam webinar Charoen Pokphand In...
-
Dalam dunia peternakan bebek, proses penetasan telur menjadi salah satu kunci utama keberhasilan produksi Day Old Duck (DOD). Terdapat dua c...
-
Salah satu komponen penting beternak bebek petelur adalah memilih jenis bebek petelur yang tepat. Tingginya produktivitas bukan satu-satunya...
-
Ayam abang adalah ayam ras petelur yang sudah memasuki masa “pensiun” bertelur. (Foto: Dok. Infovet) Ayam abang menjadi salah satu bisnis “s...
-
Menjadi salah satu terobosan dalam dunia peternakan bebek, bebek hibrida adalah hasil perkawinan silang antara bebek Peking jantan dan bebek...
-
Vaksinasi sangat penting dalam produksi produksi telur. Peternak layer harus memvaksinasi ayamnya terhadap penyakit untuk menghindari kemati...